Menurut pandangan pengamat Barat dan AS untuk perkembangan tanaga surya Tiongkok terlalu berlebihan, mereka menganggap Tiongkok telah bertindak terlalu jauh dengan penemuan terbarunya: Ini adalah "ancaman bagi umat manusia"
Menurut pandangan mereka, dalam kasus pembangkit listrik tenaga surya baru berkapasitas 5.000 MW di Tiongkok, yang lebih besar belum tentu lebih baik.
Fasilitas besar tersebut, yang saat ini merupakan pembangkit listrik fotovoltaik terbesar di dunia, dapat menyebabkan salah satu pemadaman listrik terbesar di dunia.
Risikonya terletak pada kelebihan beban jaringan listrik nasional dengan pembangkitan energi bersih tanpa rencana untuk mengidentifikasi dan mencegahnya.
Namun, jika Tiongkok mengelola proyek tersebut dengan aman, manfaat dari pembangkit listrik baru tersebut mungkin sepadan dengan risikonya. Ini pandangan pengamat Barat dan AS.
Instalasi yang menjadi perbincangan adalah pabrik produksi listrik panel surya seluas 200.000 hektar di provinsi Xinjiang, Tiongkok barat laut, yang dibangun oleh Power Construction Corporation of China, yang juga disebut Power China.
Wilayah Xinjiang kaya akan sumber daya surya dan angin, sehingga ideal untuk proyek berskala super. Namun menurut padangan Barat, listrik yang diproduksi di sini untuk dikirim ke wilayah timur Tiongkok, dari tempat produksi listrik bersih tidak semudah yang diperkirakan.
Kekuatan Panel Surya Tiongkok
Tiongkok tidak hanya memproduksi listrik dalam jumlah besar, tetapi juga memproduksi panel surya secara besar-besaran.
Setelah terjadi lonjakan pemasangan panel surya pada tahun 2023, dengan tingkat pemasangan tumbuh setidaknya 30% dari tahun ke tahun, terjadi lonjakan dalam produksi panel.
Pada bulan Maret 2024, Tiongkok memiliki kapasitas terpasang sebesar 660 GW, jauh lebih banyak dari AS yang hanya 179 GW.
Namun, ketika tingkat pemasangan menurun pada tahun 2024 karena kapasitas yang memadai telah tercapai, Tiongkok diperkirakan mengalami kelebihan panel.
Panel-panel ini kemungkinan besar akan dipasarkan di pasar ekspor internasional, dan masuknya panel surya yang murah untuk dijual kemungkinan akan mengecewakan para pemangku kepentingan manufaktur surya di Barat dan AS. Ini yang sangat dicemaskan mereka.
Produsen juga terdampak oleh kelebihan produksi. Produsen sel surya terbesar di dunia, Longi Green Energy Technology, terpaksa memberhentikan ribuan karyawan secara langsung karena kelebihan kapasitas dan turunnya harga panel. Dalam konteks ini, Asosiasi Industri Fotovoltaik Tiongkok melaukan tindakan merger, akuisisi, dan pembatasan persaingan domestik yang sangat membantu dalam mengendalikan kapasitas.
Peningkatan Pesat Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Tiongkok
Menurut laporan tahunan Badan Energi Internasional (IEA/International Energy Agency) untuk tahun 2023, penambahan kapasitas tenaga surya di Tiongkok tumbuh sebesar 116% dari tahun 2022 hingga 2023. Tenaga surya sendiri menyumbang 75% dari penambahan kapasitas listrik terbarukan global pada tahun 2022, dengan Tiongkok memasang sebanyak yang dipasang oleh seluruh dunia secara keseluruhan.
Laporan IEA menyatakan bahwa tahun 2023 merupakan tahun ke-22 berturut-turut di mana rekor pertumbuhan kapasitas energi hijau baru di Tiongkok tercipta. Pertumbuhan serupa juga terlihat di AS, Eropa, dan Brasil pada tahun 2023, tetapi percepatan Tiongkok selama bertahun-tahun sangat luar biasa.
Sasaran Tiongkok adalah menjadi negara netral karbon pada tahun 2060. Proyeksi memperkirakan bahwa pada tahun 2050, negara tersebut dapat meningkatkan kapasitas energi terbarukannya hingga 500% dan mengurangi porsi emisi globalnya dari 33% menjadi 22%, yang merupakan upaya signifikan jika berhasil.
Antisipasi Tiongkok Dalam Perlambatan Perkembangan Ekonomi
Kenyataan memang industri tenaga surya Tiongkok meledak tahun lalu, dengan lebih banyak panel surya yang dipasang dalam satu tahun dibandingkan yang pernah dipasang di AS. Hal ini juga memotong harga grosir panel hampir setengahnya. Ekspor panel surya rakitan lengkap Tiongkok meningkat sebesar 38%, dan ekspor komponen utama meningkat hampir dua kali lipat.
Dalam hal ini bersiaplah untuk melihat dominasi tenaga surya Tiongkok secara lebih besar.
Meskipun AS dan Eropa berupaya menghidupkan kembali produksi energi terbarukan dan membantu perusahaan-perusahaan menghindari kebangkrutan, Tiongkok sudah jauh di depan.
Pada pertemuan tahunan Kongres Rakyat Nasional Tiongkok tahun ini, Perdana Menteri Li Qiang, pejabat peringkat kedua Tiongkok setelah Xi Jinping, mengumumkan bahwa Tiongkok akan mempercepat pembangunan pembangkit listrik tenaga fotovoltaik serta proyek pembangkit listrik tenaga angin dan air.
Perekonomian Tiongkok sedang dalam kesulitan, dan peningkatan investasi pada energi terbarukan, terutama tenaga surya, merupakan bagian penting dari investasi besar Tiongkok pada teknologi baru. Para pemimpin Tiongkok mengatakan bahwa "tiga hal baru" yang diwakili oleh sel surya, kendaraan listrik, dan baterai litium telah menggantikan "tiga hal lama" yang diwakili oleh pakaian, furnitur, dan peralatan rumah tangga.
Tujuan pengembangan "tiga industri baru" ini adalah untuk membantu mengimbangi penurunan tajam dalam industri real estat Tiongkok. Tiongkok berharap dapat menggunakan industri-industri baru seperti tenaga surya  yang oleh Xi Jinping disebut sebagai "produktivitas baru" untuk meningkatkan perekonomian yang telah melambat selama lebih dari satu dekade.
Penekanan pada tenaga surya merupakan langkah terbaru dalam rencana dua dekade Tiongkok untuk mengurangi ketergantungannya pada impor energi.
Ekspor produk fotovoltaik Tiongkok telah menimbulkan reaksi mendesak dari dunia luar. Pemerintahan Biden telah meluncurkan program subsidi yang mencakup sebagian besar biaya produksi panel surya, serta sebagian dari biaya pemasangan yang lebih tinggi.
Eropa sangat khawatir. Para pejabat marah karena lebih dari satu dekade yang lalu, Tiongkok mensubsidi pabrik-pabrik yang memproduksi panel surya, sementara pemerintah Eropa mensubsidi konsumen yang membeli panel surya yang diproduksi di mana pun. Hal ini menyebabkan lonjakan pembelian konsumen terhadap produk-produk Tiongkok, sehingga merugikan industri tenaga surya di Eropa.
Gelombang kebangkrutan telah melanda industri tenaga surya di Eropa, sehingga benua tersebut sangat bergantung pada produk-produk Tiongkok.
"Kita tidak melupakan bagaimana praktik perdagangan Tiongkok yang tidak adil telah berdampak pada industri tenaga surya kita -- banyak perusahaan muda telah tersingkir dari pasar oleh pesaing Tiongkok yang disubsidi secara besar-besaran," kata Presiden Komisi Eropa von der Leyen dalam "Pidato Kenegaraan Aliansi"-nya. ungkapnya dalam pidato tersebut.
Apa yang tersisa dari industri tenaga surya Eropa sedang menghilang. "Norwegia Crystals", produsen bahan baku panel surya penting di Eropa, mengajukan kebangkrutan musim panas lalu. Perusahaan Swiss Meyer Burger mengumumkan pada 23 Februari tahun ini bahwa mereka akan menghentikan produksi di pabriknya di Freiburg, Jerman, pada pertengahan Maret dan akan bekerja keras mengumpulkan dana guna menyelesaikan pembangunan pabrik di Colorado dan Arizona di AS.
Proyek perusahaan di AS dapat memanfaatkan subsidi produksi energi terbarukan yang diberikan oleh "Undang-Undang Pengurangan Inflasi(Inflation Reduction Act of 2022)" Presiden Biden.
Keunggulan biaya Tiongkok sulit diatasi. Sebuah laporan oleh lembaga penelitian Komisi Eropa pada bulan Januari menghitung bahwa perusahaan Tiongkok dapat memproduksi panel surya dengan biaya 16 hingga 18,9 sen per watt listrik. Sebagai perbandingan, biaya per watt perusahaan-perusahaan Eropa berkisar antara 24,3 hingga 30 sen, dan biaya per watt perusahaan-perusahaan AS sekitar 28 sen.
Perbedaan-perbedaan ini sebagian mencerminkan rendahnya upah di Tiongkok. Kota-kota di Tiongkok juga menawarkan lahan untuk pabrik panel surya dengan harga sewa yang jauh lebih rendah dari harga pasar. Bank-bank milik negara telah memberikan pinjaman dalam jumlah besar kepada perusahaan tenaga surya dengan suku bunga rendah, meskipun beberapa perusahaan telah merugi dan beberapa lagi bangkrut. Dan perusahaan-perusahaan Tiongkok telah menemukan cara untuk membangun pabrik dan menyediakan peralatan produksi dengan biaya rendah.
Rendahnya harga listrik di Tiongkok memainkan peran besar.
Pembuatan polisilikon, bahan baku utama panel surya, membutuhkan listrik dalam jumlah besar. Panel surya biasanya perlu menghasilkan listrik setidaknya selama tujuh bulan untuk memenuhi energi yang dibutuhkan untuk membuat panel.
Dua pertiga listrik Tiongkok berasal dari batu bara, dan biaya pembangkit listrik tenaga batu bara tergolong rendah. Namun perusahaan-perusahaan Tiongkok semakin mengurangi biaya listrik dengan memasang pembangkit listrik fotovoltaik di gurun pasir Tiongkok bagian barat, di mana lahan milik negara pada dasarnya gratis. Perusahaan kemudian menggunakan listrik yang dihasilkan oleh fotovoltaik untuk memproduksi lebih banyak polisilikon.
Sebagai perbandingan, biaya listrik di Eropa mahal, terutama sejak pecahnya perang Rusia-Ukraina yang menyebabkan Eropa berhenti membeli gas alam dari Rusia. Lahan untuk membangun pembangkit listrik fotovoltaik mahal di Eropa. Di Barat Daya AS, permasalahan lingkungan telah memperlambat pembangunan pembangkit listrik fotovoltaik dan permasalahan lahan yang sudah dikategorikan untuk penggunaan lain telah menghambat perizinan jalur transmisi energi terbarukan.
Konsumsi batu bara di Tiongkok menjadikannya penghasil emisi gas rumah kaca tahunan terbesar di dunia. Namun peran pelopor Tiongkok dalam menurunkan biaya panel surya telah memperlambat pertumbuhan emisi gas rumah kaca.
"Jika pabrikan Tiongkok tidak mengurangi biaya panel surya lebih dari 95%, kita tidak akan melihat begitu banyak instalasi tenaga surya di seluruh dunia," kata Tu Jianjun, peneliti di Pusat Kebijakan Energi Global Universitas Columbia yang berbasis di Beijing.
Pemasangan panel surya tahunan di seluruh dunia meningkat hampir empat kali lipat sejak tahun 2018
Beberapa pembangkit listrik fotovoltaik baru yang menghasilkan listrik untuk produksi polisilikon berlokasi di dua provinsi di Tiongkok barat: Qinghai dan Yunnan. Tapi polisilikon terutama diproduksi di wilayah Xinjiang di barat laut Tiongkok.
AS melarang impor produk yang terbuat dari bahan atau suku cadang yang diproduksi dengan di Xinjiang. Hal ini menyebabkan AS memblokir beberapa panel surya dari Tiongkok untuk memasuki negara tersebut, dan Uni Eropa telah mempertimbangkan tindakan serupa.
Semakin banyak perusahaan Tiongkok yang melakukan tahap awal pembuatan panel surya bernilai tinggi di Tiongkok dan kemudian mengirimkan komponen tersebut ke pabrik di luar negeri untuk perakitan akhir.
Hal ini memungkinkan produk untuk menghindari hambatan perdagangan, seperti tarif yang dikenakan Presiden Trump pada banyak produk impor Tiongkok. Beberapa produsen panel surya terbesar di Tiongkok sedang membangun pabrik perakitan akhir di AS untuk memanfaatkan subsidi yang diberikan oleh UU Pengurangan Inflasi (Inflation Reduction Act of 2022)
UU tersebut mencakup subsidi besar-besaran untuk menghidupkan kembali industri panel surya AS, yang hampir terpuruk satu dekade lalu karena impor berbiaya rendah dari Tiongkok. Namun membangun industri yang mandiri akan sulit dilakukan.
Tiongkok memproduksi hampir semua peralatan yang digunakan untuk membuat panel surya di dunia dan memasok hampir semua komponen yang dibutuhkan panel surya, mulai dari wafer hingga kaca khusus.
"Keahlian di bidang ini semuanya ada di Tiongkok," kata Yuan Haiyang, CEO Grape Solar di Eugene, Oregon, yang bekerja dengan perusahaan tenaga surya Tiongkok yang sedang membangun operasi perakitan di AS.
Keahlian itu dulunya ada di AS. Baru-baru ini pada tahun 2010, produsen panel surya Tiongkok sangat bergantung pada peralatan impor, yang menghadapi penundaan produksi yang lama dan mahal karena kegagalan peralatan.
"Dibutuhkan waktu berhari-hari atau berminggu-minggu untuk mengganti suku cadang dan mendapatkan insinyur," kata Frank Haugwitz, seorang konsultan industri tenaga surya yang telah lama berspesialisasi dalam industri tenaga surya Tiongkok.
Pada tahun 2010, "Applied Materials" yang berbasis di Silicon Valley membangun dua laboratorium besar di Xi'an, sebuah kota di Tiongkok barat yang terkenal dengan Pejuang Terakotanya. Setiap laboratorium berukuran sebesar dua lapangan sepak bola. Tujuan dari laboratorium ini adalah untuk melakukan uji akhir jalur perakitan robot yang, jika berhasil, dapat memproduksi panel surya secara massal dengan sedikit atau tanpa tenaga manusia.
Namun perusahaan-perusahaan Tiongkok menemukan cara untuk membuat peralatan produksi sendiri dalam beberapa tahun. "Applied Materials" telah memangkas produksi cetakan panel surya untuk fokus pada peralatan serupa yang digunakan untuk membuat semikonduktor.
Saat ini, siapa pun yang mencoba memproduksi panel surya di luar Tiongkok menghadapi potensi penundaan dalam pemasangan atau perbaikan peralatan tersebut.
Ketika Eropa sedang mempertimbangkan apakah akan mengikuti jejak AS dalam memberlakukan subsidi dan pembatasan impor produk tenaga surya, Haugwitz mengatakan, "Bersaing dengan Tiongkok masih menjadi tantangan bagi Eropa."
Sumber: Media TV & Tulisan Luar Negeri
https://www.eldiario24.com/en/china-solar-energy-blackout/4035/
https://cn.nytimes.com/business/20240308/china-solar-energy-exports/
https://solar.ofweek.com/2024-04/ART-260001-8420-30632099.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H