Bahasan ini dikutip dari pandangan pakar, analis Tiongkok dan luar dalam diskusi akademis dalam rangka kelahiran PKT (lahir 23 Juli 1921) terakhir ini. Mereka memperhatikan bahwa akhir-akhir ini sikap AS dan negara-negara Barat terhadap Tiongkok nampaknya telah banyak berubah dalam beberapa tahun terakhir. Mengapa?
Menurut pandangan analis dan pakar Tiongkok serta beberapa pengamat luar, karena selama ini Barat telah lama salah memahami Tiongkok dan PKT.
Di Tiongkok, politik berfungsi dalam kerangka negara komunis berdasarkan sistem kongres rakyat di bawah kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok (PKT/CCP), dengan Kongres Rakyat Nasional (NPC) berfungsi sebagai organ tertinggi kekuasaan negara dan satu-satunya cabang pemerintahan. sesuai dengan prinsip kesatuan kekuasaan.
Di bawah pemerintahan Xi Jinping, Tiongkok juga disebut sebagai "demokrasi rakyat yang menyeluruh". Banyak pengamat asing mengkategorikan Tiongkok sebagai negara satu partai yang otoriter, dan beberapa di antaranya mengatakan Tiongkok telah beralih ke neo-otoritarianisme. Beberapa orang mengkarakterisasinya sebagai kediktatoran.
Beberapa pakar Tiongkok masih ingat hingga tahun 2012, pengamat politik arus utama Barat masih percaya bahwa Tiongkok akan runtuh. Bahkan ketika pada malam Kongres Nasional PKT ke-18, yang dipertanyakan pertama yang diajukan pembawa acara kepada pakar Tiongkok (Zhang Weiwei), apakah kelak masih akan ada Kongres Nasional PKT ke-19?
Maka saat itu pakar Tiongkok tertawa dan balik bertanya: "Berapa banyakkah prediksi Barat tentang Tiongkok yang benar dalam beberapa tahun terkahir ini?" dan dijawab tidak ingat oleh pembawa acara.
Ideologi yang memandu para cendekiawan arus utama Barat, media arus utama, dan lembaga pemikir arus utama masih bersifat "Western-sentrisme" atau "teori akhir sejarah." Jika selama praktik Tiongkok berbeda dengan praktik Barat, Tiongkok salah, Tiongkok akan menuju kemunduran dan akan runtuh.
Namun apapun gembar-gembor Barat dan AS, Tiongkok faktanya membuat kemajuan besar munuju panggung ekonomi dan politik dunia.
Sangat jelas terlihat, para cendekiawan, lembaga think tank, dan media Barat belum cukup siap, dan juga bahkan ada beberapa cendekiawan dan lembaga think tank dalam negeri Tiongkok sendiri yang terpengaruh paham Barat dan yang telah tercuci otak oleh wacana Barat juga belum siap.
Faktanya kita dapat melihat bahwa saat ini AS kini sangat cemas, kewalahan, dan berada dalam dilema, sehingga membuat kebijakan dadakan yang terkadang menutup Institut Konfusius, terkadang mencabut visa sarjana/cedikiawan Tiongkok, dan terkadang menyatakan bahwa Tiongkok dan AS adalah persaingan antar ras yang berbeda. Beberapa pihak bahkan mengancam akan "decoupling/keterlepasan(memutus sama sekali)" hubungan sepenuhnya dari perekonomian Tiongkok.