Mohon tunggu...
Sucahya Tjoa
Sucahya Tjoa Mohon Tunggu... Konsultan - Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Krisis dan Perang Rusia-Ukraina Suatu Pembelajaran

17 Maret 2022   17:29 Diperbarui: 18 Maret 2022   08:16 1797
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: republicworld.com + dreamstime.com

Krisis Ukraina telah menarik perhatian besar dari komunitas internasional, dan krisis ini secara langsung melibatkan Kuartet (4 pihak), AS, Rusia, kekuatan besar Eropa (NATO) dan Ukraina. Dalam krisis ini kiranya dapat di-istilahkan dalam dua kata untuk merangkum tanggapan empat pihak terhadap krisis Ukraina.   Situasi keseluruhan, AS adalah "pengipas api (provokator/mengompori)", Rusia adalah "penyulut api (pengobar api)", kekuatan besar Eropa (NATO), terutama Prancis dan Jerman "pepadam api/kebakaran" , Ukraina adalah "tungku api (talenan)"

Marilah kita bahas tentang AS ibaratkan sebagai "pengipas api (provokator)", dengan merosotnya kekuatan nasional AS secara keseluruhan, maka strategi luar negeri AS secara keseluruhan telah bergeser dari melancarkan perang langsung ke perang yang lebih menghasut, tidak nyaman jika dunia tidak kacau, karena dengan kacaunya kawasan lain dan negara lain kacau justru akan membawa keuntungan besar baginya.

Jadi masalah krisis Ukraina, bamyak pengamat dan analis luar yang berpandangan pemerintahan Biden dengan sengaja memprovokasi, menghebohkan, dan memanas-manasi terjadinya perang antara Rusia dan Ukraina, dengan setidaknya ada tiga target atau tiga tujuan.

Salah satunya adalah untuk mengalihkan perhatian rakyat AS dari kekurang berhasilannya tata pemerintahannya untuk menjadi baik.

Yang kedua, meningkatkan ketegangan di kawasan, yang dapat mendorong aliran modal dari Eropa ke AS, yang akan bermanfaat untuk kebutuhan pemilihan Biden maupun untuk kepentingan Wall Street.

Yang ketiga, untuk konsistensi tujuan AS dalam jangka menengah dan panjang, yaitu memecah belah Eropa dan memutus ketergantungan energi Eropa terhadap Rusia. Sekaligus memperdalam ketergantungan energi pada AS. Pada akhirnya mengubah Eropa menjadi tempat yang tetap menjadi yang dipimpin AS, sehingga mustahil untuk menjadi kekuatan independen yang menyeimbangkan AS, atau bahkan melawan AS.

Provokasi AS dimanifestasikan dalam banyak aspek yang membesar-besarkan agresi Rusia terhadap Ukraina, sebelumnya terjadinya perang, AS sengaja melakukan evakuasi personel kedutaan AS di Ukraina, dan memerintahkan 8.500 tentara AS dari negara-negara anggota Nordik untuk dikerahkan di timur untuk ditempatkan lebih banyak pasukan dalam "siaga tinggi", mengirim banyak senjata ke Ukraina yang membuat mereka menjadi pongah.

Biden bahkan telah membuat pernyataan mengancam berkali-kali. Jika Rusia berani menyerang Ukraina, itu akan menerima konsekuensi yang sangat serius. Kemudian dia menciptakan kesan bahwa jika konflik Rusia-Ukraina pecah, AS akan mencabut pedangnya.

Dalam arti tertentu, ini telah mendorong kepercayaan Ukraina untuk mendapatkan kembali kendali atas wilayah Donbas timur, dan AS tidak memiliki hati nurani yang merasa bersalah. Kita banyak mengetahui bahwa dunia telah memasuki "era pasca-Amerika".

Sekarang AS sudah tidak memiliki keinginan dan kekuatan untuk melakukan pertikaian militer dengan Rusia. Pernyataan Biden pada konferensi pers berkali-kali mengungkap sifat AS ini. Biden mengatakan bahwa jika Rusia menginvasi dalam skala kecil, itu mungkin masalah lain. Tapi nyatanya setelah serangan
Rusia terjadi AS hanya menjatuhkan sanksi, militernya tanpa bergerak apa pun.

Seperti kita semua tahu bahwa NATO, sebagai aliansi militer, berprinsip pertahanan kolektif, yaitu, ketika satu anggota menghadapi agresi, itu dianggap sebagai agresi terhadap semua anggota. Sekarang Biden sendiri dengan jelas menyatakan bahwa Ukraina bukan anggota NATO, jadi AS tidak memiliki kewajiban untuk mengirim pasukan setelah Ukraina diserbu.

Rusia sebagai "penyulut api", memiliki sejarah panjang "marah" pada AS, sehingga setidaknya dapat ditelusuri kembali ke memori kolektif banyak orang Rusia, setelah dis-integrasi Uni Soviet dan Partai Komunis Uni Soviet telah jatuh, negara adidaya Uni Soviet telah hancur, dan banyak orang Rusia mengira setelah Uni Soviet dan Partai Komunis Uni soviet hancur, mereka bisa menjadi anggota dunia Barat, tetapi mereka tidak menyangka bahwa Barat tidak pernah mau menerima Rusia dan terus melihat Rusia sebagai ancaman dan musuh.

Dengan dimanifestasikan ekspansi NATO terus menerus ke arah timur. Awalnya, NATO dan Pakta Warsawa adalah produk dari Perang Dingin. Dengan berakhirnya Perang Dingin dan bubarnya Pakta Warsawa, NATO seharusnya juga  harus diakhiri.

Tapi sebaliknya NATO bukan saja tidak dibubarkan, AS juga ingkar janji kepada pemimpin Soviet untuk tidak memperluas NATO ke timur, sehingga Rusia merasa terhina dan terancam.

Sumber: republicworld.com + dreamstime.com
Sumber: republicworld.com + dreamstime.com

Menurut pejabat senior Rusia NATO telah maju selangkah demi selangkah untuk mengurangi ruang strategis Rusia. Bahkan ada yang mengumpamakan, mula pertama seorang (NATO) mengatakan untuk meminjam garasi, kemudian dia berkata bahwa saya ingin untuk tinggal di rumahmu, setelah tinggal di rumahnya, akhirnya mengatakan mau tidur dengan istrinya, perumpamaan ini mungkin kasar, tetapi banyak alasan mengapa Rusia akhirnya "mengobarkan/menyulut  api".

Jadi kini Rusia mengempur Ukraina untuk menarik tiga garis merah bagi NATO:

Yang pertama, meminta janji untuk tidak pernah mengizinkan Ukraina bergabung dengan NATO.

Yang kedua, menghentikan penyebaran senjata ofensif di perbatasan Rusia

Yang ketiga, mengurangi kehadiran militer di sekitar Rusia

Tapi AS dan NATO telah secara terbuka menyatakan penolakan mereka terhadap tuntutan Rusia, tetapi beberapa negosiasi diplomatik masih berlangsung di antara kekuatan besar Eropa, terutama Jerman dan Prancis. Secara umum, dalam situasi ini mereka bertindak sebagai "pemadam kebakaran". Banyak negara Eropa, terutama Jerman, sangat bergantung pada Rusia untuk energi dan tidak ingin meningkatnya ketegangan terjadi di Ukraina,  juga enggan disandera oleh strategi AS terhadap Rusia.

Bagaimana pun pecahnya perang Rusia-Ukraina, yang akan merasakan dampak paling langsung adalah Eropa, menjadi mimpi buruk bagi negara-negara Eropa yang sekarang dalam resesi ekonomi, pandemi yang serius, dan energi yang sangat bergantung pada Rusia.

Dalam keadaan seperti itu, kekuatan Eropa seperti Prancis dan Jerman berusaha sebaik mungkin untuk "mepadamkan api" dan berupaya menghindari pecahnya perang.

Maka dari itu pada saat sebelum perang pecah, pada 26 Januari 2022, Prancis, Jerman, Rusia, dan Ukraina mengadakan apa yang disebut "Pertemuan Model Normandia" di Paris, dengan tidak mengikut-sertakan AS.

Kemudian pembicaraan empat pihak ini mencapai konsensus awal, dan negosiator Rusia dan Ukraina setuju untuk terus mematuhi "Perjanjian Gencatan Senjata Ukraina Timur" tanpa syarat, yang tampaknya untuk sementara mendinginkan ketegangan regional.

Kemudian ada episode lain di sini, Jerman sangat khawatir terlibat dalam perang ini yang menurutnya tidak boleh terjadi, tetapi bagaimanapun juga, AS adalah bos Barat maunya harus diberi "muka" (dituruti), jadi Jerman juga memberikan beberapa bantuan militer ke Ukraina, tetapi Jerman tidak seperti beberapa anggota NATO lainnya yang memasok senjata ke Ukraina, hanya memberi pasokan 5.000 helm baja, hal ini  menimbulkan ketidakpuasan besar dari pihak Ukraina, bahkan Walikota Kyiv meledek dengan mengatakan, apa yang akan diberikan Jerman selanjutnya?

Tentu saja, hal yang paling disayangkan dalam krisis ini adalah Ukraina yang ditandai dengan dipasok senjata oleh AS menjadi gede kepala (pongah), sehingga akhirnya menjadi "tungku api" dan mengorbankan rakyatnya.

Sebelum ini, kita bisa melihat bersama, negara ini tidak dapat mengendalikan nasibnya sendiri. Dengan "revolusi warna" yang terjadi satu babab demi satu babab, terus berjalan (berdemo) sehingga menjadi mati lemas dan tidak berdaya.

Padahal tanah Ukraina  dari perspektif wilayah adalah berupa tanah hitam luas dan subur,  wilayah negaranya terbesar kedua di Eropa, dan sudah menjadi basis industri yang kuat ketika ditinggalkan oleh Uni Soviet.

Pesawat Antonov, tank T-80, mesin aero (pesawat) canggih, dan roket pembawa Zenith semuanya dibuat di Ukraina, serta kapal induk Soviet Kuznetsov, Varyag juga dibuat di Ukraina, yang menjadi pendahulu kapal induk Liaoning Tiongkok.

Ketika Uni Soviet hancur, Varyag baru selesai dua pertiganya, tetapi sudah sulit untuk dipertahankan dan diselesaikan. Menurut laporan dari kepala perancang Varyag mengatakan bahwa untuk menyelesaikan Varyag, Komite Pusat Partai, dan Komite Perencanaan Negara, Komite Industri Militer Uni Soviet dibutuhkan untuk terlibat, membutuhkan koordinasi sembilan departemen industri pertahanan, membutuhkan partisipasi 600 profesional terkait 8000 pabrik pendukung pemrosesan, hanya kekuatan besar yang dapat membangunnya, tetapi kekuatan ini ketika itu sudah tidak ada lagi.

Saat itu Tiongkok membeli cakang Varyag setelah semua peralatan militer dan listrik dilucuti semua. Baca: Liaoning, Kapal Induk Pertama Tiongkok akan Dijual?  

Sumber: researchgate.net
Sumber: researchgate.net
Sejak 2004 pecahnya "Revolusi Oranye" di Ukraina, situasi menjadi tanpa kedamaian, pertikaian terus-menerus terjadi, perubahan pemimpin negara silih berganti tak ada habisnya.

Psycho Nasional telah turun tajam, dan standar hidup masyarakat telah turun secara signifikan. Ukraina adalah salah satu republik terkaya di bekas Uni Soviet, dan agregat ekonominya lebih tinggi 5 kali lipat dari Tiongkok, tapi sekarang lebih kecil daripada Indonesia.

Pada tahun 1991 PDB per kapita Ukraina lima kali lebih tinggi dari Tiongkok, tetapi hari ini kurang dari sepertiga Tongkok.

Model politik Barat telah menyebabkan penduduk Ukraina secara kasar terbagi menjadi dua kubu yang terus tidak akur, yang pro-Barat berada di Wilayah Barat dan yang pro-Rusia berada di Wilayah Timur Ukraina.

Bendera mereka setengah kuning dan setengah biru, seolah melambangkan afiliasi ekonomi dan politik Ukraina Timur dan Barat, dan siapa pun yang menjadi presiden hampir selalu tidak disenangi oleh setengah dari populasinya. Dan model pemilu Barat terus-menerus memperburuk perbedaan tersebut.

Pada tahun 2006 di Lapangan Kemerdekaan dan Zona Ekonomi ketika berkumpul sudah banyak mahasiswa dan anak muda yang mengibarkan bendera AS dan EU, sepertinya mereka sudah tercuci otaknya dan luntur akan rasa nasionalisme.

Belum lama sebelum Ukraina di serang Rusia, ketika Presiden Ukraina Zelensky memberikan pidato di Kongres, banyak anggota parlemen Ukraina mengibarkan bendera AS, bendera Inggris, dan bendera negara-negara Barat sebagai memprotes. Jadi Ukraina disusupi sedemikian rupa oleh anasir Barat, jadi tidak heran jika negaranya hancur.

Dari sudut pandang pihak ketiga yang relatif netral, sebenarnya pilihan terbaik bagi Ukraina adalah menghindari memilih pihak dan harus mencoba mempertahankan hubungan persahabatan dengan Rusia dan Barat dengan menjaga berjarak. Dan lebih baik menengahkan kepentingan Ukraina sendiri.

Namun, dengan tidak memiliki adanya rasa kemerdekaan diri, sulit untuk bisa mewujudkan prospek ini dalam konteks berada dalam persaingan kekuatan besar.

Pada 22 Februari 2014, demonstrasi besar-besaran pecah di Ukraina melawan Presiden Yanukovych yang pro-Rusia. Senator AS McCain sengaja melakukan perjalanan jauh ke Kyiv ibu kota Ukaraina, dengan suara lantang menyerukan mereka untuk mendukung tujuan demokratis rakyat Ukraina, sebagai akibatnya, bentrokan kekerasan pecah antara pihak yang berlawanan, dan Kyiv menjadi medan perang berdarah-darah.

Kemudian Presiden Yanukovych yang terpilih secara demokratis harus melarikan diri ke Rusia, dan akhirnya kita melihat serangan balik Rusia, termasuk mengirim pasukan ke Krimea untuk mendukung komunitas Rusia Krimea atas nama membela hak asasi manusia, yang sama seperti dalil Barat membela demokrasi dan hak asasi manusia, dan melalui referendum  untuk bergabung dengan Federasi Rusia.

Pada 27 Januari tahun ini, Presiden Zelensky dari Ukraina melakukan panggilan telepon dengan Presiden Biden, AS. Menurut laporan CNN panggilan itu sebenarnya tidak lancar, dan ada celah serius dalam penilaian para pemimpin kedua negara untuk situasi ketika itu.

Biden percaya bahwa Rusia akan menyerang Ukraina pada bulan Februari, yang hampir pasti terjadi, tetapi Zelensky percaya bahwa ancaman dari Rusia masih dalam tarap ancaman.

Tapi ancaman ini masih agak kabur. Pada konferensi pers keesokan harinya, Zelensky mengatakan bahwa meskipun ada kemungkinan perang, situasi saat ini belum meningkat secara signifikan dibandingkan dengan masa lalu, dan beberapa informasi telah menyebabkan panik, yang menyebabkan penarikan dana hampir US$12,5 miliar dari Ukraina.

Ini harga yang terlalu tinggi untuk Ukraina. Tentu saja, "tungku api" tercermin dalam ketidakmampuannya untuk berbicara. Dia menekankan bahwa saya tidak mengkritik Presiden Biden. Saya tidak memiliki kesalahpahaman dengan Presiden Biden. Saya hanya sangat memahami pendapat saya. Apa yang terjadi di negara ini, karena dia sepenuhnya memahami apa yang terjadi di AS.

Duta besar Tiongkok untuk PBB, Zhang Jun, telah menjelaskan mereka meminta semua pihak terkait untuk tetap tenang dan tidak melakukan apa pun untuk merangsang ketegangan dan meningkatkan krisis. Semua pihak terkait harus bersikeras menemukan solusi atas perbedaan mereka melalui dialog dan negosiasi.

Pada 4 Februari 2020, Xi Jinping dan Putin mengadakan pertemuan di Beijing. Tiongkok dan Rusia mengeluarkan pernyataan bersama yang menunjukkan bahwa kedua belah pihak mengeluarkan pernyataan menentang ekspansi NATO yang terus berlanjut, menyerukan NATO untuk meninggalkan ideologi Perang Dingin dan menghormati negara lain, kepentingan keamanan kedaulatan negara, keragaman budaya, sejarah dan keanekaragaman budaya, melihat perkembangan negara lain secara damai, objektif dan adil.

Tapi media Barat umumnya percaya bahwa ini adalah dukungan Tiongkok yang sangat jelas untuk oposisi Rusia terhadap ekspansi NATO ke timur, sehingga analis Barat selalu memperhatikan apakah Tiongkok dan Rusia akan bersekutu atau tidak.

Tapi Presiden Putin sendiri pernah mengatakan bahwa Tiongkok dan Rusia tidak bersekutu sekarang. Tapi di masa depan, kita bisa menggunakan imajinasi kita. Kemudian pihak Tiongkok telah berkali-kali mengatakan bahwa tidak ada batasan untuk bermitra Tiongkok-Rusia, dan tidak ada area terlarang untuk kerja-sama strategis antara kedua negara.

Krisis Ukraina dan Penyerangan Rusia

Seperti yang kita telah ketahui, krisis Ukraina telah berlangsung selama delapan tahun sejauh ini. Faktanya, menurut analis dan pengamat ada empat poin utama yang menyebabkan situasi krisis Ukraina menjadi semakin rumit. Dengan generalisasi ringkasan antara lain sbb.

Yang pertama "elit ukraina telah menggunakan kekayaan nasional sebagai taruhan" dan "negara telah menjadi objek transaksi" Jika diamati sejak krisis Ukraina selama delapan tahun. Kapasitas kemandirian negara telah sangat melemah, pemerintah bergantung pada uang pinjamnan Barat untuk kelangsungan hidupnya, masalah serius korupsi pemerintah belum terpecahkan, dan dukungan publik terhadap pemerintah sangat rendah. Elit penguasa Ukraina tidak dapat meningkatkan standar hidup rakyat, atau memecahkan masalah keamanan yang dihadapi oleh Ukraina seperti Krimea, Donbass dan angkatan bersenjata wilayah timur Ukraina.

Oleh karena itu, kemampuannya untuk memerintah dan legitimasinya secara umum dipertanyakan, dan juga bisa dilihat beberapa (politisi) Ukraina, yang dapat dikatakan merupakan politisi "tidak tahu diri" menganggap nasib nasional sebagai milik mereka sendiri, dengan memanifestasikannya dalam beberapa cara.

Yang pertama "perang dianggap suatu mainan",

Mereka mencoba mengikat kekuatan besar umutk terlibat dalam krisis Ukraina, sehingga membuat mereka jatuh ke dalam sesuatu yang mirip dengan "dilemma rakyat". Ini adalah manifestasinya.

Yang lainnya, ternyata kemudian Ukraina tidak mau belajar dari pelajaran yang menyakitkan dari kekalahan AS dalam "Perang 5 hari antara Rusia dan Georgia" dan pelajaran dari kekalahan AS yang menyakitkan di Afghannistan tahun lalu.

Mungkin semua orang bisa sedikit lebih jelas tentang kekalahan tahun lalu di Afghanistan. "Perang Lima Hari antara Rusia dan Georgia" Sebenarnya, AS juga mendukung Georgia, tetapi pada akhirnya AS melarikan diri.

Dan kemudian secara aktif berusaha meyakinkan Georgia untuk tidak mengambil risiko seperti itu lagi. Misalnya berapa tindakan yang disebut termasuk memprovokasi Rusia.  Namun sangat disayangkan pada akhirnya menjadi objek transaksi kekuatan besar, ini adalah inti masalahnya yang pertama.

Namun Ukraina tidak juga menyadari semuanya ini dan mau bealjar dari pelajaran ini, bahkan telah mengambil tindakan yang lebih konyol dengan "mengundang masuk srigala dalam rumah" dengan tujuan menjadikan dirinya sebagai "peran sentral" dalam permainan kekuatan besar.

Yang kedua, dapat ditemukan dari dari pihak-pihak yang terlibat dalam krisis Ukraina. Yang dapat diringkas sebagai "unreal binary choice (ilusi pilihan biner)" dan "unsolvable future direction (arah masa depan yang tidak dapat di pecahkan)".

Kita dapat melihat dengan disintegrasi Uni Soviet sebenarnya membuat sebagian besar negara-negara republik Soviet, termasuk Ukraina, menghadapi pilihan biner yang serba salah, apakah harus memilih Barat atau memilih Rusia, hanya ada dua pilihan.

Para pakar masalah Rusia ada yang berpandangan bahwa semua pihak telah sepenuhnya mengabaikan bahwa Ukraina berada di persimpangan peradaban Eurasia, realitas geografis seperti itu, menurut pandangan Fyodor Lukyanov, Pemimpin Redaksi Rusia di majalah Urusan Global, Ketua Presidium Dewan Kebijakan Luar Negeri dan Pertahanan. Anggota RIAC (Russian Internatioanal Affairs Council), menilai krisis Ukraina secara efektif mengakhiri revolusi liberal di Eropa.

Sejak runtuhnya Tembok Berlin pada tahun 1989 dan berakhirnya Perang Dingin dan disintegrasi Uni Soviet, terjadi transformasi nasional yang dipromosikan oleh negara-negara Eropa Tengah dan Timur. Jadi jika kita memahami ini, dapat dikatakan krisis di Ukraina lebih seperti Perang Dingin, dan terus terang, ini juga merupakan gempa susulan besar dari disintegrasi Uni Soviet. Demikian menurut para pakar.

Selain itu, kita juga dapat mengatakan bahwa rekonstruksi pasca gempa dan cetak biru bagaimana merencanakan rekonstruksi ini di masa depan juga merupakan konflik semacam itu.

Kita mendapati bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam krisis Ukraina tidak hanya menghancurkan rasa percaya yang rapuh di antara mereka, tetapi juga menempatkan mereka dalam dilema pembangunan mereka sendiri.

Misalnya, setelah krisis Uni Eropa-Ukraina, langsung jatuh ke dalam krisis integras, krisis utang Eropa, krisis pengungsi, berikutnya termasuk Brexit, sebenarnya membuat krisis ini terus berlanjut.

Selain itu, kita dapat melihat AS sangat jelas, baik untuk masalah demokrasi, ekonomi, diplomasi, termasuk saudara besar Ukraina atau tetangganya--Rusia. Sanksi-sanksi Barat menjadikan pihak yang menyebabkan jebakan dalam dilema pembangunan ini, yang hingga sekarang tidak tahu ke mana arah masa depan.

Hal di atas ini merupakan masalah filosofis utama, ketika tidak dapat menemukan jalur pembangunan negaranya sendiri, maka satu-satunya hanya mencari kesalahan pihak lain dengan cara mencari kambing hitam.

Yang ketiga, krisis Ukraina dapat dikatakan karena adanya pandangan monopoli Barat "historical correctness".  Krisis di Ukraina benar-benar mengakhiri atau mencegah ekspansi Barat, dan atas dasar ini mematahkan "perkembangan linier" berdasarkan "konsep historical correctness" seperti itu.

Apa yang dimaksud dengan "perkembangan linier (linear development)" yaitu  Barat berpikir bahwa setelah disintegrasi Uni Soviet, negara-negara republik Soviet satu-satunya jalan harus mengikuti atau menempuh jalan sesuai dengan demokrasi Barat.

Pandangan ini adalah semacam "perkembangan linier", yang sama sekali bukan konsep. Jadi kita dapat melihat bahwa setelah krisis Ukraina, AS dan Barat menuduh Rusia sebagai negara revisionis dan harus dihukum.

Selama krisis Ukraina telah lebih dari 100 sanksi yang dijatuhkan AS kepada Rusia. Ini meurut analis mencerminkan kebijakan baru yang diusulkan oleh Gorbachev sebelum berakhirnya Perang Dingin. Inti dari tatanan internasional, pada kenyataannya, adalah konstruksi bersama dari bangunan Eropa dan tatanan internasional liberal yang dimonopoli oleh AS setelah Perang Dingin, sehingga terjadi tabrakan antara dua kelompok pandangan tatanan.

Jika kita mempertimbangkannya dari perspektif di atas ini, itu akan menguji kemampuan suatu negara untuk menghadapi krisis yang begitu tiba-tiba. Dan keempat point inti di atas inilah yang membuat situasi di Ukraina menjadi titik kunci dari meningkatnya kompleksitas. Demikian menurut pandangan analis khusus tentang Rusia.

Situasi Ukraina Ketika Pisah Dari Uni Soviet

Krisis Ukraina, situasi di Ukraina, dan psikologi seperti apa yang dimilikinya ketika Ukraina mendeklarasikan kemerdekaan pada tahun 1991 untuk meninggalkan Uni Soviet?

Yang pertama adalah penetrasi wacana Barat. Ketika Ukraina masih belum pisah dari Soviet, para elit intelektual telah terpengaruh (tercuci otaknya) oleh wacana Barat dan mengadopsi sistem politik dan ekonomi Barat, dan selanjut mereka terpengaruh salah satunya dengan terjadinya insiden Chernobyl.

Saat itu, Barat penuh dengan laporan, film, dokumenter, yang menghasut kebencian terhadap Uni Soviet. Selain itu, ada data yang berbeda tentang peristiwa kelaparan di Ukraina pada tahun 1930-an. Ada yang mengatakan 3 juta orang meninggal, ada yang mengatakan 7 juta orang meninggal.

Media Soviet juga menyiarkan laporan itu, dan Pemimpin nomor satu Soviet Ukraina mereka saat itu, Leonid Makarovych Kravchuk percaya semua yang dikatakan AS, jadi pengembangan senjata nuklir semua dihentikan, diperkirakan karena pengaruh pemikiran Kravchuk sangat besar, dia merasa bahwa tiga negara Baltik telah merdeka, jadi Ukraina juga harus merdeka.

Sebenarnya banyak orang yang mengamati Ukraina, mereka mengatakan bahwa Ukraina juga negara orang Slavia. Sebenarnya memiliki banyak kesamaan dengan Rusia dan sejumlah besar populasinya berbahasa Rusia. Oleh karena itu, mereka memiliki psikologi semacam ini terhadap Rusia. Banyak tokoh seniman dan elit-elit politik Soviet juga berasal dari Ukraina.

Orang Rusia dan Ukraina sebenarnya memiliki akar yang sama, tapi orang Ukraina yang geografis terletak di perbatasan Eurasia yang menentukan tidak menerima pengaruh budaya murni tradisonal Rusia, tapi juga terpengaruh juga dengan budaya Kekasairan Turki dan beberapa peradaban Barat.

Misalnya, wilayah barat lebih Katolik, dan wilayah timur lebih dipengaruhi oleh Gereja Ortodoks Rusia. Entah itu Kekaisaran Rusia Tsar atau ruang politik Uni Soviet di abad ke-20, tapi menurut para ahli  itu tidak benar-benar mengubah budaya Ukraina, hanya tren perkembangan perpecahan seperti itu masih hidup di lingkaran mereka sendiri.

Mungkin akan banyak akan orang bertanya, bisakah Ukraina menentukan jalannya sendiri, bukan jalan AS atau negara mana pun, tetapi jalannya sendiri. Bisakah itu terjadi?

Dari sudut pandang pihak ketiga, Ukraina harus menempuh jalan mereka sendiri dan mempertahankan hubungan persahabatan yang relatif sama jaraknya dengan Barat dan Rusia atau bersikap relatif netral.

Ini demi kepentingan terbaiknya, tetapi itu tidak bisa dilakukan. Hal ini terutama pengaruh Barat di Ukraina dan pengaruh tim Rusia di Ukraina, terutama di kalangan elit, di kalangan intelektual, kita dapat melihat bahwa politisi yang mencalonkan diri semuanya pro-Barat, dan kurang pro-Rusia, karena kekuatan Barat lebih kuat dari Uni Soviet sejak Perang Dingin.

Rusia bahkan lebih lemah, hal ini ada hubungannya dengan latar belakang yang telah disebut diatas.

Menurut analis luar pertanyaan ini harus menjadi proses yang mengiringi pembangunan seluruh negara itu. Pada akhirnya, apakah mereka harus pergi ke timur atau barat, jika keduanya tidak memungkinkan, pergilah dengan cara mereka sendiri.

Karena secara historis, negara ini atau bangsa ini harus bertanya "ke mana mereka harus pergi?" pada saat yang sangat kritis, mereka akan menjadi apa? Ketika krisis Ukraina pecah pada tahun 2014, politisi Amerika Henry Kissinger dengan blak-blakan menasehati Barat. Dia merasa bahwa Ukraina harus menjadi jembatan antara Timur dan Barat, banyak analis yang pikir ini adalah pilihan yang lebih rasional.

Bahkan menurut teori politik internasional Barat, teori realisme adalah bahwa secara umum harus ada zona penyangga antara kekuatan-kekuatan besar. Sebagai contoh dan melihat sejarah Eropa. Keberadaan Belgia adalah negara penyangga. Secara historis, Prancis dan Jerman telah melakukan pertempuran yang tak terhitung jumlahnya.

Jika keadaan memburuk, Ukraina juga menjadi seperti ini. Dari perspektif ini, NATO terus berkembang ke arah timur, sehingga Rusia merasa tidak bisa lagi membiarkannya. Tetapi dalam hal Ukraina, jika kita melihat semua negara di dunia dari makro perspektif, baik itu suatu bangsa, negara atau wilayah, mereka seharusnya memiliki kedewasaan kolektif. Tapi tidak mudah untuk mencapai kedewasaan kolektif ini, jika ingin matang, harus dapat menerima dan mengolah berbagai saran, tetapi karena berbagai alasan dan berbagai kondisi, kadang tidak dapat menjadi matang.

Tampaknya Ukraina memang sudah menjadi inti yang sulit dipecahkan, baik diplomatik atau militer, hingga saat ini masalah tersebut belum terselesaikan dengan baik.

Selama ini telah dibentuk sejumlah mekanisme interaktif semacam itu di sekitar Ukraina untuk menyelesaikan krisis Ukraina, tetapi sejauh ini belum mencapai hasil apa pun. Menurut analis ada dua masalah di sini.

Masalah pertama bahwa pemerintah Ukraina, elitnya, tidak bersedia untuk menerapkan perjanjian seperti itu, karena perjanjian ini pada awalnya tidak menguntungkan bagi mereka, dan jika dipaksakan, itu akan menyebabkan kerusuhan domestik.

Masalah kedua, kita bisa melihat bahwa para pejabat AS terus mengatakan bahwa mereka mendukung untuk kembali ke kerangka Perjanjian Minsk untuk menyelesaikan krisis Ukraina, tetapi di belakang terus menghasut dan memprovokasi semua jenis masalah, yang juga membuat Ukraina merasa tidak nyaman. Para elit yang mandiri telah menciptakan beberapa peluang bagi mereka, sehingga mereka berharap untuk menarik AS dan membuatnya lebih bermanfaat bagi Ukraina. Ini adalah bagian dari diplomasi, jadi pada dasarnya sejauh ini menjadi  jalan buntu.

Faktanya, dari 2014 hingga 2015, ada perang lokal di Ukraina timur. Perang ini telah menunjukkan bahwa tidak ada prospek untuk menyelesaikan masalah ini dengan paksa, jadi apakah itu kekuatan atau diplomasi, jika ingin membuka situasi di Ukraina, Sejauh ini masih sangat sulit. Selain itu AS adalah negara ekstrateritorial dan tidak akan terasa sakit jika terjadi apa-apa di Ukraina.

Jadi apakah serbuan Rusia ke Ukraina kali ini, akankah menyelesaikan masalah atau bahkan akan menjadi masalahnya menjadi runyam... marilah kita lihat perkembangannya .....

Sebenarnya rakyat Ukraina dan Rusia masih saudara dan berteman, tidak ada kebencian di antara kedua kelompok etnis. Negosiasi untuk perang, kesalahpahaman akan berkembang yang membuat segalanya lebih buruk, mereka harus mencapai rekonsiliasi.

Sumber: Meida TV dan Tulisan Luar Negeri

https://russiancouncil.ru/en/analytics-and-comments/comments/eu-russia-relations-what-went-wrong/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun