Bagaimana AS dan Barat menggunakan komoditi pangan sebagai senjata menguasai dunia dan "menjajah" negara berkembang secara senyap tersamar? Bagi AS dan Barat bagaimana untuk bisa mengkontrol atau menguasai suatu negara, terutama negara dunia ketiga yang sedang berkembang, apakah dengan finasial, politik, atau kekuatan senjata? Tapi tampaknya yang paling efektif adalah dengan mengkontrol pangan.
Disini akan diulas tentang periode serangan pangan untuk kedelai yang kedua kepada Tiongkok, dalam tulisan ini akan dibahas mulai dari tahun 1994 yang dilakukan AS dan Barat dalam serangan pengontrolan pangan pokok paling berbahaya terhadap Tiongkok yang cukup seru.Â
Pada akhir cerita ini ada sesuatu yang kita mungkin tidak menyangka dan bahkan bisa mengejutkan.
Mungkin kisah ini bisa memberi suatu pembelajaran bagi kita sebagai negara yang sedang berkembangan, dimana kebutuhan dan pertahanan pangan (sembako) akan sangat penting untuk ketenangan dan kesejahteraan bagi rakyat kita dan perlu diwaspadai sangat mungkin dijadikan senjata oleh Barat dan AS untuk menguasai kita.
Mari kita mulai dengan apa yang disebutkan bantuan oleh AS.
Program bantuan pangan AS dimulai pada tahun 1954 sebagai sarana untuk membuang surplus pertanian (bijian terutama berupa kedelai, gandum) domestik AS yang mahal.
 Pada tahun itu, Kongres mengesahkan Undang-Undang Pengembangan dan Bantuan Perdagangan Pertanian, yang dikenal sebagai Hukum Publik 480. PL 480 yang memungkinkan "negara-negara sahabat" (negara sedang berkembang dan dunia ketiga) yang mengalami defisit pangan untuk membeli komoditas pertanian AS dengan mata uang lokal, sehingga menghemat cadangan devisa dan mengurangi surplus biji-bijian AS.
Di bawah PL 480, komoditas pertanian senilai hampir US$35 miliar telah dikirim ke luar negeri AS sejak 1955-1987an. Setengahnya adalah gandum dan tepung terigu. Selama akhir 1950-an dan awal 1960-an, nilai PL 480 mencapai sepertiga dari total ekspor pertanian AS.Â
Pada tahun 1987, bantuan pangan merupakan kurang dari lima persen dari semua ekspor pertanian. Kurang dari empat juta metrik ton produk gandum setiap tahun saat itu dikirim di bawah program ini, dibandingkan dengan puncaknya 15 juta metrik ton pada awal 1960-an.
Lebih dari 70 persen dari nilai semua pengiriman telah dalam bentuk penjualan konsesi antar pemerintah, sisanya hibah. Sebelum tahun 1972, makanan yang dipasok di bawah program ini dibayar dalam mata uang lokal.Â
Tetapi setelah AS mengumpulkan sejumlah besar mata uang yang tidak dapat dibelanjakannya, undang-undang tersebut diubah untuk memberikan perjanjian penjualan kredit jangka panjang yang dibayarkan dalam dolar atau dalam mata uang lokal, atas pilihan pemerintah AS.
Tetapi meskipun banyak upaya untuk memanipulasi bantuan pangan untuk mengamankan keuntungan kebijakan luar negeri, hanya ada sedikit bukti bahwa kebijakan bantuan pangan AS berhasil melayani kepentingan diplomatik AS.
Upaya untuk menggunakan makanan sebagai senjata menjadi lebih jelas setelah tahun 1969, karena "program bantuan pangan secara mencolok disusun kembali untuk melayani tujuan militer dan keamanan AS, pertama di Asia Tenggara dan kemudian di Timur Tengah." (mungkin kita masih ingat pada akhir zaman orla dan orba, dimana menu pokok sebagian dari kita yang berupa beras jagung dan sagu dirubah menjadi hanya beras dan terigu [yang tidak bisa dihasilka oleh kita]).
Pada tahun 1973, hampir setengah dari bantuan pangan AS pergi ke Vietnam Selatan dan Kamboja. Setelah kekalahan AS di Indocina, pengiriman makanan dialihkan ke Timur Tengah, dan Mesir muncul sebagai penerima terbesar alokasi PL 480, menerima lima kali lebih banyak daripada negara lain mana pun.
Bagi negara yang  menerima bantuan pangan, penyelesaian perhitungan diselesaikan dalam mata uang negara yang dibantu, tapi 25% dari hasilnya digunakan untuk transportasi dan pemasaran pangan bantuan, dan 75% diberikan kepada pemerintah yang dibantu dalam bentuk pembayaran atau hadiah, tetapi mereka harus tunduk pada pengawasan AS.
Untuk lebih jelasnya, baiklah kita ambil contoh dengan bantuan yang diberikan kepada negara Chili. Yang dijual di pasar dengan harga normal Chili. Setelah penjualan, 25% dari pendapatan akan digunakan untuk membayar transportasi dan biaya promosi pangan bantuan AS, dan 75% lainnya diberikan kepada pemerintah Chili. Kedengarannya tidak masalah dalam hal ini, tetapi ada dua perbedaan dalam implementasi kebijakan ini.
Yang pertama, jika gap kekurangan pangan Chili 2 juta ton, AS tidak hanya akan mengirim 2 juta ton ke Chili, tetapi 4 juta ton.
Yang kedua, pemasukan dari hasil penjualan dari bantuan pangan ini berada di bawah pengawasan AS. Jika Chili ingin menggunakan uang itu, harus mendapat persetujuan dari AS. Maka disinilah masalahnya.
Ini setara dengan AS yang menggunakan pasar Chili untuk mencerna produk pangannya (biji-bijian) AS sendiri, dan kemudian pada gilirannya menggunakan pendapatan dari pangan ini untuk mengendalikan pemerintah Chili, sementara produsen pangan Chili dengan cepat menjadi bangkrut di bawah dampak bantuan pangan AS yang berharga murah, yang berarti semakin memperdalam krisis pangan Chili. Sehingga pangan Chili makin menggantungkan bantuan pangan dari AS, yang juga berarti pertanian Chili sepenuhnya disandera.
Pemerintah Chili kemudian menyadari bahwa program bantuan pangan ini adalah perangkap kuda Troya yang lengkap. Yang lebih mengerikan adalah bahwa kejadian ini bukan contoh soal, tetapi pengalaman nyata di Chili.
Pada tahun 1972, karena perlawanan Presiden Chili Allende, AS mengendalikan kenaikan harga pangan di Chili, sehingga sejumlah besar devisa Chili digunakan untuk membayar bantuan ini, yang memicu inflasi.
Pada akhirnya, Allende terpaksa mundur dan bunuh diri di tengah gejolak sosial akibat kekurangan pangan.
Pinochet yang menjadi antek AS berkuasa. Setelah dia berkuasa, AS memulai kembali dengan bantuan pangannya.
Namun, uang penjualan bantuan pangan ini tidak jatuh ke tangan rakyat, melainkan dijual dengan harga tinggi oleh militer Chili, dan pendapatannya diputar untuk membeli senjata AS.Â
Dengan cara ini, AS mengesahkan undang-undang bantuan ini tidak hanya menstabilkan halaman belakang AS (Amerika Latin), tetapi juga mengekspor makanan dan amunisi, sehingga tindakan ini sama dengan membunuh tiga burung dengan satu batu.
Tentu saja, biayanya ditanggung oleh rakyat Chili, dan Chili bukanlah kasus yang tunggal. AS juga membantu ADM, Bunge, dan Cargill berturut-turut dengan cara yang sama untuk mengendalikan seluruh pasar produk biji-bijian AS, seperti cerita sebelumnya.
Tiongkok Menjadi Target
Maka setelah AS berhasil mengamankan halaman belakang dengan perang pangan, maka mereka selanjutnya fokus kepada negara dengan populasi lebih lebih dari 1 miliar di Asia --- Tiongkok.
Pada tahun 1974, pada Konferensi Pangan Dunia pertama dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB diadakan. Pada saat itu, para ahli Barat sampai pada kesimpulan bahwa "Tiongkok tidak akan dapat memberi makan 1 miliar orang rakyatnya." Jika ada celah, akan ada kesempatan bagi mereka.
Alasan utamanya Tiongkok bisa aman-aman adalah karena memberlakukan sistem kuota.
Saat itu Tiongkok menerapkan sistem kuota impor, misalnya permintaan kedelai di Tiongkok tahun ini 10 juta ton, dan output hanya 5 juta ton, maka otoritas impor dan ekspor akan memberikan kuota impor kedelai sebesar 4 juta ton untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Kesenjangan produksi kecil sebesar satu juta ton mendorong berlanjutnya ekspansi industri kedelai Tiongkok.
Sistem kuota ini dapat secara efektif mencegah masuknya barang-barang yang didanai asing dan melindungi industri dalam negeri. Di bawah perlindungan kuota inilah pertanian Tiongkok terus tumbuh, menggerakan roda sejarahnya.
Titik kunci terletak pada bergabungnya Tiongkok dalam WTO. Pada tahun 2001, Tiongkok bergabung dengan WTO dan ekonomi lepas landas dan industri meledak. Tetapi yang banyak tidak diketahui adalah bahwa Tiongkok telah mengajukan permohonan akses ke WTO dalam banyak hal sebelum tahun 2001, dan itu ditolak oleh AS.
Salah satu alasan penolakannya adalah Tiongkok harus menandatangani "China US Agriculture Cooperation Agreement" (Perjanjian Kerjasama Pertanian Tiongkok-AS). Menghadapi kesepakatan ini, Tiongkok dan AS telah terlibat dalam banyak konfrontasi. Dua masalah yang paling akut adalah:
Pertama, AS mengharuskan Tiongkok menghapus kuota kedelai dan produk pertanian lainnya.
Kedua, AS meminta Tiongkok mencabut embargo gandum AS.
Mengenai yang pertama, telah dituliskan di atas yang menyebutkan sebelumnya bahwa sistem kuota inilah yang membuat tiga pedagang biji-bijian utama AS keluar dari Tiongkok.
Mengenai yang kedua, Tiongkok melarang impor gandum AS karena gandum AS memiliki penyakit yang disebut "gandum hitam kerdil (dwaft bunt of wheat)". Penyakit ini merupakan penyakit menular gandum yang dapat menyebar melalui biji, tanah, dari tempat yang jauh jika ada embusan angin., yang dapat membawa virus ke tanah lain, dan sekali terinfeksi sulit diberantas, virus akan bertahan di tanah selama beberapa dekade.
Gandum yang terinfeksi penyakit ini akan menghasilkan bau busuk dan menggumpal yang mempengaruhi hasil panen. Alasan AS mempromosikan gandum yang berpenyakit ini, Â karena berdasarkan penelitian mereka menunjukkan bahwa gandum yang terinfeksi dwarf bunt tidak akan membahayakan manusia saat dikonsumsi setelah diproses.
Masalah Perdagangan/Pertikaian Kedelai
Tiongkok dan AS telah terlibat dalam beberapa perdebatan dan konfrontasi tentang masalah kuota kedelai dan masalah impor gandum AS. Pada akhirnya, Tiongkok harus melepaskan konfrotasi ini karena ingin bergabung dengan WTO.
Pada tahun 1994, perjanjian kerja sama Tiongkok-AS ditandatangani, pasar gandum Tiongkok dibuka, dan akibatnya perlindungan beras Tiongkok seluas "1,8 miliar mu berada dalam garis merah" (1 mu=666,5 meter persegi), yang merupakan makanan pokok rakyat Tiongkok, tapi beruntung tidak mendapat banyak terdampak. Tapi untuk kedelai jelas tak terelakkan.
Pada tahun 1994, perjanjian kerjasama pertanian Tiongkok-AS ditandatangani, pasar gandum Tiongkok dibuka, sistem kuota kedelai dihapuskan, dan tarif diturunkan menjadi hanya 3%.
Pada tahun 1995, Monsanto AS mengembangkan varietas kedelai rekayasa genetika komersial pertama di dunia yang diberi nama kedelai GTS 40-3-2. Hasil tinggi kedelai GTS 40-3-2 semakin memperluas industri kedelai di AS dan Amerika Selatan. Pada tahun itulah AS mengambil kesempatan untuk mensubsidi penanaman kedelai jenis ini dalam skala besar.
Subsidi ini membuat harga kedelai AS jauh lebih rendah daripada harga kedelai domestik Tiongkok.
Sekarung kedelai rekayasa genetika yang ditanam di bagian tengah AS dan kemudian diangkut dengan kereta api ke pelabuhan Los Angeles, dimuat di kapal barang melintasi Samudra Pasifik, dan akhirnya tiba di pelabuhan Dalian, Shandong, Tiongkok, harga masih lebih murah setengah dari kedelai produksi lokal Tiongkok.
Menghadapi subsidi predator seperti itu, Tiongkok mengajukan protes ke WTO, tetapi WTO tidak menerimanya, akibatnya pasar kedelai Tiongkok dijarah oleh tiga pedagang biji-bijian utama AS (ABCD).
Mulai tahun 2003, Tiongkok telah mengimpor kedelai rekayasa genetika Monsanto selama 18 tahun berturut-turut hingga saat ini. Kedelai masih mengalir ke Tiongkok dalam aliran yang stabil hingga saat sekarang.
Padahal seratus tahun yang lalu, Tiongkok adalah pengekspor kedelai terbesar di dunia. Dari Periode Negara-Negara Berperang (tahun 475-221 SM) hingga Dinasti Qing (tahun 1636-1912), Tiongkok selalu menjadi produsen kedelai terbesar di dunia. Kedelai tidak sesederhana dan seintuitif beras dalam kehidupan orang Tiongkok, tetapi produknya terus menyusup ke dalam kehidupan orang Tiongkok.
Selama Perang Tiongkok-Jepang tahun 1894-1895, kedelai adalah barang ekspor terpenting Tiongkok sebelum Perang Tiongkok-Jepang. Jepang dan Asia Tenggara sama-sama negara pengimpor. Pada saat itu, kedelai masih belum menyebar ke Barat. Dari tahun 1890 hingga 1900, produksi kedelai Tiongkok menyumbang seluruh sekitar 87% dari dunia, mengingat latar belakang era ini, pemerintah Qing masih ada, dan seluruh Tiongkok sedang berubah melemah.
Hari ini, seratus tahun kemudian, 90% kedelai Tiongkok diimpor. Tiongkok telah berubah dari eksportir terbesar menjadi importir terbesar.
Tetapi apakah kedelai adalah akhir dari pertempuran untuk makanan di pasar?
Tidak, seperti perjanjian yang tidak setara dari Delapan Kekuatan Sekutu seratus tahun yang lalu (Perjanjian Nanking yang sangat merugikan Tiongkok tahun 1842), itu hanya untuk agresi lebih lanjut.
Hari ini, seratus tahun kemudian, empat pedagang biji-bijian utama AS dan Barat ABCD menduduki pasar kedelai hanya untuk membuka jalan bagi langkah berikutnya.
Mereka (AS dan Barat) menginginkan lebih dari sekadar kedelai, tetapi menginginkan kedelai sebagai tumpuan untuk merebut seluruh pasar biji-bijian di Tiongkok, jadi perang makanan pokok secara diam-diam dan besar dimulai di Pasifik.
Pada bulan Agustus 2003, Departemen Pertanian AS tiba-tiba mengeluarkan pernyataan untuk mengurangi stok kedelai ke level terendah selama 20 tahun karena alasan cuaca. Saat itu, masih ada kurang dari sebulan sebelum kedelai AS dipasarkan, yang berarti output kedelai akan berkurang, dan faktor waktu membuat industri kedelai tidak dapat menemukan sumber impor lain untuk saat itu. Akibatnya, harga kedelai meroket.
Pada saat itu, spekulan/pemangsa di Wall Street digerakkan oleh angin spekulan keuangan internasional ini membangun sejumlah besar posisi dan berspekulasi pada saham, sehingga harga kedelai telah mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Seberapa tinggi lonjaka harga saat itu?
Pada bulan Agustus 2003, sebelum Departemen Pertanian AS mengumumkan, harga kedelai di Tiongkok adalah RMB 2.300 per ton. Pada bulan Maret 2004, harga di Tiongkok menjadi RMB 4.400 per ton, merupakan rekor tertinggi.
Melonjaknya harga kedelai membuat perusahaan minyak dalam negeri Tiongkok resah, namun mereka memilih untuk berdiam diri mengingat intervensi harga pemerintah AS.
Pada Maret 2004, Departemen Pertanian AS mengumumkan bahwa produksi kedelai tidak akan meningkat tahun itu. Saat itu, perusahaan minyak dalam negeri Tiongkok mulai panik. Ditambah dengan spekulasi gila spekulan internasional saat itu, kedelai kemungkinan akan melonjak melebihi RMB 5.000 atau bahkan RMB 6.000 yuan per ton.
Untuk memastikan ketersediaan kedelai yang cukup untuk mempertahankan operasi, perusahaan minyak dalam negeri Tiongkok mulai buru-buru membeli kedelai.
Pada bulan Maret 2004, para pedagang minyak Tiongkok secara kolektif mengumpulkan modal dan mengimpor pada rekor tertinggi dalam sejarah dengan RMB 4.300 yuan per ton, mengimpor hampir 8 juta ton kedelai.
Tetapi pada April 2004, kurang dari sebulan setelah perusahaan minyak kedelai Tiongkok mengumpulkan modal kolektif untuk membeli kedelai, Departemen Pertanian AS tiba-tiba meningkatkan produksi dan meningkatkan stok kedelai. Sebelum perusahaan-perusahaan minyak Tiongkok bereaksi, para spekulan internasional dengan harga tinggi sebelumnya telah berspekulasi dengan sengit, dan segera mulai menjual habis kedelainya.
Seperti diketahui pada bulan Maret 2004, perusahaan minyak Tiongkok membeli lebih dari 8 juta ton kedelai dengan harga tertinggi RMB 4.300 yuan. Dalam dua bulan, kedelai turun menjadi RMB 2.200 yuan per ton. Modal perusahaan minyak Tiongkok berubah dari keuntungan kecil menjadi kerugian besar. Untuk perbedaan harga ini, perusahaan minyak Tiongkok harus memilih untuk default dan membatalkan kiriman kedelai mahal ini. Muatan kedelai di kapal kargo kelas Panama adalah 50.000 hingga 80.000 ton perkapal.
Menurut perjanjian, jika terjadi pembatalan kontrak membutuhkan kompensasi RMB 2.000 yuan, satu kapal akan menelan biaya lebih dari RMB 100 juta yuan, dan perusahaan minyak Tiongkok telah terburu-buru untuk membeli 8 juta ton, yang berarti bahwa kompensasi untuk 100 muatan penuh Kapal Panama mendekati RMB 10 miliar yuan.
Selain itu, empat pedagang biji-bijian utama yang dipimpin oleh ABCD juga mengambil kesempatan untuk menuntut perusahaan minyak kedelai Tiongkok atas pelanggaran kontrak dan mengajukan klaim tambahan hingga US$ 6 miliar setara dengan lebih dari RMB 40 miliar yuan.
Menggunakan alasan ini  maka gabungan pedagang biji-bijian internasional lainnya mengunci (menutup) perusahaan Tiongkok dan melarang ekspor kedelai ke perusahaan Tiongkok.
Insiden kedelai ini menyebabkan industri pengolahan kedelai dalam negeri Tiongkok merugi, dan lebih dari 1.000 perusahaan penghasil (pabrik) minyak kedelai di Tiongkok bangkrut, kecuali beberapa perusahaan minyak kedelai yang berlatar belakang BUMN.
Selain itu, 90% dari perusahaan yang tertekan dibeli oleh empat pedagang biji-bijian utama ABCD dan investor asing lainnya dengan harga murah. Selain kerusakan industri pengolahan, lonjakan harga kedelai menyebabkan petani kedelai di daerah Timur Laut Tiongkok memperluas tanaman kedelai mereka di tahun kedua, tetapi dengan jatuhnya harga menyebabkan banyak petani kedelai merugi.
Industri penanaman kedelai Tiongkok ini juga dilebur (diambil alih) oleh empat pedagang besar biji-bijian  ABCD dengan harga murah, peristiwa ini sangat  merugikan Tiongkok.
Sebelum tahun 2004, hanya bahan baku kedelai yang perlu diimpor dari AS dan rantai industri hulu dan hilir lainnya dikuasai oleh aset milik negara. Namun, setelah tahun 2004, seluruh industri kedelai Tiongkok hancur dan hampir seluruhnya diambil alih asing.
Berdasarkan informasi publik setelah krisis kedelai 2004 bahwa empat pedagang biji-bijian utama ABCD berhasil mengendalikan 85% dari industri kedelai Tiongkok, namun jika diperhitungkan dengan industri terkait yang dikontrol ABCD tidak langsung maka pangsa industri kedeleai Tiongkok yang dikuasai mereka tidak kurang dari 90%.
Dari pasar bahan baku minyak pengolahan kedelai dari hulu dan pertengahan hingga hilir penggunaan produksi minyak kedelai telah tertekan oleh empat pedagang biji-bijian utama ABCD, mereka sudah dapat mengendalikan secara mutlak atas seluruh rantai industri ini.
Situasi ini masih terus berlangsung sampai hari ini. Selain itu, empat pedagang biji-bijian utama menggunakan perusahaan pengolah kedelai mereka sendiri untuk membeli hanya kedelai rekayasa genetika (GTS 40-3-2 ) yang hak patennya mereka pegang sendiri, memaksa petani kedelai Timur Laut Tiongkok untuk menanam kedelai GTS 40-3-2 jika ingin dibeli mereka produknya, sehingga petani Tiongkok bagaimana pun harus bayar biaya hak paten.
Namun setelah ini semua telah dikuasai pedagang biji-bijian utama ABCD, mareka masih belum puas dan meninginkan lebih.
Oleh karena itu, pada tahun 2005, empat pedagang biji-bijian utama ini memperhatikan pada cabang-cabang perdagangan tua dan mulai menggarap gandum. Pada tahun 2005, tiba-tiba tersebar kabar untuk industri pedagangan biji-bijian internasional bahwa ada kesenjangan pangan global puluhan juta ton, sehingga harga berbagai makanan pokok melonjak.
Dari Desember 2005 hingga Juli 2008, harga gandum dalam perdagangan biji-bijian internasional naik dari US$ 291 menjadi US$ 1.334 perton, hampir lima kali lipat.
Harga jagung naik tiga kali lipat dari US$ 185 menjadi US$ 758. Masuk akal bahwa lonjakan internasional akan meningkatkan ekspor domestik dan secara tidak langsung mendorong lonjakan harga domestik.
Tapi kali ini mereka menemukan ada yang tidak beres. Dari tahun 2005 hingga 2008, empat pedagang biji-bijian utama dan spekulan internasional dengan panik membeli gandum dan jagung dengan harga tinggi, yang menyebabkan seluruh pasar meroket dan pasar gandum internasional meningkat lima kali lipat. jagung tiga kali lipat.
Namun, gandum di pasar Tiongkok hanya naik 0,7 kali dari RMB 1400 yuan menjadi sekitar RMB 2000, dan jagung juga naik hanya 0,7 kali, hal yang sangat aneh.
Hanya ada satu alasan untuk ini: Tiongkok mulai menggunakan depot stok biji-bijian nasional untuk menjual cadangannya. Pedagang biji-bijian internasional terburu-buru untuk membeli dan menjual sebanyak stok di depot biji-bijian nasional Tiongkok dengan harga tinggi.
Dari tahun 2005, Tiongkok melempar stok sekali setiap sepuluh hari atau setengah bulanan hingga tahun 2007, dan menjadi sekali setiap minggu di tahun 2007, dan kemudian melempar stok sekali setiap satu atau dua hari di tahun 2008.
Kali ini, empat pedagang besar gandum dan spekulan internasional bingung, jika mereka tidak terus menggoreng, jagung dan gandum yang mereka jarah sebelumnya tidak akan terjual, dan stok akan jatuh ke tangan mereka sendiri.
Tetapi jika mereka terus menggoreng dengan harga tinggi, mereka tidak dapat mengetahui berapa banyak yang masih dimiliki stok depot biji-bijian nasional Tiongkok.
Hasil dari perang makanan pokok ini adalah bahwa empat pedagang biji-bijian utama dan negara spekulan semuanya melarikan diri dan kehilangan ratusan miliar dolar, sementara harga gandum dan jagung di Tiongkok menjadi tenang dan stabil.
Pada saat empat pedagang biji-bijian utama mundur, Cadangan Biji-bijian Tiongkok menyatakan di pasar internasional bahwa "Cadangan Tiongkok adalah 100 juta ton, yang cukup untuk dimakan semua orang Tiongkok selama setahun. Siapa pun yang berspekulasi tentang makanan pertama-tama akan mempertimbangkan apakah mereka sanggup memakan 100 juta ton."
Setelah kejadian ini, harga gandum Tiongkok telah dikendalikan oleh Tiongkok sendiri, dan makanan pokok telah berada ditangan Tiongkok sendiri. Kemudian tujuan Tiongkok adalah merebut kembali industri kedelai.
Pada tahun 2008, krisis keuangan melanda dunia, dan biji-bijian global jatuh ke dalam palung. Tiongkok mengambil kesempatan untuk memesan kedelai dan minyak kedelai dalam jumlah besar. Pada saat yang sama, mereka menetapkan harga perlindungan pangan, menetapkan bahwa dalam negeri Tiongkok harga pembelian pangan akan selalu lebih tinggi dari pasar internasional.
Hal ini untuk melindungi kelangsungan hidup dan pemeliharaan petani Tiongkok, setelah ini, bahkan jika sebagian besar industri dikendalikan oleh empat pedagang biji-bijian utama, depot biji-bijian nasional Tiongkok dapat menggunakan cadangan kedelainya untuk menyeimbangkan empat pedagang biji-bijian utama dan mencegah mereka menggunakan kedelai untuk menyerang industri biji-bijian lainnya.
Pada tahun 2016, Kementerian Pertanian Tiongkok mengeluarkan Rencana Penyesuaian Struktur Industri Perkebunan Nasional. Laporan ini menyebutkan bahwa luas tanam kedelai di Tiongkok akan ditingkatkan menjadi 140 juta mu, meningkat 40%, dan meningkat secara bertahap setiap tahun untuk mengurangi proporsi impor kedelai rekayasa genetika Monsanto, dan untuk menjamin produksi kedelai Tiongkok.
Mengapa tiba-tiba Tiongkok meningkatkan produksi kedelai pada tahun 2016? Karena pada tahun 2016, hasil tahunan per mu padi tanam musim ganda di Hunan melebihi 1.537 kilogram, memecahkan rekor dunia. Inilah mengapa Tiongkok dapat menghemat lebih banyak lahan untuk mendapatkan kembali kendali atas kedelai.
Tokoh pengembang beras musim ganda Tiongkok Selatan yang memecahkan rekor ini adalah Yuan Longping. Orang yang membuat pekerjaan Tiongkok tetap stabil juga berpartisipasi dalam pertempuran pertahanan diri industri kedelai Tiongkok di tempat-tempat di mana kita tidak dapat melihatnya.
Dia telah berturut-turut memenangkan lebih dari 20 penghargaan internasional dan domestik seperti National Invention Special Award, National Highest Science and Technology Award pertama, dan "World Food Award", dan terpilih sebagai akademisi asing dari American Academy of Sciences.
Beras hibrida yang ia temukan, yang disebut "Beras Ajaib Oriental" oleh para ahli Barat, meningkatkan hasil lebih dari 20% daripada beras konvensional. Peningkatan hasil beras hibrida setiap tahun dapat memberi makan 70 juta lebih banyak orang, sehingga secara fundamental memecahkan masalah Masalah Kesulitan makan orang Tiongkok.
Saat ini, padi hibrida telah dipromosikan ke lebih dari 20 negara dan wilayah di seluruh dunia, tidak hanya memberikan kontribusi luar biasa untuk mengatasi suhu dan kejenuhan rakyat Tiongkok dan memastikan ketahanan pangan nasional, tetapi juga mendirikan monumen perdamaian dunia dan kemajuan sosial.
Sumber: Media TV dan Tulisan Luar Negeri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H