Mohon tunggu...
Sucahya Tjoa
Sucahya Tjoa Mohon Tunggu... Konsultan - Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Bagaimana Masa Depan Hubungan AS-Tiongkok pada Era Presiden Biden?

21 Januari 2021   18:40 Diperbarui: 22 Januari 2021   08:57 1247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suber: Sumber: www.abc.net.au

AS pada 20 Januari ini sudah beralih antara presiden baru dan presiden lama, bagaimana masa depan hubungan AS-Tiongkok? Hal ini mau tidak mau akan menjadi perhatian dunia, mengingat ini adalah kelompok hubungan yang sangat penting antara kekuatan besar di dunia.

Namun sebelum pelantikan resmi dilakukan terlihat kericuhan telah terjadi, satu partai mengumumkan bahwa mereka terpilih sebagai presiden, dan partai lainnya mengumumkan tidak akan mengakui karena merasa ada kecurangan. Hal ini sebanarnya adalah masalah umum dalam apa yang disebut sistem demokrasi negara-negara dunia ketiga.

Tetapi kini, itu benar-benar terjadi di AS, dan dulu negara-negara Barat selalu mengirimkan pengamatnya sendiri ke negara-negara dunia ketiga jika terjadi kericuhan demikian, untuk segera menyelidiki kebenarannya. 

Namun, kali ini, situasi ini justru muncul di AS, negara sebagai mercusuar demokrasi yang sistemnya banyak dianut dan ditiru oleh negara-negara dunia ketiga.

Oleh karena itu, negara-negara Barat masih melanjutkan standar ganda yang mereka kuasai. Alih-alih mengirimkan apa yang disebut pengamat, mereka telah mengumumkan bahwa Biden telah terpilih.

Salah satu alasan pentingnya adalah bahwa banyak sekutu AS telah lama mengeluhkan dengan gaya diplomatik "kekanak-kanakan" Trump yang tidak dapat diprediksi. Semua orang mengharapkan pengunduran diri Trump lebih awal.

Selama Trump bisa mundur cepat lebih baik dari apa pun, sehingga hampir semua negara Barat memberi selamat kepada Biden cepat-cepat atas hasil pemilihannya.

Demikian juga dengan Tiongkok Presiden Xi juga telah mengirim selamat kepada Biden. Mungkin ini salah satu yang juga sangat diharapkan oleh Biden.

Suber: Sumber: www.abc.net.au
Suber: Sumber: www.abc.net.au

Meskipun Biden belum resmi menjabat, media AS berspekulasi bahwa Biden mungkin akan dipaksa dengan tekanan dari Partai Demokrat untuk terus mengadopsi kebijakan yang keras terkait isu Tiongkok.

Lalu muncul spekulasi di dunia luar, seperti apa kebijakan terhadap Tiongkok yang akan dirumuskan Biden? Biden sendiri mengungkapkan beberapa pandangan utamanya tentang kebijakan Tiongkok dalam wawancara dengan "The New York Times" pada 2 Desember waktu setempat, yang utamanya melibatkan tiga aspek.

Pertama, Biden percaya bahwa strategi terbaik terhadap Tiongkok adalah bersatu dengan sekutu bersama-sama dalam berurusan dengan Tiongkok. 

Dia berkata, "Bagi saya dalam beberapa minggu pertama masa kepresidenan, saya akan bekerja keras untuk membawa kita dan sekutu kita kembali ke front yang sama. Ini akan menjadi prioritas utama saya."

Antony Blinken, calon Menteri Luar Negeri yang dicalonkan oleh Biden, juga mengatakan, "Kita tidak bisa menyelesaikan semua masalah dunia sendirian. Kita perlu bekerja sama dengan negara lain dan kita membutuhkan kemitraan mereka."

Yang kedua tentang perang dagang Tiongkok-AS, Biden mengatakan bahwa setelah menjabat, akan melakukan review komprehensif terhadap kesepakatan yang ada antara AS dan Tiongkok.

Kemudian konsultasikan dengan sekutu tradisional AS di Asia dan Eropa, sehingga "kita dapat mengembangkan strategi yang koheren."

Dia berkata, "Saya tidak akan segera mengambil tindakan apa pun, sama halnya dengan tarif. Saya tidak akan mengambil tindakan dengan berprasangka buruk."

Kemudian dia mengatakan bahwa tujuannya adalah untuk menerapkan hak kekayaan intelektual yang dapat secara efektif mengekang apa yang disebut "perilaku Tiongkok", produk-produk dumping, subsidi ilegal, dan yang memaksa perusahaan AS untuk mentransfer teknologi dan sebagainya. Kemudian dia mengatakan bahwa tindakan harus diambil untuk secara efektif mengekang perilaku semacam ini.

Ketiga, dia berkata, "Untuk bisa lebih bersaing dengan Tiongkok, kita (AS) membutuhkan semacam pengungkit. Pengungkit semacam ini mengharuskan kita membentuk konsensus lintas partai untuk mempromosikan industri tertentu yang digunakan AS di masa lalu, yaitu skala besar yang dipimpin pemerintah berinvestasilah dalam infrastruktur R&D dan pendidikan sehingga kita dapat bersaing dengan lebih baik dengan Tiongkok daripada hanya mengeluh tentang Tiongkok. "

Jadi kita bisa melihat Biden secara terbuka mendukung penerapan kebijakan industri, yang sama sekali berbeda dari pendapat beberapa ekonom liberal di negara Tiongkok.

Selain itu, Biden sendiri dan anggota inti timnya baru-baru ini membahas kebijakan luar negeri dan kebijakan terhadap Tiongkok yang mungkin diadopsi Biden dalam berbagai kesempatan tentang segala hal. Pandangan mereka secara kasar dapat diringkas sebagai poin-poin sebagai berikut.

Pertama, urusan internal yang utama dan kemudian baru urusan diplomasi. Setelah Biden menjabat, dia harus memperhatikan banyak masalah domestik terlebih dahulu termasuk pencegahan dan pengendalian pandemi, pemulihan ekonomi dan sebagainya.

Kedua, AS harus terus memimpin dunia untuk kembali ke WHO, Perjanjian Iklim Paris, Perjanjian Nuklir Iran, dan sebagainya.

Ketiga, AS harus memulihkan hubungan dengan sekutunya untuk menghadapi Tiongkok, AS akan memperkuat kerja sama dengan sekutu tradisional, termasuk sekutu di Eropa dan Asia ini. Yang lainnya adalah fokus untuk bersaing dengan Tiongkok di bidang ideologis dan teknologi tinggi.

Keempat, hubungan AS-Tiongkok akan didasarkan pada persaingan, tetapi juga akan ada kerja sama di beberapa bidang. AS akan melakukan dialog dengan Tiongkok, termasuk membangun kembali mekanisme dialog bilateral.

Jadi, Tiongkok dan AS masih memiliki ruang untuk kerja sama dalam pencegahan dan pengendalian pandemi dan perubahan iklim.

Kemudian mantan Assistant Secretary of State Asia Group Chief Executive Kurt Campbell, seperti yang dia paparkan, irama kedua negara akan menjadi persaingan di masa depan.

Sumber: theaustralian.com.au
Sumber: theaustralian.com.au
Kabarnya presiden terpilih AS Joe Biden akan menunjuk Kurt Campbell sebagai tsar Asia di Gedung Putih. Campbell dinilai pengamat cerdas, hawkish, tangguh, operator yang hebat, pemikir yang mendalam.

Dia adalah pemikir kebijakan yang paling berpengaruh di Asia di seluruh Partai Demokrat selama generasi sebelumnya.

Penunjukannya adalah sinyal yang meyakinkan bagi sekutu AS di Asia - dan pesan yang kuat untuk Beijing.

Dia tidak mendukung pelunakan terhadap Tiongkok tetapi merupakan pendukung berpikiran keras untuk bekerja sama dengan Beijing jika memungkinkan dan bersaing serta berkonfrontasi jika perlu.

Dia adalah seorang juara aliansi dan secara konsisten berusaha untuk membingkai kebijakan AS di sekitar sekutu, kekuatan keras dan keterlibatan diplomatik.

Campbell adalah diplomat Asia teratas Departemen Luar Negeri - asisten menteri luar negeri untuk urusan Asia Timur dan Pasifik - dalam masa jabatan pertama Barack Obama.

Tetapi bagi Tiongkok, mereka dalam proses ini perlu menjaga persaingan antara kedua negara dalam keadaan stabil, yang disebut persaingan stabil (Stable Competition).

Namun setelah Biden menjabat, bagaimana hubungan AS-Tiongkok akan mengarah? Masih ada beberapa faktor yang tidak pasti, kiranya sebaiknya kita tunggu sebentar dan tunggu sampai Biden dan timnya benar-benar dalam kondisi kerja sebelum kita membahasnya secara detail.

Tantangan Bagi Pemerintahan Biden

Menurut pengamat ada 3 tantangan yang dihadapi Biden pada hari ini, yang dapat diibaratkan sebagai tiga gunung besar yaitu: pertama adalah perpecahan domestik, yang kedua adalah ketidaktaatan para sekutu, dan yang ketiga adalah masalah dengan Tiongkok.

Pertama-tama, adanya perpecahan dalam negeri. Di permukaan, Biden akhirnya memenangkan pemilu, tetapi dia adalah presiden yang lemah menurut menurut pengamat dunia luar.

Hal ini jika dilihat dari jumlah suara yang diperoleh dalam pemilu lalu, Biden telah mendapatkan 81,26 juta suara per 4 Desember, lebih banyak dari presiden manapun dalam sejarah AS.

Namun Trump juga mendapatkan 74,21 juta suara, lebih tinggi dari jumlah suara yang dia terima saat dia terpilih pada 2016. Terlihat fundamental Trump masih cukup kokoh.

Menurut jajak pendapat yang dilakukan oleh University of Chicago, 76% pemilih AS telah lama memikirkan siapa yang akan dipilih. Hanya 19% yang membuat keputusan selama kampanye, dan hanya 5% yang memanfaatkannya hingga beberapa hari sebelum pemungutan suara. Itu keputusan yang bagus.

Dengan kata lain, lebih dari tiga perempat orang AS telah lama membentuk pola pikir. Dan pemilihan, pidato, dan propaganda kedua belah pihak selama periode pemilihan tidak berpengaruh pada sebagian besar pemilih.

Dengan kata lain, perpecahan masyarakat AS saat ini sangat dalam dan sulit untuk diubah.

Hal ini juga tercermin dari suprastruktur negara. Meskipun Demokrat telah memenangkan DPR, mereka masih kehilangan beberapa kursi. Mahkamah Agung juga didominasi oleh kaum konservatif, dan Partai Republik lebih kuat di badan legislatif negara bagian.

Menurut pandangan pengamat semua ini kiranya akan menghambat pemerintahan Biden dan membuatnya sulit dalam urusan dalam dan luar negeri. Maka mungkin tidak mudah bagi AS untuk membentuk konsensus lintas partai dan bekerja sama untuk mempromosikan reformasi dan pembangunan AS.

Jika ada terobosan besar dalam politik luar negeri, itu juga akan menghadapi banyak tantangan. Jika kita membaca artikel di "The Economist" dan penulisnya juga sangat pesimis, dia mengatakan bahwa masalah yang dapat disepakati kedua belah pihak di AS mungkin tidak akan melebihi belanja infrastruktur. (03/10/2020).

Bahkan stimulus finansial untuk pandemi masih menjadi perselisihan antara kedua pihak dan belum mencapai kesimpulan.

Oleh karena itu, ciri khas AS adalah terbagi ke dalam kelompok-kelompok yang berbeda, pihak-pihak yang berbeda berperang, dan orang-orang dengan identitas berbeda saling berperang.

Persatuan sosial telah lenyap. Di belakangnya adalah demokrasi Amerika. Atau bahkan bisa disebutkan demokrasi konfrontatif a la AS. Konsekuensinya tak terelakkan dari politik demokratis semacam ini adalah bahwa setiap politisi harus menghasut massa untuk melawan massa, dan setiap orang semakin bertindak ekstrem. (Bagaimana dengan demokrasi kita pada pilkada dan pemilu yang lalu?)

Demokrasi AS terus semakin memburuk, dan tidak melihat solusi, tetapi pengamat berpikir bahwa Trump benar-benar ingin melakukan reformasi. Dia telah melihat banyak masalah di AS, tetapi dia memberikan resep yang salah. Dia bahkan tidak memiliki bakat yang dibutuhkan untuk reformasi. Dia lebih seperti anak beruang (kekanak-kanakan). Setelah empat tahun berkuasa, dia meninggalkan dengan banyak masalah dan AS yang lebih terbelah atau terpecah.

Ketika Trump berkuasa, dia juga mengatakan akan melakukan banyak pembangunan infrastruktur dan memulihkan manufaktur. Beberapa perusahaan domestik juga sangat bersemangat saat itu dan mengatakan mereka akan kembali ke AS untuk melakukan pekerjaan. 

Sekarang semua orang tahu bahwa Partai Republik dan Partai Demokrat AS tidak memiliki kemampuan mengintegrasikan sosial AS, tidak ada kemampuan me-reformasi sistem, dan tidak ada pemimpin visioner. Berbagai manfaat langsung terjalin dan berbagai sistem menjadi beku dan kaku.

Baca: Mengapa AS Susah Melakukan Reformasi Konstitusi?

Oleh karena itu, setiap rencana dan slogan yang dikemukakan oleh para pemimpin AS saat ini mungkin hanya merupakan rencana dan slogan (wacana), dan tidak diketahui berapa banyak yang akan terpenuhi atau bisa terlaksana pada akhirnya.

Jadi berbagai slogan dan rencana Biden, sebaiknya kita biarkan seperti peluru terbang untuk sementara waktu.

Kedua, para sekutu AS sudah pada tidak patuh, terpilihnya Biden akhirnya melegahkan beberapa sekutu AS di Eropa dan Asia.

Jadi dalam empat tahun terakhir, Trump telah membuat marah hampir semua sekutunya. Dia menggunakan tarif dan sanksi lainnya, tidak hanya menargetkan Tiongkok juga menargetkan semua sekutunya, dalam hal ini dia bisa menghabiskan banyak uang, sama seperti berapa banyak uang yang bisa dia belanjakan, bahkan terus menarik diri dari grup.

Belum lama ini, ketika Biden memperkenalkan kabinetnya mengatakan, "Tim kami mencerminkan fakta bahwa AS akan 'kembali'. Kami siap memimpin dunia, bukan untuk mundur dari dunia. Kami siap bersaing dengan lawan kami, merangkul sekutu kami dan siap untuk mempertahankan nilai-nilai kami"

Namun, keadaan sulit yang dihadapi AS saat ini adalah hati rakyat yang terbelah-belah dan tim yang tidak mudah untuk memimpin. Dominasi AS dalam menanggapi sekutu telah lama hilang.

Jika AS akan kembali ke Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) hari ini, kembali ke "Perjanjian Iklim Paris" dan seterusnya, dan juga ingin mencari kepemimpinan, akankah semua pihak mau menerimanya? Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa begitu kredibilitas suatu negara hilang, mereka mungkin tidak dapat pulih selama bertahun-tahun.

Selain itu, internal UE telah menjadi semakin kompleks, dengan berbagai kontradiksi dan konflik antara UE dan negara anggotanya, dan antara pemerintah dan perusahaan.

Belum lama ini, kita bisa melihat bahwa para petinggi Perancis dan Jerman sedang bertempur sengit atas isu NATO. Menteri Luar Negeri Jerman percaya bahwa Eropa akan selalu membutuhkan perlindungan dari AS, sementara Presiden Perancis Macron membalas bahwa Eropa membutuhkan kemandirian. Macron juga mengatakan bahwa NATO telah "mati otak".

Berkenaan dengan teknologi 5G Huawei, Jerman belum mau mengikuti AS, dan Inggris memiliki banyak keberatan untuk mengikutinya.

Faktanya, negara-negara Eropa sangat jelas bahwa sebenarnya mereka lebih mengutamakan kepentingan mereka sendiri. 

Mereka memiliki rencana mereka sendiri dalam hal kebijakan Huawei, dan Perjanjian Investasi Tiongkok-UE akan membuahkan hasil.

Jadi jika Eropa melewatkan kesempatan ini, banyak pengamat berpikir bahwa itu tidak hanya akan merusak kepentingan Tiongkok, tetapi juga kepentingan Eropa di seluruh RCEP.

Sekutu AS di Asia juga tidak dapat diandalkan. Seorang pakar Amerika, David Goldman, menulis bahwa "Filipina secara sepihak menarik diri dari perjanjian pertahanan bersama dengan AS pada Februari 2020. Ketika sekutu tertua Asia pergi ke sisi lain, kita harus bertanya pada diri sendiri apa yang terjadi? "

Maka penandatanganan RCEP menjadi tonggak penting, banyak dari anggota RCEP adalah sekutu AS. Misalnya Jepang dan Korea Selatan, tetapi semua pihak tahu bahwa Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan selalu ingin menciptakan zona perdagangan bebas. Perekonomian ketiga negara itu sudah lama terkait erat. Masing-masing pihak sudah berkaitan erat dalam untung dan rugi. Tapi AS selalu menghalanginya.

Tapi dengan AS menghadapi pandemi Covid-19 dan pemilu yang menggoncang masalah dalam negerinya, sehingga kurang ada kesempatan untuk menghalangi penanda tanganan kesepakatan integrasi ekonomi Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan.

Oleh karena itu, Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan telah mampu mencapai suatu bentuk kawasan perdagangan bebas Tiongkok-Jepang-Korea Selatan di bawah kerangka RCEP. Hal ini sangat penting dalam kawasan perdagangan bebas yang tidak didominasi Barat.

Selama ini kita tahu Kawasan Perdagangan Bebas Amerika Utara atau Integrasi Uni Eropa, mereka tidak pernah melibatkan Asia, ini adalah hubungan internasional dan sistem internasional yang tidak setara selama ini.

Jadi RCEP justru menghilangkan ketimpangan ini untuk pertama kalinya negara-negara Asia memiliki kesadaran pada tubuh sendiri, kesadaran kolektif bahwa kita adalah Asia, yang harus menjadi lebih menonjol. Ini adalah zona perdagangan bebas pertama di dunia tanpa AS dan Eropa.

Kini negara-negara Asia juga dapat mempromosikan integrasi regional secara mandiri, dan RCEP berkeinginan untuk lebih meningkatkan posisi dominan Asia dalam ekonomi dunia.

Yang ketiga adalah masalah dengan Tiongkok. Selama empat tahun pemerintahan Trump, hubungan Tiongkok-AS telah mengalami pasang surut, termasuk perang perdagangan Tiongkok-AS, perang teknologi, perang keuangan, dan perang opini publik.

AS-Tiongkok juga mengalami konfrontasi sengit seputar masalah Hong Kong, masalah Taiwan, dan masalah Xinjiang. Selama ini kedua negara ini saling melakukan tindakan balas membalas atas serangan salah satu pihak.

Dengan merebaknya pandemi Covid-19, sistem politik dan model pemerintahan Tiongkok dan AS saling bersaing di panggung yang sama setiap hari, berkompetisi mana yang lebih baik dan mana yang lebih buruk.

Pemahaman rakyat Tiongkok tentang keuntungan sistem mereka sendiri dan kerugian sistem AS tidak pernah begitu langsung, mendalam, dan jelas terlihat seperti saat ini sebelumnya.

Dari keberhasilan model anti-epidemi Tiongkok dan kekalahan model anti-epidemi AS, Tiongkok merasa beruntung karena mereka hidup di negara sosialis besar yang paling menghormati kehidupan. Ini adalah kemenangan besar yang telah memenangkan hati rakyat Tiongkok dan sistem Tiongkok sendiri.

Rakyat Tiongkok memandang sistem AS telah gagal dalam hatinya, terutama bagi kebanyakan kaum muda Tiongkok, bagi mereka mitos AS telah berakhir. Dan kini tampaknya telah menjadi keyakinan mereka.

Pada bulan Juli tahun lalu, BBC mewawancarai Zhang Weiwei seorang pakar Tiongkok yang ditanya bagaimana strategi baru AS untuk Tiongkok akankah mempengaruhi hubungan Tiongkok-AS? 

Dia katakan bahwa Barat harus tahu bahwa Tiongkok adalah ekonomi terbesar di dunia. Menurut paritas daya beli, Tiongkok adalah negara perdagangan terbesar di dunia, Tiongkok adalah mitra dagang terbesar di lebih dari 130 negara, dan Tiongkok memiliki kelas menengah terbesar di dunia dengan 400an juta. Ini adalah Kelas menengah yang sebenarnya.

Dan mereka jika ditempatkan pada kelas menengah di AS juga sama sebagai kelas menengah, jadi Tiongkok sebenarnya adalah pasar konsumen terbesar dunia. Jika Barat dan AS ingin mengucilkan negara seperti Tiongkok, maka AS dan Barat hanya akan mengisolasi diri dan AS akan terkucil sendiri. Selain itu, Tiongkok memiliki kemampuan yang kuat untuk menghentikan perang, dengan tidak mau mencari masalah, tetapi tidak pernah takut menghadapi masalah. Kata Zhang.

Biden pernah menyebutkan empat tantangan utama yang dihadapi AS dalam pidato kampanyenya. Pandemi yang belum pernah terjadi sebelumnya, resesi ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya, perubahan iklim yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan konflik rasial yang belum pernah terjadi sebelumnya. Harus dikatakan bahwa penilaiannya cukup dapat diandalkan.

Biden menyerukan persatuan dan AS untuk bersatu menghadapi tantangan ini. Tapi sekarang tampaknya persatuan AS saja tidak cukup. Hal ini sulit dilakukan dan tidak bisa menyelesaikan masalah ini sendiri. Perlu solidaritas internasional, terutama bantuan Tiongkok. 

AS sedang menghadapi empat tantangan, empat macam krisis. Tapi menurut analis luar khusus untuk krisis konflik etnis bagi Tiongkok  jelas tidak bisa berbuat banyak. Tiga tantangan lainnya seperti pandemi, ekonomi, dan iklim. Pakar luar dan Tiongkok berpandangan kerja sama dan bantuan Tiongkok diperlukan.

Jadi menurut beberpa pakar di Tiongkok menggunakan platform seperti itu untuk memberi saran langsung kepada pemerintah, dan dalam proses permainan Tiongkok-AS, tidak menutup kemungkinan bahwa Biden akan membuat beberapa konsesi strategis.

Namun menurut mereka tetap menyarankan harus terus menjaga determinasi strategis, dan terlepas dari setiap penyesuaian kebijakan di AS, sesuai dengan tujuan dan ritme yang telah mereka (Tiongkok sendiri) tetapkan, mereka telah membentuk konsensus yang luas tentang beberapa tujuan domestik mereka (Tiongkok), seperti kemandirian teknologi dan memperkuat diri, serta mempercepat proses reunifikasi nasional. dan masih banyak lagi. Mereka harus menerapkannya dengan tegas.

Tetapi mengingat politik yang sangat antagonis dan aktif di AS, tidak dapat mengesampingkan kemungkinan bahwa pemerintahan Biden kemungkinan besar akan melakukan tahap transisi, dan AS dapat kembali ke "era Trump" empat tahun kemudian yang diisebut "Era Trump Tanpa Trump". Demikian menurut pendapat pengamat luar.

Awal dari empat tahun ini sangat singkat, semua kebijakan AS yang dirumuskan hari ini harus dipersiapkan sebelumnya dan harus mempertimbangkan seperti apa kiranya AS dalam empat tahun mendatang. AS kini berada dalam waktu yang paling tidak percaya diri sejak Perang Dunia II. Demikian menurut pandangan pakar dan analis  dunia luar.

Hubungan AS-Tiongkok Pada Titik Balik Baru

Kembali pada masalah hubungan AS-Tiongkok kini berada pada titik balik baru. Ketika Trump berkuasa pada 2016, diperkirakan sebagian besar orang tidak menyangka presiden seperti itu akan memiliki begitu banyak rumor dan melakukan banyak hal yang tidak "sopan dan melabrak tantanan" internasional yang berlaku.

Menurut pernyataannya Trump sendiri, "Keunggulannya tidak dapat diprediksi (Unpredictable)." Ketidakpastiannya tampaknya telah memberinya beberapa kesuksesan, tetapi secara fundamental AS telah mengambil jalan yang salah dan membawa dunia ke dalam kekacauan.

Tapi kini muncullah presiden yang lebih lemah, yang sudah berusia 78 tahun pula.

Seperti kita ketahui Biden sebelumnya adalah wakil Obama, jadi dia tampaknya ingin menyingkirkan bayangan Obama.

Jadi Biden menghadapi "warisan Trump" yang sangat besar. Warisan ini sifatnya merusak. Jika dia mengoreksi sisi Trump, itu akan mendapatkan tekanan yang kuat. Jika dia tidak memperbaikinya, dia tidak dapat melakukan set-nya sendiri. Selanjutnya juga ada Kongres. Sedang dalam Kongres Partai Republik sebenarnya sedang meningkat kekuatannya. Secara khusus, orang-orang di Kongres ini semuanya ekstrim kanan, konservatif, proteksionis, unilateralis, xenofobia, dan sebagainya.

Jadi pada dasarnya mereka semua anti-Tiongkok, jadi kini bergantung pada Biden untuk membuat perubahan besar dan sepenuhnya mengubah set Trump. Dan tampaknya banyak pengamat tidak berharap terlalu banyak akan ada perubahan besar menuju perbaikan hubungan AS-Tiongkok.

Jadi bagaimana cara menilai hubungan AS-Tiongkok pada era Biden? Pengamat memperkirakan hubungannya akan memasuki periode jedah pendek, "Coffee Break" yang terputus-putus. AS harus menyesuaikan strateginya, dan Tiongkok harus membuat persiapan baru.

Kemudian melakukan sedikit perbaikan pada waktu yang sama secara berkala, kemudian kedua sisi bergerak ke arah tengah dan membuat sedikit kompromi. Lalu mencari poin kerjasama baru, Tapi poin apa untuk kerjasama baru? Pandemi ini tidak dapat sepenuhnya bekerja sama.

Kedua adalah perubahan iklim. Ini adalah kartu truf Biden. Trump sepenuhnya menarik diri dari tata kelola iklim, pemanasan global, dan emisi karbon rendah. Trump sama sekali tidak menerimanya. Bagi Partai Demokrat ini akan menjadi kartu utama.

Oleh karena itu, Partai Demokrat dan Tiongkok harus bekerja sama untuk mempromosikan tata kelola iklim dalam skala global, dan mereka sekarang sudah mulai berbicara. Ini adalah kerjasama yang relatif besar.

Kemudian bagian ketiga, AS, terutama Biden, akan coba merapat lagi ke organisasi multilateral. Namun tidak mudah baginya untuk kembali. Dia harus melamar kembali agar anggota organisasi ini setuju untuk AS kembali. Salah satu yang paling penting adalah Tiongkok, jadi AS harus berdiskusi dengan Tiongkok bahwa mereka ingin kembali, Tiongkok harus mau menerima AS. Ini juga merupakan kartu truf besar, mungkin ini akan menjadi titik kerjasama baru.

Ada juga bagian besar lainnya adalah bahwa Tiongkok mungkin diharuskan memusnahkan senjata dan ini kemungkinan bisa mengalami krisis. 

Oleh karena itu, titik-titik di sini perlu dikendalikan lebih mendesak dengan "Manajemen Krisis", kemudian masalah Taiwan dan Laut Tiongkok Selatan akan menjadi titik krisis, keduanya akan menjadi masalah yang terpenting.

Ada juga negosiasi senjata strategis, misil, misil jarak menengah, kendali militer, seperangkat kendali senjata, jaringan, dan kecerdasan buatan, ini akan menjadi wilayah baru ini.

Ada juga beberapa masalah keamanan lama, seperti senjata nuklir Korea Utara dan rekonstruksi Afghanistan yang harus dibahas. Oleh karena itu, hubungan AS-Tiongkok masih bisa menurun.

Tapi jalan menurun ini merupakan lereng permukaan tanah yang landai, bukan lereng seperti tebing yang terjal, yang masih bisa dianggap masih bagus. Jadi jika mereka membiarkannya tidak menurun terus dan bisa diseimbangkan pada satu titik, itu lebih baik.

Namun tidak mungkin menjadi sepenuhnya baik, mengapa? Karena garis keras di Partai Demokrat adalah garis keras ideologis, dan garis keras Trump adalah garis keras militer dan ekonomi, jadi pengamat luar ada yang mengatakan beberapa waktu lalu bahwa Partai Republik melawan Tiongkok dengan kekuatan keras, dan Partai Demokrat melawan Tiongkok akan dengan kekuatan lunak. Jadi, ideologis garis keras Partai Demokrat akan terus bersaing dengan Tiongkok di bidang ini.

Kontes di atas ini lebih merepotkan daripada perang dagang Trump sampai batas tertentu. Kontes ini juga mengangkat masalah Taiwan. Ini mengubah masalah Taiwan menjadi "AS membela demokrasi Taiwan." Artinya AS mendukung "kemerdekaan Taiwan". AS akan berkata, "Kita (AS) membela Taiwan". "Demokrasi" berarti "Kita (AS) membela hak asasi manusia di Xinjiang" di Xinjiang, yang menambahkan masalah ideologis ke dalam masalah ini.

Bahkan baru-baru ini, pada 20 Januari mantan Menlu AS Pompeo menyatakan Tiongkok melakukan genocida terhadap Muslim Uigur di Xinjiang 24 jam sebelum dia meletakkan jabatan, dan ini diamini oleh Biden. Minggu lalu pemerintah Trump menjatuhkan sanksi terhadap produk kapas dan tomat dari Xijiang. (The Guardian 20/01/2021)

Untuk masalah ekonomi, itu (Partai Demokrat) akan memainkan "regulasi". Penggunaan "Regulasi" untuk Tiongkok akan menjadi istilah baru dari Partai Demokrat.

Ada seperangkat regulasi yang sedang dibahas AS sendiri, yang akan digunakan sebagai  yurisdiksi lengan panjang. Ada juga dimana AS dan UE sedang membahas "Regulasi Barat" bagi mereka.

Bagaimanapun, mereka akan menggunakan berbagai regulasi untuk mengunci perusahaan Tiongkok dan ruang untuk pembangunan ekonomi Tiongkok. ( Hal seperti ini telah terjadi terhadap produk Nikel dan Minyak Sawit Indonesia).

Kemudian menganggap masalah struktural dalam perdagangan ini sebagai masalah utama, yang disebut masalah struktural, dan akhirnya semuanya bermuara pada sistem.

Oleh karena itu, pada titik ini, pihak lawan tidak boleh memiliki ilusi bahwa mereka dapat berbicara tentang beberapa masalah, dan beberapa masalah tidak dapat didiskusikan, dan pihak lawan tidak dapat berkompromi.

Maka untuk membicarakan tentang hubungan AS-Tiongkok, sekarang berada di titik balik. Diharapkan Biden akan menstabilkan seluruh kebijakannya selama proses pembentukan kabinet dalam enam bulan ini, meskipun di dalamnya terdapat ideologis garis keras.

Tapi tampaknya Biden tidak akan seperti Trump dengan menggunakan pemukulan tongkat yang tidak terbatas, jadi masih diharapkan akan membuat beberapa kelonggaran untuk beberapa persyaratan bagi AS. Sebab Jika Biden melakukan seperti Trump memukul tanpa pandang bulu, maka Tiongkok pasti juga akan melakukan pembalasan yang setimpal seperti yang telah terjadi selama ini. Kepentingan utama tidak akan dikompromikan dan AS tidak akan mendapat keuntungan dari Tiongkok juga.

Bagaimana pun peningkatkan perbaikan hubungan AS-Tiongkok akan berdampak positif bagi ekonomi dan keamanan Indonesia juga. Dalam bidang ekonomi jika pemintaan barang produk Tiongkok berkurang, dengan sendirinya permintaan komponen barang Indonesia yang terkandung dalam barang yang diekpor Tiongkok ke AS akan berkurang juga. Demikian juga sebaliknya.


Sumber: Media TV dan Tulisan Dalam dan Luar Negeri

1  2  3  4  5   6  7  8  9  10  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun