Fang Fang bukanlah penulis Tiongkok yang terkenal, sebelum epidemi/pandemi Covid-19, pernah menerbitkan secara luas dalam genre yang berbeda dan memenangkan beberapa penghargaan sastra, termasuk Hadiah Sastra Lu Xun yang paling bergengsi di Tiongkok pada tahun 2010.
Terakhir pernah menjabat sebagai wakil presiden Asosiasi Penulis Provinsi Hubei. Setelah menghabiskan awal dan akhir masa kanak-kanaknya selama tahun-tahun lompatan besar (1959an) dan tahun remaja yang penuh gejolak dalam dekade bencana Revolusi Kebudayaan (1966-76), dia bekerja sebagai kuli selama empat tahun untuk mendukung keluarganya sebelum memasuki Universitas Wuhan untuk belajar sastra pada umur 20-an di tahun 1970-an.
Sangat kentara sekali jika ini berkaitan dengan ulah AS dan Barat, pernerbitannya dilakukan di AS dan ketika naskahnya selesai dalam waktu yang sangat singkat, sangat cepat sudah bisa diterbitkan oleh perusahaan penerbitan AS, Harper Collins Publisher, dan ditejemahkan oleh Michael Berry.
Dan banyak dipublisitaskan, kita bisa melihat pernyataan resmi yang dibuat oleh Amazon, kita bisa melihat advertensi dengan versi bahasa Jerman, bahasa Inggris yang dilakukan oleh Amazon secara masif.
Jika perusahaan penerbitan Amerika tidak membuat janji dengan dia, bagaimana dia bisa menerbitkan versi Jerman dan bahasa Inggris dalam waktu singkat ketika naskah Fang Fang baru diterbitkan, dan dilakukan publisitas yang luar biasa.
Pertanyaanya jika dia belum bernegosiasi dengan perusahaan penerbitan Amerika sebelumnya, dan tidak memiliki kontrak sebelumnya, dapatkah dia menerbitkannya dengan begitu cepat?
Mayoritas rakyat Tiongkok merasakan tidak senang pada dia, dan menganggap dia sebagai penghianat bangsa dan negara, dengan menyerang negaranya sendiri Tiongkok. Dimana negaranya yang telah melakukan upaya dengan pengorbanan besar, dan biaya besar dalam seluruh proses anti-epidemi dan anti-pandemi, namun dengan "Buku Hariannya" mencoba mengabaikan dan membusukkan semua pengorbanan ini.
Sumber: Media TV dan Tulisan Luar Negeri: CNBC, LA Times 1, 2, The Guardian