Dengan pemboman semalaman, tampaknya Isreal sekali lagi melakukan tekanan keras terhadap tentara Iran di Suriah.
Selain itu militer AS yang ditempatkan di Suriah juga telah dibom baru-baru ini. Minggu lalu, "ISIS" melancarkan serangan teroris bunuh diri di Manbij, menewaskan empat orang Amerika, Â ini menjadi korban paling tragis dari militer AS di Suriah selama lima tahun ini.
Pada pagi hari 21 Januari Pasukan Pertahanan Isreal mengkonfirmasi serangan udara di sekitar Damaskus, dan juga menyatakan pada 20 Januari angkatan bersenjata Iran yang ditempatkan di Dataran Tinggi Golan Suriah dekat perbatasan Isreal menyerang Isreal dengan roket darat-ke darat, tapi dapat ditangkal oleh sistem pertahanan udara Israel.
Pemerintah Suriah mengecam atas serangan "invasi" Israel tersebut, dan menyatakan Isreal telah melanggar "Syrian Israeli Force Separation Agreement" yang telah diadopsi PBB pada tahun 1974.
Perwakilan Suriah untuk PBB, Jaafari, bahkan mengancam bahwa jika Dewan Keamanan tidak dapat mencegah tindakan Israel, Suriah memiliki hak untuk melakukan hal yang sama untuk bandara Tel Aviv di Isreal.
Banyak analis yang berpandangan, bahwa sejak AS mengumumkan rencana untuk menarik pasukan dari Suriah pada pertengahan dan akhir Desember tahun lalu, pihak Israel telah mengubah strategi sebelumnya dengan menargetkan Iran atau Hizbullah yang ada di Suriah, menjadikan isu ini agar lebih radikal dan populer. Namun hal ini juga menciptakan ketidakpastian bagi masa depan Suriah selatan, terutama di dekat Dataran Tinggi Golan.
Analis menyebutnya situasi terakhir ini di Suriah akan masuk dalam perang "vibration mode", maksudnya seperti diketahui selama 3 bulan sebelumnya relatif keadaan cukup sepi, bahkan jika Isreal melakukan tindakan sering tidak mengatakan apa-apa. Kali ini tepatnya setelah AS mengumumkan akan menarik pasukannya dari Suriah, justru melakukan tindakan ini dengan mengumumkan secara profil tinggi dan nada tinggi.
Marilah kita mengingat kembali pada saat Perang Teluk 1990. Israel melakukan perang dengan  "silent mode". Saat itu Saddam Hussein meluncur rudal ke Israel. Israel diserang, tapi tidak membalas, tidak memprotes bahkan bungkam saja. Mereka menunggu AS untuk menyelesaikan masalah ini. Karena AS membutuhkan Israel untuk menahan serangan udara pada saat itu, dan mencegah Saddam mengubah fokus perhatian Irak ke masalah Palestina-Israel. Jadi pada waktu itu perangnya adalah "silent mode", dan kemudian dari tahun sebelumnya hingga akhir tahun lalu, yaitu waktu dari 2017 hingga 2018, Israel terus-menerus menyerang target-target pasukan paramiliter Iran di Suriah, termasuk yang dikirim oleh Iran, dengan melancarkan serangan udara. Ini benar-benar tidak main-main lagi perang ini disebut "vibration mode".
Israel dengan tanpa berkoar dan bungkam terus menghantam sasaran Iran yang berada di Suriah, maksudnya untuk mengusir keluar tentara Iran dari Suriah. Tetapi ternyata hal ini tidak berhasil, juga tidak bisa membawa AS untuk berhadapan langsung dengan Iran di front medan perang.
Maka ketika ketika AS mengumumkan akan mundur dari Suriah, mereka akan membutuhkan mobil untuk masuk dan meninggalkan Suriah, kali ini Israel tidak lagi melakukan perang  "vibration mode" melainkan dengan "vibration plus loud mode."