Kapal fregat Inggris Royal Navy Tipe 23 HMS Argyll (F231) bergabung dengan kapal perusak Arleigh-Burke pembawa rudal milik AS, USS McCampbell (DDG 85) beroperasi bersama di Laut Tiongkok Selatan (LTS) antara 11 dan 16 Januari 2019.
Di laut, McCampbell dan Argyll melakukan latihan komunikasi, taktik divisi, dan pertukaran personel yang dirancang untuk menangani prioritas keamanan maritim bersama, meningkatkan interoperabilitas, dan mengembangkan hubungan yang akan menguntungkan kedua angkatan laut untuk bertahun-tahun yang akan datang.
Argyll saat ini dikerahkan ke Indo-Pasifik untuk mendukung keamanan dan stabilitas regional. Penempatan kooperatif ini mengikuti latihan perang anti-kapal selam trilateral antara AL-AS, AL Kerajaan-Inggris, dan Pasukan Bela Diri Maritim Jepang 21-22 Desember 2018.
Argyll saat ini sedang dalam masa kembali dari penempatannya selama sembilan bulan di Asia yang dimulai pada Juni 2018.
Mulai tahun ini dan berikutnya rencana negara-negara ekstrateritorial akan beroperasi puluhan ribu mil laut dari negaranya di LTS, tujuannya untuk apa?
PM Inggris Theresa May mengumumkan bahwa ia akan memperkuat kerja sama militer dengan Jepang dan juga mengirim fregat "HMS Montrose" ke Jepang pada akhir tahun lalu. Ini merupakan kapal perang keempat yang mengunjungi negara itu dalam 12 bulan, untuk melanjutkan peran Inggris dalam "penegakan sanksi PBB terhadap Korea Utara."
Apakah kapal perang Inggris akan ditempatkan di Jepang, kapal perang AS dan Inggris juga muncul di Laut Filipina. Tampaknya AS sedang bersiap untuk menarik Inggris. Jenis permainan apa yang dinyanyikan di Jepang, berapa lama mimpi Inggris untuk kembali  lagi menjadi negara adidaya "Day of the Empire (Kekasairan Matahari Tidak Pernah Terbenam)" seperti dahulu?
Menurut Reuters, kapal perusak pembawa rudal AS, USS Mc Campbell yang ditempatkan di Jepang selama periode 11 Januari dan fregat Inggris "Agryl" melakukan latihan militer bersama di LTS.
Dikatakan bahwa ini adalah pertama kalinya sejak 2010 bahwa kapal perang AS dan Inggris telah muncul di LTS.
Jadi mengapa AS dan Inggris memilih untuk bermain di LTS saat ini?
Dan hanya sehari sebelum latihan, PM Inggris Theresa May juga mengadakan konferensi pers bersama dengan PM Jepang Shinzo Abe. Dengan mengumumkan bahwa mereka akan memperkuat kerja sama bilateral dengan Jepang di bidang pertahanan dan bidang lainnya tahun ini.
Lalu mengapa Inggris harus memperkuat kerja sama militer dengan Jepang di luar ribuan mil dari negaranya? Apakah Inggris bermimpi untuk kembali lagi berjaya seperti ratusan tahun lalu?
AS mengatakan bahwa kedua kapal melakukan latihan komunikasi, latihan taktis dan pertukaran personel untuk menekankan prioritas keselamatan yang menjadi perhatian bersama, dan mengatakan bahwa kesempatan untuk pertukaran dengan AL Inggris jarang terjadi, karena AL kedua negara belum memiliki kekuatan operasional latihan bersama di LTS selama bertahun-tahun, menurut mereka.
Dua negara melintasi Samudra Atlantik, melampaui sebagian besar belahan bumi untuk datang ke perbatasan nasional negara lain untuk melakukan latihan bersama, dan juga mempromosikan keamanan regional. Sehingga membuat Kementerian Luar Negeri Tiongkok telah memprotes latihan ini, dan di balik insiden ini kita juga harus memperhatikan beberapa tren baru dalam provokasi di LTS.
Pada Agustus tahun lalu, kapal perang Inggris lainnya, "Albion" kapal serbu amfibi, berlayar ke sekitar Kepulauan Xisha. Langkah ini sedang diekspresikan untuk AS, berharap untuk melihat lebih banyak keterlibatan komunitas internasional dalam tindakan tersebut. Pada saat yang sama, itu juga sesuai dengan beberapa tujuan dari Inggris itu sendiri
Salah satu sumber mengatakan Beijing mengirim fregat dan dua helikopter untuk menantang kapal Inggris, tetapi kedua belah pihak tetap tenang selama perjumpaan tersebut.
Tampaknya bagi AS hal ini dilakukan berkaitan dengan usulan Trump untuk strategi kompetisi negara besar pada  awal tahun baru lalu, dan pada hari terakhir akhir tahun lalu, Trump menandatangani perjanjian yang disebut Asia-Pacific Guarantee Initiative/Prakarsa Jaminan Asia-Pasifik.
Sedang Inggris karena menghadapi masalah rumit tentang Brexit, Theresa May yang harus menghadapi mosi tidak percaya (a case of no confidence). Maka May mencoba mencari konteks baru untuk melakukan ekspansi singkat untuk menunjukkan kekuatan Inggris saat ini.
Jadi kemungkinan ini sebagai simpul yang sangat penting untuk menghindari kontradiksi saat ini, jadi inilah mengapa kedua belah pihak harus memilih saat seperti itu untuk melakukan latihan bersama. Ini yang pertama.
Yang kedua, Britania Raya, harus dikatakan bahwa kenyataannya yang dihadapi Inggris sekarang adalah pilihan semacam itu. Itu artinya, karena telah keluar dari UE, tetapi NATO masih ada di sana. Jadi bagaimana mereka bisa lebih mencerminkan perannya dalam kerangka kerja NATO, terutama sekarang, kekuatan seluruh AL Inggris lemah. Peristiwa paling khas tahun lalu, bisa melihat bahwa kapal amfibi "Poseidon" bahkan dijual. Sangat sulit untuk dipertahankannya. Dijual ke Brasil dengan harga 260 juta pound.
Selain itu pada tahun 2018 lalu hingga kini, kapal selam "Trident" tidak bisa berlayar, 80% berada di pelabuhan dan tidak mempunyai cukup biaya untuk memperbaiki. Karena apa?
Karena di masa lalu perbaikan dan perawatan di bawah kerangka UE, negara-negara lain memberinya kekuatan untuk mengirim tenaga teknis termasuk jaminan terkait. Tapi setelah Brexit dari UE, tidak ada yang memberikan perlindungan.
Maka perlu bagi Inggris untuk mencari kompensasi mencari arah ketiga, dengan berbagi perkembangan masa depan Asia-Pasifik. Pada saat bank investasi Asia-Pasifik dibentuk, Inggris adalah negara Eropa pertama yang bergabung dengan AIIB.
Apa yang bisa kita lihat sekarang adalah bahwa AS dan Inggris telah menghabiskan seluruh kehadiran militer di LTS. Faktanya, itu terlibat dalam aspek ekonomi.
Pada saat AIIB diluncurkan, mereka percaya bahwa seluruh wilayah Asia-Pasifik pada abad ke-21 menjanjikan, seluruh kemakmuran adalah masa depan. Inggris tidak bisa menghindari ini. Jadi bagaimana melakukan intervensi agar mendapatkan pembagian yang lebih baik, yang satu adalah sarana ekonomi, dan yang lain adalah perbatasan. Dengan mempertahankan keberadaan kekuatan militernya di tempat ini, itu juga merupakan aspek penting dari keterlibatannya dalam urusan Asia-Pasifik.
Oleh karena itu, Britania Raya masih menganggap penting kawasan Asia-Pasifik, selain itu dari sudut pandang sejarah ketika mereka masih sebagai negara "matahari tidak pernah terbenam" seluruh kawasan Asia-Pasifik berada dalam lingkup pengaruhnya.
Mengenang kembali pada 200 tahuanan yang lalu, pada awal thaun 1800an, Inggris mulai mengirim kapal-kapalnya ke LTS untuk melakukan penjejahan sepihak, AS dan Inggris datang pergi bergantian, untuk melakukan pengukuran dan memberi nama pada pulau-pulau dan karang atol disekitar kepulauan Xisha dan Nansha yang saat itu memang sejak lama sudah berada dalam penguasaan kerajaan dan kekasairan Tiongkok.
Dari sini kita dapat melihat bagaimana secara historis mereka telah secara ilegal hadir di LTS dan juga di Pasifik Barat serta di Timur Jauh. Dengan menggunakan kapalnya untuk muncul di wilayah laut yang sesuai untuk memprovokasi insiden yang sesuai untuk memiliki bentuk presentasi. Seperti apa yang dilakukan VOC dan kemudian pemerintah Belanda di kawasan Nusantara (kini Indonesia).
Selain itu, dari sudut pandang strategis, Inggris berada di "persimpangan" sejarah. Jika dikatakan bahwa setelah beberapa dekade Perang Dunia II, dengan hilangnya besar-besaran koloni Inggris di luar negeri, bangkitnya anti-kolonisasi negara-negara jajahannya menjadi merdeka. Setelah kehilangan sebagian besar koloninya, Inggris harus menghadapi masalah untuk kembali ke Eropa.
Setelah kegamangannya bergabung di Uni Eropa dan kini keluar dari UE (Brexit), maka dipilihlah kembali "turun lagi kelautan." Jadi sekarang, ketika Inggris melepaskan diri dari proses Uni Eropa, meskipun tidak terlalu mulus, tren besar telah menunjukkan bahwa mereka harus menghadapi pilihan baru, yaitu, "merambah ke laut", sehingga memiliki lebih banyak rasa identitas. Dan merasa dirinya menjadi negara besar samudra.
Setelah membuat beberapa pilihan strategis, apakah akan bertahan di Eropa atau lainnya, tapi dipilihlah opsi spesifik lebih banyak ke Asia-Pasifik. Dan bergabung dengan AS yang telah banyak memicu beberapa insiden di kawasan Asia-Pasifik.
Mereka ingin menunjukkan pilihan taktis barunya di kawasan Asia-Pasifik melalui hubungan strategis dan taktis yang mendalam dengan AS. Inggris ingin menunjukkan pilihan taktis barunya di kawasan Asia-Pasifik melalui strategi dan taktis yang dijembatani oleh AS
Jika kita melihat situasi di seluruh kawasan Asia-Pasifik, kita dapat melihat bahwa Inggris saat ini ingin campur tangan di LTS, atau bahkan untuk urusan Asia Timur, itu adalah perilaku yang disengaja, bahkan jangka pendek, hanya minggu lalu , PM Inggris Theresa May dan PM Jepang Shinzo Abe mengadakan konferensi pers bersama.
Pada 10 Januari lalu, mereka mengumumkan bahwa Inggris dan Jepang akan memperkuat kerja sama bilateral di bidang pertahanan dan bidang lainnya.
Perhitungan apa yang memperkuat kerja sama Inggris dengan Jepang?
PM Teheresa May mengatakan bahwa Inggris dan Jepang juga akan menjajaki kerja sama dalam masa depan penelitian dan pengembangan pesawat terbang dan rudal.
Sebelumnya, Menteri Pertahanan Inggris mengatakan bahwa Inggris akan membangun pangkalan militer di Singapura atau Brunei di Asia Tenggara untuk memperkuat kehadiran militernya di luar negeri setelah Brexit.
Baru-baru ini, media mengungkapkan bahwa Royal British Army akan berada di awal 2019. Â Fregat "Montrose" dikirim ke Jepang, tetapi analisis media mengatakan bahwa fregat Inggris yang dikirim ke Jepang adalah kapal tua buatan tahun 1970-an, yang berkemampuan anti-kapal selam dan pertahanan udara, telah mengalami modernisasi dan peningkatan pada periode selanjutnya, tetapi kinerjanya secara umum bersifat umum dan tidak dapat beradaptasi dengan perang modern intensitas tinggi.
Lalu mengapa Inggris memilih untuk memperkuat kerja sama militer dengan Jepang, dan bagaimana rangkaian tindakan Inggris ini akan mempengaruhi situasi keamanan di kawasan tersebut?
Kali ini PM Jepang, Shinzo Abe melakukan perjalanan khusus pada tahun itu, dan kemudian kedua pihak juga menyebutkan pada konferensi pers bahwa mereka harus memperkuat kerja sama di bidang pertahanan militer. Akankah Inggris juga akan melakukan hal serupa seperti AS yang kehadiran militernya relatif permanen di Jepang? Hal ini akan menjadi sensitif.
David Dodwell adalah direktur eksekutif Kelompok Studi Kebijakan Perdagangan APEC Hong Kong, sebuah think-tank kebijakan perdagangan, menulis sebuah artikel dengan judul "Britain's naval ambitions to once again rule the waves are laughable at best and make no sense at all" (Ambisi AL Inggris Kemabli Lagi ke Laut Biru Suatu yang Lucu dan Tidak Masuk Akal Sama Sekali)
Aspirasi sentimental untuk membangun kembali keagungan Inggris sebagai kekuatan global terkemuka dapat berpotensi mendestabilisasi konsekuensi di Asia Timur.
Upaya untuk meningkatkan pengeluaran pertahanan Inggris, dan untuk "berporos" ke Asia, mungkin lebih sedikit hubungannya dengan pertahanan daripada dengan mencari bantuan untuk kesepakatan perdagangan di dunia yang berpotensi terkucilkan pasca-Brexit.
Upaya-upaya untuk "Global Britania" (Menduniakan Inggris) terakhir ini menurut David Dodwell karena dua alasan: indikasi bahwa Inggris ingin mendirikan pangkalan AL di Asia Timur - yang berpotensi di Singapura atau Brunei - setelah menarik diri dari Pasifik hampir setengah abad yang lalu; dan upaya Menhan Inggris Gavin Williamson untuk meningkatkan anggaran pertahanan Inggris sebesar 50 persen untuk membangun empat kapal selam nuklir Dreadnought baru.
Menempatkan pada satu sisi pertanyaan apakah wajib pajak Inggris akan mendukung peningkatan pengeluaran (pertahanan sudah menjadi item terbesar keempat pemerintah setelah untuk pensiun, kesehatan dan pendidikan, di mana anggaran semua berada di bawah tekanan), memang benar bahwa Inggris tetap signifikan kekuatan militernya.
Menurut Stockholm International Peace Institute (SIPRI), mereka memiliki anggaran pertahanan terbesar kelima di dunia pada sekitar US$ 47 miliar pada 2017, dan penyumbang produk domestik bruto ketiga terbesar bagi NATO. Investasi dalam pertahanan ini juga menjadikan Inggris sebagai pengekspor peralatan pertahanan terbesar kedua di dunia, dengan ekspor sekitar US$ 11,5 miliar pada tahun 2017.
Pangkalan AL Inggris yang direncanakan di Asia Tenggara dipandang sebagai "pengenduran otot" melawan Tiongkok (mungkin juga dengan nasionalisme yang ditunjukkan Jokowi di Indonesia? Yang telah mengusai Freeport, Blok Marsela, Rokan dan program penguatan kemaritiman di Nusantara).
Tapi mari kita simpan segala sesuatunya dalam perspektif ini. Anggaran pertahanan AS adalah US $ 610 miliar, dan Tiongkok adalah US $ 228 miliar. Sebagaimana Financial Times mencatat pada pertengahan minggu lalu, "Tiongkok membangun yang setara dengan hampir seluruh AL Kerajaan Inggris setiap tahun".
Rencana Inggris membangun empat kapal selam nuklir Dreadnought baru (yang hanya akan beroperasi 20 tahun dari sekarang) mungkin secara masuk akal hanya akan memberikan kontribusi bagi keamanan Kepulauan Inggris jika terjadi perang, tetapi jika terjadi konflik di Pasifik hanya akan berkontribusi sedikit saja.
Dan membangun pangkalan AL di Asia Tenggara untuk menyediakan kapal-kapal AL Inggris dengan ambang batas Pasifik adalah tidak masuk akal. Demikian menurut David Dodwell.
Seperti yang diingatkan oleh FT, "Ambisi militer tanpa sumber daya untuk mendukung mereka berisiko membuat Inggris terlihat bodoh daripada kuat."
Sejak penutupan garnisun Inggris di Singapura pada tahun 1971, dan penarikan garnisun dari Hong Kong ketika kedaulatan dikembalikan ke Tiongkok pada tahun 1997, Inggris sudah tidak lagi ada kehadirannya di Asia timur Duqm di Oman. Cukup masuk akal, karena Inggris telah menyesuaikan diri dengan peran yang lebih sederhana sebagai kekuatan internasional. Inggris telah memfokuskan sumber daya pertahanannya pada Eropa, Timur Tengah dan Afrika. Dari 81 atase militer yang saat ini berada di pos di seluruh dunia, 27 di Eropa dan 28 di Afrika. Hanya 18 yang ada di Asia.
Logika untuk membalikkan tren ini dan membangun kembali kehadiran di Pasifik terbuka untuk dipertanyakan. Meskipun dimungkinkan untuk mengidentifikasi kontribusi militer Inggris yang berarti bersama negara-negara lain di Timur Tengah, atau di NATO, atau bahkan Afghanistan, itu pasti penting, sebelum mengerahkan personilnya dan peralatannya di Pasifik, untuk memikirkan kontribusi apa yang dapat diberikan oleh Inggris. Akan berbuat apa di Pasifik, dan bahkan jika mereka bisa beroperasi tanpa dukungan material yang luas dari militer AS.
Seperti apa yang dipertanyakan oleh sebuah laporan dari Oxford Research Group pada bulan September tahun lalu: "Siapa yang akan dihadapi pada kehadiran yang diperkuat di Asia Timur?" Secara praktis, kita berbicara tentang konflik di Korea Utara, konflik di Taiwan, atau konflik dengan Tiongkok atas kendali Laut Tiongkok Selatan."
Laporan itu berpendapat bahwa pasukan militer Inggris tidak dapat memberikan kontribusi praktis jika terjadi konflik besar (dan nuklir) atas Korea Utara, atau atas kendali Taiwan. Dan mereka paling-paling akan menjadi "aset menarik bagi pasukan pimpinan AS dalam jenis konfrontasi panjang dengan Tiongkok yang tampaknya sedang dipersiapkan AS."
Pada kenyataannya, upaya untuk membangun pengeluaran pertahanan Inggris, dan untuk "berporos" ke Asia, mungkin lebih sedikit hubungannya dengan pertahanan daripada dengan menjilat kesepakatan perdagangan di dunia pasca-Brexit yang berpotensi terkucilkan, dan khususnya menanggapi serangan Donald Trump terhadap peran dan pendanaan NATO.
Seperti apa yang telah dikeluhkan Trump tentang sekutu NATO-nya yang mendukung operasi pertahanan AS di seluruh dunia, dan meminta mereka untuk meningkatkan pengeluaran pertahanan mereka untuk berbagi beban militer secara lebih adil, sehingga komitmen Inggris untuk meningkatkan pengeluaran pertahanan, membangun kapal selam baru, dan berbagi beberapa dari beban menjadi polisi di Pasifik, jelas dimaksudkan untuk menjilat.
Inisiatif ini harus jelas juga dilihat sebagai alat tawar-menawar untuk mengamankan kesepakatan perdagangan pasca-Brexit, tidak hanya dengan AS, tetapi dengan Jepang, Korea, sejumlah negara Asean, Selandia Baru dan Australia --- yang disebut " "Alliance of Maritime Democracies/Aliansi Maritim Demokrasi ".
Apakah alat perundingan semacam itu akan berfungsi masih terbuka untuk dipertanyakan, tetapi seperti yang ditunjukkan oleh Oxford Research Group, perubahan strategis ini menciptakan bagi pemerintah Inggris "tabrakan langsung" antara konvergensi dengan strategi Pasifik AS, dan strategi pra-Brexit Inggris untuk perkara perdagangan dan investasi Tiongkok.
Dalam hal ini, Inggris akan mengalami banyak kerugian. Seperti diketahui Tiongkok menyumbang lebih dari setengah perdagangan Inggris dengan Asia Timur, dengan ekspor tahun lalu hampir US$ 23 miliar dan impor lebih dari US$ 55 miliar. Hubungan yang erat dengan AS dalam pertikaiannya yang semakin dalam dengan Tiongkok harus secara tak terelakkan membahayakan hubungan ekonomi yang tumbuh cepat ini dengan Beijing.
Masih diperdebatkan apakah potensi peningkatan perdagangan dengan Aliansi Demokrasi Maritim, dan mungkin dorongan untuk penjualan pertahanan di Asia, dapat mengimbangi kemunduran semacam itu dibanding dalam perdagangan dengan Tiongkok.
Namun banyak pemikir Inggris berpandangan: "Inggris bebas untuk meningkatkan perdagangan dan investasi dengan siapa pun yang mereka suka. Tetapi kebijakannya harus untuk kepentingan warga negaranya, bertanggung jawab secara finansial, dan masuk akal secara ekonomi dan strategis. Pangkalan AL yang mahal di Asia Tenggara yang meningkatkan ketegangan dengan sekutu dan saingannya tidak sesuai dengan pendekatan semacam itu."
Maka ini adalah beberapa kepentingan geopolitik yang harus diganti Inggris, termasuk beberapa kepentingan strategis global. Untuk sebagian besar, banyak analis yang berpikir itu ilusi, termasuk kerja sama antara AS dan Jepang, termasuk beberapa kerja sama antara AS dan Asia Tenggara. Dapat dilihat bahwa pujian semacam ini dari AS bukan keadaan biasa. Inggris juga dalam apa yang disebut kembali lagi, dan itu juga tidak baik untuk campur tangan kembali dalam urusan Asia-Pasifik.
Jika Inggris tidak melihat ihwal ini, akan menderita kerugian besar. Selain itu, Inggris harus menjelaskan kepada dirinya sendiri dan seberapa kuat kekuatan dirinya sendiri. Dengan kata lain, kekuatan AL Inggris telah menurun secara signifikan, sudah bukan lagi seperti masanya ketika kekaisaran "matahari tidak pernah terbenam" lagi.
Sumber: Media TV dan Tulisan Luar Negeri
navaltoday.com | navytimes.com | royalnavy.mod.uk | independent.co.uk | scmp.com | navaltoday.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H