Presiden Jokowi menegaskan, konsep Indo-Pasifik tidak akan berdampak pada isolasi negara tertentu dalam pergaulan dan kerjasama antarnegara di kawasan. Sebaliknya, konsep Indo-Pasifik justru dirancang untuk meningkatkan keterbukaan kerjasama negara-negara di lingkaran Samudera Pasifik dan Hindia sambil tetap mengedepankan sentralitas ASEAN.
Bagi ASEAN, lanjut Jokowi, Tiongkok adalah mitra potensial bagi peningkatan kerjasama Indo-Pasifik. Setidaknya, salah satu sektor yang dapat ditingkatkan adalah kemaritiman. "Saya berharap Tiongkok dapat menjadi mitra ASEAN dalam kerjasama sektor maritim di kawasan Indo-Pasifik, termasuk dalam mengatasi keamanan laut di Samudera Pasifik dan Hindia, mengatasi polusi laut dan mengembangkan kapasitas search and rescue di laut".
Pandangan Tiongkok Atas Laut Tiongkok Selatan
Sebagai bagian dari transformasi besar alat militer ini selama introversi masa perjuangan politik dalam negeri, berarti bahwa militer Tiongkok tidak menganggap dirinya lebih baik dari AS dan Uni Soviet pasca Perang Dingin di dunia, di Asia, terutama di era perdamaian di Asia Timur yang segera datang. Sebaliknya, gerakan kemerdekaan Taiwan, perselisihan teritorial di Laut Tiongkok Selatan, dan ketidakstabilan di semenanjung Korea telah mendorong pihak berwenang tertinggi di militer Tiongkok yakin  bahwa pola perang dingin regional di kawasan Asia belum berakhir.
Pemikiran ini merupakan basis ideologis bagi Tiongkok untuk mempercepat modernisasi pertahanan nasional dalam beberapa tahun terakhir. Di sisi lain, dari pengalaman negara-negara kaya seperti Jepang, dapat dilihat bahwa nilai strategis Laut Tiongkok Selatan dan kepentingan ekonomi sangat penting bagi negara Asia yang berharap "terburu-buru keluar dari Asia dan menjadi global".
Sebelum perang, orang mengetahui terjadi perselisihan antara "Maju ke Selatan" dan "Maju ke Utara" ("Southward Advance" and the "Northward"). Pada Desember 1938, Jepang menerapkan invasi dan aneksasi komprehensif ke Kepulauan Spratly, yang menguasai seluruh jalur kehidupan maritim Asia Timur dan Indochina telah membuat lebih jauh ke selatan dan barat ke Samudera Hindia untuk menguasai laut  dan bawah lautnya habis-habisan, pengembangan pangkalan lokal untuk maju ke depan.
Setengah abad kemudian, Tiongkok mulai memperhatikan Laut Tiongkok Selatan, dan tentu saja itu juga memiliki kebutuhan lingkungan internal dan eksternal. Secara internal, reformasi ekonomi dan keterbukaan telah berlangsung selama 15 tahun.
Selama periode "Rencana Lima Tahun" pertama, "Maju ke Utara" sebagai yang paling penting era Perang Dingin. Pola pembangunan ekonomi menjadi andalan dan mejadi "Tiga Front Utama," namun mementum ini berakibat kecepatan tinggi pembangunan ekonomi pesisir, sehingga terjadi kesenjangan Utara dan Selatan terus membsar, Â seperti kebangkitan awal Belanda dan Kerajaan Inggris, Tiongkok juga bergerak dari "negara yang terkurung daratan" ke era baru peradaban laut.Â
Dengan pusat gravitasi ekonomi bergerak dari utara ke selatan, dari pedalaman ke pantai, dan sumber daya darat yang menurun, pengembangan sumber daya laut telah menjadi fondasi masa depan Tiongkok.
Dalam hal eksplorasi minyak "status pembanguan sumber daya alam di perairan Tiongkok dan di laut," Â pada saat ini, ladang minyak utama Tiongkok telah memasuki tahap pertengahan dan akhir pembangunan. Mulai tahun 1989, sumber minyak sudah menurun sebanyak 200.000 ton, produksi menjadi sulit ditingkatkan dan biayanya menjadi meningkat tajam.