Mohon tunggu...
Sucahya Tjoa
Sucahya Tjoa Mohon Tunggu... Konsultan - Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ronde Baru Hubungan AS-Iran dalam Era Trump

9 Mei 2017   10:05 Diperbarui: 9 Mei 2017   10:31 906
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: http://www.ingeniouspress.com

Akhir-akhir ini perhatian internasional sedang terfokus pada panasnya situasi di Semenanjung Korea, tapi “gada” (pentungan besar) AS sedang mulai diayunkan pada negara lain di Timteng, nampak seperti sudah “hilang kesabarannya” untuk mulai mecari gara-gara lagi kepada Iran.

Dalam beberapa hari terakhir ini, Trump memutuskan untuk menilai kembali kebijakan AS untuk Iran. Langkah pertama adalah menilai ulang kesepakatan nuklir Iran. Dari sejak kampanye Trump yang lalu menganggap ada ketidak beresan dari kesepakatan ini, sikapnya terhadap perjanjian ini dengan tegas menolak dan bersumpah akan membatalkannya.

Apakah Trump coba untuk membalikkan kebijakan Obama di Timteng dengan ini? Perubahan apa yang akan terjadi terhadap hubungan AS- Iran?

Pada 19 April lalu, Menlu AS Rex Tillerson mengadakan konferensi pers dengan hanya 30 menit, dimana dia mengeluarkan sebuah pernyataan tegas yang secara terbuka mengkonfirmasikan bahwa Trump telah memerintahkan pemerintah federal untuk melakukan tinjauan antar-departemen terhadap kebijakan kepada Iran.

Ini adalah yang pertama bagi Trump sejak memasuki Gedung Putih yang mengeluarkan perintah yang jelas mengenai masalah Iran.

Tillerson menyatakan: “Ambisi nuklir Iran merupakan resiko serius bagi perdamaian dan keamanan internasional. Itu sudah menjadi kebiasaan dan postur mereka untuk menggunakan sumberdaya apapun yang tersedia bagi orang-orang dan bangsa yang tidak sehat. Iran yang tidak dikendalikan mempunyai potensi untuk melakukan seperti apa yang dilakukan Korut, dan membawa kekacauan dunia.”

Dalam pernyataan diatas, Tillerson menyatakan baik Iran maupun Korut adalah sebuah contoh yang jarang terjadi, dan mengeluarkan peringatan bahwa AS telah kehilangan “kesabaran strategisya” dengan Iran.

Fox News mengomentari, dengan mengatakan bahwa sikap baru Tillerson terhadap Iran adalah salah satu tindakan garis keras yang diambil hari ini.

Penilaian pemerintah AS mencakup kesepakatan nuklir Iran, serta kerusakan pada kepentingan AS akibat intervensi Iran di Syria, Irak, Yaman dan Libanon yang telah dilakukannya.

Untuk semua ini, penilaian kembali perjanjian nuklir Iran akan dilakukan selama 90 hari, setelah itu akan memberi rekomendasi kepada Presiden  mengenai apakah perjanjian ini akan dilanjutkan atau tidak.

Pada bulan Juli 2015, selama masa pemerintahan Obama, enam negara terlibat dengan isu nuklir Iran dan Iran telah mencapai kesepakatan komprehensif mengenai masalah nuklir Iran.

Menurut kesepakatan tersebut, Iran berjanji untuk membatasi dan menunda rencana niklirnya dan sepakat menerima pengawasan ketat dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA), dengan imbalan atas pelepasan sebagian besar sanksi finansial dan perdagangan Iran.

Sehari sebelum mengucapkan pernyataannya, Tillerson mengatakan dalam sidang Kongres rutin yang berlangsung setiap tiga bulan pada 18 April lalu, Iran masih belum melanggar perjanjian nuklir Iran, namun Iran “masih menjadi sponsor terorisme” dan perjanjian nuklir yang telah ditanda-tangani dengan Iran tersebut terutama telah gagal.

Tidak ada bukti yang mengatakan bahwa Iran telah melanggar kesepakatan ini, itu tidak sesuai dengan kenyataan. Dan AS sangat menyadari hal itu, Pemeritnahan Trump sebenarnya beraksi dengan motif tersembunyi. Dia sebenarnya tidak mengambil tindakan apa-apa hanya ingin tahu apakah perjanjian nuklir Iran harus dilaksanakan atau tidak, semacam peringatan kepada Iran. Dia memperingatkan Iran jangan dikira semua itu baik-baik saja dan tidak perlu takut pada AS hanya karena memiliki perjanjian nuklir Iran.

Pada 19 April lalu ketika Menhan AS James Mattis mengunjungi Arab Saudi, dia mulai membuat ucapan yang menyerang Iran, juga dalam ucapan lain ada menyerempet-nyerempet tentang Iran. James Mattis mengatakan saat bertemu dengan Raja Salman: “Kemanapun Anda melihat, jika ada masalah di kawasan Anda (Timteng) pasti disitu ada Iran.” 

Seperti diketahui, Saudi dan Iran adalah dua negara instrumental di Timteng. Yang satu Sunni dan satu lagi Syiah, sudah menjadi musuh bebuyutan.

Arab Saudi adalah salah satu sekutu utama AS di Timteng. Kedua negara membentuk aliansi saat berakhirnya P.D. II. Arab Saudi menukarkan perjanjian minyak dengan imbalan perlindungan keamanan dari AS, hubungan mereka sangat baik.

Namun selama pemerintahan Obama, sikap AS terhadap isu nuklir Iran dan isu Syria membuat Arab Saudi marah, dan terjadi keretakan hubungan antara AS-Arab Saudi.

Obama membentuk citra damai untuk dirinya sendiri dan mendapat pujian di AS, ini sesuai dengan cita-cita pemerintah Demokrat, namun di saat yang sama, juga membawa fakktor potensial diplomatik baru yang tidak stabil ke AS---itulah Israel, Arab Saudi, negara-negara Teluk Arab lainnya, dan bahkan seluruh dunia Arab khawatir tentang peran AS.

Pad 14 Maret, Presiden AS Trump bertemu dengan Menhan Saudi Mohammed bin Salman Saud, dan keduanya mencapai sikap bersatu mengenai masalah Iran “untuk menentang tindakan Iran untuk menstabilkan kawasan tersebut dan juga terus menilai secara ketat tentang penerapan perjanjian nuklir Iran.

Pada 19 April “pukulan satu dua” ditujukan kepada Iran. Di Washington D.C. Menlu Tillerson mengumumkan sebuah penilaian komprehensif kebiajakan AS untuk Iran. Dan di Riyadh, Menhan AS Mattis memperkuat tekad Arab Saudi , memastikan bahwa AS akan membantu menekan Iran.

Dalam hal ini, Menhan Saudi Mohammend bin Salman Saud berkata “Kami sangat menghargai kepemimpinan Presiden Trump.”

Dengan memperkuat hubungan dengan sekutu-sekutunya di kawasan tersebut, AS ingin memperbaiki keretakkan yang terjadi dengan sekutu ini selama pemerintahan Obama. Aspek lainnya  untuk memperkuat militer mereka, keuntungan AS mendapat keuntungan dari agen atau pnjualan senjata, dan pertahanan nasional mereka menjadi lebih kuat. Dalam hal ini, dia percaya bahwa dengan cara ini dapat menekan ambisi Iran di kawasan ini.

Arab Sadi menjadi yang pertama dikunjungi Mattis dalam perjalannannya ke Timteng, setelah itu baru berkunjung ke Mesir, Israel, Qatar dan Djibouti. Negara-negara ini pada umumnya berharap pemerintah Trump dapat merubah metode AS untuk mengabaikan kawasan ini seperti yang dilakukan Obama dan menunjukkan AS kini telah kembali ke Timteng, dan juga menekan musuh bersama mereka yang kuat ---Iran.

Apa yang patut dicatat adalah dalam perjalanan Mattis ke Timteng dilakukan saat Wakil Presdien AS Mike Pence ke Asia Pasifik. Ini mengirim pesan yang kuat ke dunia luar bahwa AS akan fokus pada kawasan Asia Pasifik, Timteng dan Afrika Utara.

Bagi keempat negara Timteng, Iran menjadi sangat mengkhawatirkan mereka. Mereka ini adalah negara-negara yang harus diyakinkan AS jika ingin mendapatkan keseimbangan di kawasan ini. Selama pemilu di AS,  negara-negara ini benar-benar menginginkan Trump menang karena jika Trump menang, dia mungkin akan mengubah kebijakan untuk menenangkan Timteng.

Mereka benar-benar berpikir Obama lebih memilih kebijakan pengamanan (pasifikiasi),  mereka tidak ingin melihat Iran dapat sepenuhnya mempertahankan teknologi nukilir, kapasitas nuklir, personil nuklir, dan fasilitas nuklirnya. Mereka tidak mau melihat Iran berinteraksi dengan dunia Arab padahal sebenarnya sudah berada di ujung batas penghalang untuk dapat membuat senjata nuklir.

Iran tidak melanggar perjanjian nuklir Iran, namun AS masih dengan keras kepala ingin menilai kembali hal tersebut. Jelas bahwa memeriksa kembali apakah Iran mematuhi perjanjian nuklir Iran hanya kedok saja, tujuan sebenarnya adalah menggunakan kesempatan ini untuk mengumpulkan kembali sekutu AS di Temteng.

Arab Saudi, Israel, dan negara-negara lain telah mengecam perjanjian nuklir Iran. Negara-negara ini percaya bahwa kesepakatan ini sebenarnya mendorong lawan mereka untuk memiliki senjata nuklir, sehingga bisa benar-benar mengubah keseimbangan strategis di Timteng.

AS menekan Iran sementara juga meyakinkan sekutunya tentang kebijakan Trump di Timteng adalah kebalikan dari Obama. Jadi, apakah dia akan menggunakan kesempatan ini untuk menghancurkan kesepakatan nuklir Iran?

Pada tahun 2009, setelah mantan Presiden Obama menjabat presiden, dia beralih dari metode invasi dengan serbuan skala besar dari pemerintahan Bush, dan menerapkan pengurangan strategis militer di Timteng.

Untuk mencegah AS terlibat dalam perang skala besar yang dikarenakan isu nuklir Iran, pada tahun 2003, AS mempercepat negaranya untuk mengakhiri sanksi nuklir terhadap Iran, dan mengumumkan sebuah kesepakatan secara komprehensif mengenai masalah nuklir Iran pada bulan Juli 2015.

Menurut Obama kesepakatan nuklir Iran adalah “metode cerdas” untuk mencegah AS terjebak dalam lumpur perang di Timteng.

Obama mengatakan: Jika kita tidak memilih dengan bijak, saya yakin generasi masa depan akan menilai kita dengan kasar karena membiarkan kesempatan saat ini berlalu begitu saja. Kita punya kesempatan bersejarah untuk mengejar dunia yang telah aman untuk lebih aman, sebuah kesempatan yang mungkin tidak akan terjadi lagi dalam masa hidup kita. Saya sebagai Presiden dan Panglima Tertinggi bertekad untuk memanfaatkan kesempatan ini.

Namun, dimata Trump, kesempatan yang dinilai Obama sangat tinggi sebenarnya adalah salah satu “transaksi terburuk.”  Selama dalam kampanye, dia mengeritik perjanjian nuklir Iran beberapa kali, dan mengatakan bahwa dia akan menyingkirkan atau menegosiasikan kembali.

Trump mengatakan: Itu adalah kesepakatan yang terbodoh. Saya pikir itu bisa menurun dan akan berakhir mengerikan sebagai salah satu kesepakatan terbodoh dalam sejarah dunia.

Untuk masalah kesepakatan nuklir Iran, mengapa evaluasi kedua Presiden AS ini bisa benar-benar berbeda? Mereka juga menggunakan suluruh strategi yang berbeda untuk meresponnya.

Beberapa analis melihatnya karena apa adanya perubahan di pemerintahan AS. Kita tahu Obama dari Demokrat dan Trump dari Republik. Di AS, Demokrat dan Republik memiliki gagasan yang berbeda dalam menangani masalah diplomatik. Dengan kata lain kaum Republikan lebih cendrung menggunakan metode militer, sehingga kita bisa melihat saat Partai  Republikan berkuasa anggaran militer meningkat, ketika kampanye militer mendukung mereka. Bagi Demokrat jelas metode militer sangat penting, namun Demokrat lebih cendrung ke nilai-nilai hukum internasional.

Ambil contoh pemerintahan Obama misalnya, ia percaya bahwa kesepakatan nuklir Iran semacam ini bisa menekan ambisi Iran untuk memiliki senjata nuklir. Dengan kata lain ini akan membawa stabilitas di kawasan ini. Sedangkan bagi Partai Republik mereka tidak mempercayainya. Mereka percaya bahwa mereka bisa memaksa lawan dengan mengirim dengan metode militer, oleh karena itu Trump selama kampanye, dia membentuk opini mengenai kesepakatan nuklir Iran.

Pada 1 Desember 2016, setelah Trump sudah terpilih sebagai Presiden terpilih AS, hal-hal untuk Partai Republik berkembang dengan baik, Kongres Amerika yang dikendalikan Republik memaksa sebuah resolusi yang segera akan berakhir “RUU tentang Sanksi Terhadap Iran” walaupun Presiden Obama beroposisi, tapi tetap diperpanjang 10 tahun. Jelas tindakan ini ditentang keras Iran.

Segera setelah itu, tidak lama setelah Trump resmi menjabat Presiden, dia menandatangani perintah kontraoversial yang membatasi warga dari tujuh negara memasuki AS, dan salah satu dari negara-negara itu adalah Iran.

Pada 29 Juanri 2017, Iran melakukan uji coba rudal balistik. Setelah itu, penjabat senior AS dan Iran terjadi perang kata-kata, dan kemudian mengeluarkan sanksi baru satu sama lain.

Komentar Iran menyatakan bahwa AS sekali lagi mengangkat “gada/petungan besar” kepada Iran, dan percaya bahwa Trump bermain api. Api yang membakar perjanjian nuklir Iran.

Berkenaan dengan hal ini, Ketua Organisasi Energi Atom Iran, Ali Akbar Salehi, pernah mengeluarkan sebuah peringatan bahwa jika pihak lain meninggalkan atau  menghancurkan kesepakatan tersebut, Iran akan memulai lagi fasilitas nuklirnya, dan dunia akan tercengan.

Berdasarkan pendirian Trump sejak kampanye, apakah penilaian kembali perjanjian nuklir Iran ini merupakan awal untuk menghancurkan kesepakatan tersebut?

Menurut pandangan pengamat, AS sebenarnya menggunakan tindakan ini untuk mengirim pesan kepada Iran, Iran harus mengendalikan ambisinya di kawasan tersebut. Ini tidak berarti bahwa pemerintah Trump benar-benar akan menarik diri dari kesepakatan nuklir ini, karena penarikan AS dari perjanjian ini tidak akan berpengaruh bagi AS. Tindkan ini tidak bisa menghancurkan perjanjian nuklir Iran, karena kesepakatan ini tidak ditandatangani hanya oleh Iran dan AS saja. Tapi masih ada enam negara lain dan Iran yang menandatangani serta disahkan oleh PBB.

Saat ini Trump akan menilai ulang kesepakatan nuklir Iran hanyalah tipuan, sebab pada kenyataannya AS tidak benar-benar memikirkan hal ini. Yang menjadi perhatian AS adalah kepentingan AS, seperti yang ditekankan terus-menerus oleh Tillerson dan Mattis.

Dalam opini AS, Iran harus sangat berterima kasih atas kesepakatan nuklir Iran, namun Iran malah terus menimbulkan masalah di Timteng yang telah merongrong AS mencapai tujuan strategisnya di kawasan ini, bahkan membuat frustasi AS,  jadi terpaksa AS harus mengeluarkan peringatan ini.

Lalu apa sebenarnya yang Iran lakukan sehingga menyebabkan kemarahan AS?

Pada 18 April lalu, helikopter Black Hawk Arab Saudi jatuh saat melakukan misi di Yaman, dan 12 tentara Saudi yang ada didalam pesawat tewas. Ini merupakan korban terburuk yang dialami militer Saudi sejak pasukan multinasional yang dipimpin Saudi melancarkan serangan militer terhadap gerilyawan Houthi di Yaman pada bulan Maret.

Keesokan harinya, pada 19 April beberapa pejabat AS yang tetap ingin anonim mengungkapkan bahwa pemerintah Trump mempertimbangkan untuk memberikan lebih banyak dukungan militer kepada militer Saudi agar mereka bisa memerangi Houthi dan bisa memaksa mereka untuk mau ke meja perundingan. Pejabat-pejabat ini mengatakan bahwa alasan pemerintah Trump akan lebih aktif lagi melakukan intervensi dalam situasi Yaman terutama untuk menekan Iran agar tidak menjadi satu kekuatan utama di kawasan ini.

 

James Mattis dalam pertemuan dengan Arab Saudi dalam kunjungannya mengatakan: “Kami sebenarnya telah melakukan sesuatu,  saat kami memperkuat daya perlawanan Arab Saudi dan membuat Anda lebih efektif dengan militer Anda, karena kami bekerjasama sebagai mitra.”

Pada bulan September 2014, militant Houthi di Yaman merebut ibukota Sana’a, dan kemudian menduduki wilayah selatan Yaman, dan memaksa Presiden Yaman saat itu Abdrabbuh Mansour Hadi melarikan diri ke Arab Saudi.

Pada Maret 2015, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UAE) melancarkan operasi militer “Decisive Storm” melawan militan Houthi. Yang menarik adalah bahwa dibanding dengan militan Houthi, koalisi pimpinan Saudi memiliki keunggulan mutlak dalam peralatan alutsista dan intelijen, namun di medan perang, mereka tetap tidak dapat secara efektif menekan militan Houthi, Arab Saudi dan negara-negara lainnya percaya ini gara-gara (kesalahan) Iran.

Di mata AS dan Barat, satu-satunya alasan mengapa militan Houthi di Yaman mempunyai kemampuan ini, terutama karena didukung Iran. Karena seperti diketahui Houthi Yaman juga Muslim Syiah, dan selama ini Iran bisa dikatakan sebagai kepala dari aliansi Syiah. Dalam pandangan AS, jika bukan karena dukungan Iran, militan Houthi di Yaman tidak akan dapat bertahan selama ini.

Sekitar Oktober 2016, sebuah kapal pengangkut cepat HSV-2 UAE yang asalnya milik AS dihantam dengan salah satu rudal anti-kapal Houthi, kemudian Iran diduga yang telah memasok/memberikan rudal tersebut kepada Houthi.

Juga pada bulan Oktober tahun lalu, militer AS mengumumkan bahwa kapal perusak USS “Masson” mengalami dua serangan rudal dari militan Houthi di perairan dekat Yaman, tapi untungnya USS “Masson” tidak kena.

Setelah kejadian ini, AS mengatakan bahwa rudal yang digunakan oleh militan Houthi dipasok oleh Iran. Jelas, pengaruh Iran dalam situasi Yaman telah menyebabkan kekhawatiran AS.

Pada 19 April 2017, Menlu AS Tillerson mengatakan: “Iran menyediakan militan Houthi di Yaman dengan dana, senjata dan pelatihan, dan menciptakan kekacauan di Yaman.”   Tillerson mengatakan bahwa berdasarkan “provokasi” Iran yang terus berlanjut dan gangguan stabilitas di Timteng , Trump telah memerintahkan pemerintah federal untuk secara konprehensif menilai kembali kebijakan AS terhadap Iran.

AS yang menuduh Iran menimbulkan masalah di Timteng dengan mengacu pada satu bahkan setengah hal sekalipun, apapun untuk masalah Yaman tidak perlu dibicarakan atau dicari alasan lain lagi,  pokoknya itu dikarenakan Iran yang mengekspor beberapa perlatatannya sendiri dan menyuarakan dengan memberi dukungan politik, serta memberi dukungan ekonomi.

Militan Houthi di Yaman telah tumbuh lebih berani pada setiap pertempuan, itu yang dibicarakan oleh AS. Setelah mereka membicarakannya, orang Arab merasa yakin, tapi ada satu hal yang tidak ingin dibicarakan atau tidak dibicarakan oleh AS—yaitu terkait dengan Syria.

Kita dapat melihat di Syria bahwa pemerintahan Bashar al-Assad, yang didukung Iran, memiliki hubungan dekat dengan Iran dan Hizbullah di Lebanon, yang menerima perintah dari Iran. Dan  telah membuat “ISIS” dan Al Qaeda menjadi target utama serangan mereka.  Tapi jika dikatakan bahwa Iran melawan “ISIS” dan Al Qaeda di Syria “menimbulkan masalah” itu jelas tidak benar, tidak perduli dari sudut pandang manapun.

Tapi ketika AS, dunia Arab atau Israel melihat pengaruh Iran memainkan peran utama di Syria, kita bisa melihat mereka akan tidak nyaman dengan itu. Itu pandangan dari sebagian besar analis dunia luar.

Pada pagi hari 7 April lalu, waktu setempat, militer AS melancurkan 59 rudal jelajah “Tomahawk” ke Pangkalan Udara Shayat dekat Homs, Syria. AS mengatakan ini merupakan pembalasan atas serangan senjata kimia yang terjadi di wilayah yang dikuasai oleh oposisi Syria beberapa hari sebelumnya.

Ini adalah pertama kalinya AS melakukan serangan militer sejak Trump berkuasa. Tindakan ini mengirim sinyal bahwa AS lagi menyesuaikan kebijakan Timtengnya.

Pada 18 April 2017, Departemen Luar Negeri AS mengkonfirmasi bahwa Iran mematuhi perjanjian nuklir Iran. Dan mengirim pemberitahuan ini kepada Kongres. Ini adalah sebuah kondisi untuk memperpanjang keputusan untuk menanggguhkan sanksi yang diberlakukan terhadap Iran, yang diambil setelah perjanjian nuklir Iran ditandatangani.

Lalu Syria sekarang sudah dalam fase yang bagaimana? Kenyataannya, Syria sudah masuk dalam proses mencari tahu bagaimana cara membagi kekuasaan dan bagaimana mencapai pengaturan politik Syria setelah “ISIS” di berantas.

Kenyataannya, sekarang setiap pihak sedang membuat perhitungan tentang bagaimana memaksimalkan kepentingan masa depan mereka. Karena itulah, pada saat ini, AS perlu menekan pemerintah al-Assad. Jadi dalam memahami hal ini perlu kita lakukan pendekatan multi-cabang.

Di satu sisi, AS ingin mengeluarkan peringatan ke Iran dengan akan menilai ulang kesepakatan nuklir Iran. Selain itu, ia ingin menggunakan serangan udara terhadap militer Syria untuk menekan pemerintahan agresif al-Assad yang sedang melakukan offensif militer.

Di balik itu AS untuk “menunjukan muka” terhadap Iran, juga memperlihatkan kekhawatiran AS dengan pengaruh Iran yang semakin menanjak di Timteng. Kekuatan Syria yang dipimpin Iran di Timteng saat ini tidak dapat dibandingkan dengan apa yang telah mereka lakukan sebelumnya.

Dari Irak ke Syria, ke Hizbullah di Lebanon, mereka telah membentuk aliansi Syiah yang besar. Beberapa analis bahkan percaya bahwa penandatangan perjanjian nuklir Iran 2015 telah memberi Iran posisi paling kuat di Timteng dalam beberapa dasawarsa ini.

Respon macam apa yang akan dilakukan Iran, yang semakin kuat saat menghadapi hubungan AS-Iran yang semakin tegang ini?

Pada 18 April lalu, Iran mengadakan parade militer tahunan Hari Angkatan Darat (HAD) di ibukota Taheran. Sistem pertahanan rudal S-300 yang dikirim Rusia, melakukan debut penampilan pertama. Sistem S-300 ini berkemampuan anti-udara yang kuat, jangkauan anti-udaranya  berkisar 300 km dan ketinggian 27.000 meter, jadi akan memperluas jangkauan anti-udara Iran.

Para analis percaya bahwa saat rakyat Iran dalam keadaan tegang dan situasi regional menjadi semakin rumit, Iran mengungkapkan bahwa sistem pertahanan rudal S-300 juga menjadi sinyal dan pesan yang kuat bagi dunia.

Hassan Rouhani Presiden Iran dalam pidato dalam upacara peringatan HAD ini mengatakan: “Kebanggaan pemerintah pada peringatan ke-11 (HAD) ini bahwa setelah bertahun-tahun mengalami kemunduran dan hambatan, Iran akhirnya menerima sistem pertahanan udara yang sangat penting bagi kita, dan memberikan kepada militer Iran.”

Pernyataan beberapa tahun kemunduran dalam penyampaian sistem S-300 adalah refleksi hubungan antara AS, Rusia dan Iran dalam dekade terakhir.

Pada tahun 2007, Iran mengalokasikan 1 milyar USD untuk membeli lima sistem S-300 dari Rusia, namun kemudian mendapat oposisi keras dari AS pada saat itu. Pada tahun 2010, saat Dewan Keamanan PBB meningkatkan embargo senjata kepada Iran, Rusia membatalkan pernjanjian penjualan S-300 dengan Iran.

Setelah tahun 2015, saat kesepakatan nuklir Iran tercapai. Pihak Barat mencabut embargo senjata pada Iran, dan pada saat yang sama,  Rusia dan AS terjadi oposisi atas masalah Ukraina, dan Rusia mengalami sanksi-sanksi dari Barat.

Pada akhir tahun 2015, Rusia melakukan intervensi dalam konflik Syria, dan Iran juga merupakan pendukung kuat pemerintah Syria. Rusia dan Iran bekerjasama dengan erat, dalam situasi demikian, Rusia terus mempertahankan bahwa tidak diperlukan embargo senjata terhadap Iran, sehingga S-300 dikirim ke Iran.

Selama bertahun-tahun kebijakan Timteng AS telah menyebabkan Rusia dan Iran tumbuh makin dekat. Ketika hubungan AS-Iran memasuki babak baru dalam ketegangan, hubungan Rusia dan Iran terus tumbuh lebih dekat adalah hal yang bisa mudah dikita lihat.

Pada 28 Maret lalu, Presiden Iran Hassan Rouhani dan Presiden Rusia Vladimir Putin bertemu di Kremlin, Rusia.

Putin mengatakan: Iran adalah tetangga yang ramah, dan mitra yang andal dan stabil. Kami berdedikasi untuk secara efektif bekerjasama di segala aspek dalam isu-isu internasional secara signifikan dan menyelesaikan isu-isu internasional yang serius.

Pada 16 Agustus 2106, militer Rusia memanfaatkan Pangkalan Udara Hamadan Iran untuk melakukan serangan terhadap pasukan ekstrimis di Syria. Ini adalah yang pertama kalinya Rusia menggunakan pangkalan militer pihak ketiga untuk melakukan serangan udara di Syria, dan ini juga merupakan baru pertama kalinya dalam sejarah Iran yang mengizinkan sebuah militer asing untuk ditempatkan di wilayahnya sendiri.

Ketika hubungan AS-Iran dalam keadaan tenang, Iran pada awalnya hanya ingin membiarkan info menggunakan pangkalan mereka untuk diri sendiri. Namun mereka tidak terbayangkan bahwa Rusia akan mempublikasikan info ini. Ini sesuatu yang tidak menyenangkan bagi Iran, dan menuduh Rusia bertindak “gegabah.”

Namun pada akhir Desember tahun lalu, setelah AS memperpanjang  “Bill on Sanctions Against Iran,” (UU sanksi terhadap Iran), militer Iran secara tebuka mengatakan bahwa jika Rusia mengajukan permintaan, Iran akan mempertimbangkan untuk menyediakan bantuan semacam ini (memgizinkan penggunaan pangkalan militernya)  kepada Rusia.

Dari sini, kita bisa melihat bahwa Iran sedang mencari keseimbangan antara AS dan Rusia. Seiring dengan hubungan AS-Iran yag tumbuh tegang, dengan menggunakan “kartu Rusia” untuk membatasi AS, sebuah metode penting dimana Iran dalam menangggapi ancaman AS.

Jika AS akan melemahkan Iran di medan perang Syria yang mendukung pemerintahan Bashar al-Assad, Rusia tidak akan membiarkan hal itu terjadi, jika sampai terjadi dalam hitungan hari isu Syria akan berkembang menjadi seperti sekarang, akan terjadi konflik langsung antara AS dan Rusia. Itu adalah sesuatu yang tidak ingin dilihat oleh poltisi AS, dan Trump tidak akan melakukan itu.

Pemilu Iran akan dilakukan dalam bulan Mei ini. Pada 20 April, pemerintah Iran mengeluarkan daftar kandidat untuk presiden berikutnya, yang juga termasuk Presiden Raouhani dan 5 kandidat lainnya, tapi mantan presiden Mohmoud Ahmadinejab tidak termasuk dalam daftar calon.

Rouhani dipandang sebagai pemimpin moderat Iran, dan kesepakatan nuklir Iran tercapai semasa jabatannya. Selama masa Amahdinejab, dia dikenal bersikap keras terhadap AS. Menurut laporan dari AFP dan media lainnya, Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei pernah mengatakan bahwa Ahmadinejab tidak mencalon diri sebagai presiden, namun sebanarnya dia ditolak meskipun bersikeras untuk ikut mendaftar pemilu. Tapi pada akhirnya tidak lulus penilaian kredensial/mandat Dewan Guardian. Tindakan ini menjadi indikasi sikap Iran terhadap AS.

Ini menunjukkan bahwa Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei telah memutuskan untuk tidak berperang. Khamenei telah memutuskan untuk tidak membiarkan adanya kemungkinan Mahmoud Ahmadninejab akan menimbulkan masalah. Karena jika dia berkampanye, dia bisa menyabik masyarakat Iran selama proses kampanye berlangsung. Entah apakah sekutu tradisonal Ahmadinejab di masa lalu, Garda Revolusi Iran , atau beberapa kelompok radikal, mereka akan menjadi aktif di masyarakat lagi.

Sedang anggota-anggota yang sudah mampan pendukung Rouhani, lebih suka menikmati masa-masa damai saat ini yang dibawa setelah perjanjian nuklir Iran. Bagi Iran, stablitas adalah hal yang utama saat ini, mereka ingin menggunakan kesempatan damai saat ini dan mengambil keuntungan damai yang dihasilkan oleh penandatanganan perjanjian nuklir Iran untuk menumbuhkan ekonominya, dan memenuhi kebutuhan rakyatnya. Ini yang menjadi kebutuhan paling mendasar bagi Iran kini.

Meskipun Trump terus memperlakukkan Iran sebagai ancaman yang terus meningkat, tapi Iran terus membuat bantahan dari garis keras ini. Yang jelas Iran masih  mengamat-amati hal ini saat ini, dengan melakukan hal menahan diri sebisanya. Iran tidak ingin meningkatkan ketegangan, namun sulit untuk terlalu optimis tentang masa depan hubungan Iran-AS

 

Beberapa pengamat ada yang berpikir hubungan AS-Iran tidak akan berjalan baik selama pemerintahan Trump. Diharapkan tidak ada insiden yang bisa memicu konflik, dan mereka bisa mempertahankan situasi umum saat ini.

Memang saat ini sikap AS terhadap Iran hanya sebatas ancaman terhadap Iran. Kebijakan praktis yang terlihat dalam kebijakan AS terhadap Iran. Philip H Gordon anggota seior Dewan Hubungan Luar Negeri menunjukkan bahwa melalui Trump AS telah menunjukkan sikap garis keras terhadap Iran bebrapa kali, hanya setiap kebijakan terhadap Iran akan sangat terbatas.

Pada kenyataannya, Iran telah memainkan peran penting dalam menyelesaikan masalah Syriah dan memerangi terorisme di Timteng. Jika AS ingin melakukan terobosan dalam isu Timteng, perlu dicari resolusi yang berkompromi dengan Iran. Emkian pendapat para analis dan pengamat dunia luar.

07 April 2017

Sucahya Tjoa

Sumber; Media Tulisan dan TV Luar Negeri dan Dalam Negeri

http://edition.cnn.com/2017/02/04/politics/iran-us-tensions-timeline/

http://www.inss.org.il/index.aspx?id=4538&articleid=13346

http://www.dailywire.com/news/15514/breaking-trump-administration-says-iran-complying-hank-berrien#

https://www.dawn.com/news/1328132

Iran complying with N-pact, Trump administration tells Congress

http://www.al-monitor.com/pulse/originals/2017/04/jcpoa-cheating-iran-tillerson-congress-sanctions--iaea.html

http://nationalinterest.org/feature/us-iranian-relations-could-spiral-out-control-19203

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun