Mohon tunggu...
Sucahya Tjoa
Sucahya Tjoa Mohon Tunggu... Konsultan - Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menelisik Kebijakan Luar Negeri AS dan Geopolitik untuk Sekutu AS

12 Maret 2017   19:30 Diperbarui: 6 Mei 2017   07:54 1462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Outside The Beltway

Dalam tulisan ini yang akan dibahas terutama yang berkenaan dengan kebijakan luar negeri AS untuk para sekutunya.

Setelah berakhirnya Perang Dingin, aliansi yang dipimpin AS telah membentang lusinan negara berdaulat di seluruh dunia, selama ini sudah beberapa dekade telah beroperasi secara stabil, dan memainkan peran yang tak tergantikan dalam mendukung hegemoni global AS.

Kini pada banyak kesempatan presiden baru AS yang telah menyatakan ketidak-senangannya dengan sekutunya. Donald Trump percaya bahwa beberapa negara telah mengambil keuntungan dari AS sebanyak mungkin, dan beberapa kelompok bahkan sudah menjadi usang.

Akapah kritik terselubung ini menunjukkan bahwa aliansi AS telah mencapai tahap harus transformasi? Seberapa jauh kiranya transformasi ini akan mempengaruhi situasi politik dunia?

NATO dan aliansi AS-Jepang umumnya dipandang sebagai dua pilar penting untuk AS mengontrol Eurasia, presiden baru AS Donald Trump telah berulang kali melakukan kritik terselubung untuk kedua sekutu tersebut.

Trump mengatakan, mitra kita harus memenuhi kewajiban keuangan mereka mulai dari sekarang, berdasarkan satu diskusi yang tegas dan jujur dari kita, mereka harus mulai melakukan itu.

Selama dalam kampanye Trump menuduh Jepang “menumpang” pada AS untuk masalah keamanan, dan bagi NATO, Trump lebih vokal lagi dalam klaimnya pada organisasi yang sebenarnya sudah usang ini.

Trump pernah menyatakan: “Saya saat dalam acara di CNN, mereka pernah mengajukan pertanyaan besar, apa yang Anda pikirkan tentang NATO, dan saya katakan ‘Ini sudah usang dan memakan terlalu banyak biaya.’ Banyak negara yang tidak membayar dengan adil, oke? Mereka harus membayar lebih, termasuk bayar kekurangan masa lalu. Jika tidak NATO bubarkan saja, bubarkan NATO.”

Meningkatkan “biaya perlindungan” telah menjadi pandangan Trump sejak lama. Mungkin apa yang ia isyaratkan bahwa biaya untuk menjadi sekutu AS akan menjadi lebih tinggi dan lebih mahal. Trump mengingatkan: "Mereka harus membantu kita,  Kita tidak mendapat penggantian untuk apa dalam jumlah besar pekerjaan ini dan yang energi kita keluarkan serta persenjataannya. Biaya –biaya itu harus mereka tanggung. Jika tidak, Anda harus siap untuk pergi atau meniggalkannya."

Tapi itu hanya retorika saja, tindakan Trump telah menunjukkan beda dengan sikapnya. Dari 2 hingga 4 Pebruari Menhan AS James Mattis mengunjungi Korsel dan Jepang. Di Korsel, kedua pihak sepakat untuk mengerahkan dan memprakarsi sistem anti-rudal THAAD dalam tahun ini. Di Jepang, Mattis jelas menyatakan bahwa Kepulauan Diaoyu/Senkaku dan pulau-pulau sekitarnya sudah tercakup dalam “Perjanjian Keamanan AS-Jepang.”

Segera setelah itu, pada 15 Pebruari 2017, Trump melakukan sambungan tilpon dengan Sekjen NATO Jens Toltenberg. Setelah itu, NATO mengumumkan Trump telah berjanji untuk hadir di KTT NATO—Pertemuan Para Kepala Negara anggota NATO yang akan diadakan pada bulan Mei 2017.

Tapi para pengamat dan analis menilai bahwa komentar Trump hanya strategi. Dia tidak ingin meniggalkan sistem sekutu, bahkan dia ingin memperkuat sistem sekutu, karena ketika sekutu ini menyadari bahwa kemungkinan kehilangan perlindungan dari sistem sekutu mereka, kemudian mereka akan meningkatkan dan memperdalam sistem keuangan sekutu mereka  atau dalam aspek-aspek yang lain. Itu yang diperkirakan dari niat Trump.

Satu hal yang jelas. Trump sesungguhnya tidak ingin kembali ke isolasionisme. Dia masih akan mempertahankan hegemoni AS. Dia ingin sekutu AS untuk berbagi biaya hegemoni AS.

Sebagai satu-satunya negara adidaya di dunia modern ini, para mitra AS bisa dikatakan menyebar di selutuh dunia. Di Eropa kelompok militer yang dipimpin AS—NATO telah berkembang selama bertahun-tahun, dan sekarang sudah memiliki anggota hampir 30 negara.

Di Asia-Pasifik, sekutu AS—Jepang, Korsel, Filipina, Singapura, dan Australia semua memiliki perjanjian militer atau jaminan keamanan tertentu.  Di Timteng, AS memiliki persahabatan yang mendalam dengan Israel, Mesir, Arab Saudi, Yordania, Kuwait, Bharain dan Qatar. Di depan pintu Amerika sekeliling AS juga dalam lingkup kekuasaannya. Menurut statistik yang tidak lengkap mengatakan diperkirakan AS memiliki lebih dari 60 negara mitra di siantero dunia.

Sistem Sekutu a la AS

Sistem sekutu AS cukup rumit. Ini mencakup tersebar di seluruh dunia. Terdapat sekutu yang paling kuat di Eropa yaitu NATO. Di Asia-Pasifik, AS memiliki beberapa “deputi” seperti Australia, Jepang, Korsel dan Filipina. Dan “deputi” ini juga dimiliki di Timteng dan Amerika Latin, seperti Kolombia dengan mereka memiliki perjanjian aliansi militer dengan AS.

Cendiakwan AS Zbigniew Brezinki pernah suatu kali tanpa malu mengatakan: “Posisi supremasi AS di dunia berpegang pada sistem perhitungan yang teliti untuk sekutu yang tersebar di seluruh dunia.”

Dari semua sekutu yang telah berpartisipasi dalam Perang Teluk AS terhadap Irak pada tahun 1991; dan ada 12 negara anggota NATO pernah langsung mengambil bagian dalam Perang AS terhadap Kosovo melawan Yugoslavia pada tahun 1999; dan Inggris, Australia, dan militer Polandia bahkan mengambil bagian dalam pertempuran darat dalam Perang Irak- AS yang dimulai tahun 2003.

Selain itu, banyak sekutu AS telah ikut memberikan dukungan politik yang kongkrit atau tersamar dalam kegiatan organisasi internasional seperti PBB, Bank Dunia, IMF, G7 dan Badan Energi Atom Internasional (IAEA).

Bagi AS, sistem sekutu yang kuat merupakan salah satu bagian dari fondasi hegemoninya. AS memiliki kekuatan nasional yang komprehansif yang membentuk bagian dari fondasi itu, tapi bagian lain dari itu adalah sistem yang kuat dari sekutu yaitu beberapa sekutu yang mendukung AS begitu AS bersuara.

Namun sekutu ini membentuk aliansi dengan AS juga memberi mereka banyak manfaat. Pertama-tama untuk masalah keamanan, mereka memiliki perlindungan militer dari AS. Selain itu, tidak lama setelah P.D. II berakhir, AS tidak memberikan sekutunya sejumlah besar dukungan ekonomi. Juga dalam banyak isu-isu internasional, AS memiliki standar ganda untuk sekutu dan negara-negara lain.

Misalnya, AS pernah suatu kali memperbolehkan Israel memiliki rencana membangun nuklir. Namun,  setelah beberapa tahun belakagan ini kekuatan ekonominya berkurang, metode AS untuk mempertahankan sistem sekutunya telah berubah, dan sangat cendrung ke arah militer, bukan lagi ke arah kerjasama ekonomi, ini yang menyebabkan kepercayaan kepada AS sebagai pemimpin sistem sekutu menurun.

Krisis Finansial Cendrung Mengubah AS Ke Arah Sekutu Militer

Beberapa analis percaya bahwa setelah krisis keuangan tahun 2008, AS telah semakin lebih suka melakukan mengarahkan kerjasama dengan sekutu di sektor militer dan keamanan, dan memperbesar konflik di daerah hot-spot untuk memaksa sekutunya untuk lebih mengandalkan diri pada AS demi keselamatan negara mereka. Cara ini tampaknya telah menjadi metode yang efektif bagi AS untuk memperkuat sistem sekutu.

Tapi masa kini bukanlah masa yang lalu. Apa masih bisa AS memberi perlindungan keamanan yang kuat seperti yang mereka berikan sebelumnya?

Berdasar situs “Global News” di Jerman menuliskan, mereka pecaya dalam beberapa tahun terakhir, AS terus menciptakan sistem sekutunya agar aman, dengan fokus bergeser dari Eropa ke Asia, tetapi ketidak-simetrisan dari sistem AS telah menyebabkan sekutu AS khawatir akan meninggalkan sekutu dalam “kesulitan dari aliansinya” sementara AS lebih khawatir akan menjadi lebih “terlibat.”

Pengembangan Sekutu Dengan Korsel

Menurut laporan dari media Korsel, mulai dari 13 Maret 2017, Korsel dan AS akan terus melakukan latihan milter bersama dengan nama sandi “Key Resolve” yang akan menjadi terbesar dalam sejarah. Tapi tidak seperti tahun lalu, Korsel dan AS akan menambah skenario untuk latihan : Korut akan meluncurkan rudal balistik, dan Korsel dan AS akan men-simulasikan menggunakan sistem pertahanan udara anti-rudal THAAD untuk mendeteksi dan mencegat rudal.

Pada 2 Pebruari 2017, Menhan AS yang baru Mattis mengunjungi pangkalan udara AS Osan di Korsel, dan bertemu dengan PM interim Korsel Hwang Kyo-ahn. Kedua belah pihak menegaskan bahwa aliansi Korsel-AS masih kukuh setelah Presiden Trump resmi berkantor.

Mattis megatakan: “Tapi sekarang kita harus mengatasi kenyataan dari ancaman yang dihadapi negara Anda dan negara saya, dan kita berniat untuk bahu-membahu dengan Anda, dan kita hadapi bersama.”

Mattis juga bertemu dengan Menlu Korsel Yun Byung-se dan Menhan Korsel Han Min-goo untuk membahas topik seperti mempromosikan pengerahan dan penyebaran sistem anti-rudal THAAD dan menggunakan senjata strategis AS di Semenanjung Korea dalam tahun ini.

Isu nuklir Semenanjung Korea yang sedang memanas menjadi kunci untuk melanjutkan aliansi militer Korsel-AS.

Bagi negara sekutu bersedia mengikuti AS karena. Pertama adanya kepentignan mereka, yaitu mereka berpikir jika mereka mengikuti AS akan mendapatkan perlindungan keamanan yang lebih. Hampir setiap salah satu mitra AS berharap untuk mendapatkan janji keamanan dari AS. Dan Korsel ini mendapatkan yang lebih khusus untuk sekutu AS dan juga Jepang di Asia Timur Laut.

Namun, yang disebut ancaman tidak akan ada setiap saat, seperti hubungan internasional terus berubah. Setelah Uni Soviet bubar, benua Eropa secara bertahap mulai berubah tentang kesadaran keamanannya, dipercayai tidak akan ada konflik militer skala besar dan tidak akan dimulai lagi Perang Dingin, maka Eropa melaksanakan demiliterisasi, mengharuskan NATO melakukan transisi dari yang tadinya sebagai kelompok militer utama yang bertanggung jawab atas pertahanan bersama untuk sistem menajemen keamanan untuk menghadapi tantangan regional dan global.

Tapi hal ini membuat AS tidak senang dengan demiliterassi Eropa. Dua mantan Menhan AS Robert Gates dan Leon Panetta pernah memperingatkan bahwa demiliterasasi Eropa telah berubah menjadi sebuah Godpel/Injil di abad ke-20 untuk penghambatan bagi perdamaian sejati dan keamanan di abad ke-20.

Dan Krisis Ukraina pecah pada tahun 2013 ini menjadi kesempatan bagi AS. Politisi AS mengambil keuntungan dari situasi ini untuk menyebarkan pesan “perang tidak mungkin tidak akan terjadi” di benua Eropa.

Berdasarkan informasi yang terbatas yang dimiliki para pengamat mengatakan, AS pasti ada dibalik revolusi berwarna (color revulution) di Ukraina. Karena AS terhadap Eropa mempunyai pandangan sbb: Eropa masih cukup punya kesatuan, tapi masih kurang persatuan, atau masih juga berperang, itu tidak menguntungkan kepentingan nasional AS, namun Eropa tidak boleh terlalu bersatu, karena itu akan menjadi penantang AS.

Itu yang menjadi sikap AS terhadap Eropa. Pandangan ini sama untuk hubungan Rusia-Eropa. AS tidak ingin Rusia dan Eropa benar-benar menjadi perang total, karena itu akan sangat berdarah-darah dan AS harus terlibat. Itu dianggap tidak baik. Tapi AS tidak ingin mereka terlalu dekat. Sehingga memaksa sekutu-sekutunya untuk tergantung pada AS untuk keamanan mereka, dan ini mungkin menjadi kunci untuk bagaimana AS mempertahankan sistem sekutunya. Namun untuk seberapa jauh AS dapat menjamin keamanan sekutu-sekutunya?

Sumber: Obkom.com
Sumber: Obkom.com
Pada 7 Agustus 2008, perang singkat pecah antara Georgia dan Rusia. Gerogia melakukan serangan militer terhadap Ossetia Selatan, sebuah kawasan di wialayahnya yang menginginkan kemerdekaan. Dan militer Rusia dengan cepat merespon, tidak hanya mengusir militer Gerogia di Ossetia Selatan, tetapi memerangi daerah lain di barat Georgia, Abkhazia yang mencari kemerdekaan.

Pada ahirnya, dengan perantaraan Presdien Prancis yang lalu Nicolas Sarkozi, Rusia dan Gerogia mencapai kesepakatan untuk gencatan senjata pada 12 Agustus 2008. Dua minggu kemudian, pemerintahan Rusia secara resmi mengakui kemerdekaan Ossetia Selatan dan Abkhazia.

Dari contoh peristiwa diatas, kita dapat melihat bahwa ketika terjadi untuk masalah keamanan dan janji-janji keamanan negara-negara kecil, AS mungkin tidak benar-benar mengikuti aturan NATO yang mengatakan jika sebuah negara diserang, maka itu sama dengan atau setara dengan semua negara NATO diserang, dan semua negara anggota perlu bersama melakukan serangan balik, termasuk AS. Dalam kenyataan AS tidak benar-benar melakukan itu.

Jadi jika untuk masalah Asia-Pasifik, Jepang berulang kali meminta AS untuk berjanji untuk masalah Kepulauan Diaoyu (Tiongkok) atau Senkaku (Jepang). Kemungkinan AS untuk mau mematuhi perjanjiannya sangat lemah dan diragukan.

Tapi ketika AS perlu memberi bantuan, satu hal yang perlu dilakukan adalah melihat seberapa pentingnya sekutu ini, juga seberapa banyak akan mempengaruhi AS jika sekutu ini jatuh. Hal lain adalah bagaimana kemampuan AS. Demikian pandangan beberapa analis tentang AS.

Setelah krisis Ukraina, hubungan AS-NATO menjadi lebih solid. Setelah situasi di Asia Timur Laut memburuk, aliansi militer AS-Jepang, dan AS-Korsel diperkuat.

Sekarang, AS telah mulai meminta “biaya perlindungan.” Pada kenyataannya, latar belakang AS meminta sekutunya untuk uang adalah menyangkut kepercayaan AS sebagai pemimpin dari aliansi tersebut. Karena AS yakin negara-negara ini tidak akan meninggalkan kemanfaatannya dengan bersekutu dengan AS.

Namun, seberapa stabilnya manfaat dari aliansi ini? Dari mereka ini, siapa yang benar-benar menjadi teman “Paman Sam” yang sesungguhnya?

Dengan adanya pusaran angin dalam hubungan Eropa-AS, Konferensi Keamanan Munich (Munich Security Conference) telah berakhir, yang mencerminkan bahwa aliansi ini tidak harmonis. Memang di atas panggung terlihat harmonis dan tertawa-tawa, tetapi dibelakang panggung, mereka saling menguji dan mencoba satu sama lain. Sama seperti beberapa media yang menyatakan: hubungan mereka “tidak bisa dijamain permanen,” dan “kepercayaan sudah mulai goyah.”

Wakil Presiden AS, Mike Pence dalam pidatonya mengatakan: “Hari ini atas nama Presdien Trump, saya memberi jaminan ini: AS sangat mendukung NATO dan akan terus teguh dalam komitmen kita untuk beraliansi denga trans-Atlantic ini.”

Dalam konferensi tesebut, Wakil Presiden Mike Pence dalam pidatonya berjanji bahwa AS telah berjanji kepada NATO, tetapi janji ini tidak mendapakan goodwill apapun dari negara-negara Eropa.

Menhan Jerman, Ursula von der Layen mengatakan bahwa distribusi beban antara sekutu NATO itu bukan hanya masalah dana---berbagi tanggung jawab itu berarti mendukung satu sama lain setiap saat. Dia juga memperingatkan AS untuk tidak bertindak sepihak dalam kebijakan luar negerinya.

Ursula von der Layen mengatakan: “NATO tidak dapat bertindak secara sepihak, demikian juga baik Eropa maupun AS. Kita perlu untuk mempertahankan kepentingan kita bersama, dan berdiri teguh dengan prinsip-prinsip dan ide-ide kita.”

 Secara obyektif, keterasingan politik antara AS dan Eropa tidak dimulai dari pemerintahan Trump, tetapi telah ada selama beberapa waktu. Dalam beberapa tahun terakhir, AS telah menerapkan kebijakan intervensi dalam konflik militer di Timur Tengah dan Afrika Utara, sehingga menyebabkan kerusuhan di kawasan seluruh Eropa, sehingga menciptakan ancaman serius pada Keamanan Eropa.

Eropa sudah mengeluh bahwa tindakan AS telah bertentangan dengan kepentingan Eropa, sedangkan AS menuduh Eropa mencari kebijakan keamanan independen dalam rangka Uni Eropa sendiri tanpa partisipasi dari Washington. Namun sebenarnya NATO sudah lama tidak pernah punya mekanisme kebijakan keamanan bersama yang dirumuskan oleh AS dan Eropa.

Federica Moghenni, Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan mengatakan, Uni Eropa sedang bekerja lebih banyak pada pertahanan sebagai Uni Eropa, tidak bercampur aduk dengan NATO, karena itu prioritas nomor satu adalah warga negara Uni Eropa.

Dunia politik Eropa saat ini secara bertahap telah mencapai konsensus bahwa kemitraan trans-Atlantic tidak dapat memberikan jaminan abadi bagi kerja-sama Eropa-AS, dan penguatan pembangunan kekuatan Eropa sendiri yang memiliki strategis yang penting bagi pembangunan Uni Eropa di masa depan.

Seperti apa yang dikatakan oleh Kanselir Jerman Angela Merkel, Uni Eropa mengalami kesulitan untuk menjaga integritasnya sendiri, sementara situasi di sekitarnya bergolak, apabila juga mencoba untuk mengandalkan harapan kepada pihak luar untuk menyelesaikan masalah keamanan adalah tidak praktis.

AS tidak menginginkan Eropa menjadi mitra yang statusnya sama dengan mereka. Dalam hal ini Eropa boleh menjadi mitra yang lebih rendah, tetapi jika Uni Eropa menjadi badan politik yang komprehensif, tubuh militernya bersatu, setelah memiliki kekuatan lebih, maka AS mungkin tidak dapat lagi membuat keputusan-keputusan untuk masalah dunia.

Sudah dalam jangka waktu yang lama, salah satu alasan yang paling penting bagi negara-negara Eropa menerima untuk dikontrol Amerika adalah karena mereka sangat kuat di-indentifikasi AS. Bahkan meskipun mereka adalah sekutu yang di-indefikasi dengan baik satu sama lain, tapi di AS masih menempati mereka pada tingkat yang berbeda.

Pengungkapan Tingkat Sekutu Dalam Dokumen NSA-AS

Ilustradi dari youtube.com/CCTVChina
Ilustradi dari youtube.com/CCTVChina
Pada Juni 2013, Edward Snowden mengungkapkan progam dari “PRISM,” yang menyebabkan terjadi gelombang protes keras dari opini publik. Sekutu AS-Eropa terkejut dengan mengetahui sementara AS melakukan pengintaian terhadap musuh, tapi sebenarnya juga telah melakukan pengawasan terhadap diri mereka sendiri.

AS bahkan membagi sekutu mereka ke dalam beberapa tingkatan, dari Jerman dan Prancis yang ditempatkan berada di pengawasan berat, sebenarnya dinilai sebagai sekutu “tingkat prioritas ke tiga” dalam pikiran AS.

Sekutu AS benar-benar memiliki tingkatan dalam sistem sekutu AS. Negara-negara yang berbahasa Inggris merupakan sekutu prioritas tingkat satu, kemudian ada pimpinan regional dan negara-negara dengan kekuatan nasional yang luas dan kuat, seperti Jepang dan Jerman, kemduian neara-negara lainnya.

Dalam dokumen NSA-AS menunjukkan bahwa AS membagi kredibilitas sekutunya berdasarkan skala pertukaran informasi mereka dengan AS.

Dari jumlah tesebut, tingkat prioritas satu adalah negara AS sendiri. Prioritas kedua: Inggris, Kanada, Australia dan Selandia Baru. Sementara Jerman dan Prancis tercatat sebagai tingkat ke-tiga dan disebut sebagai “mitra paling kredibel,” dimana tingkat untuk diawasi sama seperti Irak dan Arab Saudi.

Dalam dokumen NSA dituliskan secara terus terang: “Kita (AS) bisa menyerang mayoritas dari telekomunikasi mitra tengkat tiga, dan kini juga sedang melakukannya.”

“Die Zeit” Jerman percaya bahwa AS melakukan pengawasan terhadap sekutu menjadi hal yang menyebabkan kehilangan keyakinan dan kepercayaan atas aliansi keamanan AS-Uni Eropa. Kepercayaan/keyakinan  adalah dasar untuk mempertahankan sistem sekutu.

Namun, dalam sistem sekutu yang dipimpin AS, lebih bergantung pada keyakinan/kepercayaan dari AS, karena perbedaan kekuatan antara AS dan sekutunya. Ini berarti hubungan mereka lebih seperti dari seorang menajer dan pelindung, atau bahkan seperti manajer dan karyawan, dan dalam tingkat hubungan “manajer” jelas memiliki lebih banyak inisiatif.

Apa Yang Akan Terjadi Pada Aliansi Jika Sang “Manajer”  Dayanya Menurun?

Perubahan apa ayg akan terjadi pada aliansi yang tidak setara ini, dimana jika “manajer” dayanya menurun.

Pada 10 Pebruari, Presiden Trump mengadakan pertemuan di Gedung Putih dengan PM Jepang Shinzo Abe. Abe menjadi pemimpin negara dunia asing kedua yang mengujungi Trump di Gedung Putih setelah resmi menjabat presiden.

Beberapa media di AS dengan jelas mengatakan, bahwa kunjungan itu untuk menyenangkan Trump, Abe tidak hanya memaksa perusahaan besar Jepang untuk “berdarah-darah” berinvestasi di AS, dia bahkan menuntut agar peruahsaan-perusahaan ini menyediakan investasi dalam jumlah pekerjaan besar yang bisa membuat Trump “membual” dalam Twitternya.

Pada 11 Pebruari, sebuah editorial di “Global Times” menuliskan “ Abe berharap bahwa aliansi Jepang-AS akan lebih kuat dan mantap, tapi ini harus disanggah dengan uang. Abe sungguh tahu bahwa jaminan Trump dapat memberikan efektitas terbatas, karena takarannya dikontrol oleh AS.”

Aliansi semacam ini tidak setara. Artinya AS adalah bos dan Jepang adalah salah satu yang dilindungi. Pada kenyataannya bisakah Jepang mencapai kesetaraan internal? Banyak analis pikir itu tidak mungkin. Dengan melihat masih adanya tentara AS yang diasramakan di Jepang, dan situasi integrasi militer di aliansi Jepang-AS, dimana AS masih memimpin keamanan Jepang. Jadi dalam situasi seperti ini, AS akan menggunakan kerja-sama militer untuk mengontrol Jepang.

AS Pengendali Posisi Politisi Jepang

Bagi Jepang tidak hanya keamanan sendiri di tangan AS, bahkan yang lebih penting lagi jaminan militer ini harus ditukar dengan konsesi ekonomi. “Yomiury Shimbun” melakukan jajak pendapat opini publik nasional yang hasilnya menunjukkan 70% dari penduduk Jepang cemas tentang hubungan Jepang-AS di masa depan, dan lebih dari 70% mereka percaya bahwa hubungan Jepang-AS akan memiliki efek negatif pada ekonomi Jepang.

Partai politik oposisi Jepang telah mengeritik Abe dengan mengatakan, Abe mengurangi jumlah pekerja resmi di Jepang, sementara akan menciptakan lapangan pekerjaan di AS, dengan mengatakan bahwa Abe prioritasnya terbalik.

Namun dalam menghadapi kecemasan dalam negeri, dan keraguan dari dalam pemerintah dan masyarakat, pemerintah Abe tetap dikejar oleh AS.

Pada kenyataannya, setelah Perang Dingin, terdapat satu sifat utama dari hubungan Jepang-AS berpengaruh dengan kelanggengan dan kepanjangan Pedana Menteri Jepang dalam berkuasa, seperti Junichiro Koizumi, ia digambarkan oleh oposisi Jepang sebagai PM yang hanya mengikuti perintah AS. Ia selalu mendengarkan apa kata AS, dan itu kenapa mampu menjadi PM Jepang selama lima tahun. Tapi kemudian, ada perubahan besar ketika PM Yukio Hatoyama sebagai PM, dia ingin berdiri setara dengan AS, sehingga mengalami beberapa masalah.

Pada tahun 2009, Partai Demokrat Jepang yang diwakili Yukio Hatoyama menyerukan pembangunan Futenma diluar Okinawa, dan bahkan di luar Okinawa yang memenangkan banyak pendukung, slogannya telah menyebabkan ia memenangkan banyak suara pemilih.

Setelah menjabat, Hatoyama bahkan berani menganjurkan untuk membentuk “East Asian Community (Komunitas Asia Timur)” yang dipandang trennya untuk bebas dari kontrol AS.  Akibatnya kurang dari setahun setelah resmi menjabat, ia mengundurkan diri dan meninggalkan kantor karena masalah kontribusi politik dan juga karena gagal untuk menangani hubungan Jepang-AS.

Setelah Partai Demokrat meninggalkan kantor dan Abe menjabat, ia mengubah gaya sentrifugal dari AS selama pemerintahan Demokrat, dia memperkuat aliansi Jepang-AS. Dalam situasi dimana memperkuat aliansi ini, kita melihat bahwa meskipun beberapa kebijakan Abe tidak mendapat persetujuan dari rakyat Jepang, namun pada kenyataannya, kebijakan luar negerinya telah mendapat dukungan kuat dari AS.

Dalam beberapa tahun teakhir ini, terjadi telah diangkatnya (dihapuskannya) larangan untuk bela-diri kolektif Jepang dan diakui AS dan bahkan dianjurkan. Setelah Undang-Undang keamanan terkait disahkan, arah kerja-sama pertahanan Jepang-AS yang komprehensif disesuaikan. Ini setara dengan langkah kunci dengan keingian Abe untuk mengamandemen konstitusi Jepang. Jadi itu didasarkan pada situasi ini, dengan dukung AS, jabatan Abe jadi abadi dalam arena politik Jepang.

Namun dengan keadaan nasional AS yang telah melemah, AS harus lebih mengandalkan lebih banyak pada bantuan diplomatik sekutu, militer, dan sektor ekonomi. AS berharap sekutunya akan membayar harga yang lebih tinggi dan mengambil lebih banyak tanggung jawab, sementara juga memberikan beberapa hak inisiatif.

Kini, dengan AS lebih mengendorkan obligasi utamanya, kekuatan militer Jepang terus dilepaskan kontrol pelatuknya. Suatu hari, ketika apabila Jepang sudah cukup kuat, banyak yang mempertanyakan siapa yang akan memimpin siapa dalam aliansi AS-Jepang ini? Akan sulit dijawab.

Seperti apa yang Trump sadari, alasan penting mengapa strategi AS membuat aliansi secara bertahap gagal adalah dikarenakan ekonomi. Pangsa ekonomi AS dalam ekonomi global berkurang. Ini yang menyebabkan semua sekutunya, terutama sekutu di Asia-Paisifik seperti yang kita mengetahui bahwa masalahnya AS tidak dapat menyelesaikan untuk meningkatkan hubungan ekonomi antara sekutunya di Asia-Pasifik dengan Tiongkok, dan ikatan itu jauh melebihi ikatan ekonomi antara AS dan sekutunya di Asia-Pasifik. Namun mereka ini tidak ada yang mau membayangkan akan menggantungkan keamanannya kepada Tiongkok.

Mereka masih terikat untuk tetap memilih AS pada saat ini. Tetapi ketika sampai untuk masalah instruksi AS, dan diperintahkan utnuk melakukan sesuatu berdasarkan niat strategis dan kepentingan startegis AS, mereka makin hari makin ragu.

Bagi sekutu penting AS lainnya, slogan Trump “America first” telah membuat mereka mundur. Federica Mogherini Perwakilan Tertinggi Uni Eropa Untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan mengatakan, sejak Trump telah mencanangkan “America fisrt” Trump harus fokus pada AS, tidak menggangu politik internal Uni Eropa.

Selama Konferensi Keamanan Munich tahun ini, politisi Jerman menekankan beberapa kali bahwa untuk menjaga nilai-nilai Barat pada umumnya, Jerman siap untk mengambil tanggung jawab dan memainkan peran utama. Kanselir Jerman Merkel menunjukkan dalam pidatonya bahwa Uni Eropa harus fokus pada tiga isu untuk masa depan: Menstabilkan mata uang bersama; Menjaga Perbatasan Eksternal; dan Mencari jalan untuk mengembangkan hubungan Uni Eropa-Rusia yang stabil.

Dalam pidatonya Merkel menegaskan: “Saya yakin selama ini, empat struktur umum multilateral internasioanl ini patut diperjuangkan, tapi kita harus meningkatkan itu semua pada semua posisi.”

Beberapa analis pecaya bahwa strategi aliansi AS secara bertahap akan hilang dan gagal. Karena di satu sisi perlu untuk mempertahankan kepentingan internasional, tapi di sisi lain ada kesulitan memenuhi berbagai “permintaan rasional” dari sekutu-sekutunya. Selain itu kekuatan AS kini mulai relatif menurun, kepentingan umum AS dengan sekutunya secara bertahap juga menurun.

Majalah AS “Foreign Policy” dalam satu akrtikel bertanya: “Apakah definisi dari ‘sekutu Amerika’? Artikel itu mengatakan, “Pada tingkat ideologis, sekutu adalah negara yang berbagi nilai-nilai Amerika, Taktis, sebuah sekutu itu berdiri dengan Amerika Serikat melalui beberapa konflik.”

Dari kondisi ini, kita dapat melihat disini, tidak banyak negara yang bisa benar-benar dianggap sekutu AS. Jadi, bagaimana aliansi akan dibentuk untuk bermanfaat dalam operasi sedang kekuatan AS sedang menurun?

Kesimpulannya, itu akan berharga bagi semua pihak untuk ‘wait and see’ apakah sekutu AS akan terus menjadi “pengganda” dari kekuasan AS seperti apa yang Obama gambarkan mereka dalam “era Trump” ini.

Sumber; Media Tulisan dan TV Luar dan Dalam Negeri: 1 | 2 | 3 |

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun