Jalur Sutra bukan hanya jalan komersial, juga merupakan jalur pertukaran peradaban dan kebudayaan dunia. Dari penemuan dan penggalian arkeologi sejarahwan dapat menggambarkan betapa eratnya pertukaran perdagangan dan peradaban serta kebudayaan antar bangsa yang nun jauh di buni ini saling berinterkasi, dan mempengaruhi satu sama lainnya. Khusus untuk Jalur Sutra Maritim (JSM) yang telah membawa peradaban manusia dari satu benua ke benua lainnya.
Pada tahun 1998 tim arkeologi bawah laut Tiongkok telah menemukan Kapal Karam peninggalan Song Dinasti (960M-1279M) Huaguangjiao One di kepulauan Xisha dan berhasil mengeksplorasi selama 10 tahun.
Namun 10 tahun sebelumnya pada 1974, di pulau Jinyin island (金银岛), sebelah barat Atoll Yongle (永乐), dan pada tahun 1996 di pulau Shanhu (珊瑚) di Kepulauan Xisha, nelayan lokal menemukan batu dengan bentuk pilar sejumlah 47 buah dan temuan ini disimpan di Museum Provinsi Hainan.
Sejarahwan mempertanyakan, mengapa bisa ada begitu banyak material dan komponen bangunan diatas kapal? Hal ini menunjukkan bahwa Jalur Sutra Mairitim (JSM) tidak hanya julur perdagangan, juga merupakan jalur penyebaran budaya nasional dan saling tukar menukarnya budaya.
Komponen banggunan yang ditemukan itu, diduga dari orang-orang Fujian dan tempat-tempat lain yang telah berimigrasi ke sekitar negara-negara Laut Tiongkok Selatan (LTS). Untuk membangun kuil-kuil dan mereka membawa kebiasaan-kebiasaan dan tradisi mereka kemana mereka pergi.
Komponen bangunan yang berhasil diselamatkan dari kapal karam dari zaman Ming Dinasti (1368M), ternyata sangat besar ukurannya dan berukir dengan indah, selain itu juga termasuk peralatan berupa alu batu, mortar, ukiran relief, komponen bangunan yang berupa pilar segi delapan, kolom berbentuk naga, kolom terbuat dari batu dan sebagainya dari kapal karam Song Dinasti. Dilihat dari teknik ukir dan pilar-pilar dan kolom-kolom ini dibuat di Provinsi Fujian.
Para ahli menegaskan bahwa komponen bangunan ini adalah barang yang diekspor ke Asia Tenggara selama Dinasti Ming (Masehi 1368-1644) dan Qing (Masehi 1644-1911), yang terkait dengan sejarah perantauan Tiongkok.
Pada awal Dinasti Han (206M) orang Tiongkok kuno telah melakukan perjalanan dan melakukan hubungan dekat dengan negara-negara Asia Tenggara melalui jalur laut menuju Asia Tenggara dan Asia Selatan.
Pada awal Dinasti Ming, Laksamana Zheng He melakukan 7 kali pelayaran ke “Laut Barat” yang membuat lebih memperkuat kontak antara orang-orang di negara-negara Asia Tenggara dengan Tiongkok. Kemudian orang-orang dari provinsi-provinsi Tiongkok seperti Hainan, Guuangdong, Fujian dan tempat lainnya mulai bermigrasi ke luar negeri sepanjang rute laut.
Dapat pula dikatakan JSM bukan hanya jalur petualangan orang Tiongkok ke luar negeri, terlepas dari membawa gaya hidupnya, kebiasaan makannya, dan fesival adat istiadatnya ke sudut dunia kemana mereka pergi, juga keyakinan agamanya.
Mereka ini biasanya memesan komponen bangunan dari kampung halaman mereka dan mengangkut ke tempat-tempat mereka tinggal di luar negeri untuk membanguan kuil, ruang leluhur dan rumah-rumah pangujuban orang sedaerahnya untuk meringankan perasaan nostalgia mereka yang mendalam dari asal usul mereka.
Semua zat, terutama yang sudah diproses oleh manusia, pasti menjadi budaya. JMS membantu mewujudkan peredaran barang dan pertukaran zat dan yang terpengaruh oleh peradaban yang berbeda dari negeri-negeri asing yang jauh dan sukacita orang-orang disana.
Fungsi yang paling menonjol dari budaya pada JSM adalah mempromosikan berbagai budaya agama.
480 vihara atau klenteng telah dibangun selama Dinasti Selatan (420M-589M). Du Mu (杜牧) seorang penyair dari Dinasti Tang melukiskan dalam puisinya : “Banyak menara-menara di udara hujan kabut.”
Ini menunjukkan budaya agama yang semarak dari Diansti Utara dan Selatan (南北朝/420M-589M).
Pada 1990an UNESCO meluncurkan ekspedisi JSM. Setelah mengenal dan mengetahui tentang budaya keagamaan di kota Quanzhou ( 泉州) Fujian, mereka memberi penghargaan tinggi atas kota ini.
Pada tahun 288M ketika awal-awalnya berlangsung menterjemahkan Kitab Suci Buddha di Tiongkok dibangun kuil Buddha pertama di Quanzhou.
Tapi JSM ini sebenarnya diciptakan oleh orang-orang dengan selangkah demi selangksh, dan dibangun orang-orang pada 2.000 tahun lalu. Orang-orang dari negara-negara di sepanjang jalan berwisata itu selangkah demi selangkah datang dan pergi ke Tiongkok dari mana-mana.
Mereka datang ke Tiongkok karena tertarik dengan produk, budaya, konsep, sistem yang ada di Tiongkok dan juga semangat orang Tiongkok pada waktu itu. Kebudayaan dan peradaban Tiongkok pada waktu itu sudah maju, sehingga menyebabkan ketertarikkan mereka saat itu.
Terjadi Toleransi Agama
Setelah kapal berlabuh, seorang pria tua bernama Puhhadin berjalan di kerumunan orang di kota pelabuhan ini. Puhaddin dilahirkan dalam sebuah keluarga bangsawan di ibukota Arab Saudi sekarang-Riyadh. Sebagai keturunan ke-16 generasi Nabi Muhammad.
Puhaddin sejak kecil telah menerima pendidikan yang baik. Dia seorang cendikiawan lokal Arab yang terkenal dan disegani dengan pengetahuan yang mendalam dan luas.
Pada saat itu ada pepatah terkenal di negara-negara Arab. “Meskipun pengetahuan adalah jauh-jauh di Tiongkok, kita akan mengejar itu.” Atau carilah ilmu hingga ke negeri Tiongkok (Although knowledge is a far away in China, we shall pursue it). Ter-motivasi dengan pernyataan yang terkenal ini, Puhaddin akhirnya memutuskan untuk datang ke Tiongkok saat ia berusia 57 tahun. Haus akan ilmu pengetahuan, Puhaddin pertama belajar ilmu kebudayaan Tiongkok (Sinologi) selama 4 tahun untuk mengenal Tiongkok. Beliau tidak beranjak kemana-mana sampai semuanya siap menguasai ilmunya. Saat itu dia sudah berumur 61 tahun.
Seperti pepatah lama, sangat langka bagi orang untuk bisa mencapai usia 70 tahun sejak zaman kuno. Pada saat itu, ia harus dianggap aneh untuk pergi ke luar negeri dan tetap tinggal hinga umur 61 tahun. Karena itulah Puhaddin menjadi dikenal luas setelah tiba di Yangzhou. Banyak orang yang ingin melihat jenis orang yang dianggap aneh ini pada saat itu.
Pejabat resmi tertinggi lokal Gubernur Prefecture Yanzhou, Yuan Guang’en (元广恩 ) termasuk yang paling penasaran. Dia khusus mengatur pertemuan dengan Puhaddin. Sebelum pertemuan Guang’en mengatur seorang pelukis untuk mengamati Puhaddin dengan teliti di belakang layar dan melukis wajah Puhaddin di sebuah kanvas. Potret wajah Puhhadin masih tersimpan dengan baik sampai sekarang, sehingga orang kini dapat melihat wajah berwibawa dan simpati dari cendikiawan dari Kawasan Barat (Arab) ini meskipun telah lewat 700 tahun.
Puhhadin sangat tertarik dengan Yangzhou yang merupakan pelabuhan laut internasional yang makmur dan kagum pada Grand Kanal yang digali orang-orang Tiongkok.
Puhhadin juga menemukan banyak orang Arab yang tinggal di Yangzhou yang melakukan perjalanan dari jauh sepanjang JSM seperti dia. Beberapa bahkan menikah memiliki anak dan membesarkan keturunan mereka. Ada banyak penduduk kota keturunan Arab, banyak dari nenek moyang mereka datang kesana untuk melakukan bisnis dan menetap di Dinasti Tang.
Orang-orang Arab yang tinggal di Tiongkok kemudian disebut pengunjung asing (番客) di tempat lokal itu dan dearah dimana mereka tinggal di sebut jalur asing (番坊) pada waktu itu. Pemerintah Tiongkok kuno tampaknya telah secara efektif mengelola pengunjung asing . Untuk mengatasi distribusi masalah warisan keturunan Arab, pemerintah khusus memberlakukan “Hukum Warisan Lima Generasi Untuk Orang Asing/ Law of Five Generation Legacy for Foreigners.”( 番客五世遗产法).
Puhhadin juga aktif dalam kegiatan keagamaan untuk orang Arab di Yangzhou. Dan atas usahanya mendirikan mesjid yang dinamai Mesjid Dewa Bangau (Crane Mosque/仙鹤寺) dengan tradisi dan karakteristik arsitektur Tiongkok.
Puhaddin tinggal di Yangzhou 10 tahun. Dengan berjalannya sejarah lebih 700 tahun, Mesjid Dewa Bangau ini telah menjadi saksi dari pertukaran budaya antara Tiongkok dan negara-negara Arab, dan menjadi peninggalan sejarah penting dari JSM hingga sekarang.
Setelah Puhaddin meninggal, Yuan Guang’en memakamkan beliau di atas bukit tinggi di tepi timur Grand Canal sesuai dengan keinginan dan pesan terakhirnya. Kaisar Yongle dari Ming Dinasti suatu ketika khusus mengeluarkan maklumat untuk melindungi makam Puhaddin.
Muhibah Laksamana Cheng Ho
Pada 1405, Raja Boni Sultan Abdul Majid Hassan datang berkunjung dengan menumpang dalam armada Cheng Ho dengan lebih dari 150 anggota keluarga dan para pejabat dalam rombongannya, dan diterima dengan ramah oleh Kaisar Yongle Zhu Di.
Boni adalah negara kecil di Pulau Kalimantan bagian utara di Asia Tenggara, kini disebut Negara Brunei Darussalam yang berarti para pedagang laut yang hidup di negara damai.
Boni selalu memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Tiongkok. Boni mengirim utusan ke Tiongkok pada awal Dinasti Song Utara (960M-1127M). Petukaran yang bersahabat antara kedua negara terus menerus berlangsung hingga kini.
Setelah Sultan Boni tiba di Tiongkok. Ia tinggal di Nanjing, tapi sayang ia jatuh sakit beberapa bulan kemudian. Meskipun Kaisar Ming telah mengirim dokter kerajaan untuk mengobati dengan hati-hati, tapi akhirnya dia meninggal di kediamannya di Nanjing pada bulan Agustus tahun itu di usia 28 tahun karena sakitnya tidak tersembuhkan.
Kaisar Yongle sengaja memakamkannya di pinggir kota bagian selatan Kota Nanjing Shizigang sesuai dengan pesan terakhirnya. Saat pemakaman diadakan upacara pemakaman terhadap sahabat Kaisar ini seperti upacara pemakaman seorang pangeran dan permaisuri Tiongkok untuk menghormati kerabat Boni. Dan ini sesuai atas permintaan dan keinginan terakhir agar dirinya di makamkan di Tiongkok. Kaisar Yongle juga meliburkan selama tiga hari untuk audensi kegiatan kenegaraan sebagai hari berkabung nasional. Pemakaman Boni dibangun Kaisar Yonle di areal Shizigang/石子岗 (khusus dijadikan taman pemakaman) diluar gerbang Andemen (安德门) Selatan Kota Nanjing.
Selain itu, Pedagang Arab dan Persia yang melakukan perdagangan dengan negara-negara Asia Tenggara dan Tiongkok melalui JSM juga banyak membawa peradaban Islam ke tempat-tempat ini. Banyak peradaban bertemu dan dikomunikasikan di tempat-tempat ini melalui JSM, dan terintegrasi satu sama lain dalam perdamaian pada akhirnya.
Sucahya Tjoa
30 Oktober 2016
Sumber : Media TV dan Tulisan Luar Negeri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H