Mohon tunggu...
Sucahya Tjoa
Sucahya Tjoa Mohon Tunggu... Konsultan - Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Obama vs Duterte dan Nasib Sekutu AS-Filipina

5 Oktober 2016   16:34 Diperbarui: 5 Oktober 2016   17:32 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Riwayat Singkat

Rodrigo Duterte lahir 28 Maret 1945, di Maasin, Filipina. Ayahnya Vicente G. Duterte seorang pengacara Cebuano; Walikota Danao; Gubernur Davao. Ibunya Soledad Roa seorang guru sekolah, pemimpin sipil. Rodrigo anak ke-2; bersaudara lima orang.

Rodgrigo Duterte : SD di Santa Ana Elemntary School (1956) ; SMA di Holy Cross College ; Lulus Bachelor of Arts bidang Political Science dari Lyceum of the Philippines University di Manila (1968) ; Lulus hukum dari San Beda College of law di Manila (1972).

1977 – 1979 : Panasehat Khusus di Kejaksaan Kota ; 1979 – 1981 : Asisten Ketiga Jaksa Kota ; 1983 – 1986 : Asisten Kedua Jaksa.

1983 : Sebagai Pejabat Wakil Walikota Davao ; 1988: Walikota Davao – dalam periode ini ia memilih wakil dari masyarakat Lumad dan Moro, sebuah praktek yang kemudian ditiru kota-kota lain.

Menurut hukum tata negara Filipina tidak memungkinkan seorang memegang jabatan sipil lebih dari tiga kali berturut-turut, pada 1998 memenangkan sebagai anggota DPR. Dari tahun 1998-2001 menjabat sebagai anggota Kongres dari Distrik satu Kota Davao dibawah Koalisi Laban ng Makabayang Masang Pilipino.

Karena merasa bosan pada 2011, sekali lagi ikut pemilihan walikota Davao dan terpilih. Selanjutnya menang tigak kali berturut-turut tiga kali ( 2001, 2004, 2007). Selama periode ini, kondisi Kota Davao membaik dalam segala hal. Memenangkan  tempat pertama untuk “Literacy Nasional Hall of Fame Award” sebanyak tiga kali.

Selama sebagai pejabat selalu membumi menyatu dengan rakyat kecil, sering ke jalan-jalan dan sering memimpin konvoi dengan motor besar yang dilegkapi M-16. Akibatnya tingkat kejahatan menurun drastis selama masa jabatannya.

Melakukan perang terhadap narkoba, mengeluarkan peraturan anti-merokok, melarang penjualan, melayani dan mengomsumsi minuman beralkohol dari jam 01:00 hingga 08:00. Juga memperkenalkan RUU hak-hak perempuan yang bertujuan untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dan mempromosikan hak-hak mereka.

Setelah tiga kali berturut-turut sebagai walikota, secara hukum tidak diperkenankan lagi ikut kontes jabatan yang sama. Kemudian menjabat sebagai wakil Walikota sementara putrinya Sara Duterte-Carpio menjadi Walikota.

Pada 2013, kembali memenangkan pemilukada sebagai Walikota Davao dan meneruskan pelaksanaan kota bebas kriminal. Sebelumnya ia menolak untuk menjadi Sekretaris Interior (Mendagri) sebanyak empat kali, lebih memilih untuk melayani kotanya. Dan mulai tertarik dengan dunia politik.

Pada 2014, Duterte terpanggil untuk membentuk suatu pemerintahan federal, yang akan mencerminkan rakyat Filipino termasuk suku. Tahun berikutnya ikut kontes sebagai Presiden Filipina.

Awalnya sangat ragu-ragu, karena kurang dana kampanye dan keengganan mesin politik. Dia setuju setelah putrinya Sara Duterte-Carpio menggundul rambutnya sebagai protes. Pada 9 Mei 2016 pemilu. Pada 27 Mei 2016, Kongres ke-16 menyatakan Rodrigo Duterte partai Partido Demokrartiko Pilipino-Lakas ng Bayan sebagai Presiden terpilih Filipna, memenangkan 39.01% lebih 6,6 juta dari saingan terdekatnya.

Presiden Filipina Rodrigo Duterte

Apa yang orang tidak pernah membayangkan adalah presiden Filipina baru ini yang dikenal memiliki “tangan besi” akan mulai menghina sekutu paling penting yang memproklamirkan diri “sebagai pelindung keamanan Filipina” ---Amerika Serikat, segera setelah ia menjabat presiden.

Yang menjadi perbedaan kontras dengan presiden sebelumnya Benigno Aquino III, “yang hanya nurut kepada AS,”  sehingga seluruh media AS segera menjadi “kecemasan kolektif.”

Reuters menggambarkan hubungan AS-Filipina “cepat sekali mendingin” dari yang awalnya sangat dekat sekali. Kantor berita AP menyebutkan ketegangan antara AS dan Filipina “satu kemunduran”. Dan “Wall Street Journal” mengatakan “ledakan anti-Amerika” Duterte, aliansi militer AS-Filipina masa depannya tidak diketahui.

Suatu ketika dalam pernyataan pers Duterte pernah berujar tentang Obama dan Kerry yang akan menegur tentang ekskusi ekstra judicial Duterte dalam perang melawan narkoba dengan alasan HAM: “Siapa dia (Obama)? Si anak xxxx (lonte). Saya akan mengutuk dia di KTT ASEAN. Mungkin kita harus lebih menyinggung mereka. Ini orang gila yang akan memberi uang lebih banyak kepada kita (Filipina) untuk mengambil hati kita. Kerry baik-baik saja, tapi saya bertengkar dengan Philip Goldberg, si Dubes (AS) yang pengecut.”

Sumber: CNN
Sumber: CNN
Berkenaan dengan komentar ini, Obama mengatakan: “Saya sudah dengar pernyataan yang warna-warni di masa lalu, jadi jelas dia adalah seorang cowok (lelaki) yang warna-warni.” Meskipun respon Presiden AS, Barack Obama moderat atas komentar Duterte, media mendefinikan sebagai “split diplomatik yang jarang terjadi antara dua sekutu tersebut.”

Namun, bagaimanapun media Barat terkejut dengan komentar tanpa filter Duterte, presiden baru Filipina dengan pernyataan yang mengejutkan, yang tiba-tiba berubah gayanya, sehingga menjadi perhatian dan kejutan dunia.

Tapi setelah pernyataan menghina Obama, Duterte minta maaf. Juru-bicara Presiden Filipina menyatakan : “Dia menyesal atas pernyataanya kepada pers yang telah menyebabkan banyak kontroversial.”

Selain itu Dutete juga menyatakan penyesalannya setelah mengeluarkan “eviction notice” (pemberitahuan penggusuran) bagi militer AS yang ditempatkan di Mindanao. Perfecto Yasay, Menlu Filipina mengatakan: “Kita (Filipina) akan terus bergerak lebih jauh dan memperkuat hubungan kita dengan AS dan mematuhi komitmen kita.”

Menghadapi sikap Duterte yang terlihat “naik turun dan gonta-ganti” opini Barat menuduhnya “berbahaya, hawkish (maunya menyerang), ekstrimis, dan anti-Amerika,” telah dipaksa untuk menjadi tenang sekali lagi. Media Barat menjuluki “vulgar” “ofensif” “sederhana dan kasar” “politik yang tidak benar” telah menjadi label baru bagi Duterte. Reuters menyebutnya sebagai “Trump versi Filipina” dan menuduhnya sebagai ekstrimis, nasionalis, anti-intelektual, dalam rangka menarik publik.

Namun digambarkan sebagai “tak terduga” oleh dunia luar, tapi apakah memang demikian?

Banyak orang yang membandingkan Duterte dengan Donald Trump salah satu kandidat yang ikut kontes presiden AS, atau menyebutnya Trump versi Filipina. Tapi ini sebenar suatu bentuk pembandingan yang dangkal dan hanya melihat permukaanya saja. Kedua tokoh ini memang ada persamaanya, mereka bukan politisi tradisional. Seperti biasa politisi tradisonal jika bicara sangat kedap air, tidak perduli betapa sensitifnya topik dalam suara politisi tradisonal mereka mengatakan bahwa kita perlu melakukan hal ini, dan juga untuk hal-hal lain, ini semacam kebenaran politik.

Dan karena itu, dari perspektif Duterte, dia juga menerobos bicara dengan bermakna dua. Kita tidak bisa melihat dia hanya sebagai fenomena yang tiba-tiba, atau berbicara tanpa filter, dia jelas bukan bukan orang yang demikian. Ini penilaian beberapa analis.

Kita harus melihat latar belakang dia sebagai pengacara hukum, dan memiliki pengalaman bertahun-tahun sebagai politisi. Dengan pengalaman ini, jika kita mengatakan dia bermulut besar, jelas tidak akurat.

Yang jelas kita bisa melihat dia seorang teladan yang berhasil mengubah “surga kriminal” menjadi “model kota” yang tidak ada duanya di Filipina, jelas Duterte bukan politisi pemula. Dia seorang politis berpengalaman, karena itu banyak analis percaya meskipun dia bicara tanpa filter dan sulit diatur, tapi sebenarnya dia merupakan “pragmatis yang bisa beradaptasi.”

Setelah Duterte menjabat presiden, berbagai sikapnya menarik begitu banyak perhatian terhadap AS dikarenakan media Barat responnya terlalu dramatis.

Jika kita memperbandingkan kebijakan Presiden Aquino III terhadap AS, dengan Presiden Gloria Macapagal Aroyo  yang berbalikkan 180 derajat. Mengapa orang (Barat) tidak bertanya mengapa Aquino III berpihak pada AS? Apakah ini bermanfaat bagi Filipina? Mengapa orang begitu curiga terhadap kebijakan yang disesuaikan Duterte, yang lebih untuk kepentingan nasional Filipina?

Pangamat melihat tabir asap dari AS dan media Barat sengaja menciptakan topik internasional, untuk menguasai suara mereka. Penyesuaian kebijakan terhadap AS dari Duterte sebenarnya sangat normal, namun tidak normal bagi Barat dan disensasionalisasi.

Penyesuaian kebijakan Duterte membuktikan bahwa ia seorang pragmatis dan untuk melayani rakyat Filipina lebih banyak, penyesuaian kebijakan untuk kepentingan nasional Filipina.

Selama tiga bulan ini Barat meng-sensasionalisasi Duterte sebagai “ekstrimis” “anti-Amerika” “Perusak hubungan AS-Filipina” dan secara ironis mengejek dia sebagai “tidak bisa diandalkan,”  opini publik Barat tampaknya terhadap penyesuaian kebijakan presiden baru ini tetap kabur.

Misalnya ahli dari Center for New American Security , Patrick Cronin percaya bahwa Duterte “selalu berimprovisasi”, maka penyataanya tidak harus “dipandang serius.”  Tapi pada saat yang sama, dia memeperingatkan Duterte untuk mencari tahu apa saja yang dibutuhkan untuk hubungan AS-Filipina. Jika Duterte bertindak keliru akan merusak hubungan AS-Filipina dan benar-benar mengecilkan aliansi AS-Filipina.”

Cronin di satu pihak menyatakan jangan diperdulikan, tapi juga memperingatkan Duterte. Ini memperlihatkan pandangan AS saat ini, kontradiksi, ragu-ragu, memiliki sedikit cemoohan, tapi ada sedikit ketakutan. Berbagai emosi dan keragu-raguan dari para ahli AS yang berkaitan dengan memburuknya hubungan dan aliansi AS-Filipina ini, harus ditelusuri dari “cercaan” Duterte, apa alasannya?

Dalam pernyataanya Duterte mengatakan: “Kita tidak akan stop, hingga gembong narkoba berakhir, penyadang dananya menyerahkan diri dan mempenjarakan mereka. siapa saja yang menentang ini akan dibunuh. Jika ini yang ingin mereka lihat.”

1 Juli 2016, satu hari setelah dilantik sebagai presiden, maka Duterte mulai secara besar-besaran operasi “perang melawan narkoba” dengan skala nasional.

Pada awal operasi, dia memberi perintah, jika tersangka melawan dengan kekerasan, agen penegak hukum bisa langsung mengeksekusi mereka. Selain itu warga biasa juga memiliki hak untuk mengeksekusi pengedar narkoba. Karena itu, hanya dalam dua bulan, lebih dari 2400 tersangka narkoba tereksekusi, dan lebih dari 60.000 orang ditangkap. Dikarenakan mereka takut dibunuh di jalanan, hampir 700.000 pengguna narkoba menyerahkan diri. Sehingga penjara utama di Filipina menjadi penuh untuk suatu waktu.

Di Filipina, meskipun banyak orang mendukung tindakan keras Duterte dalam perang terhadap narkoba, tapi ada keraguan apakah tindakan ini apa tidak terlalu sederhana dan kasar tidak berprikemanusiaan?

Dalam masyarakat dan pemerintahan Filipina terjadi perdebatan terus menerus. Presiden Obama dalam sambutannya mengatakan bahwa AS mengakui di Filipina bahwa kejahatan narkoba adalah masalah besar, tapi “metodenya harus tepat” dalam menangani kejahatan narkoba. Dia juga berencana menggunakan KTT ASEAN pada awal September lalu di Laos untuk membicarakan hal ini dengan Duterte.

Dengan marah Duterte mengeluarkan pernyataan: Siapa dia? Saya bukan boneka Amerika. Saya seorang presiden sebuah negara yang berdaulat dan kami telah lama berhenti menjadi kolonii. Saya tidak mempunyai guru kecuali rakyat Filipina, tidak ada tapi tidak ada. Anda harus menghormati. Jangan hanya membuang pertanyaan dan pernyataan. Dia adalah putra dari xxx dan aku akan mengutuk dia di KTT ASEAN.

Perkataan penghinaan Presiden Filipina yang baru ini langsung menyebabkan AS membatalkan pertemuan perdana dengan Duterte. Meskipun setelah itu, Duterte meminta maaf atas kekurangan sopanannya, di mata analis, pernyataan marah untuk “dibuat panas saat itu” ini mempunyai makna yang lebih dalam.

Pertama-tama kita harus melihat Filipina adalah negara ASEAN dengan populasi lebih dari 100 juta, dalam kenyataan ada kelebihannya dimana penduduknya 50% terdiri dari orang muda. Tapi sayangnya, banyak anak muda telah terlibat Narkoba, Menurut survei terbaru dari Philippine Drug Enforcement Agency (DEA), ada 5 juta orang muda di Filipina yang menggunakan narkoba.

Juga menurut servei terbaru DEA Filipina, 49% keluarga Filipina mengakui anggota-anggota keluarga mereka atau teman-teman pernah menggunakan narkoba. Dari sini bisa dilihat prevalensi narkoba di Filipina sudah sangat serius. Hal itu telah begitu disosialisikan seakan telah diterima oleh sebagian besar orang.

Yang kedua berurusan dengan dengan narkoba sudah menjadi begitu umum, karena orang yang berususan dengan narkoba telah termasuk link dengan domestik dan internasional di Filipina, yang melibatkan beberapa pejabat, polisi, senator dan pejabat setempat. Bahkan beberapa kartel narkoba besar telah ikut mendukung kandidat selama pemilu dan pemilukada.

Ketiak Duterte menjadi pejabat lokal, dia benar-benar merasakan kerusakan dari narkoba terhadap Filipina, jadi tidak heran dia menjadi keras dalam perang terhadap narkoba dan menjadi perioritas utama dari masa jabatannya. Dia berpikir jika masalah ini tidak diselesaikan, pekerjaan lain tidak mungkin akan sangat berarti.

Masalah narkoba adalah masalah yang telah melanda Filipina selama bertahun-tahun. Beberapa Presiden masa lalu belum mampu untuk mengatasinya. Mereka melihat isu ini maslah penting, tapi tampaknya semuanya telah melakukan beberapa kesalahan sama, hanya mengatakan akan melakukan ini-itu saja.

Tapi tidak dengan Duterte, dia tidak akan mendengarkan kedua belah pihak. Dia langsung melakukan itu, bahkan sebelum sesuatu terjadi di Filipina, dan Amerika tidak senang dengan tindakan itu. Ini jelas akan menjadi gangguan bagi pemerintahan dalam negeri Filipina.

Jadi menurut pandangan analis, Duterte sebenarnya tidak anti-AS. Beberapa komentar telah menjadi serangan balik atas kekerasan AS, intervensi minyak mentah AS di Filipina.

Sebenarnya, dalam kehidupan politik internasional, tidak jarang untuk melihat sekutu AS yang disebut AS menggunakan “metode yang tepat” untuk menangani isu-isu domestik, ini bahkan telah mejadi suatu yang normal.

Tapi Duterte yang telah terblibat dalam politik lokal bertahun-tahun dan memiliki jam terbang tinggi, jelas tidak seperti presiden-presiden sebelumnya yang berasal dari keluarga politisi. Duterte tampaknya memiliki toleransi nol untuk setiap kata-kata dan tindakan dari AS yang melakukan intervensi di internal pemerintahan Filipina.

Di balik gelombang cercaan vulgar ini ada pesan tambahan yang tersembunyi. Hanya demi gelombang  cercaan ini berakhir, pada 15 September lalu, Menlu Filipina, Perfecto Yasay memberi pidato di think tank terkenal US-CSIS (Center for Startegic and International Studies, AS), dia sekali lagi secara halus kembali mengulangi sikap nol toleransi ini.

Dalam pidatonya Perfecto Yasay mengatakan: “ Saya minta teman-teman Amerika, para pemimpin Amerika untuk melihat aspirasi kami, kami tidak bisa selamanya menjadi saudara coklat kecil dari Amerika. pada satu titik waktu, kita harus dewasa, kita harus berkembang, kita harus tumbuh dan menjadi kakak dari orang-orang kita sendiri.”

Memang sebenar untuk hubungan AS-Filipina, sikap nol toleransi Duterte telah lama tumbuh pada dirinya.

Awal Sentimen “Anti-Amerika” Duterte 

Baru-baru ini, ketika diwawancarai oleh seorang wartawan luar seorang senator Filipina mengungkapkan bahwa dendam Duterte melawan AS dimulai ketika terjadi ledakan beberapa tahun lalu di Davao, dan saat itu Kedutaan AS di Filipina mengambil tersangka pergi tanpa izin dari Duterte. Keluhan kedongkolan ini yang menjadi Duterte ketika menjadi walikota Davao.

Pada tahun 2002 terjadi serangkain pemboman di kota kelahiran Duterte, yang diperkirakan dilakukan pemerintah pusat (Manila) dengan kemungkinan motif menciptakan kekacauan agar pemerintah pusat bisa dan beralasan untuk memproklamirkan keadaan daruat militer di Mindanao untuk memerangi MILF. Pemboman Davao 2002  menjadi dasar dari keterasingan Duterte dari AS dan dasar resistensi dari latihan militer bersama AS-Filipina di Mindanao. Akhir-akhir ini ketika sebagai presiden.

Selain itu, meskipun belum mendapat banyak liputan di AS, pada 2 September lalu, bom lain meledak di sebuah pasar Davao, menewaskan 4 orang. Diduga yang menjadi bagian dari plot pembunuhan terhadap Duterte, yang sedang berada di kota pada waktu itu, dan Partai Komunis Filipina/CPP (yang juga terlibat dalam pembicaraan damai dengan Duterte) menuduh AS berada di balik itu.

CPP (the Communist Party of the Philippines) yang mengklaim pemboman dilakukan oleh kelompok Abu Sayyaf, sebagai asset CIA. Abu Sayyaf adalah kelompok pejuang Islam atau bandit yang terbentuk dari ampas atau sisa perekrutan AS dari Muslim Filipina untuk memerangi Uni Soviet di Afganistan (Philippine Muslims to fight the Soviets in Afghanistan). Ketika pejuang ini pulang, mereka tampaknya terdaftar dan dipersenjatai sebagai asset CIA, disangkal pemerintah pusat dalam perang melawan MILF. Duterte telah bersumpah untuk menghancurkannya. (kelompok ini yang beberapa kali menculik WNI dan menuntut tebusan uang).

Jadi tidak heran jika dari mulut Duterte keluar umpatan terhadap Obama yang mau mengangkat permasalahan HAM dalam perang melawan narkoba. Yang mengatakan “ jika presiden Obama menghadapi saya, anak seorang xxx,  saya akan katakan padanya....”

Pada pertemuan ASEAN di Laos, Duterte rupanya mencoba untuk menjelaskan akar kemarahan yang membuat dia dongkol dan timbul “cercaan dan omelan yang menyimpang” sebagai pelampiasan. melalui AFP.

“Presiden Filipina menunjukkan foto-foto pembunuhan yang dilakukan tentara Amerika di masa lalu dan dia presiden mengatakan: ‘ini adalah leluhur saya, mereka dibunuh. Mengapa sekarang kita bicara tentang HAM.”  Sehingga suasana ruangan menjadi “hening dan terkejut” Seorang delegasi Indonesia menjelaskan, Filipina adalah koloni Amerika dari tahun 1898-1946.  (AFP melaporkan).*

Perlu juga dicatat bahwa dalam konferensi pers di bandara Manila, Duterte menunjukkan referensi foto-foto yang ingin dia tunjukkan, jadi itu adalah acara yang direncanakan bukanlah hanya berlaku spontan dan histeris dari seorang pemimpin yang tidak stabil, yang selama ini dituduhkan kepadanya oleh media Barat.

Pada pemilu tahun ini, Duta Besar AS untuk Filipina juga ikut campur untuk mendukung calon yang direkomendasikan oleh mantan Presiden Aquino III, maka cercaan Duterte mengenai masalah HAM juga ada pengaruh dengan ini.

Setelah Rodigo Duterte memenangkan pemilu sebagai presiden, rumor kudeta juga sering terdengar di seluruh Filipina, dikatakan ini terkait keterlibatan CIA-AS.

Terakhir ini, media sering terus-menrus melaporkan Filipina telah menerima pesan teks misterius yang menyerukan rakyat untuk bergabung dalam unjuk rasa anti-Duterte, pengujuk rasa ini direncanakan akan dimulai Januari tahun depan.

Lawan Duterte bahkan telah mengatakan bahwa mereka akan melaksanakan rencana untuk menggantikannya dengan Wakil Presiden. Beberapa netizen Filipina telah berkomentar bahwa kudeta mungkin direncanakan CIA dengan partisipasi pajabat Filipina, terutama mereka para pejabat yang terlibat dengan pengendar narkoba.

Untuk rumor kudeta ini, Presiden Filipina menanggapi dengan mengatakan: “Kontor Presiden telah menerima laporan daftar mereka yang terlibat dalam kudeta, namun daftar ini tidak akan dirilis untuk umum sementara ini, Menteri Komunikasi, Martin Andanar mengungkapkan bahwa pejabat internal Filipina yang mengunjungi AS belajar, bahwa orang Filipina dan Amerika sedang merencanakan untuk menggulingkan Duterte pada 17 Januari 2017 tahun depan.

Martin Andanar menekankan, pada saat yang sama, saat ini ada banyak yang menyebutkan akan ada kudeta, tapi 90% rakyat Filipina mendukung presiden, sehingga kudeta tidak akan mendapat dukungan di antara rakyat.

Namun beberapa analis dan pengamat percaya AS memiliki kemampuan menggulingkan Duterte, dan AS pasti bisa melakukannya, tidak perduli apa metode yang akan mereka gunakan, tetapi mengapa mereka tidak lakukan itu, apa alasannya?

Dutete memiliki dukungan dengan rating lebih dari 90%, sehingga AS tidak mau gegabah membuat kesalahan besar dan menggulingkan presiden dengan rating dukungan yang begitu tinggi. AS ingin menunggu dan melihat ketika Duterte memainkan kartu yang salah atau melakukan salah langkah, dan pada waktu yang tepat. AS akan bertindak  demi HAM seperti apa yang telah disebutkan.

Mengapa Amerika mau melakukan intervensi dalam hal ini? Apa memang Amerika perduli tentang HAM di Filipina? Belum tentu. Meskipun AS menegaskan itu untuk “membela HAM,” Duterte sangat menyadari akan hal itu. Jika Amerika memang sangat menghargai HAM, akankah mereka melakukan dua kali Perang Irak dan membunuh begitu banyak orang yang tidak bersalah? Itu sangat jelas sekali.

Jadi AS menggunakan HAM sebagai alasan untuk campur tangan dalam perang Duterte melawan narkoba, dalam batas tertentu itu hanya untuk memain kartu lain. Jika Duterte tidak mendengarkan mereka, AS akan memainkan kartu HAM dalam rangka menekan dan mengancam Duterte. Itulah tujuan sejati AS. Tapi Duterte jelas sudah mengetahui dan memperkirakan langkah AS itu sudah lama sekali bahwa AS akan melakukan hal itu.

Duterte mengatakan: “Kita bukan sebuah negara kecil yang harus diteriaki dan dikuliahi oleh negara asing atau oleh presiden manapun.”  

Jika kita menjelajahi penyebab cercaan itu dengan melihat pengalaman Duterte dengan AS, dengan mudah kita bisa melihat bahwa Presiden Duterte sangat menyadari seperti apa hubungan AS-Filipina yang dia butuhkan. Duetrte menginginkan AS untuk “menghormati kedaulatan nasional Filipina.”

Tetapi jika kita lihat dari kalimat Duterte dan latar belakang utama hubungan “AS-Filipina selama “100 tahun yang penuh dengan cinta dan benci” untuk dianalisa, orang mungkin dengan mudah merasa presiden baru ini agak terlalu idealistik.

Namun untuk itu semua, untuk suatu persekutuan yang perbedaan besar kekuatannya, “kesetaraan” sering kali hanya suatu istilah mewah. Jadi tidak mengherankan bahwa ahli AS memperingatkan bahwa dia “tidak mengerti hubungan AS-Filipina sama sekali.”  Tapi dalam kenyataannya, Duterte benar-benar telah diremehkan.

Duterte menyatakan, Pasukan khusus ini harus pergi. Mereka harus pergi dari Mindanao—ada banyak orang kulit putih disana, mereka harus pergi. Saya akan mengevaluasi kembali kebijakan luar negeri kita, saya tidak bisa mengatakan itu sebelumnya untuk menghormati. Saya tidak ingin keretakkan dengan Amerika, tetapi mereka harus pergi. Ketika mereka melihat tentara AS, konflik akan memburuk, dan itu akan lebih berdarah.

Pada 12 September Duterte sekali lagi membuat pernyataan yang menakjubkan melawan AS. Dia mengatakan semua pasukan khusus AS yang ditempatkan di Mindanao, pulau Filipina Selatan harus pergi, karena kemungkinan akan diserang oleh warga sipil.

Pernyataan Duterte ini membuat beberapa orang berpikir tentang kesepakatan yang baru dicapai antara AS dan pemerintah Aquino III Maret 2016 lalu, yang memungkinkan AS untuk menggunakan lima pangkalan militer di Filipina.

Pada saat itu, Wakil dari Asisten Menhan AS Untuk Asia Selatan dan Tenggara, Amy Seright dengan penuh semangat mengatakan bahwa Filipina adalah “sekutu paling penting” AS, dan hubungan AS-Filipina belum pernah begitu tegas sebelumnya seperti sekarang.

Namun dengan sekejap, enam bulan kemudian, pernyataan dari presiden baru harus diragukan lagi dugaan tentang apakah perjanjian ini bisa terus eksis? Karena bagaimanpun, di awal 1990an AS pernah mengalami dipaksa dengan sedih untuk menarik diri dari pangkalan militer di Filipina.

Karena itulah Duterte memberi “Eviction Notice” (Pemberitahuan Penggusuran) kepada militer AS di Mindanao, meskipun dua kementrian Dephan dan Kemnlu AS terlihat “santai” dengan mengatakan belum menerima permintaan resmi untuk menarik pasukannya, “tapi media AS meledak.”

 “Wall Street Journal” mengungkapkan bahwa pemerintah Obama “sangat terkejut” dengan serial komentar Duterte, dan memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Opini publik AS telah tercermin pada bulan April tahun ini, jet tempur militer AS, A-10 baru ditempatkan di Pangkalan Udara Clark dan terbang di sekitar Pulau Huangyan. Pada bulan Juni, EA-18G Growler juga tiba di Filipina. Jika dipaksa untuk ditarik dari Filipina, ini niscaya “hasil” yang dicapai selama pemerintahan Aquino III akan sirna, dan mungkin juga menyebabkan reaksi berantai di seluruh Asia Tenggara, sehingga negara-negara lain mungkin secara bertahap menjauhkan diri dari AS untuk Isu-isu Laut Tiongkok Selatan.

Secara luas dilaporkan “eviction notice” Duterte ini akan menghancurkan aliansi  AS-Filipina.

Analis dan pengamat pikir Duterte mengeluarkan pernyataan pengusiran ke pasukan khusus AS di Mondanao, mungkin hanya interpretasi media. Tapi mereka anggap itu memang berharap militer AS meninggalkan Mindanao dengan alasan untuk melindungi militer AS. Karena reputasi militer AS di Filipina Selatan Pulau Mindanao sangat parah, AS telah melakukan pemerintahan kolonial selama hampir 50 tahun.

Duterte Membuat Nervous AS di KTT ASEAN, Laos

Selama KTT ASEAN di Laos, Duterte juga menampilkan foto-foto berdarah militer AS yang membunuh Muslim Moro pada tahun 1906. Sehingga membuat semua pemimpin ASEAN tidak bisa berkomentar apa-apa. Dengan kata lain, dia menampilkan realitas sejarah ini untuk semua orang melihat.

Hal ini membuat milter AS jadi gugup, jelas ini akan menggiring pendapat jika Anda tidak ingin kehadiran militer AS di Mindanao, apakah itu juga akan mengusir militer AS dari seluruh Flipina?

Kegugupan AS dan kekhawatiran bukan tanpa dasar realitas. Jika melihat kembali pada tahun 70an aliansi AS-Filipina, AS jelas telah menggunakan keuntungan geografis alami untuk meraih kepentingan strategisnya sendiri.

Sumber: Channel youtube tv.cctv.com
Sumber: Channel youtube tv.cctv.com
Harry Roque, Professor of College of Law University of Philippines  mengatakan: Tentara Amerika bisa memperkosa dan membunuh orang sesuka mereka, dan mereka tidak akan dihukum, karena mereka adalah tentara AS. Karena itulah orang Filipina seperti saya ini marah, walaupun kita sudah merdeka, tapi orang Amerika masih memperlakukan kita seperti warga kelas dua.

Namun selama 70 tahun, meskipun sentimen nasioanlis Filipina sering menentang kehadiran militer AS, tapi yang tidak bisa dibantah militer Filipina merupakan salah satu yang terlemah dari negara-negara ASEAN, sehingga sangat bertergantungan pada AS. Dan AS membangun sautu kebijakan keamanan yang membuat mereka selalu ketergantungan AS. Selain itu, antara militer dan intelektual elit Filipina, selalu ada kekuatan yang kuat dalam mendukung kooporasi AS-Filipina.

Sebagai seorang politisi berpengalaman, Duterte dengan sendrinya memahami kenyataan ini. Ini juga mengapa sebelum dia menjadi presiden, Duterte membuat janji yang jelas bahwa akan terus menghormati dan memenuhi tiga dokumen keamanan penting yang ditandatangani AS dan Filipina.

Tentu saja, pasukan AS yang ditempatkan di Mindanao akan disertakan. Tapi dengan tanpa diduga Dutete mengeluarkan “Eviction Notice,”  setelah dikeluar pada 20 September, saat berpidato di Divisi Infantri ke-10 Duterte mengatakan bahwa dia tidak pernah mengatakan Amerika akan meninggalkan Filipina sekarang, kerena bagaimanapun, Filipina masih membutuhkan mereka dalam masalah Laut Tiongkok Selatan.

Pesan apa kiranya yang dikirim Duterte dengan “Eviction Notice” setelah “cercaan”nya?

Tampaknya “Eviction Notice” Duterte ini bukan satu perintah dan tidak lebih hanya satu kuliah atau semacam suatu peringatan.

Duterte tampaknya tidak bertindak serius. Sebaliknya hanya mengirim peringat. Dia telah memperingatkan mereka, tapi tidak mengambil tindakan apapun yang bisa merusak mereka. Karena jika tindakan diambil akan menyakiti mereka. Ini satu peringatan bagi AS yang harus dikhawatirkan.

Lalu kekhawatiran apa bagi AS? Apa nilainya bagi Filipina untuk AS? terutama di Laut Tiongkok Selatan. Karena Jika Filipina meninggalkan, itu seakan menjadikan AS seperti naik setengah tangga kemudian ditarik ke bawah. Demikian menurut analis berpendapat.

Yang jelas tidak mungkin meninggalkan warisan sejarah dan politik aliansi AS-Filipina, karena ini semua telah ditetapkan oleh pemerintah sepanjang sejarah. Tapi ada satu point bahwa aliansi AS-Filipina diharuskan melayani kepentingan nasional Filipina, dan tidak hanya untuk kepentingan AS sementara merugikan kepentingan Filipina sendiri.

Maka pemerintahan Duterte akan mempertahankan aliansi AS-Filipina, tetapi tidak ingin aliansi untuk menjadi alat bagi AS. Dia ingin aliansi yang melayani Filipina yang untuk kepentingan nasional. Dia ingin menyesuaikan aspek ini, tidak ada yang lain.

Memang benar Filipina bisa membuang aliansi AS-Filipina, tapi perlu diperhitungkan dari setiap sisi, aliansi ini telah merasuk ke semua sisi selama bertahun-tahun, dan mudah terlihat keseimbangan manfaatnya selalu sangat condong ke arah AS. Tapi kerugiannya sudah pasti ada di pihak Filipina seperti yang telah terjadi dimana warga sipil dibunuh oleh tentara AS yang bermarkas disana.

Sumber: Channel youtube tv.cctv.com
Sumber: Channel youtube tv.cctv.com
Renato Reyes, Sekjen Bayan kelompok pemuda Filipina mengatakan: Latihan militer dan pangkalan AS tidak dapat diterjemahkan ke dalam modernisasi militer kita (Filipina), mereka hanya membuat kita lebih ketergantungan. Dan kita, akan melihat persenjataan berteknologi tinggi, melihat semua, tapi kita tidak memiliki sarana untuk mendapatkan peralatan itu, jadi pada dasarnya kita hanya untuk mengendarai saja.

Menurut data dari Stockholm International Peace Reseach Institue, sejak tahun 1950 AS telah menguasai 75% dari  impor senjata Filipina.

Namun 50 tahun kemudian, Filipina masih mejadi salah satu militer terlemah di seluruh Asia. Jadi “Eviction Notice” Duterte 20 September, merupakan “tembakan lurus” Presiden yang sengaja atau tidak sengaja mengungkapkan beberapa keluhan Filipina.

Duterte mengatakan, meskipun Filipina memiliki sejumlah jet tempur, tapi karena AS telah menolak menjual peralatan dan rudal yang cocok untuk jet kepada negara kita, jet ini tidak bisa untuk bertempur. Saya tidak mengerti cara berpikir orang Amerika. Di mata mereka sepertinya kita berkepala lebih pendek dari mereka.

Trick Duterte  Membalikkan Hubungan AS-Filipina Demi Kepentingan Nasional

Pengamat melihat, jika memang begitu berharga mengapa AS tidak memberi banyak materi atau bantuan keuangan seperti yang diharapkan? Ini mungkin dikarenakan AS memahami terlalu banyak. Karena budaya dan politik Filipina sangat mengindentifikasikan diri dengan model AS, banyak dari orang Filipina bahkan berpikir sebagai negara bagian AS ke-51.

Dalam hal semangat, mereka telah tercandui oleh budaya Amerika. Jadi jika AS memberi mereka banyak bantuan, sehingga mereka menjadi maju, itu akan menumbuhkan kesadaran dan kebanggaan nasional mereka. Yang kemudian setelah mereka terlepas dari aliansi dengan AS, mereka akan memiliki tekad yang lebih besar untuk mengembangkan kebijakan luar negeri yang bebas.

Ketakutan demikian sangat kuat bagi AS, dengan kata lain, Filipina memang memiliki benih sentimen anti-Amerika. Jika benih ini ter-stimulasi, akan sangat tidak menguntungkan Amerika.

Tampaknya AS telah menyadari segera setelah Duterte muncul yang memiliki rasa kebanggaan nasionalisme kuat. Segera Duterte setelah berkantor, dia bergegas untuk menunjukkan tekadnya untuk membuat aliansi AS-Filipina untuk melayani kepentingan nasional Filipina.

Karena itu, ketika menyangkut isu kehadiran militer, AS harus menaikkan nilai-nilainya diatas pihak lain agar tidak merobek bagian hubungan ini. Duterte merasa sudah tepat memperingatkan AS untuk menaikkan harganya, sehingga benar-benar bisa mengubah kebijakan yang tadinya hanya sepihak pro-Amerika saja dari pemerintahan terdahulu dengan tidak ada pihak yang merasa dirugikan.

Inilah rupanya yang menjadi sikap sesungguhnya dari Duterte terhadap AS. Tak dapat dipungkiri hanya dengan move semacam ini jika ingin memaksimalkan hubungan AS-Filipina untuk kepentingan nasional Filipina.

Duterte mengatakan: “Kita memiliki perjanjian dengan Barat, tapi saya ingin semua orang tahu bahwa kita akan menentukan arah kita sendiri, dan tidak mau tergantung pada Amerika. Dan ini akan menjadi garis dengan maksud  untuk tidak menyenangkan siapa pun kecuali kepentingan Filipina.”

Jika Duterte menarik kembali “Eviction Notice” semata-mata untuk membuat AS menyadari bahwa Filipina menginginkan ikut share manfaat untuk dirinya dalam aliansi AS-Filipina di masa depan, maka penolakannya untuk melakukan patroli bersama dengan AS di Laut Tiongkok Selatan, juga berdasarkan pertimbangan kepentingan nasional Filipina. Ini menjadi pesan kuat untuk mengatakan “Tidak” kepada AS.

Dengan pesan “Tidak” ditambahkan dalam variabel untuk pengaturan Asia-Pasifik yang telah direncanakan, ini menimbulkan riak –riak yang menggemparkan untuk situasi Laut Tiongkok Selatan. Tampaknya seluruh kawasan Asia-Pasifik ke depan akan memasuki persimpangan jalan baru.

Pada tanggal 13 Septem 2016, ketika Duterte menghadiri upacara akselerator untuk Angkatan Udara Filipina di Manila, dalam pidatonya sekali lagi dikemukakan kesakitannya terhadap AS. Duterte mengatakan : “jadi masalah yang kita hadapi (di dalam negeri Filipina) adalah pemberontakan dan terorisme. Kita tidak akan bergabung dengan keputusan untuk ekspedisi atau patroli, saya tidak akan membiarkan hal itu, karena saya tidak ingin negara saya untuk terlibat dalam operasi permusuhan.”

Lebih lanjut dikatakan, Filipina saat ini membutuhkan senjata dan peralatan militer untuk memenangkan kerusuhan domestik. Karena itu, dia tidak ingin Filipina untuk mengambil bagian dalam setiap sengketa internasional yang dapat menyebabkan perang atau patroli maritim.

Duterte juga menekankan bahwa meskipun Filipina tidak akan memutuskan hubungan dengan sekutu-sekutunya, tapi akan menerapkan kebijakan luar negeri yang independen.

Sebelumnya pada bulan April tahun ini, Menhan AS, Ashton Carter selama kunjungannya di Filipina secara terbuka mengumumkan: “Angkatan Laut  AS dan Filipina telah melakukan patroli bersama di Laut Tiongkok Selatan.”

Tapi pernyataan Duterte pada 13 September lalu, tidak diragukan lagi menandakan untuk patroli bersama di Laut Tiongkok Selatan, pemerintah baru Filipina bukan tipuan tapi nyata menolak melakukan patroli bersama.

sumber: stripes.com
sumber: stripes.com
Pada 14 September 2016, website AS “Star and Stripes” menerbitkan artikel dengan judul “Philippines reversal on troops, patrols could upend US-China strategy”  yang menunjukkan strategi Amerika untuk menghadapi Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan terancam bubar, karena negara kunci di garis depan naik pemimpin baru yang menunjukkan akan menarik dari kerja sama militer dengan AS---termasuk patroli maritim dengan AL-AS.

AS awalnya ingin melaksanakan patroli bersama dengan Filipina, dan itu bisa dibenarkan (secara hukum internasioanl) karena Filipina adalah negara pesisir, dan negara di Laut Tiongkok Selatan. Jadi melakukan patroli bersama dengan Filipina menunjukkan bahwa patroli mencerminkan mendapat dukungan dari negara-negara di kawasan ini.

Tapi kini Filipina mengatakan bahwa mereka tidak akan melakukan ini, dan ini berarti memecahkan link ini. Dengan hancurnya link ini membuat posisi AS menjadi serba salah dalam segi hukum. Yang berarti AS melakukan patroli di ekstra regional di Laut Tiongkok Selatan, itu berarti suatu hari di masa depan, negara-negara lain dengan suatu kepentingan termasuk Tiongkok dan Rusia, dapat jalan-jalan (operasi) melalui Laut Jepang, atau negara-negara lain bisa berjalan-jalan (operasi) di Teluk Meksiko. Jadi Filipina sebenarnya telah mulai kembali ke rasionalitas, ini sesuatu yang sangat di khawatirkan AS.

Richard Javad Heydarian, seorang Profesor Ilmu Politik dari Univerisitas De La Salle, Filipina menyatakan, AS berharap untuk menciptakan tekanan diplomatik yang cukup bisa memaksa Tiongkok untuk mematuhi atur-aturan ini. Tapi dalam hal ini Duterte mempunyai pandangan lain. AS sebenarnya tidak pernah menarik benang merah untuk isu Laut Tiongkok Selatan. Jika AS tidak bersedia melakukannya, mengapa sebuah negara kecil harus mengambil resiko menimbulkan konflik dan kehilangan peluang investasi besar-besaran untuk berdiri melawan Tiongkok?

Retorika yang diajukan oleh Heydarian ini telah menyatakan pemikiran pemerintah baru Filipina.

Dalam pidatonya Duterte mengatakan: Dalam hal pakta Filipina-AS yang dilakukan tahun 1950an, disitu dikatakan serangan terhadap Filipina berarti serangan terhadap AS. Namun dalam konstitusi AS, dikatakan, sebelum presiden dapat menyatakan perang ketika tidak ada orang di pertahanan sekutunya, hal itu harus bekerja dengan Kongres untuk berjanji untuk pergi berperang.  Disitulah masalahnya. Jadi jika Kongres tidak memberi otoritas, apa yang akan terjadi pada kita (Filipina)?

Filipina menolak untuk berpihak di Laut Tiongkok Selatan, setelah Duterte menyatakan negara menolak untuk mengambil bagian dalam patroli di Laut Tiongkok Selatan.  “Fox news” Amerika juga mengatakan Duterte juga mempertimbangkan untuk membeli sejumlah alutsita dari Rusia dan Tiongkok.

Hal ini jelas menunjukkan pemerintah Filipina baru sengaja untuk memperbaiki hubungan tegang baru-baru ini dengan Tiongkok, dan mulai menempuh jalan yang seimbang dalam menangani isu Laut Tiongkok Selatan.

Para analis percaya bahwa berdasarkan petimbangan praktis, Duterte sangat tidak mungkin untuk memesan alutsita dari Tiongkok dan Rsuaia, tapi sikap ini tidak diragukan lagi merupakan preview dari penyesuaian komprehensif Filipina atas kebijakan luar negerinya.

Seperti diketahui, alainsi AS-Filipina awalnya terajut dan dibentuk dari “perkawinan” dari self-interest (aliansi) masing-masing dari mereka yang memiliki rencana mereka sendiri-sendiri, dan dibawa mereka bersama-sama.

Kemudian rencana apa yang dimiliki Filipina? Ketika mereka membentuk aliansi dengan AS, mereka ingin AS memastikan integritas teritorial dan keamanan nasional Filipina. Itu yang telah menjadi rencana Filipina.

Lain dari AS rencananya tidak sekecil itu. Tentara AS ditempatkan di Filipina tidak hanya untuk melindungi Filipina, tapi itu untuk memainkan pean regional. Dan ketika ini terjadi, saat itulah konflik terjadi di Filipina.

Filipina percaya sengketa Laut Tiongkok Selatan dengan Tiongkok, hanya perselisihan kepentingan maritim, tetapi jika kapal perang dan pesawat AS yang kuat berada disana dan melakukan patroli bersama, maka itu bukan hanya perselisihan kepentingan maritim, itu sudah menjadi sengketa geostrategis.

Filipina, negara kecil ini tidak mampu untuk terlibat dalam sengketa geostrategis ini, dan merasa tidak perlu terlibat dalam sengketa geostrategis ini.

Filipina tidak seperti Jepang. Jepang ingin bisa pergi keluar dan terlibat, mereka ingin menjadi menjadi kekuatan poltik utama, sedang Filipina tidak mempunyai ambisi ini.

Jadi skala dan fungsi aliansi AS-Filipina memiliki inkonsisten struktural semacam ini, yang tidak dapat didamaikan, tapi itu sengaja disembunyikan selama bertahun-tahun.

Sebenarnya dua tahun yang lalu, sebuah editorial “Daily Tribune” di Filipina berusaha untuk mengungkapkan ini. Pada 12 Mei 2014, sebuah editorial di koran ini secara bercanda menyebutkan mantan Presiden Aquino III “wakil AS untuk ASEAN”.  Editorial itu menuliskan bahwa Aquino III akan membawakan formula AS dan akan menjadi saksi kebijakan AS untuk kembali ke Asia-Pasifik. Dia akan menempatkan konflik dengan Tiongkok sebagai slot pertama dalam agenda ASEAN, yang berarti akan mengorbankan kepentingan nasional Filipina di pasar bebas regional yang sedang disambut.  Filipina merupakan negara ASEAN dengan daya tarik terendah bagi penanaman modal asing.

Dua tahun kemudian Duterte dengan berani menyatakan bahwa dia tidak pro-Amerika dan tidak pro-Tiongkok, tapi hanya pro-Filipina. Yang membuat konflik permanen antara AS dan Filipina dipindahkan ke atas meja (perundingan).

Dua tahun yang lalu, seorang ahli dari think tank Filipina pernah mengangkat isu bahwa pemerintah Filipina harus benar-benar meninggalkan kebijakan pro-AS dan kebijakan pemerintah yang sepenuhnya condong kepada AS, dan jangan menjadi pion bagi kebijakan AS di Asia-Pasifik, sebaliknya harus menerapkan keseimbangan baru.

Inti dari keseimbangan baru ini dimaksud menyimbangkan terhadap kekuatan utama. Jadi kita bisa melihat dari sudut pandang yang lebih luas, Duterte saat ini memiliki sikap terbuka terhadap kesimbangan baru ini.

Untuk masalah hubungan AS-Filipina, dia ingin mencapai hasil dengan menunjukkan gambar independen kepada AS dan berharap untuk menukar balik kepentingan dengan AS, dengan menggunakan kata-kata politisi. Dia ingin berdiri tegak (tidak menunduk-nunduk) dengan mengadakan serangkaian dialog dan diskusi dengan AS.

Selain itu untuk hubungan luar negeri dengan Tiongkok, terutama yang menyangkut Laut Tiongkok Selatan, Filipina menekankan dialog dan aspek yang lebih penting berharap untuk mendapatkan beberapa kepentingan tertentu. Salah satunya untuk kerjasama ekonomi dan meningkatkan kehidupan masyarakat, mereka juga ingin menumpang kereta cepat Tiongkok ekonomi dalam pertumbuhan ekonominya.

Pada 26 September lalu, Reuters – Inggris dan Buletin Manila masing-masing melaporkan bahwa Duterte mengatakan kepada wartawan hari itu di istana presiden, dia berencana mengunjungi Tiongkok untuk mengatasi masalah konflik maritim dan memperkuat hubungan bisnis belateral, serta mengunjungi Rusia untuk menghidupkan kembali perdagangan bilateral.

Duterte menyerukan : Aku berkata “Rusia, bawa penguasahamu” Anda mungkin memiliki sesuatu yang kita butuhkan. Saya akan mengadakan aliansi perdagangan dengan Rusia dan Tiongkok.

Duterte ingin menyeimbangkan yang tadinya terlalu ketergantungan pemerintahan terdahulu kepada AS, ada penagamat dan analis yang menyebutnya “strategi untuk menyeimbangkan Asia (Duterte)” Hal ini yang telah mendorong kebijakan AS “menyimbangkan Asia-Pasifik” dan Laut Tiongkok Selatan berada pada persimpangan jalan.

Analia dan pengamat melihat, saat ini, ada dua kekautan yang mendorong situasi Laut Tiongkok Selatan: Satu kekuatan yang mendorong isu Laut Tiongkok Selatan menuju titik mengentasan dan diskusi antara semua pihak . Dan kekuatan lain yang mendorong Laut Tiongkok Selatan menjadi isu-isu konflik-konflik hak maritim, dan ini ebenarnya adalah masalah hukum untuk dijadikan konflik geostrategis.

Belakang ini kita bisa melihat kapal perusak, kapal induk dan pesawat tempur dan sejenisnya sering muncul di kawasan ini, dan Jepang berkesempatan mengipasi api dengan mengatakan akan melakukan patroli bersama, mengadakan pelatihan dan latihan militer bersama di lokasi tersebut. Arus kekuatan ini yang mendorong situasi ke arah konflik geostrategis. Dan karena itulah kedua kekuatan ini saling mendorong dengan tajamnya.

Dengan Duterte yang rasional, kembali melakukan penyesuaian kebijakan luar negeri Filipina, beberapa analis Filipina telah menunjukkan bahwa ini akan menyebabkan reaksi berantai di kawasan Asia Tenggara, selanjutnya strategi AS untuk menekan Tiongkok juga akan menghadapi bahaya terurai atau menjadi mentah.

Dengan strategi AS untuk mengintevensi di Asia-Pasifik dan menekan Tiongkok dengan menggunakan hasil keputusan “arbitrase Laut Tiongkok Selatan” yang dimenangkan pemerintahan terdahulu Filipina, yang awalnya sepertinya akan bergerak telah dibuat usang dengan Duterte begitu menjabat sebagai presiden.

Meskipun Duterte tidak membantah penilaian yang dibuat arbitrase pada bulan Juli lalu, tapi tidak seperti pendahulunya dia jelas tidak mau memperlakukan ini sebagai prioritas utama bagi Filipina yang hanya untuk menghibur AS.

Sehari setelah putusan arbitrase dirilis, “World News” Filipina menerbitkan editorial pada 13 Juli 2016 dengan mengatakan, “pengadilan telah membuat penilaian ini benar-benar absurb, ini benar-benar telah membuat hal-hal akan menjadi kacau, dan menyerukan pelaku yang sebenarnya dibalik isu Laut Tiongkok Selatan --- adalah AS yang diibaratkan seperti cumi-cumi yang berharap melumpuri air di Laut Tiongkok Selatan.”

Sebagai salah satu pihak dalam pengadilan, respon pemerintahan baru Duterte dengan sendirinya menyebabkan “reaksi berantai.” Selama Petemuan Para Menlu ASEAN, ASEAN menolak AS dan negara-negara lain ikut campur tangan, dan tidak meng-agendakan arbitrase Laut Tiongkok Selatan dalam pertemuan.

Dua bulan kemudian pada KTT ASEAN, pernyataan ketua KTT juga tidak menyebutkan arbitrase Laut Tiongkok Selatan, dan menekankan untuk mempercepat pentingnya dan urgensi negosiasi untuk melaksanakan “Deklarasi tentang Perilaku Para Pihak di Laut Tiongkok Selatan.” (Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea). 

Pada saat yang sama, sebuah artikel di Singapura “Today” menuliskan ASEAN dan Tiongkok telah mencapai kesepakatan untuk menggunakan “Code For Unplanned Encounters” di Laut Tiongkok Selatan, dan semua negara akan membentuk hotline pejabat senior diplomatik untuk menangani keadaan darurat maritim.

Chairman of the Singapore Institute of International Affairs. Simon SC Tay, memberi komentar dengan mengatakan: “Ini adalah tanda pembangunan, yang menunjukkan semua pihak berbicara langkah-langkah praktis.”

Dan hal tersebut diatas apapun akan berpengaruh atas strategi AS untuk menyeimbangkan Asia-Pasifik, analis melihat itu akan berpengaruh negatif bagi stragtegi AS ini, karena pemerintahan Obama juga sudah mendekati akhir. Selain itu negara-negara sekitar kawasan ini juga menyadari AS mungkin tidak memiliki wkatu lagi untuk berurusan dengan aliansi ini atau sekutu tersebut. Jika setiap pihak tidak mendapat keuntungan dari strategi AS untuk menyeimbangkan Asia-Pasifik, untuk apa mendukungnya?

Jadi penyesuaian kebijakan Rodrigo Duterte mungkin akan berefek domino bagi alinasi AS-Filipina. Tapi sebagian analis dan pengamat, menganggap itu masih terlalu dini untuk memperkirakan efek ini. Kuncinya tergantung pada AS dan Filipina, juga berubahnya politik domestik AS, tidak hanya pada perubahan poltik Filipina saja.

Sucahya Tjoa

03 Oktober - koreksi 5 Oktober 2016

Sumber: Media TV dan Tulisan Dalam dan Luar Negeri

Truth and Duterte in Media Crosshairs/  (*)

Duterte Ingin Bunuh Para Pencandu Narkoba Seperti Hitler Bantai Orang Yahudi

Why The Philippines Loves Rodrigo Duterte

Philippines Rodrigo Duterte Profile

Philippines Reversal On+ Troops Patrols Could Upend US China Strategy

Diwarnai Kecaman Presiden Duterte Latihan Perang AS-Filipina Tetap iDgelar

Duterte Kembali Mencaci Go To Hell Obama

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun