Untuk negara utama Eropa dan Uni Eropa, isu Ukraina, masalah pengungsi Mediterania dan isu-isu ekonomi dan sosial Eropa sendiri adalah satu tantangan yang sulit, semua itu yang membatasi kemampuan Eropa untuk berpartisipasi dalam serangan terhadap “ISIS.”
Daveen Arten-Ross ahli dari “US Expert Georgetown University’s Security Studies Program” ., mengingatkan jumlah pasukan AS dibandingkan dengan jumlah pasukan Kurdi yang melakukan pengambilalihan al-Raqqah, sulit untuk dikatakan bahwa AS memiliki peran utama didalamnya. Ini bukan “saran dan membantu” misi.
Saat ini, “ISIS” adalah musuh masyarakat dunia tidak ada negara yang akan menentang setiap serangan terhadap “ISIS,” tetapi untuk berpartisipasi dalam serangan adalah masalah lain. Di paruh kedua tahun 2014, negara-negara Teluk dan Arab seperti Arab Saudi, Yordania, dan lain-lain, serta negara NATO telah membom “ISIS” dan terlihat benar-benar sangat efektif. Bisa menekan ekspansi “ISIS” dengan cepat, dan menghambat upaya “ISIS” untuk membentuk pemerintahan yang stabil di daerah yang diduduki.
Yang perlu diketahui tentang AS, yang awalnya berperan menyelengarakan dan memimpin serta mengorganisasi koalisi kontraterorisme untuk melawan “ISIS” hanya memainkan peran dukungan diantara semua kekuatan melawan “ISIS” hari ini. Perubahan peran ini juga akan mempengaruhi kemajuan dalam perang melawan “ISIS.”
Sampai hari ini, kita masih belum melihat adanya kekuatan darat yang kuat untuk mengeliminir “ISIS”. Hingga hari ini hanya militer Irak dan Syria, tidak ada satupun dari pasukan yang digunakan AS sebagai pasukan utama. Mengapa AS tidak melakukannya?
Analis melihat ini karena AS tahu betul jika menggunakan kekuatan-kekuatan ini, setelah “ISIS” benar-benar hancur kekuatan-kekuatan ini yang akan mengisi kekosongan politik ini, dan AS tidak menginginkan hal itu terjadi.
Jika “ISIS” sudah diberantas, pemerintah Irak dan pemerintah Syria saat ini akan mengisi kekosongan politik ini, itu berarti bahwa kekuatan Iran akan lebih diperluas, dan itu bukan menjadi kepentingan dan diharapkan AS dan sekutunya. Jadi jika menyangkut hal tentang pertempurn melawan “ISIS,” AS hanya kencang gonggongannya daripada gigitannya, “bak cuaca kencang suara geledaknya hujannya kecil.”
Pemberantasan “ISIS merupakan keinginan umum bersama semua masyarakat internasional tapi hanya ada beberapa negara di kawasan ini yang dapat mengambil alih wilayah setelah “ISIS” dihancurkan. Saat ini, negara-negara ini semua tidak stabil, tantanan politiknya telah runtuh karena di-intervensi oleh negara ekstra-regional, itu yang membuat beberapa negara yang bermaksud mengambil alih ruang ini kurang kekuatan untuk benar-benar bisa melakukannya.
Masalahnya sekarang siapa yang mau berkorban dan berupaya untuk ini, dan setelah mereka membantu untuk upaya ini dan peredamaian tercapai, apa yang akan mereka dapatkan kelak. Wilayah yang dikuasai “ISIS saat ini adalah wilayah tradisonal dan sangat sentral bagi kaum Sunni di Syria.
Secara akal sehat setelah perang usai, daerah ini seharusnya dikembalikan lagi dalam kontrol kaum Sunni, tapi dari Arab Sunni yang mana? Apakah dari Arab Sunni yang aktif dalam mengambil bagian dalam perang ini? Yordan tidak, juga tidak Arab Saudi. Free Syrian Army (Tentara Pembebsasan Syria) sangat lemah, jika mereka ingin mengontrol teritori tradisional Sunni yang tadinya bekas wilayah “ISIS” yang dihancurkan, itu terasa hampir mustahil.