Tulisan ini ditulis bukan untuk keberpihakan, hanya untuk kita mengetahui latar belakang masalah ini dan untuk menambah wasasan kita bersama. Seperti sudah diketahui kita pernah kalah diplomasi dengan Malaysia sehingga kehilangan Pulau Sipandan dan Ligitan.
Seperti yang telah diberitakan Tempo 20 Juli lalu, ada 28 Desa di Nunukan terancam di kuasai Malaysia (28 Desa di Nunukan Terancam Dikuasai Malaysia?) semoga untuk generasi kita sekarang bisa lebih cerdas dan berwawasan lebih luas agar tidak kalah lagi seperti yang telah dialami lalu, jika peristiwa pengklaiman ini sampai terjadi.
Negosiasi merupakan teknik penyelesaian sengketa yang paling tradisional dan paling sederhana.Teknik negosiasi tidak melibatkan pihak ketiga, hanya berpusat pada diskusi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait. Perbedaan persepsi yang dimiliki oleh kedua belah pihak akan diperoleh jalan keluar dan menyebabkan pemahaman atas inti persoalan menjadi lebih mudah untuk dipecahkan. Karena itu, dalam salah satu pihak bersikap menolak kemungkinan negosiasi sebagai salah satu cara penyelesaian akan mengalami jalan buntu.
Mediasi merupakan bentuk lain dari negosiasi, sedangkan yang membedakannya adalah keterlibatan pihak ketiga. Pihak ketiga hanya bertindak sebagai pelaku mediasi (mediator), komunikasi bagi pihak ketiga disebut good offices. Seorang mediator merupakan pihak ketiga yang memiliki peran aktif untuk mencari solusi yang tepat guna melancarkan terjadinya kesepakatan antara pihak-pihak yang bertikai.
Mediasi hanya dapat terlaksana dalam hal para pihak bersepakat dan mediator menerima syarat syarat yang diberikan oleh pihak yang bersengketa. Perbedaan antara jasa-jasa baik dan mediasi adalah persoalan tingkat. Kasus jasa-jasa baik, pihak ketiga menawarkan jasa untuk mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa dan mengusulkan (dalam bentuk syarat umum) dilakukannya penyelesaian, tanpa secara nyata ikut serta dalam negosiasi-negosiasi atau melakukan suatu penyelidikan secara seksama atas beberapa aspek dari sengketa tersebut. Pihak yang melakukan mediasi memiliki suatu peran yang aktif dan ikut serta dalam negosiasi-negosiasi serta mengarahkan pihak-pihak yang bersengketa sedemikian rupa, sehingga jalan penyelesaian dapat tercapai, meskipun usulan-usulan yang diajukan tidak berlaku terhadap para pihak.
Sikap Tiongkok
Kembali pada Sengketa di Laut Tiongkok Selatan (LTS) antara Filipina dan Tiongkok dan keputusan dari tribunal sementara arbitrase untuk LTS yang diajukan sepihak oleh Filipina. Ada baiknya coba kita telaah dari kronologis kejadiaan ini, yang bisa kita dapati dari sumber berita di media.
Tiongkok dari mula telah protes keras pada tribunal sementara arbitrase untuk LTS. Karena dinilai hanya satu sisi, dan abrbitrase gagal untuk menyelesaikan sengketa, bahkan membuat situasi LTS lebih komplek dan tegang.
Bahkan Menlu dari Tiongkok Wang Yi mengolok kasus arbitrase LTS dari awal hingga akhir dianggap hanya sebagai lelucon saja. Tiongkok dari mula sudah menyatakan tidak akan berpartisipasi, tidak mengakui, atau melaksanakan apapun arbitrasi.
Atas tuduhan diatas ini, ada baiknya kita coba bahas kronologi dari sengketa ini.
Pada 12 Juli, tribual sementara LTS di Den Haag, Belanda membuat keputusan akhir mengenai apa yang disebut “Kasus arbitrase LTS” yang menjadi banyak perhatian, yang menolak sembilan garis putus Tiongkok ilegal dan juga hak sejarah terkait.
Keputusan yang dianggap konyol oleh Tiongkok dan sebagian pakar hukum internasional karena penilaian hanya dilakukan sepihak saja, sehingga telah menjadi ramai didiskusikan diseluruh komunitas internasional, termasuk di Institute Kemananan dan Keselamatan Maritim Indonesia (IK2MI).
Hal yang menjadi sanggahan dari Tiongkok dan sebagian pakar dunia.
Arbitrase Kasus # 1 : para pakar ada yang mengatakan halaman pertama dari keputusan arbitrase memiliki pernyataan yang “Self-contradiction Views” oleh tribunal LTS sementara ini.
“Konvensi tidak membahas kedaulatan Negara atas wilayah daratan, juga tidak dibatasi setiap batas maritim antar Pihak (The Convention does not address the soverignty of States over land territory, nor doest it delimited any maritime boundary between the Parties.)”
Tapi, seluruh dokumen banyak lokasi yang dibahas terkait dengan wilayah kedaulatan, yang dibuat untuk batas wilayah Filipina.
Misalnya dalam “Ringkasan Putusan Tribunal Mengenai Yurisdiksi dan Verifiaksi banding dari Filipina disitu dituliskan: Mischief Reef (Meiji Shoal), Kedua Thomas Shoal (Ren’ai Shoal) dan Liyue Reef adalah karang atol pasang surut yang membentuk bagian dari Zona Ekonomi Khusus (ZEE) Filipina dan landas kontinen dan tidak memiliki lapping entilements dengan Tiongkok.”
Jadi ini oleh para pakar luar dijelaskan: Dengan kata lain itu dipercaya menjadi air pasang surut, dan itu membentuk bagian dari ZEE Filipina dan landas kontinen. Yang berarti memberikan Meiji Shoal, Ren’ai Shoal dan Liyue Reef kepada Filipina. Hal ini apakah tidak berarti sudah melibatkan masalah kedaulatan?
Semua tindakan, termasuk mencegah nelayan Filipina dari menangkap ikan disana, Tiongkok mengreklamasi dan membangun di terumbu karanga dan beting serta pemasokan Tiongkok memasok di atol Ren’ai dan lainnya, dipercaya termasuk dalam ZEE Filipina, sehingga tindakan Tiongkok adalah ilegal dan melanggar hak ZEE Filipina.
Jadi itu berarti pengadilan telah menarik batas laut? Dan berarti mereka menetapkan batas ZEE Filipina.
Arbitrase Kasus # 2: Menyangkal Hak-Hak Sejarah “Denial of Historical Rights”
Tiongkok mengaku kedaulatan atas pulau-pulau di LTS sudah didirikan dalam sejarah yang sudah lama. Sejak zaman kuno, orang-orang Tiongkok telah tinggal disana dan terlibat dalam kegiatan produksi di pulau-pulau LTS dan perairan sekitarnya.
Tiongkok menganggap mereka yang pertama menemukan, memberi nama, dan mengembangkan dan menggunakan pulau-pulau di LTS dan perairan disekitarnya. Tiongkok bisa menunjukkan bukti sejarah yang paling awal menerapkan yurisdiksi berdaulat yang berkelanjutan secara efektif dan terus menerus dan damai diperairan sekitarnya, membangun kedaulatan atas kepulauan LTS dan kepentingan yang terkait di daerah ini.
Namun, tribunal arbitrase LTS berpendapat bahwa hak sejarah Tiongkok atas sumber daya di lingkup “garis putus sembilan” di LTS tidak memiliki dasar hukum. Jadi Tiongkok mempertanyakan apa itu hak-hak sejarah? (bagi tribunal sementara ini)
Menurut pandangan pakar luar, dari perspektif akal sehat dalam hukum internasional, hak sejarah adalah bagian dari hukum internasional, dan “UNCLOS” harus menghormati dan memanfaatkan konsep definisi hukum internaisonal dari hak sejarah.
Sebab dalam beberapa artikel (pasal) dalam “UNCLOS” tertuliskan dan menghormati itu. Dalam pasal ini di “UNCLOS” ketika melibatkan hal sejarah, hak sejarah, kepemilikan sejarah, sejarah teluk, dan hak-hak sejarah nelayan, merupakan prioritas dan lebih tinggi dari apapun.
Jadi dengan kata lain, ini membuktikan bahwa “UNCLOS” menghormati hak sejarah, dan mengakui dan menerapkan hal ini.
Tony Carty, Professor Hukum Publik dari Universitas Aberdeen, Inggris. Mengatakan : Prancis dan terutama Inggris khususnya, mereka membenarkan dan memberi point penasehatan hukum untuk penggunaaan sejarah dan ekonomi pulau-pulau ini oleh nelayan Tiongkok. Selama lebih dari 200 tahun, hampir persis 200 tahun Inggris telah menyimpan dan menjaga catatan ini. Dan tidak hanya Inggris, tetapi Amerika juga, catatan hidrologi, mereka berdua sepakat bahwa nelayan Tiongkok telah menggunakan pulau-pulau ini untuk penangkap ikan di wilayah LTS. Dan sekarang tribunal sementara ini membuat dua interpretasi yang sangat aneh untuk Pasal 121 ini.
Arbitrase Kasus # 3 :Memfabrikasi Dasar Hukum Dengan Menybutkan Pulau Beting. “Fabrication of Legal Basis, Calling Islands Shoals.”
Tribunal sementara ini berpendapat bahwa seluruh pulau dan beting di LTS berada diatas permukaan air pada saat air pasang tinggi termasuk Pulau Taiping (太平岛), Zhongye (中业岛), Xiyue (西月岛), Nanwei (南威岛), Beizi (北子岛), Nanzhi (楠梓岛 ) yang secara hukum “beting” yang tidak dapat menghasilkan/memgenerasikan ZEE dan landas kontinen. (Shoal=Beting : tempat dangkal dalam air laut. Elevasi berpasir berada dibawah badan air atau palung laut)
Berkenaan dengan kebenaran dari ketinggian pulau dan beting, tribunal sementara ini percaya bahwa ini disasarkan pada kapasitas tujuan pulau atau berting, apakah sudah atau tidak berada di bawah kondisi alam, apakah dapat mempertahankan komunitas stabil tanpa bergantung pada sumber daya eksternal atau oparasi ekonomi seperti operasi pertambangan murni (maksudnya bisa menunjang kehidupan mandiri tanpa harus ada pasokan dari luar.)
Ahli dan pakar hukum luar percaya bahwa penafsiran ini murni subyektif.
Pasal 121 “UNCLOS” menentukan apakah itu beting. Beting yang tidak dapat mempertahankan untuk tempat tinggal atau kegiatan ekonomi lainnya tidak dapat menghasilkan atau mengenerasi ZEE atau batas kontinen. Berdasarkan standar ini, para pakar mengatakan tribunal sementara ini telah mengarang apa yang disebut “dasar hukum” dalam “UNCLOS” kata-kata “tidak dapat mempertahankan tempat tinggal manusia,” dan itu ditafsirkan sebagai”tidak mampu mempertahankan komunitas mansuia yang stabil.” (Article 121 of the “UNCLOS” determines what shoals are. Shoals that cannot sustain habitation or other economic activities cannot generate EEZs or continental shelves. Based on this standard, the tribunal fabricated a so-called “legal basis” that the “UNCLOS” says “not maintain human habitation,” and it interpreted it as “being unable to maintain a stable human community.”)
Jadi para pakar mempertanyakan, siapa yang tahu dari mana tribunal sementara ini mendapatkan standar ini untuk komunitas. Dan hal berikutnya adalah apakah bisa atau tidak dapat menopang kehidupan ekonomi, itu membuat interpretasi lain dari itu. Kehidupan ekonomi ini tidak harus bergantung pada kekuatan eksternal. Ini benar-benar interpretasi yang sangat gampangan. Lebih lagi dikatakan tidak dapat beroperasi seperti pertambangan murni.
Dalam hal ini dianggap konyol. Kehidupan ekonomi mengacu pada mempertahankan kehidupan ekonomi mandiri. Jika dapat mengembangkan sumber daya di pulau itu sendiri, atau perairan sendiri, yang memiliki nilai ekonomi sendiri, jika demikian bukankah itu berarti mempertahankan kehidupan ekonominya?
Arbitrase ini menyebabkan gelombang oposisi di Taiwan. Ma Yingjiu, mantan Ketua Masyarakat Hukum Taiwan dan mantan presiden Taiwan, membeberkan banyak fakta untuk membatah argumen tersebut diatas.
Tribunal sementara ini telah menetapkan tiga standar untuk apakah sesuatu adalah pulau atau apakah itu beting. Yang pertama adalah kapasitas tujuannya. Hal penting dalam hal ini adalah air (tawar). Dari lebih 100 dan 200 pulau dan beting di LTS, Pulau Taiping adalah satu-satunya dengan air tawar, dan memiliki beberapa yang terbaik dengan air tawarnya dan kualitas air tawarnya.
Ma Yingjiu mengambil sebotol air untuk diabwa kembali setelah mengunjungi Pulau Taiping pada bulan Januari 2016, dan menegaskan bahwa berkat ekologi yang unik dari karang di sana, air di Pulau Taiping sangat fantastis, dan tidak hanya bisa digunakan untuk mencuci makanan dan memasak, itu dapat digunakan untuk minum tanpa perlu pemurnian.
Sedang pernyataan yang dibuat oleh pihak resmi Filipina menyatakan air di Pulau Taiping sering kering pada bulan April dan Mei. Ma Yingjiu membuktikan bahwa pulau in ikaya akan air tawar, dan menuduh pernyataan Filipina omong kosong.
Di pulau Taiping tidak hanya ada orang yang tinggal lama disana, juga buah-buahan, sayuran, ayam dan domba telah tumbuh disana denga tidak ada masalah, dan kadang-kadang dapat memberikan bantuan darurat bila diperlukan (rumah sakit I.G.D).
Ma Yingjiu mempertanyakan: Jika Anda tidak tahu apa-apa tentang Pulau Taiping, bagaimana kita bisa diyakinkan dengan penghakiman ini?
Penilaian demikian juga menjadikan keraguan bagi sebagian orang-orang berpengetahuan di Filipina sendiri.
Seorang ahli hukum di Singapura, Profesor Wang Jiangyu, percaya bahwa di permukaan pengajuan Filipina untuk banding kontes pulau ini, tapi karena melibatkan demarkasi yang berasal 200 mil laut ZEE, ini sebenarnya adalah penghakiman kedaulatan, dan kerena itu, legalitas dan keadilan arbitrase ini penuh cacat hukum. Jakalau Anda mengatakan mereka tidak tahu pulau atau beting seperti jika Anda meniadakan Pulau Taiping, dan mengatakan bahwa itu adalah beting, maka kemudian bentangan ZEE 200 mil laut jadi menghilang atau tiada.
Dari awal, kasus arbitrase Filipina untuk LTS selama 46 bulan lamanya ini dianggap oleh sebagian pakar dan ahli hukum internasional hanya sebagai sandiwara politik yang diselimuti hukum (penulis yakin hal ini juga dipahami oleh pakar kita di Kemnlu R.I., hanya karena mereka menjaga kenetralan dan “sungkan” atau kepentingan diplomasi terhadap AS). Sehingga vonis yang dikeluarkan tribunal arbitrase sementara dianggap lelucon yang keliru dan memalukan dan tidak mulia.
Mereka menganggap ini telah meninggal bekas luka yang menggunakan arturan hukum yang salah dan palsu untuk menganggu hukum internasional dan mengganggu tantanan regional.
Hal ini sama dengan tribunal arbitrase sementara ini sendiri yang didirikan secara ilegal dan sementara, dan membuat vonis dalam kasus LTS. Pada 13 & 14 Juli 2016, PBB mengeluarkan pernyataan di akun resmi Sina Weibo, menekanjkan dalam kedua hari itu bahwa Pengadilan Tetap Arbitrase (Permanent Court of Arbitration) hanya “tamu” di Istana Perdamaian Den Haag, Belanda, dan tidak berafiliasi dengan PBB.
Perlu diketahui bahwa secara internasional, ada tiga lembaga standar untuk menyelesaikan sengketa antar negara : The Permanent Court of Arbitration (PCA), the International Court of Justice (ICJ), and the International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS).
Tribunal Arbitrase LTS dibentuk di Den Haag berdasarkan Annex 7 dari “UNCLOS” dan tribunal sementara ini dibentuk untuk kasus ini, dan akan dibubarkan setelah kasus ini selesai. Jadi jelas ini bukan Pengadilan Internasional.
Tribunal ini atau Pengadilan ini tidak memiliki hubungan dengan ITLOS yang berbasis di Hamburg, Jerman. Satu-satunya afiliasi hanya berdasarkan aturan dalam Annex 7 dari UNCLOS, jika salah satu pihak tidak menunjuk atau menetapkan abitrator, maka yang diangkat adalah Presiden ITLOS.
Selain itu, tribunal tidak memiliki hubungan dengan PCA. Hanya sedikit afiliasinya pada PCA karena memberi layanan stenografi untuk kasus ini, dan menyewa ruang sidang untuk tribunal sementara ini di Hague’s Peace Palace.(Istana Perdamaian Den Haag).
Alasan Filipina seharusnya memutuskan untuk membentuk tribunal sementara karena ICJ, PCA dan ITLOS atau arbitrase dimana jika kedua belah pihak telah mencapai kesepakatan bersama atau telah menandatangani perjanjian yang menyatakan bahwa setiap sengketa akan diserahkan kepada pengadilan ini.
Tapi, Tiongkok dan Filipina tidak memiliki kesepakatan tersebut, dan karena itu, Filipina hanya bisa menyerahkan sengketa LTS ini ke tribunal sementara yang dibentuk berdasar Annex 7 dari “UNCLOS.”
Sehingga timbul pertanyaan dari banyak pihak terutama dari Tiongkok, mengapa bagi yang biasa disebut ahli khususnya AS dan media Barat terus berempati atas putusan yang dibuat oleh pengadilan internasional di Den Haag ini? Yang dianggap mencoba menyamarkannya, dengan mencapurkannya dengan PCA yang bergengsi disana, sehingga membuat orang berpikir kasus Filipina seolah-olah diperintah oleh PCA, sehingga jika Tiongkok menyatakan tidak menerima, itu akan terjadi penekanan dari masyarakat umum.
Otoritatif hukum internasional memiliki prosedur yang sangat ketat. Berdasarkan peraturan internasional dan praktik hukum internasional, hakim ITLOS dan ICJ harus mengikuti prosedur dengan meminta setiap hakim memberikan suara.
Pilihan hakim dan arbitor harus mewakili wilayah seluruh dunia sekomprehensif mungkin. Itulah sebabnya ICJ terdiri dari 15 hakim dari semua benua besar, dan ITLOS memiliki sebanyak 21 hakim.
Jika melihat kembali pada tribunal LTS, presiden arbitor dan arbitor lainnya diangkat dan berkonsulatsi dengan, dan terdiri dari lima angggota. Berdasarkan Annex 8 dari “UNCLOS” vonis bisa dibuat setelah setengah suara dari arbitor---suara hanya dari tiga orang.
Analis percaya bahwa mengambil keputusan untuk kepentingan maritim penting, dan kepentingan nasional hanya kepada tangan paling banyak hanya lima orang, dan setidak hanya tiga orang, jelas ini akan runyam dan tidak dapat diterima.
Selain itu pengamat melihat, ada hal-hal aneh terjadi, dan kekurangan berulang kali muncul dalam proses penbentukan tribunal smentara ini. Tribunal terdiri dari empat ahli hukum Eropa, dan juga Thomas A Mensh (dari Ghana) yang sudah lama tinggal di Eropa.
Sehingga Liu Zhenmin, wakil Menlu Tiongkok dengan lantang mempertanyakan: Apakah mereka memahami Asia? Apakah mereka memahami budaya Asia? Apakah mereka memahami isu-isu LTS? Apakah mereka memahami geopolitik yang komplek di Asia? Apakah mereka memahami sejarah LTS? Jadi bagaimana mungkin mereka memberikan putusan yang adil?
Tapi selain itu, masih banyak masalah untuk lima ahli hukum pada daftar tersebut ini sendiri. Pertama bisa dilihat Shunji Yanai yang menunjuk mayoritas dari para ahli hukim ini.
Latar belakang Yanai yang diragukan kenetralannya, Shunji Yanai bergabung Kemenlu Jepang pada tahun 1961 dan untuk 40 tahun berikutnya. Ia memegang banyak posisi, pernah sekali mengambil bagian dalam urusan sensitif seperti masalah Pulau Diaoyu dengan Tiongkok, dan perjanjian keamanan Jepang-AS.
Pada bulan Oktober 2001, Yanai pernah ditegur keras dan dibebaskan dari posisinya, karena terlibat skadal penggelapan dana dinas rahasia diplomatik.
Tapi Yanai yang reputasinya banyak dipertanyakan mendapat rekomendasi dari otoritas Jepang untuk menjadi seorang hakim ITLOS pada tahun 2005, dan menjadi presiden ITLOS pada tahun 2011-2014.
Apa yang membuat tribunal ini bahkan tidak resmi adalah beberapa ahli hukum dan saksi ahli menarik keterangan mereka kembali selama persidangan, meskipun yang tadinya mempertahankan pandangannya cukup lama.
Pada bulan Nopember 2015, selama persidangan, seorang saksi ahli Filipina Prof. Clive Schofield berubah pikiran pada sikap akademiknya yang sebelumnya diberikan untuk Pulau Taiping adalah sebuah pulau, yang tadinya menyebutkan sebagai “beting” dalam kasus ini.
Tapi, selama sidang trinual, ia membantah pendapatnya sendiri, dan mengatakan bahwa tidak ada dari Kepulauan Nansha yang bisa menghasilkan ZEE atau landas kontinen.
Juga Prof. Alfred H.A. Soon dari Belanda telah mengklaim untuk waktu lama untuk menentukan status hukum pulau dan beting itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari menentukan batas-batas maritim. Tapi setelah ia menjadi seorang ahli hukum di tribunal sementara ini, profesor ini berubah sikapnya, dan percaya bahwa status hukum pulau dan beting bisa terlepas dari masalah batas maritim, dan kemudian dengan “jahatnya” dielakan kategori pengecualian Tiongkok mengenai batas-batas maritim untuk Filipina.
Apa yang menyedihkan menurut para pakar bahwa tribunal sementara ini menggunakan sarannya tanpa melakukan penyelidikan atau diskrimisnasi. Jadi analis dan pengamat serta pakar ada yang mempertanyakan siapa kiranya yang akan mendukung tribunal ini? Bahkan ada yang menuduh bahwa tujuan mereka hanya mencari duit, dan mengabaikan keprofisionalannya.
Lalu siapa yang mengalokasikan dana untuk membayar mereka? Filipina atau negara lain. Karena sistem disana sangat lain dan berbeda dengan ICJ atau ITLOS.
Sumber yang relevan mengungkapkan bahwa para ahli hukum tribunal sementara ini dibayar 600 euro per jam. Semua biaya terkait para ahli hukum dapat diganti, termasuk perjananan bisnis, penginapan, tagihan telepon, biaya fax, dan biaya menyalin (copying).
Saat ini, tidak ada informasi yang dipublikasikan mengenai biaya hukum dari tribunal ini yang bisa dibaca. Tapi estimasi awal menunjukkan bahwa lebih dari tiga tahun, tribunal telah menghabiskan sekitar lebih dari 25 juta euro. Atau sekitar satu per dua ribu (1/2000) dari total anggaran tahun 2015 Filipina.
Sejak awal Tiongkok tidak menerima atau mau berpartisipasi dalam arbitrase ini, maka berarti tribunal ini benar-benar didanai oleh Filipina.
Sehingga oleh para pakar dunia, kasus arbitrase LTS ini telah menjadi preseden bagi implementasi yang mengerikan bagi hukum internasional. Tribunal membuat vonis arbitrase hanya dari satu pihak, tapi tidak menyelesaikan perselisihan. Sebaliknya membuat situasi LTS menjadi lebih rumit dan tegang. Secara komprehensif tampaknya bayangan hegemonik terlihat dibelakangnya.
Pada 12 Juli 2016, pada waktu setempat dimana keputusan arbitrase dirilis, Deplu AS langsung membuat pernyataan yang mendukung keputusan, dan menyerukan kedua pihak untuk mematuhi keputusan arbitrase.
Seperti diketahui sebagai dokumen hukum yang paling penting mengatur hubungan maritim internasional “UNCLOS” telah disebutkan sebagai “Piagam Laut / Charter of the Sea.” Tapi AS sebagai salah satu negara maritim terbesar di dunia tidak pernah meratifikasi “UNCLOS”, dan menjadi satu-satunya anggota Dewan Keamanan Tetap PBB yang tidak melakukannya.
Banyak pengamat yang mempertanyakan mengapa negara extra-regional seperti AS menjadi tergesa-gesa untuk berada di garis depan mengenai isu-isu LTS? Bahkan Tiongkok dan ada pengamat dunia luar yang tidak terlibat, mengatakan tribunal benar-benar melayani AS, bukan Filipina, Filipina hanya sebagai sepotong pion/bidak dalam papan catur.
Kejadian yang Memalukan AS
W B : Hanya mau tanya saja. National University of Singapore mereka merilis peta ini di situs web mereka, dan bersama-sama dengan wartawan. Ada satu peta disini, yang dinyatakan sumbernya dari pemerintah AS, dikatakan disini, fitur tanah pulau Taiping yang dikuasai oleh Taiwan Fitur pada “pulau” ini adalah pulau bukan batu. (sambil menunjukkan peta dimasud..)
Ya saya yakin, ini tidak berbeda dari apa yang dikatakan dalam putusan itu (tribunal arbitrase). Saya ingin tahu apakah ini mewakili pandangan AS?
Tony Mark menjadi gelagapan dengan pertanyaan ini berkata: Bisakah saya (lihat) ...... Peta apa itu? I am sorry ... dalam keadaan canggung dan nyengir TM : Tunggu tungu tahan dulu...please... I’m going to hold you to it.
W B : Sumbernya .... sumber dari Pemerintah AS. Saya anggap itu dari Deplu dan ....yeahhh (The source….source is from the United States Government. I assume its from the State Department and…yeaah)
M T : But you’re referring to Taiping? Is that the ….. (apa yang Anda mengacu pada Taiping? Itu adalah ...... )
W B : Yes.
M T : Lihatlah. Keputusan itu cukup jelas, dalam dekripsi itu dinyatakan apakah itu adalah sebuah pulau dan apakah batu karang. Saya hanya akan merujuk itu kepada Anda ke definisi hukumnya. Saya mengerti.... dan bisa diperdebatkan. ( untuk mengalihkan ketegangan...)
Marilah kita mengutip sebuah lagu? I am a rock and I am an island. Lagu yang bagus.... tapi ini tidak terkait dengan diskusi ini. (Look, the decision was quite clear, in it description of what is an island and what is a rock. So I would just refer you to its legal definition. I can read …. Arguably).
Does it really quote the song? I am a rock, and I am an island. Great song, by the way, but unrelated to this discussion.)
Zheng Yongnian, Dierector of the East Asian Institute National University of Singapore, mengatakan : Kasus arbitrase lTS bukan tentang hukum sejak awal. Sudah tentang politik. Ini adalah manipulasi politik. Ini tidak ada hubungannya dengan hukum. Saya pikir itu adalah salah tafsir bagi banyak orang yang melihat ini hanya sebagai masalah hukum sekarang.
Kamboja Tidak Mendukung
Pada 20 Juni 2016, PM Kamboja Hun Sen mengungkapkan selama upacara wisuda pada Cambodian National University of Management, bahwa ada duta besar di Kamboja dari negara tertentu di luar ASEAN menekan Kamboja dan negara-negara ASEAN lainnya.
Hun Sen mengatakan, lebih satu bulan lalu, duta besar negara tertentu untuk Kamboja mengunjungi rumah saya, dan mengatakan mereka berharap bahwa Kamboja bisa memberi suara dukungan untuk ASEAN setelah putusan arbitrase dirilis. Saya terus bertanya apa itu yang dimaksud “suara”?
Dubes itu mengatakan kepada saya bahwa itu akan berarti dukungan untuk tribunal internasional.
Saya lalu bertanya, apakah dia sudah tahu hasil dari kasus arbitrase LTS, dan dia mengatakan bahwa Tiongkok akan kalah dan Filipina akan menang.
Hun Sen dengan tegas mengatakan : Ini bukan masalah hukum, itu adalah salah satu politik, dan saya tidak mendukung. (Dengan nada berapi-api...)
(berselang tidak lama, media Barat ramai dengan berita kerabat Hun Sen yang menyalahgunakan kekuasaan untuk KKN didalam negeri Kamboja).
Jepang Ingin Menangguk Keuntungan
Pengamat ada yang mengatakan bahwa Jepang telah mengambil pendekatan dua jalur untuk masalah LTS, dengan menggunakan plot rahasia dan terbuka.
Pada 1 Juli 2016, hari pertama mendapat giliran sebagai presiden Dewan Kemanan PBB, Dubes Jepang untuk PBB Korro Bessho mengatakan dalam konferensi pers, dimana ia menyatakan “keprihatinan yang ekstrim” untuk isu LTS, dan mengatakan bahwa jika ada anggota dewan keamanan membuat permintaan, ia akan mempertimbangkan untuk men-listing isu LTS sebagai topik untuk didiskusikan dalam Dewan Kemananan.
Pada 11 Juli 2016, hasil dari pemilu ke-24 House of Councilors diumumkan yang berkuasa adalah Partai Demokrat Liberal dan Partai Komeito memenangkan lebih dari setengah kursi, sehingga memperkuat kekuasaan mereka dalam Diet.
Setelah pemilu ini, kekuatan untuk mendukung amandemen konstitusi menyumbangkan lebih dari dua per tiga dari kursi Diet, yang berarti bahwa Abe telah melampaui “ambang batas” Diet utuk mengamandemen konstitusi.
Sebelum ini Jepang telah menggunakan isu LTS, isu Laut Timur untuk memenangkan isu konstitusi dalam negerinya dan membuat mereka membentuk hubungan interaktif. Misalnya dengan mengsensasionilkan isu LTS bisa mengurangi tekanan di Laut Timur dan masalah Pulau Diaoyu dan isu-isu lain dengan Tiongkok. Dengan menyebarkan bahaya “anacaman dari Tiongkok” telah menciptakan kerangka kerja yang besar bagi Jepang untuk mengubah konstitusi.
Tujuan Jepang di LTS juga sama dengan AS untuk mendorong keluar kepentingan maritim Tiongkok. Seiring dengan ini, ambisi Jepang yang tidak hanya melawan Tiongkok, mereka juga termasuk Filipina dan Vietnam. Jadi ada analis yang mewanti-wanti bahwa rakyat negara-negara ini yang pernah di-invasi Jepang juga seharusnya waspada.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, AS, Jepang dan negara-negara ekstra-regional lainnya telah terus menerus melontarkan segala macam “peraturan” di LTS, seperti “kebebasan navigasi” dan “membela hukum internasional” dan dengan respon dan dorongan dari media Barat, LTS telah dilaporkan sebagai “tempat yang tidak ada” kebebasan navigasi, tidak ada ketertiban, tidak ada perdamaian dan tidak ada stabilitas.
Menurut beberapa pengamat luar, isu LTS telah menjadi panggung terbaik bagi AS untuk mendapatkan sekutu-sekutunya untuk menekan Tiongkok dan bahkan menfitnah adanya bahaya invasi Tiongkok, serta pijakan terbaik untuk strategi AS untuk menyeimbangkan kawasan Asia-Pasifik.
Bagaimana isu LTS bisa menjadi lebih panas dan gaduh? Seolah dijadikan anjang pertunjukan Hollywood.
Saat makin dekatnya keputusan vonis tribunal sementara atas kasus LTS yang diserahkan Filipina secara sepihak, selama dua bulan terakhir, AS telah meningkatkan tindakan dan serangan publik terhadap Tiongkok.
Pada bulan Mei 2016, mantan Menhan AS Chuck Hegel mengsensasionilkan kasus arbitrase LTS, dengan mengatakan bahwa “tidak mematuhi putusan arbitrase akan menjadi awal dari bahaya.”
Pada bulan Juni 2016, di Shangri-La Dialogue, Menhan AS yang sekarang, Ashton Carter mengutuk tindakan Tiongkok di LTS sebagai “membangun Tembok Besar untuk mengisolasi diri.”
Para pengamat melihat pada fokus pertempuran opini publik, AS telah melakukan serangan mengenai LTS dalam beberapa tahun terkahir ini, sehingga dapat dengan jelas AS melakukan serangan pukulan satu-dua.
Isu LTS telah menunjukkan oposisi AS terhadap Tiongkok tampaknya dengan skala besar. Skala yang lebih besar adalah opini pertempuran masyarakat untuk stategi AS kemabli ke Asia. Ini merupakan pertempuran opini dan legal pemerintah AS, militer, media, think tank dan beberapa LSM yang bekerjasama dengan sekutu AS di sisi Barat Samudra Pasifik, yang telah diluncurkan untuk melawan Tiongkok terutama mengenai keadulatan dari pulau-pulau di LTS.
Secara garis besarnya, Perang Umum LTS bagi AS metodenya dijabarkan sebagai berikut:
Metode 1: Meracik Topik Gesekan.
Pertama kali topik LTS muncul adalah pada bulan Juli 2010, di Forum ASEAN yang diadakan di Hanoi, Vietnam. Selama dalam forum, Hillary Clinton, yang baru saja menjadi menlu berani mengatakan AS prihatin tentang isu-isu LTS, dan berbicara panjang lebar tentang hubungan antara LTS dan kepentingan nasional AS, dengan menekankan pentingnya dan ugensi menjaga kebebasan navigasi di LTS.
Ini adalah awal dari strategi AS untuk menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik.
Topik gesekan ini bisa dibahas dalam tiga topik:
Pertama, kebebasan navigasi. Seperti yang diketahui AS terus mengarang masalah ini, dengan mengatakan mereka berharap, atau mereka khawatir bahwa kapal mereka dalam bahaya tidak dapat kemudahan untuk mengakses navigasi. Tapi dalam kenyataannya, ada 100.000 kapal yang mengarungi LTS setiap tahun, mereka belum pernah terhalang dengan cara apapun. Itu adalah topik pertama.
Topik kedua, Sengketa Tiongkok dan Filipina untuk Pulau Huangyan pada tahun 2012, benar-benar sesuatu yang kedua belah pihak bisa meredakan, dan pada tahun 2013 mereka sudah mulai mengadakan negosiasi. Namun AS percaya bahwa itu harus memperkuat konsep perang geseka atau friksi, dan mereka berpikir bahwa Pulau Huangyan akan menyebabkan perang, sehingga menyebabkan masalah Pulau Huangyan tercipta suatu masalah yang baru, dan fokus terus berkelanjutan untuk ke seluruh dunia.
Selanjutnya langkah ke tiga, adalah untuk memperburuk dengan mengangkat masalah “ekologi” di LTS. Dengan dipercaya bahwa pembangunan dan reklamasi Tiongkok mengganggu ekosistem LTS, dan bahkan lebih jauh lagi mempengaruhi perubahan iklim, dan hal-hal lain, seperti kegiatan pembangunan negara lain.
Semua di proses secara bertahap. Pertama, dengan membuat topik-topik hangat, dan kemudian membuat krisis, dan seluruh dunia harus peduli tentang masalah ini dan isu ini. Jadi bertahap selama enam tahun, AS telah mengubah LTS menjadi sautu “tempat sampah yang buruk di mata seluruh dunia.”
Perang Umum LTS bagi AS untuk Opini Publik Metode 2 :
Mengkordinasikan antara Pemerintah, Militer, dan Media.
Untuk mengkordinasikan propaganda luar, departemen pemerintah AS melakukan kordinasi yang erat antara ranah resmi, akademis, dan media. Setiap saura disinkronkan, dan pejabat anonim seringkali seolah-olah “membocorkan” informasi.
Sejauh untuk mengsensasionalisasi, mereka menciptakan tren opini publik, dan penyelidikan, sebelum aksi militer apapun, kemudian setelah aksi militer, ada pelaporan tindak lanjut dan dramatisasi dari media. Untuk ini mereka memiliki berbagai macam metode.
Misalnya Koran raksasa seperti “ New York Times”, “Washington Post” dan “Wall Street Journal” serta AP, CNN, situs website mereka dan media militer seperti “Defense News” dan “Jane Defense Weekly.” Mengirimkan sikap iklan posisi pemerintah AS, tetapi pada saat yang sama mereka membuat topik baru. Seperti contoh untuk berita Platform 981 pengeboran minyak dan kebebasan navigasi, pembangunan pulau Tiongkok di LTS, semua ini mereka coba sensasionalkan.
Dengan menurut pengamatan para analis.
Misalnya lagi ketika pada bulan April 2016, Wakil ketua Komisi Militer Pusat Tiongkok Fan Changlong mengamati pulau-pulau LTS, oleh Bloomberg di sebut “tit-fot-tat” antara Tiongkok dan AS. Press “The New York Times” mengatakan ini adalah militer Tiongkok menambahkan chip untuk kepemimpinannya di LTS.
Ketika pesawat militer Tiongkok mengevakuasi pekerja yang terluka di Yongshu Reef, bahkan dipertanyakan oleh Mephan AS.
Perang Umum LTS bagi AS untuk Opini Publik Metode 3 : Think Tanks
Pengambil keputusan (Decision makers) di AS adalah seperti Pintu Bergulir Seamless (Seamless Revolving Door System) atau pintu berputar seperti di hotel-hotel.
Misalnya, mantan Menlu AS, Henry Kissinger adalah seorang peneliti di Harvard University sebelum ia masuk dunai politik, ia mendirikan perusahaan konsultan internasional Kissinger Associates, dan menjadi chairman of the board.
Condoleezza Rice, mantan sekretaris negara mantan Presiden George W. Bush, bergabung dengan think tank yang terkenal, Hoover Institution, setelah masa jabatan berakhir.
Hubungan antara think tank AS dan pengambil keputusan sangat erat dan mulus. Mayoritas orang yang bertanggung jawab atas proyek think tank di AS serta CEO atau wakilnya dari orang think tank ini, atau personil pada tingkat ini hampir semua telah berpengalaman dengan posisi di pemerintahan AS.
Jadi mereka tahu apa yang dibutuhkan pengambil keputusan. Mereka jelas memahami irama pengambil keputusan di seluruh musim atau periode sepanjang tahun. Mereka juga sangat jelas paham pola operasi politik di dunia, sehingga mereka tahu apa yang diperlukan dalam agenda politik global, dan apa yang mereka butuhkan untuk diberikan.
Tapi untuk daftar musuh-musuh hanya ditampilkan AS dengan menggunakan suara disektor keamanan. Pada kenyataannya, dalam bidang ekonomi, budaya, teknologi, dan sektor lainnya, AS menggunakan suara yang kuat dan berkemampuan untuk memandu agenda internasional diskusi untuk membimbing politik global, untuk kepentingan hegemoniknya sendiri.
AS memiliki sifat yang unik untuk itu. Seluruh negeri bertindak dalam tiga langkah. Langkah pertama adalah untuk menjelekkan (demonize) negara. Langkah kedua adalah untuk mengisolasi negara dan melemahkan kekuatannya, dan langkah ketiga menyerang negara itu.
Bisa dilihat dari pengalaman Irak dan Lybia, yang terjadi mereka mencoba untuk melakukan hal yang sama di Syria, tetapi tidak berhasil.
Kasus arbitrase LTS adalah contoh klasik dari AS mendorong mantan pemerintah Filipina untuk mengunakan “UNCLOS” dalam berusaha untuk mendistorsi Tiongkok menjadi “gangguan tatanan internsional.”
Antonia Valdes, mantan wakil Menteri Pendidikan Filipina, mengatakan : AS dan Barat akan menggunakan cara ini untuk menjelekkan Tiongkok, membuat Tiongkok terlihat sangat buruk, Itu adalah cara AS dan pers Barat. Itulah jalannya. Media adalah senjata. Mereka menggunakan media sebagai senjata. Lebih lanjut dikatakan....
AS sering mendorong untuk agenda global seperti ini yang penuh dengan ketidak adilan. Ketika datang ke masalah kontraterorisme, ancaman ke AS adalah “terorisme.” Namun ancaman yang sama dihadapi negara-negara lain dipandang oleh AS sebagai “isu nasional.”
Dengan menghadapi suara Barat yang begitu kuat, jangan heran suara Tiongkok menjadi lemah dalam masyarakat internasional.
Cara Operasi Think Tank AS
Pada pagi hari 5 Juli 2016, waktu setempat AS, seminggu sebelum keputusan tribunal sementara diumumkan. Think tank Tiongkok dan AS mengadakan dialogue di Washington D.C. Selama dalam dailogue, mantan anggota dewan negara Tiongkok, Dai Bingguo, dengan jelas menggambarkan sikap Tiongkok pada isu-isu LTS. Mereka berharap AS bisa obyektif dan bersikap adil terhadap masalah ini, dan tidak mengeritik Tiongkok, yang berada diperlindungan “UNCLOS,” dari sosisi “UNCLOS.”
Bingguo mengatakan: saya dengar bahwa putusan akan segera keluar. Biarlah itu keluar. Karena tidak ada yang istimewa. Ini hanya sehelai kertas yang tidak berharga.
Douglas Peal, dari US Carnagie Endowment for International Peace mengatakan, Penasehat negara Tiongkok, Dai yang menyampaikan dalam sambutannya, menyatakan penting mendinginkan perairan LTS. Tapi ada sedikit orang yang tahu bahwa di balik dialog itu adalah permainan intrik antara dunia akademik Tiongkok dan AS menggenai pengaturan agenda. Selama persiapan, penerbitan, Chongyang Institute for Financial Studies, Renmin University of China, pernah bertemu sekali dengan petinggi top think tank AS tentang topik LTS, dan think tank AS merasa mempunyai kekuatan dan konsep yang berada diatas mereka ketika menentukan pengaturan agenda.
Sedang bagi Carnegie Endowment relatif terbuka, dan membiarkan pihak Tiongkok menetapkan seluruh agenda. Sementara Carneigie bisa membahas topik cukup ringan. Demikian menurut Douglas Peal.
Satu contoh lagi menurut delegasi Tiongkok, pertama pihak Tiongkok berbicara tentang perbedaan fokus poin masing-masing pihak pada LTS, kedua adalah kasus arbitrase LTS dan persepektif internasional. Ketiga dibahas beberapa solusi untuk masalah LTS. Pihak Tiongkok merasa tiga langkah ini akan lebih ringan, dan berharap AS akan bisa menerima mereka, sementara juga menjadi kepentingan Tiongkok.
Tapi itu tidak akan dilakukan oleh orang-orang think tank AS, yang telah meracik LTS menjadi krisis, AS hanya akan mendiskusikan topik hanya setelah keadaan menjadi krisis.
Pada kenyataannya, meskipun Tiongkok dan AS telah melakukan 100 dialog untuk saling tukar mekanisme, tapi khusus untuk masalah LTS sangat sedikit dibahas. Kebanyakan cendikiawan think tank AS tidak tahu banyak tentang realitas dasar dari LTS. Beberapa think tank AS pertimbangkan pada idelogi ketika membahas masalah LTS, tetapi beberapa mengikuti opini militer AS dan media.
Sehingga sering kali pihak Tiongkok harus “mengajari” pihak AS untuk memandu dalam diskusi. Begitu menurut cerita Wang Wen (Executive Dean, Chongyang Institute for Financail Studies, Renmin University of China) salah satu delegasi Tiongkok.
Tampaknya AS mengandalkan kapal perangnya, sedang Tiongkok lebih memilih negosiasi. Ketika menghadapi kebebasan bernavigasi, yang jelas Tiongkok tidak mungkin mengelola kawasan lain seperti AS, setidaknya hanya di wilayah LTS, dan Tiongkok dan ASEAN sedang melakukan COC, dan layaknya itu harus berisi satu syarat, yaitu berani mengusulkan definisi atas isi dari kebebasan navigasi di LTS dan ekstensinya.
Tampaknya Tiongkok juga aktif menyediakan produk publik internasional. Melalui berbagai upaya untuk memberi masyarakat internasional dengan bantuan navigasi, bantuan serach & rescue, laporan maritim dan cuaca serta layanan lainnya. Untuk mempromosikan kepastian dan pelayaran yang aman di LTS.
Menurut pernyataan Tiongkok di LTS, Tiongkok selalu tampaknya mempertahankan prinsip-prinsip damai untuk menyelesaikan sengketa melalui negosiasi antara pihak-pihak yang terlibat, seperti yang juga diprakasai Indonesia dalam DOC untuk penyelesaian sengketa dengan konsultasi ramah dan negosiasi damai.
Bagi Indonesia selain berupaya menengahi permasalahan LTS ini dengan berlandasan DOC, didalam negeri tidak ada salahnya juga mempersiapkan diri untuk memperkuat diri seperti apa yang di kemukakan oleh mantan Kastaf AL Sucipto persiapan untuk memenangkan Short Sharp War di perairan Natuna jika keadaan terburuk terjadi. Namun hal ini kita harapkan tidak terjadi. Dan Perdamaian di LTS tetap terjaga....
Sumber: Media TV dan Tulisan Dalam & Luar Negeri
Penyelesaian Sengketa Internasional dan Pulau Sipadan dan Ligitan
Ngoto Soal Laut China Selatan, China Disebut Berpotensi Tinggalkan Komunisme
Soal Konflik Laut Cina Selatan, Begini Kata Mantan Kepala Staf Angkatan Laut
Which Countries Support China's Claims of South China Sea?
Soal Konflik Laut Cina Selatan, Begini Kata Mantan Kepala Staf Angkatan Laut
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H