Memanfaatkan Pangkalan AL Changi Singapura
Pangkalan AL Changi digunakan untuk dijadikan pangkalan AL Singapura sendiri, tapi setelah itu diperluas. Sehingga memiliki dua fungsi: satu untuk melayani sebagai pelabuhan pelayanan ketika kapal induk AS datang berlabuh, untuk memasok kebutuhan logistik dan perbaikan bila ada, selain itu untuk kepentingan kebutuhan para perwira dan prajurit untuk pergi ke pantai beristirahat selama beberapa hari.
Tapi fungsi yang utama adalah untuk mengubah Pangkalan AL Changi menjadi pangkalan utama, dan untuk menormalisasi pengerahan kapal perang AS.
Pada 1 Maret 2013, militer AS untuk pertama kali USS Freedom kapal tempur khusus pesisir (LCS/Littoral Combat Ship) menjadikan pangkalan AL Changi, untuk dimulai penyebaran periode panjang selama delapan bulan pertama untuk perairan Laut Tiongkok Selatan. Dan berdasarkan rencana AL-AS akan mengerahkan total sebanyak 4 LCSs yang akan digelar di Singapura.
Sejak tahun 2000, AL-AS percaya bahwa ancaman utama tidak lagi akan datang dari laut, tapi akan dari zona pesisir dekat dengan daratan. Maka penyebarkan dan mengerahkan LCSs  di Pangkalan AL Changi telah dilihat sebagai tindakan penting bagi AS untuk kembali ke kawasan Asia-Pasifik.
Saat ini, AS tidak hanya menyiapkan Pangkalan AL Changi, juga coba bernegosiasi membangun pangkalan dan infrastruktur militer baru di Malaysia, Indonesia, Thailand, Brunei, Vietnam, dan Filipina, serta penyewaan Bandara Internasional U-Tapao, pelabuhan Jakarta dan Surabya, dan pelabuhan Kota Kinabalu di Malaysia.
Tapi khusus di Indonesia akan sangat terbentur sentimen nasionalisme Indonesia, selama rezim Indonesia tidak dipegang oleh rezim penjual Nusa & Bangsa yang sangat pro AS dan Barat.
Mengingat dokrin Soekarno untuk geopolitik di Asia Tenggara dan KIAPMA (Konferensi Anti Pangkalan Militer Asing) yang diadakan 1965. Meskipun Soekarno telah dijatuh oleh rezim Orba, tapi rezim militer Soeharto walaupun longgar terhadap konsesi SDA, tapi untuk  soal Nasionalisme Soeharto terlihat lebih kolot dan konservatif ketimbang Soekarno.
Hal ini bisa dilihat ketika ada desakan dari AS agar Indoensia masuk dalam Pakta Militer Asia Tenggara, Soeharto mendiamkan pengajuan proposal Pakta Militer itu. Tampaknya Soeharto khawatir ikut campurnya pangkalan militer asing akan menjadikan kawasan Asia Tenggara tidak stabil.