Dalam masalah Laut Tiongkok Selatan, Indonesia menempatkan diri sebagai negara yang tidak mengklaim wilayah dalam konflik Laut Tiongkok Selatan, bahkan ikut mensponsori dalam “Deklarasi Tentang Perilaku Para Pihak di Laut Tiongkok Selatan” (Declaration on the Conduct of the Parties in the South China Sea/ DOC).
Semua pihak (negara-negara ASEAN) tampaknya masih ingin melakukan bisnis dan memakmurkan serta meningkatkan kehidupan masyarakatnya. Kiranya ini lebih penting dari beberapa pulau dan terumbu karang.
Dalam kurun waktu semester satu 2016 ini telah terjadi tiga kali insiden kapal-kapal penangkap ikan Tiongkok masuk dalam Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia. Tapi hal ini terjadi akibat masih tumpang tindih antara sembilan garis putus yang diklaim Tiongkok yang dianggap tradional fishing ground mereka.
Bagi Indonesia, penangkapan kapal-kapal nelayan Tiongkok di ZEEI oleh kapal otoritas, termasuk KKP dan TNI AL, selain untuk penegakan hukum juga untuk penegakan hak berdaulat.
Menurut Hikmahanto Juwana Guru besar Hukum Internasional UI mengatakan, posisi Indonesia sebagai negara bukan pengklaim di LTS didasarkan pada dua alasan.
Pertama, Indonesia bukan negara yang mengklaim pulau di LTS. Kedua, Indonesia ingin memosisikan diri sebagai penengah yang jujur, baik untuk sengketa kepemilikan maupun isu keamanan dan kebebasan pelayaran internasional.
Namun dalam konteks sembilan garis putus berikut traditional fishing ground, Indonesia harus memosisikan diri tidak menganggap ada garis putus tersebut.
Kedua, Indonesia ingin menjaga posisinya sebagai penengah yang jujur. Posisi ini tentu tidak bisa dan tidak boleh dipertahankan ketika kepentingan Indonesia dirugikan.
Posisi sebagai penengah yang jujur dapat dipertahankan sepanjang konflik di LTS berkaitan dengan kepulauan, termasuk karang dan bebatuan lainnya, serta keamanan dan jaminan kebebasan pelayaran internasional.
Manuver Terakhir Obama Pada Masa Jabatan Terakhir
Dari 21 hingga 28 Mei 2016, Presiden AS, Barack Obama telah melakukan kunjungan kesepuluh ke Asia-Pasifik selama menjabat sebagai presiden, hal ini tidak diragukan karena ingin mengfokuskan mendorong strategi menyeimbangkan kembali wilayah Asia-Pasifik pada masa sebelum jabatannya berakhir. Bagi Jepang dan Vietnam diabad lalu memiliki pengalaman masa lalu yang tidak bisa terlupakan.
Maka kali ini perjalanan Obama ke Asia-Pasifik oleh banyak pihak disebut “perjalanan rekonsiliasi”, tapi pengamat melihat apakah Obama hanya menggunakan tindakan-tindakan yang tidak biasa untuk mengubah halaman gelap dalam sejarah dan coba menciptakan persahabatan di abad ke-21? Banyak yang mempetanyakan apa tujuan sebenarnya di balik “perjalanan rekonsiliasi” ini?
KTT Ise-Shima G7–Jepang, 2016
Pada 27 Mei 2106, para pemimpin G7 mengadakan pertemuan di Ise-Shima , Jepang. Dan meloloskan deklarasi bersama. Yang sama dengan apa yang diharapkan dunia luar, meskipun deklarasi ini tidak dengan terus terang menyebutkan Tiongkok, tapi jangkauannya menyinggung isu Laut Tiongkok Selatan.
Dalam bagian deklarasi sesi untuk keamanan maritim, menekankan untuk menghormati kebabasan navigasi/pelayaran dan penerbangan, mendukung menyelesaikan sengketa melalui cara-cara damai, termasuk prosedur peradilan atau arbitrase, dan menyatakan prihatin untuk situasi Laut Timur dan Laut Tiongkok Selatan.
Pada hari yang sama Departemen Kemenlu Tiongkok menyatakan ketidak senangan atas hal ini kepada Jepang dan G7. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Hua Chunying menyatakan: “Kegiatan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan sepenuhnya dalam hak kedaulatannya, dan sah tanpa bisa dibantah. Tiongkok selalu mendedikasikan untuk menjaga kebebasan navigasi dan Tiongkok sering menekankan bahwa kebebasan navigasi tidak diartikan dapat dilakukan dengan liar. Tiongkok dengan tegas menentang negara-negara tertentu menjelekan Tiongkok atas nama kebebasan navigasi.”
Pengamat melihat bahwa selama KTT G7 dimana Jepang menjadi tuan rumah, Jepang dengan meng-sensasionilkan masalah ketegangan Laut Tiongkok Selatan dan yang sebenarnya tidak sesuai dengan kerangka platform dari G7 yang untuk manajemen ekonomi antara negara-negara maju.
Pada kenyataannya, ini bukan pertama kalinya tahun ini Jepang telah mencoba untuk “menyelusupkan” urusannya sendiri ke dalam pertemuan internasional. Misalnya, pada bulan April lalu, pada KTT Menlu G7 di Hiroshima telah merilis “Pernyataan Hiroshima” untuk keamanan maritim, dengan mengumumkan bahwa para Menlu prihatin tentang situasi di Laut Timur dan Laut Tiongkok Selatan, dan berharap untuk menggunakan arbitrase internasional untuk meneylesaikan masalah, sehingga untuk memastikan kebebasan navigasi dan juga penerbangan.
Dari isinya, pengamat melihat mudah menebak saat menyangkut masalah Laut Tiongkok Selatan. Pada “Deklarasi Ise-Shima Leaders” itu hanya berupa lanjutan dari “Pernyataan Hiroshima.” Beberapa analis mengatakan bahwa pertimbangan politik dari masing-masing negara-negara G7 yang menjadi alasan
Pihak Tiongkok mencurigai pihak AS dan Jepang berusaha untuk memaksa masalah Laut Tiongkok Selatan untuk masuk menjadi topik penting dalam diskusi G7, tetapi tampaknya negara-negara Eropa lainnya mungkin tidak setuju dan mengganjal keputusan ini, karena mereka juga mempunyai pertimbangan dan kepentingan sendiri.
Tampaknya negara-negara Eropa menentang perilaku egois Jepang, karena sebagai negara tuan rumah memiliki hak untuk memandu topik diskusi. Kelompok G7 dalam kenyataanya, negara-negara utama di Eropa tidak setuju. Ini dapat terlihat dengan jelas saat penciptaan AIIB (Asia Infrastrure Investment Bank). Tapi untuk masalah keamanan, negara-negara utama G7 yang semuanyanya anggota NATO, dan hal itu harus konsisten dengan AS dan memelihara sikap yang sama dengan AS dalam keamanan dan politik.
Dalam hal ini tidak perlu menjaga konsistensi dengan Jepang. Jadi semua pihak membuat kompromi untuk menkankan isu Laut Tiongkok Selatan dengan tanpa menyebutkan dengan jelas namanya, untuk memberi dukungan politik untuk AS dan Jepang. Ini adalah semacam kompromi dengan tidak menyebutkan langsung namanya untuk sedikit memperhalus, sehingga negara-negara Eropa bisa terlihat tidak mengelak tanggung jawab, tapi mereka masih bisa dapat poin dengan AS dan Jepang.
Isu Laut Tiongkok Selatan sebenarnya tidak ada hubungannya dengan negara-negara G7, tetapi dalam beberapa tahun terkahir ini, AS dan Jepang telah semakin “prihatin” dengan isu-isu Laut Timur dan Laut Tiongkok Selatan, dan telah disusupkan dalam platform atau panggung G7.
Dari pernyataan KTT G7 dapat dilihat dengan katat-kata “kebebasan navigasi” ini sama dengan pernyataan yang sama dengan apa yang selalu dinyatakan AS di Washington.
G7 dianggap seperti “show Politik” dari Jepang, sehingga pada 26 Mei 2016 lalu, “Bild” Jerman menerbitkan fotoshop yang menggambarkan pemimpin G7 masing mengenakan topi merah orang cebol atau kurcaci, yang dengan sinis menyebutkan KTT G7 sebagai “KTT Kurcaci” dalam hal PDB jika dibandingkan ketika G7 baru diciptakan, yang dapat menyelesaikan masalah dunia.
Obama Berkunjung ke Hiroshima
Pada 27 Mei 2016, jam 5 p.m waktu setempat Obama tiba di Hiroshima. Karena itu Obama dijuluki dengan presiden AS pertama yang mengunjungi Hiroshima dalam 71 tahun setelah P.D. II.
Tapi saat setelah meletakkan karangan bunga di Monumen/Tugu peringatan para korban bom nuklir, dia tidak membungkukkan badan. Dalam pidatonya, Obama juga tidak meminta maaf untuk AS yang telah menjatuhkan Bom Atom disana.
Meskipun Obama tidak meminta maaf, pemerintah Jepang masih gembira dengan kunjungan Obama. “Kyodo News” Jepang menekankan bahwa kungjungan Obama telah membuat suatu “perjalanan rekonsiliasi.”
Juru bicara Kemenlu Tiongkok Hua Chunying memberi pernyataan : “Kita tidak boleh lupa bahwa itu karena perang invasif militerisme Jepang yang menyebabkan bencana pada orang-orang Asia, termasuk orang-orang Jepang di Hiroshima dan Nagasaki. Hari ini 70 tahun setelah berakhirnya P.D. II, mereka yang bertanggung jawab untuk perang harus dengan sungguh-sunguh bercermin diri dan mempelajari perlajaran yang mendalam dari sejarah. Hasil dari kemenangan P.D. II harus dipertahankan.”
Lebih lanjut dikatakan : “Hanya dengan atas dasar ini barulah negara-negara yang menjadi pelaku dan korban dalam perang dapat mencapai rekonsiliasi sejati. Kami berharap Jepang akan memiliki sikap bertanggung jawab kepada orang-orang itu dan masyarakat internasional, dan dengan sungguh-sungguh menggunakan sejarah sebagai panduan untuk mencegah tragedi itu terjadi lagi.”
Lalu, mengapa Obama mengunjungi Hiroshima? Gedung Putih mengatakan bahwa kunjugan Obama untuk alasan baik: untuk menyebarkan denuklirisasi dunia.
Juru bicara Gedung Putih Josh Earnest mengatakan: “AS menjadi satu-satunya negara yang telah menggunakan senjata nuklir, dan itu berarti negara kita dikenakan tanggung jawab khusus untuk memimpin dunia dalam upaya untuk menghilangkannya.”
Tapi beberapa pengamat politik Wahington yang cukup beken memiliki penilaian lain. Mereka menunjukkan bahwa Obama telah memberi anggaran militer hampir satu milyar USD untuk memperbarui dan meningkatkan senjata nuklir AS.
AS telah secara aktif mengerahkan sistem persenjataan anti-rudal di seluruh negara NATO. Yang menyebabkan hubungan Rusia-AS memburuk, dan yang menyebabkan perundingan pengurangan hulu ledak nuklir AS-Russia rencana yang diajukkan menjadi berkepanjangan. Tindakan ini membuat sulit untuk memverifikasi niat AS untuk “membimbing atau memimpin dunia menuju denuklirisasi.”
Lalu apa arti sebenarnya di balik kunjungan Obama ke Hiroshima?
Bill Jones dari “Executive Intelligence Review” yang berbasis di Biro Washington AS melaporkan: Di Jepang ada sebagian besar rakyat yang dengan gigih menentang perubahan Abe (PM Jepang sekarang), mereka ini masih merasa kedatangan Presiden Obama hanya untuk menopang sekutunya, dan menciptakan aliansi militer angkatan laut di Pasifik yang ditujukan terhadap Tiongkok dan Rusia. Dan target itu tidak hanya untuk menghentikan proliferasi nuklir, tapi juga untuk membuat aliansi militer di Asia.
Namun Presiden AS mengujungi Hiroshima merupakan terobosan politik yang signifikan. Hubungan AS dan Jepang sedang mengalami perubahan halus. AS lebih bergantung daripada Jepang dan karena beberapa oposisi politik yang berkembang di AS, disamping itu kunjungan Obama ke Hiroshima tidak menghapus peninggalan beberapa hal sejarah yang AS telah lakukan pada P.D. II.
Meskipun Obama tidak minta maaf, tapi dalam kenyataannya, kunjungannya ke Hiroshima merupakan konsesi besar AS, tapi jelas posisi Jepang menjadi meningkat dan AS harus mendengarkan seruan yang kuat dari Jepang ini untuk menjaga hubungan baik dengan Jepang.
Karena dalam strategi kembali menyeimbangkan Asia-Pasifik, hubungan AS-Jepang menjadi landasannya. Dalam hal ini mengandalkan hubungan AS-Jepang, dan Jepang ingin mejadi kekuatan besar dalam politik dan militer. Jepang ingin menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB dengan mendapat dukungan dari AS. Dalam rangka mencapat tujuan ini, kedua pihak akan membuat konsesi pada isu-isu tertentu.
Analis melihat Abe berharap untuk menggunakan kunjungan Obama ke Hiroshima sebagai hasil utama dari diplomasi Abe, tetapi kasus di Okinawa atas pelecehan seksual dan pembunuhan gadis Jepang oleh tentara AS dan dibuang jasadnya tampaknya mengganggu rencana ideal Abe.
Pada 20 Mei, 2016, masyarakat setempat berkumpul di Pangkalan Udara AS di Kadena, Okinawa, melakukan protes atas mantan marinir AS yang diduga memperkosa, membunuh, dan kemudian membuang jasad gadis berumur 20 tahun bernama Rina Shimabukuro di Okinawa, yang menuntut pemerintah Jepang dan AS mengambil tindakan praktis untuk merevisi klausul ekstrateritorial dalam “Status Jepang –AS Forces Agreement.”
Jadi apa arti dari ekstrateritorial bagi pasukan AS di Jepang? Akankah kejadian ini mempengaruhi aliansi AS-Jepang?
Kyodo News yang mengutip informasi dari pemerintah mengatakan: “Ini tampaknya lebih mengekspos bagian terlemah dari diri kita sendiri, bukannya memperkuat aliansi kita.”. Lalu apakah ini akan berpengaruh dengan aliansi AS dan Jepang?
Tapi kenyataannya meskipun hal ini adalah perbuatan yang sangat jahat, namun tidak akan mempengaruhi aliansi militer antara Jepang dan AS. Kedua belah pihak telah mengambil sikap, baik Shinzo Abe dan Menlu Fumio Kisshida telah mengambil sikap bahwa kejadian tersebut tidak akan mempengaruhi aliansi militer AS dan Jepang.
Namun ada sebagian rakyat dan beberapa ahli yang menyuarakan untuk melakukan negosiasi ulang tentang posisi militer AS di Jepang, yang menghendaki hal ektrateritorial perlu dinegosaisikan lagi. Seorang tentara AS jika melakukan kejahatan di Jepang, mereka harus diadili dan jatuhi hukuman menurut hukum Jepang yang berlaku.
Tapi pihak Jepang sendiri membantah dengan mengatakan bahwa hal itu tidak akan dinegosiasikan kembali, jika menegosiasikan kembali posisi militer jelas AS menolak dengan mentah-mentah. Sehingga demkian AS tetap menikmati hak ekstrateritorial, jika tidak itu berati menarik keluar dari Jepang, jadi sudah dapat dipastikan tidak akan dilakukan renegoasaisi untuk hal ini.
Pemerintah Jepang tidak cukup berani untuk mengambil langkah dengan menendang keluar militer AS dengan menegosiasikan ekstrateritorial militer AS, jadi peristiwa terhadap gadis Jepang oleh marinir AS tidak akan memiliki efek besar pada hubungan AS dan Jepang saat ini.
Kunjungan Obama Ke Vietnam
Perjalanan Obama untuk kepentingan strategi kembali ke Asia-Pasifik adalah Vietnam, Jika kunjungan ke Jepang target minimumnya untuk memperkuat aliansi AS-Jepang, maka perjalanan ke Vietnam lebih untuk “membelah atau memcairkan es.”
Pada hari pertama kunjungannya ke Vietnam, Obama memberi ucapan besar dengan menghadiahi pengangkatan embargo atas Vietnam.
Jadi mengapa AS memutuskan untuk mengumumkan keputusan ini pada saat ini? Apa artinya pengangkatan embargo bagi AS dan Vietnam? Apakah ini justru akan menambah kompleksitas situasi regional?
Obama mengatakan: “Dengan ini saya mengumumkan bahwa AS sepenuhnya mengangkat larangan penjualan peralatan militer kepada Vietnam yang telah dijatuhkan selama 50 tahunan. Seperti dengan semua mitra pertahanan kami, penjualan perlu untuk tetap memenuhi persyaratan yang ketat termasuk terkait dengan hak asasi manusia, tetapi perubahan ini akan lebih memastikan bahwa Vietnam memiliki akses ke perlatan yang dibutuhkan untuk mempertahankan diri dan menghapus sisa-sisa dari bekas Perang Dingin.
Pada 23 Mei 2016, Presiden AS, Barack Obama mengumumkan pada konferensi pers bersama dengan Presiden Vietnam Tran Dai Quang bahwa AS akan benar-benar mengangkat embargo senjata terhadap Vietnam, dalam rangka mempromosikan normalisasi hubungan mereka. Tran Dai Quang mengatakan pada konferensi pers ini bahwa Vietnam menyetujui keputusan AS, karena ini menunjukkan bahwa hubungan mereka benar-benar normal kembali.
Pengamat melihat, pertama-tama pengangkatan embargo senjata menunjukkan hubungan politik mereka benar-benar normal, karena embargo senjata terhadap negara yang dulunya bekas musuh atau dianggap sebagai ancaman potensial.
Dengan pengangkatan embargo senjata terhadap Vietnam yang telah berlangsung di masa lalu, bisa membatalkan pewarisan permusuhan dan menempatkan politik AS lebih nyaman, sehingga bisa melepaskan kewaspadaan untuk melihatnya sebagai lawan. Itu tampaknya yang menjadi tujuan utama mereka.
Saat ini, Obama sudah mendekati masa akhir jabatannya. Jadi ada yang mempertanyakan, pertimbangan apa di balik pengangkatan embargo senjata terhadap Vietnam ini?
Nampaknya Obama bergegas untuk melakukan perjalanan diplomatik dengan maksud untuk memecahkan es sebelum masa jabatannya sebagai presiden habis. Seperti yang sudah ketehui Obama telah membuat terobosan di Iran, dan isu-isu dengan Kuba, jadi ke Vietnam juga berharap untuk menggunakan Vietnam sebagai titik terobosan lain di Asia-Pasifik.
Pangamat melihat ini tampaknya ada pertimbangan individual dalam hal ini, selain kerjasama pertahanan dengan Vietnam dianggap sangat penting. Dari perspektif AS, jika bisa melepaskan embargo dan menjual senjata ke Vietnam, jelas dapat memberi Vietnam lebih percaya diri dalam isu Laut Tiongkok Selatan.
Jika Vietnam bisa membentuk hgubungan yang mendukung AS, itu akan menjadi lebih berharga untuk AS. Dari perspektif Vietnam, jelas mereka selalu mengharapkan untuk mencapai normalisasi hubungan dengan AS. Dan embargao senjata adalah merupakan hambatan terakhir untuk normalisasi hubgunan AS-Vietnam.
Dan setelah embargo senjata terhadap Vietnam diangkat, maka hubungan Vietnam-AS akan memasuki fase baru. Ini termasuk juga dengan TPP dan lainnya, sehingga pertimbangan kedua belah pihak ‘tidak hanya dibidang teknologi pertahanan saja, juga untuk meningkatkan kerjasama politik dan ekonomi. Beberapa analis melihat ini merupakan sinyal sangat kuat yang menunjukkan AS akan mendukung negara seperti Vietnam dan Filipina dalam masalah Laut Tiongkok Selatan untuk menghadapi Tiongkok.
Tapi Obama mengatakan, keputusan untuk mencabut larangan tersebut tidak didasarkan yang ditujukan kepada Tiongkok dan lainnya, itu didasarkan pada keinginanan AS untuk menyelesaikan apa yang telah menjadi proses panjang selama ini untuk menuju normalisasi dengan Vietnam.
Keraguan AS dan Obama Terhadap Vietnam
Meskipun Obama menekankan bahwa pengangkatan embargo tidak ada hubungannya dengan Tiongkok, tapi dia tidak begitu menyakinkan. Dunia luar dengan cepat menyimpulkan dengan menghubungkan pengangkatan embargo terhadap situasi Laut Tiongkok Selatan.
BBC mengatakan AS ‘akan berusaha memperkuat hubungan militer antara kedua negara, dalam rangka menghadapi pengaruh Tiongkok yang secara bertahap berkembang di Laut Tiongkok Selatan.”
Bloomberg Press mengatakan: “Tiongkok memperluas pengaruh ekonomi dan militer di Asia dan teritori Laut Tiongkok Selatan yang bersengketa dengan Vietnam dan negara-negara lainnya, kunjungan Obama ke Hanoi dan Ho Chi Ming city adalah bagian dari upaya AS untuk melindungi pengaruhnya di kawasan tersebut.”
Pada 1975, setelah Perang Vietnam berkahir, AS menerapkan embargo lengkap terhadap Vietnam termasuk embargo senjata. Tahun 1984, AS secara resmi membuat larangan penjualan senjata ke Vietnam, karena tidak puas dengan kinerja HAM pemerintah Vietnam. Hingga tahun 2014 AS mengendorkan pembatasan ekspor senjata ke vietnam, dan memungkinkan Vietnam untuk membeli peralatan keamanan maritim dan pertahanan.
Pada tahun 2014 kita bisa melihat terutama setelah 2015, AS yang tadinya selalu berada di belakang layar, yang mendorong dan mendukung Filipina untuk isu Laut Tiongkok Selatan, juga termasuk terobosan dalam hubungan AS-Vietnam, tampaknya tidak realistik lagi untuk melanjutkan bersembunyi di belakang layar dan mengandalkan negara-negara Asia Tenggara untuk menekan Tiongkok.
Baik AS dan Vietnam memiliki tujuan mereka sendiri masing-masing. Beberapa analis dari “Time of India” telah menunjukkan bahwa AS berharap untuk memperkuat hubungan dengan Vietnam, untuk faktor strategi untuk “menyeimbangkan Asia-Pasifik.” Dan Vietnam sedang mencoba untuk lebih dekat dengan AS untuk kebutuhannya sendiri.
Dalam beberapa tahun terkahir ini, Vietnam telah mempercepat laju impor senjata. Data dari Stockholm International Peace Reseach Institute menunjukkan bahwa antara tahun 2011 dan 2015, Vietnam menjadi importir senjata kedelapan terbesar dunia. Tapi lima tahun sebelumnya jumlah impor senjata Vietnam hanya pada peringkat ke-43 di dunia.
Vietnam Menyatakan Sikapnya Sendiri Untuk Isu Laut Tiongkok Selatan
Pada 25 Mei 2016, setelah Obama baru meninggalkan Vietnam, PM Nguyen Xuan Phuc telah melakukan wawancara langka dengan kantor berita luar negeri, dan mengatakan bahwa Vietnam tidak akan memperluas militernya di Laut Tiongkok Selatan, dan akan mencari jalan dengan negara-negara sekutu untuk mencapai resolusi non-kekerasan dan resolusi damai. Dia mengajurkan menyelesaikan sengketa internasional dan regional melalui hukum internasional.
Reuters melihat bahwa dengan AS mengangkat embargo senjata bisa sangat meningkatkan kerjasama keamanan Vietnam dan AS, dan mempromisikan modernisasi pertahanan nasional Vietnam. Tapi Nguyen Xuan Phuc mengatakan bahwa tugas utama adalah untuk memiliki mitra dengan negara-negara ASEAN dan Jepang yang setuju untuk tidak menggunakan “ancaman kekerasan.” Dan penyelesaian dengan damai dalam mengatasi ketegangan.
Nguyen Xuan Phuc mengatakan; “Saya ingin menekankan lagi bahwa kita tidak menginginkan konflik.”
Tapi dalam pelepasan embargo terhadap Vietnam, Obama telah menambahkan banyak kondisi. Itu akan atas kausu perkasus dan akan dihubungkan dengan HAM di Vietnam dan lain-lain. Kondisi tambahan ini menunjukkan meskipun embargo telah diangkat, tapi tidak memandang Vietnam sebagai pasangan atau teman yang setara dan mitra yang sejajar serta dipercaya dengan apapun yang Vietnam lakukan untuk membeli senjata di pasar AS, hal itu yang AS tidak kehendaki.
Pengamat ada yang mengumpamakan seperti tabung pasta gigi, setiap kali memberi Vietnam sedikit manfaat di Laut Tiongkok Selatan, yang dapat membuat Vietnam merasakan sedikit kemudian ketagihan dan dahaga untuk menambah nafsu makan dan minta porsi lebih besar, yang pada akhirnya meminta kepada AS lebih sering, itu yang nampaknya dipertimbangkan AS.
Tapi dunia luar percaya bahwa AS tidak akan mampu menyaingi Rusia untuk penyediaan persenjataan Vietnam dalam waktu singkat. Karena selama ini yang memasok senjata Vietnam adalah Rusia, lebih dari 90% jet tempur, tank, pesawat transportasi dan kapal selam semua buatan Rusia.
Pemimpin editor Majalah Peneliti di Pusat Rusia untuk Analisis Strategi dan Teknologi dan Ekspor Voorzhenty (Ekpspor Senjata) percaya bahwa Moskow akan terus menjadi pemasok senjata utama Hanoi, karena anggaran militer Vietnam terbatas, dan teknologi serta perlatan Rusia 10 % hingga 15% lebih murah.
Namun masalah pelaksanaan sebenarnya tentang penjualan senjata jauh lebih banyak masalah daripada hal ini, AS dan Vietnam masing-masing memiliki pertimbangan sendiri.
Dari sudut pandang AS, hal ini pasti tidak ingin menjual senjata yang high-tek atau senjata yang mematikan kepada Vietnam. Tapi lebih bersedia menjual hanya berupa drone, radar berbasis pantai, dan hal-hal serupa untuk pertahanan dan pengitaian, terutama senjata dan peralatan yang digunakan untuk melaksanakan misi operasi pengumpulan informasi intelijen.
Jadi aspek pertama adalah semacam persenjataan dan peralatan yang tidak sangat sensitif, sehingga AS dapat menghindari untuk tidak terlalu memprovokasi Tiongkok. Aspek lainnya adalah jenis senjata dan peralatan yang tidak mengkhawatirkan bocornya teknologi militer high-end untuk Vietnam, terutama karena seperti kita ketahui hingga hari ini di Vietnam masih terdapat sejumlah besar teknisi militer Rusia yang aktif. Jika AS memperkeanankan senjata high-end ini maka rahasia teknologinya pada akhirnya akan berada ditangan Rusia, dan ini yang AS tidak kehendaki.
Seperti diketahui semua senjata yang dijual AS disertai dengan ketentuan tambahan. Misalnya mereka tidak boleh menggunakannya untuk pertempuran dengan negara-negara tertentu, dan pembatasan ini sangat jelas. Misalnya seandainya terjadi konflik maritim atau udara dengan Thailand, Singapura, atau Filipina, maka tidak diperboleh menggunakan senjata buatan Amerika, karena mereka ini semua sekutu AS. Pembatasan semacam ini akan dikenakan AS.
Selain itu, jika tidak setuju dengan pembatas demikian, maka akan diputus pemasokan suku cadangnya kelak, sehingga peralatan ini akan menjadi besi tua. Mungkin ini semua akan menjadi pertimbangan Vietnam, selain itu mereka harus memelihara hubungan jangka panjang sedikitnya 20 tahunan, jika tidak akan sulit untuk menggunakan persenjataan tersebut.
Melihat keadaan demikian, mengangksat embargo senjata terhadap Vietnam yang terlihat hanya sekedar simbolis ini, lalu masalah apa yang lebih praktis bagi AS sekarang ini?
Marvin Ott mantan dosen di Universitas Pertahanan Nasional AS mengatakan, Pentagon tampaknya melihat hanya ada satu negara yang dapat menjadi mitra militer dan memainkan peran kunci di Laut Tiongkok Selatan saat ini, maka negara itu adalah Vietnam.
Untuk kunjungan Obama di Vietnam, Gedung Putih mengatakan bahwa perjalanannya ini “tidak biasanya cukup lama.” The “Wall street Journal” juga memperhatikan bahwa presiden AS jarang menghabiskan tiga hari mengujnjungi suatu negara.
Dilemma Hubungan AS-Vietnam
Tetapi beberapa opini publik telah menunjukkan bahwa Perang Vietnam merupakan trauma bagi AS, hubungan AS-Vietnam tidak sedekat apa yang media beritakan. Lalu apa yang telah Obama jadikan terobosan besar bagi hubungan dengan negara-negara ini? Variable apa yang akan dibawa AS dan Vietnam ke kawasan ini agar bisa tumbuh lebih dekat?
Trauma Perang Vietnam
Mengenang kembali pada 30 April 1975, di atas udara kedubes AS di Saigon, rombongan terakir dari tentara AS yang akan diekvakuasi dari medan perang berdarah dengan helikopter pada jam 8 pagi. Yang terakhir mendarat di atap kedutaan, bersiap-siap mengekvakuasi robongan terakhir personil sebelum AS menyerang.
Beberapa jam kemudian, tank Tentara Rakyat Vietnam Selatan dengan Tank-390 melabrak gerbang Istana presiden. Gambar-gambar tersebut menjadi kenangan terkahir dari Perang Vietnam bagi banyak orang Amerika, yang juga menjadi tanda dari negara adidaya terbesar dunia AS telah membabyar biaya perang lebih 10 tahun di Vietnam dengan harga lebih dari 150 milyar USD (setara 700 milyar USD pada bilai sekarang) dan lebih dai 50.000 personilnya hilang. Ini adalah perang regional skala besar setelah P.D.II, tapi yang akhirnya mengalami kerugian.
Selain itu juga bisa memasuki rantai makanan dari rembesan dalam tanah, yang mengancam kesehatan banyak orang. Selama perang, militer AS telah menyemprotkan 40 sampai 50 juta galon “Orange Agent” ini di Vietnam.
Saat ini, ada sekitar 4,8 juta rakyat Vietnam yang terkena masalah keshatan terkait dengan zat oranye ini, dan ada 150.000 anak-anak cacat lahir akibat dari zat ini.
Pada September 2012, Vietnam mengumumkan sebuah proyek yang pada dasarnya untuk “membersihkan kontaminasi “Orange Agent” sebelum tahun ini (2016), tetapi meskipun seandainya kontaminasi berhasil dibersihkan, trauma yang disebabkan “Orange Agent” ini sulit dihilangkan.
Dengan membaiknya hubungan AS-Vietnam, Vietnam memperbolehkan kapal induk AS untuk melakukan kunjungan resmi ke Cam Ranh Bay sekali lagi. Tapi tepat pada hari yang sama, sebuah upacara besar diadakan di kota Ho Chi Minh---Sebuah memorial “Orange Agent.”
Sebenarnya Vietnam telah beberapa kali menuntut AS di Pengadilan Kriminal Internasional, namun tidak pernah sukses, karena pengadilan tidak menerima kasus ini. Jadi setiap tahun Vietnam memperingati penggunaan “Orange Agent” ini, agar orang jangan melupakan kejahatan yang dilakukan oleh militer AS di Vietnam.
Dari fakta ini, kita dapat melihat bahwa sementara Vietnam meningkatkan hubungan militer dengan AS, juga mengingatkan warganya untuk tidak melupakan AS pernah sebagai musuh, dan belum membayar kejahatan yang telah dilakukan di Vietnam atau melakukan perbaikan (reparations).
Dengan serangkaian tindakan ini, ada suatu keterikatan yang menjadi batas-batas tertentu bagaimana hubungan politik mereka untuk ditingkatkan. Sama seperti “Orange Agent” yang terus menyisakan berlama-lama dalam hubungan AS-Vietnam ini, jadi hubungan AS-Vietnam bisa dianggap hubungan yang paling unik di dunia.
Memang Vietnam selalu tidak pernah berubah dengan harapan yang stabil untuk menormalsasi hubungan penuh dengan AS. Tapi AS telah bervariabel dengan menyesuaikan kebutuhannya, yang selalu berubah sikapnya terhadap Vietnam.
***
Untuk batas tertentu, Obama sedikit terlambat, Dia mengunjungi Vietnam ketika menjelang pensiun, sehingga tidak memiliki kesempatan lain. Jadi secara strategis, Vietnam menilai AS lebih dari AS menilai itu. AS menghargai Vietnam, tetapi karena itu adalah satu-satunya negara adidaya, yang pasti tidak menghargai Vietnam sebanyak Vietnam menilai AS. Dengan kata lain AS menilai Vietnam lebih rendah.
Selama kunjungan ini, selain mengangkat embargo senjata, Obama juga memberi hadiah lainnya : ia menegaskan bahwa mereka akan menerapkan TPP (Trans-Pacific Partnership) sesegera mungkin.
Obama dalam pidato mengatakan: TPP tidak hanya akan membiarkan kita menjual lebih dari barang-barang kami satu sama lain, dan membawa ekonomi kita lebih dekat bersama-sama, itu akan mempercepat reformasi ekonomi disini di Vietnam.
Penasehat kebijakan firma hukum internasioanl “Alston & Bird, Eric Shimp,” mengatakan, ‘Vietnam akan menjadi penerima manfaat terbesar dari TPP. Jika diakhiri pembatasan tarif di AS dan negara-negara TPP lainnya, manfaat dari manufaktur yang lebih murah dan ekonomi yang mendorong ekspor diharapkan menjadi salah satu pemenang besar.”
Sebagai salah satu dari 12 negara yang menandatangani perjanjian TPP yang dibina AS, Vietnam menyatakan berkeinginan yang kuat untuk bekerjasama selama kunjungan Obama. Pada konferensi pers bersama yang diselengarakan oleh kedua pemimpin, Presiden Vietnam Trans Dai Quang mengatakan; “Kami siap melakasanakn ratifikasi TPP dan melaksanakan semua janji-janji dari TPP.”
Vietnam cukup antusias dengan TPP, sampai batas tertentu antusiasme ini karena Vietnam berharap untuk menggunkan TPP untuk memperkuat hubungannya dengan AS. Itu pertimbangan politis, dan bukan satu-satunya dari manfaat ekonomi.
Pada saat yang sama, Obama juga telah menyatakan untuk menerapkan TPP. Dia mengatakan selama kunjungannya di Vietnam bahwa dia sangat “percaya diri” Kongres AS akan meloloskan TPP. Tapi analis dunia luar menunjukkan bahwa Obama mungkin terlalu optismis.
Tapi dari Capitol Hill, Senator dari Partai Republik Lindsey Graham memberi respon untuk prediksi Presiden Obama: “Ini merupakan sesuatu diantara fantastis dan terlalu optimistik. Orang-orang menyesali isu-isu perdagangan ini.”
Sedang Senator dari Partai Demokrat, Dick Durbin menyebutkan bahwa semua ketiga calon presiden yang tersisa, Donbald Trump, Hillary Clinton dan Bernie Sanders, menentang TPP. Ketika mereka ditanya tentang kemungkinan keberhasilan TPP, Senator Demokrat Chuck Schumer mengatakan: “Ini akan menjadi sulit.”
Banyak analis dan pakar tidak optimistik untuk prospek TPP, karena kenyataannya sekarang perdagangan ekonomi harus mengglobal, dan telah berkembang pesat. Semua orang mengharapkan hal-hal yang baik dari itu., tetpai AS membuat TPP dan TIPP dengan tidak memasukan beberapa negara, sementara mendapat sejumlah kecil negara untuk mempertahankan hegemoni AS sendiri.
Selain itu, dalam kenyataan kemajuan industriliasasi Vietnam mempunyai hubungan langsung dan dekat dengan Tiongkok.
Berdasarkan statistik Pabean Tiongkok, menunjukkan pada tahun 2015 total perdagangan Vietnam-Tiongkok sebesar 95, 819 USD naik 14,6% dibandingkan tahun sebelumnya. Tiongkok adalah mitra dagang terbesar Vietnam selama 12 tahun berturut-turut, dan Vietnam menajdi mitra dagang Tiongkok kedua dan terbesar kedua ASEAN setelah Malaysia.
Selain itu yang lebih penting lagi memperkuat hubungan dengan Tiongkok adalah bagian yang penting dalam strategi nasionalnya. Bagi Vietnam, Tiongkok merupakan mitra dagang penting, serta tetangga, sehingga menjaga hubungan Sino-Vietnam yang sangat stabil untuk keamanan dan pembangunan adalah yang paling utama.
Kemenlu Tiongkok berkaitan dengan kunungan Obama ke Vietnam juga memberi pernyataan dengan mengatakan: Sebagai tetangga Vietnam, Tiongkok optimis bahwa Vietnam akan mengembangkan hubungan normal dengan semua negara termasuk AS, dan berharap bahwa ini akan menguntungkan pada perdamaian, stabilitas dan pembangunan kawasan ini.
Dari persepektif rakyat Vietnam, hal yang terpenting adalah pembangunan ekonomi, bukanlah beberapa pulau dan karang di Laut Tiongkok Selatan.
Saat sekarang siapa lagi yang bisa membantu pembangunan ekonomi mereka? Tidak lain adalah Tiongkok yang paling realistik dan juga tetangga langsung, bukanlah AS yang secara geografis juga jauh. Kunjungan Obama memberi mereka banyak manfaat, terutama manfaat strategis. Namun banyak analis yang percaya Vietnam akan menjaga jarak dengan AS.
Strategi AS Kembali Ke Asia-Pasifik Untuk Menekan Tiongkok
Tanpaknya AS sedang coba menggunakan semua sumber daya yang memungkinkan untuk mencoba mendapatkan dukungan semua negara yang potensial yang bisa dalam rangka untuk menekan Tiongkok.
Memang dari awal bisa terlihat, dari iterasi sederhana “poros ke Asia” yang kemudian terdengar lebih hebat “strategi menyeimbangkan Asia-pasifik.” Obama telah coba mempertahankan dengan tekad dan tegas untuk menerapkan strategi ini.
Bahkan melalui detik-detik masa jabatannya, strategi untuk “menyeimbangkan Asia-Pasifik” yang oleh sebagian analis dan terutama dari pihak Tiongkok, bahwa strategi itu terutama diarahkan ke Tiongkok, tampaknya akhirnya akan terabaikan dari sorotan setelah ini.
Andaikata memang strategi untuk “menyeimbangkan Asia-Pasifik” telah diimplementasikan, apakah itu akan menberhentikan kebangkitan Tiongkok? Apakah akan mampu menghentikan Tiongkok berkembang di masa depan?
Menhan AS Ashton Carter dalam pidatonya di US Naval College pada 25 Mei 2016, mengatakan: aksi dan reaksi Tiongkok dan AS di Laut Tiongkok Selatan hanya sebagian dari skema besar sepanjang masa. “Jadi ini akan menjadi kampanye yang panjang dan perlu ketegasan, dan lembut namun harus dengan kuat didorong, mungkin cukup untuk beberapa tahun di dua tempat. Perlu beberapa tahun untuk menyimbangkan, atau melakukan ini untuk sementara waktu dan mencobanya hal semacam itu. Ini adalah komitmen jangka panjang.” katanya lebih lanjut.
Strategi menyeimbangkan Asia-Pasifik sebenarnya telah muncul selama masa jabatan Bush. Pada tahun 2005, Bush dihadapkan dengan beberapa sekutu militernya yang secara bertahap meninggalkannya, terutama dalam hal isu Taiwan pada saat itu, sekutu utama di Asia-Pasifik telah membuat sikap mereka dengan jelas: Jika militer AS turun tangan dalam masalah Taiwan, mereka tidak akan mengambil bagian di dalamnya.
Mereka menyatakan tidak ada hubungannya dengan itu. Ini adalah pelajaran besar bagi AS. Meskipun AS melancarkan Perang Afghanistan dan Perang Irak, Bush masih segera mengusulkan melakukan menyesuaian strategi militer global mereka dan AS akan kembali ke Asia-Pasifik.
Dari beberapa indek yang diusulkan Bush dapat dilihat. Misalnya, menempatkan 60% pasukan AL mereka di Asia-Pasifik adalah usulan Bush, yang berarti itu usulan Partai Republik. Setelah Obama mengambil alih , dia hanya meng-upgrade dan melakukan penyesuaian dalam strategi militer untuk strategi nasional, dan menamakan strategi tersebut untuk “menyeimbangkan Asia-Pasifik,” yang berarti bahwa isu Obama sebenarnya adalah salah satu dari kedua belah pihak yang telah menemukan landasan yang sama.
Andaikata nantinya Trump yang menang sebagai presiden AS, dia tidak akan mengubah penekanan terhadap Tiongkok, sehingga strategi untuk “menyeimbangkan Asia-Pasifik” akan tetap hanya namanya mungkin berubah, dan mungkin juga mengubah penampilan, tapi masih tetap akan diimplementasikan, isu ini tidak akan mengalami perubahan yang signifikan. Demikian menurut pandangan kebanyakan analis dan pengamat.
Sejak tahun 2015, kapal militer AS telah berlayar di sekitar Laut Tiongkok Selatan atas nama “kebabasan navigasi” dan kin terus meningkat frekuensinya, juga lingkup pengawasannya pada titik kosong dari pengintaian Tiongkok.
Dihadapkan dengan seringnya diintai dan dimata-matai ini, Tiongkok mengirim kapal dan pesawat untuk memantau, mengamati dan mengusir atau mencegat kapal ini beberapa kali. Tiongkok berargumen dan mengklaim mereka bertindak sesuai dengan hukum dan praktek internasional pada umumnya.
Tapi tampaknya AS telah menjadikan dirinya “korban” bukan “menghasut” (pencari gara-gara). Menurut laporan dari “USA Today,” Komandan Air Combat Command, Herbert Carlisle mengatakan, dalam beberapa bulan terakhir ini, aksi jet tempur Tiongkok dan Rusia semakin sering mendekati terlalu dekat dengan pesawat militer AS, dan perilaku ini telah menjadi salah satu “kekhawatiran terbesar” AS.
Pada 24 Mei 2016, Menlu Tiongkok, Wang Yi dalam menghadiri SCO (Organinasi Kerjasama Shanghai) atau Pertemuan Para Menlu di Taskent. Setelah pertemuan, ketika membahas isu-isu Laut Tiongkok Selatan, Wang Yi mengatakan, “Apa yang benar dan salah adalah jelas, orang-orang tahu apa yang adil.” Lebih lajut dikatakan.
“Alasan mengapa sikap Tiongkok pada isu-isu Laut Tiongkok Selatan telah dipahami dan didukung oleh lebih banyak negara karena sikap Tiongkok benar-benar sesuai dengan hukum internasional. Kami benar-benar menjaga hukum internasional, yaitu “Konvensi PBB tentang Hukum Laut’ (UNCLOS), dan mempertahankan hak-hak negara berdaulat untuk memilih cara atau metode mereka sendiri untuk menyelesaikan konflik. Pada saat yang sama, kita mengamati janji kami yang dibuat dengan negara-negara ASEAN dan melakasanakan tugas bahwa sebuah negara yang bertanggung jawab harus melakasanakannya. Sejarah akan membuktikan bahwa setiap tindakan yang terang-terangan mengabaikan fakta-fakta dasar, keras kepala mengariskan dengan menggambarkan perbatasan berdasarkan sekutu, dan dengan jahat terlibat dalam politik sensasionalisme, ini tidak akan mendapat dukungn rakyat, dan sebagai gantinya hanya akan menghancurkan reputasinya sendiri dan tidak efektif.”
Pada kenyataannya, semakin banyak negara telah dapat melihat standar ganda AS dalam isu-isu Laut Tiongkok Selatan. Kasusnya arbitrase Filipina untuk Laut Tiongkok Selatan yang didorong ke depan atas dorongan dan dukungan AS.
Baru-baru ini, beberapa negara-negara tertentu dan organisasi internasional telah terus-menerus membuat suara mereka agar didengar, karena mereka telah mengumumkan dukungan mereka kepada Tiongkok dalam isu-isu Laut Tiongkok Selatan.
Website “Fiancial Times” Inggris melaporkan bahwa ini bukan suatu kebetulan. Banyak analis mengatakan, Laut Tiongkok Selatan dan daerah yang terkait memerlukan kedamaian, lingkungan yang stabil untuk pembangunan, dan kasus arbitrase Filipina untuk Laut Tiongkok Selatan telah mengabaikan fakta-fakta dasar dari isu Laut Tiongkok Selatan, dan menghancurkan rule of law dengan mengatas namakan ‘legalitas” dan telah menjadi faktor utama dalam mempengaruhi perdamaian dan stabilitas di Laut Tiongkok Selatan, serta telah merusak tatanan maritim kawasan itu.
Meskipun AS bersikeras akan tetap berada dan hadir di Asia-Pasifik, tapi strategi untuk “menyeimbangkan Asia-Pasifik” belum terlaksana dengan sangat berhasil. AS telah mengalami rintangan utama. Dukungan untuk strategi ini berasal dari tiga isu: yang pertama masalah Kepulauan Diaoyu (menurut Tiongkok) dan Senkaku (menurut Jepang) dalam hal ini AS berupaya memisahkan Tiongkok dan Jepang, tapi tidak bisa mempertahankannya, karena itu akan menyebabkan konflik dan perang, dan AS tidak ingin terlibat dalam konflik dan perang.
Yang kedua, isu-isu Laut Tiongkok Selatan, dalam masalah ini landasan hukum AS terkikis. Di masa lalu AS berpikir itu akan berada diatas angin dalam hukum. Dan bisa menggunakan keunggulan ini dalam hukum internasional untuk mendapatkan dukungan negara-negara agar berada disisinya, dengan mengatakan hal itu untuk menegakkan hukum dan memelihara keadilan, dengan menggertak dan mengutak-ngatik Tiongkok yang menganggap mereka lebih kecil dan bertindak seperti tiran.
Tapi pada akhirnya dasar hukum AS lemah tidak memiliki pijakan yang dalam pada hukum internalsional. Hal ini telah mendorong Filipina untuk mencari sidang internasional, tapi tampaknya tidak efektif, karena setiap negara meskipun memiliki sedikit pengetahuan tentang hukum internasional tahu bahwa ini semacam penghakiman yang hanya memiliki konotasi politik dan tidak memiliki signifikasi hukum.
***
Itulah mengapa begitu banyak negara telah menyatakan bahwa mereka mendukung sikap Tiongkok dalam isu-isu Laut Tiongkok Selatan, dengan hanya menginginkan melalui perundingan damai antara negara-negara yang terlibat dalam perbatasan maritim dalam isu-isu sengketa teritorial untuk diselesaikan.
Tampaknya sikap semacam diatas ini yang cendrung lebih dikehendaki setiap pihak. Jadi dengan dicetuskannya strategi “menyeimbangkan Asia-Pasifik” adakah AS bertujuan untuk menekan kebangkitan Tiongkok?
Selama pelaksanaan stretegi AS kembali ke Asia-Pasifik, telah terjadi beberapa masalah di Laut Timur dan Laut Tiongkok Selatan akhir-akhir ini. Analis melihat jika AS tidak kembali, tidak akan ada masalah, tetapi sekarang telah terjadi. Dan efek yang tercapai dari ini, ternyata tidak berefek untuk menghentikan kebangkitan Tiongkok.
Namun mengapa Obama tetap memutuskan untuk berkunjung ke Jepang dan Vietnam pada sisa masa-masa akhir dari jabatannya yang pendek ini? Tampaknya dia ingin berinvestasi lagi dalam kebijakan. Ini dianggap penting dan membuat ini seefektif mungkin. Secara umum dia menilai baik AS kembali ke Asia-Pasifik, dan memandangnya sebagai warisan penting. Sehingga akan menggunakan segala metode dan cara untuk mempromosikan kebijakan ini.
Selain mempromosikan hubungan bilateral, perjalanannya ke Asia juga telah mendefinisikan kembali AS untuk Asia-Pasifik, tapi bagaimanapun AS kembali ke Asia-Pasifik tidak bisa dianggap telah dinilai cukup berhasil. Demikian penilaian beberapa analis dan pengamat dunia luar.
26 Juni 2016
Sucahya Tjoa
Sumber: Media TV dan Tulisan Luar Negeri dan Dalam Negeri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H