Mohon tunggu...
Sucahya Tjoa
Sucahya Tjoa Mohon Tunggu... Konsultan - Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Latar Belakang AS “Mengendorkan” Tekanan Terhadap Iran (3)

7 Februari 2016   19:52 Diperbarui: 7 Februari 2016   21:16 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kekuatan Nasional AS Menurun & Strategi Baru Obama

Pada 12 Januari malam, Presiden Barack Obama menyampaikan pidato Kenegaraan (State Union Speech) terakhirnya kepada Kongres AS. Dalam pidatonya, dia mengrefleksikan strategi AS.

Obama mengatakan, kita tidak dapat mencoba mengambil alih dan membangun kembali setiap negara yang jatuh ke dalam krisis. Itu adalah resep untuk masuk lumpur. Itu merupakan pelajaran di Vietnam, di Irak dan kita harus belajar dari itu sekarang.

Obama menyatakan untuk melaksanakan strategi AS, negara membutuhkan strategi kesabaran dan kedisiplinan yang menggunakan semua unsur kekuatan nasional AS. Dia memberi contoh dimana menekankan bahwa AS telah bertindak dengan cara ini dalam isu konflik Syria dan pencabutan sanksi terhadap Iran.

Dalam hal ini Obama percaya ini cara “pendekatan cerdas” yang dapat mencegah AS terlibat dalam rawa dan lumpur perang.

Pada 2009, setelah Obama menjabat sebagai presiden, dia mengubah perilaku dari intervensi bersenjata skala besar yang dilakukan pendahulunya—Bush, dan mulai pengurangan strategi militer di Timteng.

Awal tahun 2011, AS mulai menarik pasukan dari Irak dan Afganistan, serta dari perang saudara Libya dan Syria, dan membiarkan atau mempersilahkan Prancis dan negara-negara Eropa lainnya yang memimpin.

Selama masa jabatan kedua Obama memilih menggunakan oposisi Syria dan negara-negara Arab dalam perang proxy daripada mengirim pasukan darat AS.

Pada 2003, selama saat-saat kritis dalam krisis senjata kimia Syria, Obama mengembalikan mandat untuk menyatakan perang kepada Kongres, meninggalkan rencana untuk keterlibatan militer. Itu pada tahun yang sama AS mempercepat negosiasi untuk mencabut sanksi nuklir atas Iran.

Obama mengatakan, “Jika kita tidak memilih dengan bijak. Saya yakin generasi mendatang akan menghakimi kita dengan keras jika melewatkan kesempatan ini. Kita punya kesempatan bersejarah untuk mendorong dunia agar lebih aman dan lebih aman lagi dalam kehidupan kita, kesempatan ini tidak akan terjadi lagi dalam kehidupan kita. Sebagai Presiden dan Panglima Tertinggi, saya bertekad untuk merebut kesempatan ini.”

Tokoh kunci dari negosiasi John Kerry sejak dia menjabat sebagai Menlu AS. Pada Januari 2013, ia telah bertemu dengan Menlu Iran, Zarif lebih dari 20 kali, selama itu batas waktu negosiasi terus dipenpanjang, hingga akhirnya kesepakatan tercapai. Banyak pihak melihat ini sebagai kesabaran dan displin AS.

Dalam negosiasi maraton seperti ini, Menlu John Kerry sering terjaga sepanjang malam, dan mungkin juga terus bekerja di meja perundingan selama seminggu atau dua mingguan. Juga kita telah melihat walaupun dia bertongkat karena cedera kaki, tetap berada digaris depan dalam negosiasi.

Tugas Menlu AS adalah seseorang yang harus mengelola semua kebijakan luar negeri AS dan urusan diplomatik global, sehingga dia harus terus berada di posisi ini dan membuat pertimbangan apa yang dikehendaki Obama.

Pada 12 Januari telah terjadi insiden, media Iran mengumumkan bahwa Iran telah menahan pelaut AS yang tidak sengaja memasuki perairan Iran, dan meperlihat foto-foto peluat AS berlutut dengan tangan di belakang kepala mereka membuat Kerry ‘marah dan terkejut’.”

Tapi John Kerry menyatakan puas dengan jawaban cepat dari Menlu Iran Zarif, dan keterlibatan Presiden Iran Hassan Rouhani dan pejabat tinggi lain-lain untuk mengatasi situasi ini.

Kerry mengatakan : “Tiga tahun lalu, mungkin kita tidak tahu siapa yang yang harus kita hubungi dalam situasi begini. Mungkin Swiss atau Inggris. Peristiwa ini mungkin akan menjadi insiden penyanderaan yang serius, dan mungkin telah menjadi sangat berbahaya. Tapi sekarang kita  telah memilki saluran komunikasi. Kita telah membentuk perjanjian nuklir ini bersama-sama, dan karena itu kami mampu mengatasi situasi ini.”

 AS Musuh Utama Pada Revolusi Iran 1979

Revolusi Iran terjadi setelah tahun 1979, dan pada saat itu, AS menjadi musuh utama Iran. AS bahkan melakukan operasi penyelematan yang gagal untuk karyawan kedutaan yang ditahan di Iran.

Pada kenyataan, di satu sisi kebijakan Obama yang digunakan untuk mengurangai penggunaan pasukan, namun di sisi lain meningkatkan jumlah kontak dengan Iran, dan hasil akhir dari kontak ini adalah perjanjajian nuklir Iran tecapai.

Dalam proses di meja perundingan nuklir Iran pada awal September 2014, selama negosiasi masalah nuklir, Wakil Menlu AS, William Burns berkomunikasi dengan Iran mengenai ancaman kelompok teroris “ISIS.”

Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Marie Harf mengverifikasi, ketika berurusan dengan kelompok ekstrimis “ISIS”, AS tidak akan mengesampingkan dialog lebih lanjut dengan Iran.

Banyak pihak melihat  AS dengan halus mengubah stragegi penekanan secara lengkap terhadap Iran dan mulai mengadopsi strategi baru yang lebih fleksibel dengan kontak, dialog, kerjasama dan penekanan.

Analis melihat tampaknya AS menyadari bahwa Iran akan makin kuat. Bagaimana untuk menangani lawan yang secara bertahap semakin kuat, jika terus ditekan akan tidak efektif, karena Iran cukup kuat maka tidak bisa dijatuhkan dengan satu kali pukulan.

Jadi AS mengubah kebijakan untuk memperkuat hubungan dengan Iran, dan mengundang Iran untuk berpartisipasi dalam beberapa masalah regional, seperti pembicaraan multilateral dan pertemuan meja bundar untuk memecahkan  masalah Syria. Bahkan AS ada melakukan pertemuan tatap muka dengan Iran. Semua ini telah dinormalisasi, yang di masa lalu tidak mungkin terjadi.

Strategi baru AS di Timteng tidak hanya termasuk pengenduran tekanan terhadap Iran, tetapi juga membuat konsesi yang pada prinsipnya untuk Rusia dan pemerintah al-Assad di Syria.

Pada Desember tahun lalu, Presiden AS Barack Obama menyatakan dia “berharap Rusia akan bergabung dalam koalisi melawan ‘ISIS’ pimpinan AS.”  

Pada 18 Desember tahun lalu, selama pertemuan Dewan Keamanan PBB, AS dan Rusia mencapai konsensus dalam memerangai kelompok teroris “ISIS” dan AS menyerah untuk melepaskan resolusi kondisi yang menghendaki turunnya Bashar al-Assad.

Memasuki tahun 2016, strategi baru untuk Timteng mulai terbentuk dan strategi baru ini mulai secara bertahap ditampilkan.

Analis melihat startegi baru AS untuk Timteng ini secara ringkas dapat dilihat AS benar-benar mengurangi tanggung jawabnya dan bebannya. Dalam hal ini mendistribusikan tanggung jawabnya ke negara-negara regional dan Eropa.

Harapan AS paling tidak menginginkan adanya keseimbangan terbentuk di Timteng antara Iran dan negara-negara Dewan Kerjasama Teluk  (GCC) yang dipimpin Arab Saudi, sehingga tidak ada ruang untuk menjadi konflik.

Kekuatan tradisional Eropa termasuk Inggris, Prancis, Rusia dan Jerman akan kembali ke Timteng sampai batas tertentu, dan memulihkan ruang lingkup kekuasaan yang pada awalnya mereka miliki di Timteng.

Para analis melihat di Timteng, kekuatan yang benar-benar komprehensif masih belum terbentuk untuk melawan “ISIS.”  Syria terkunci dalam perang saudara, Arab Saudi dan Iran memutuskan hubungan diplomatik dan konflik terus meningkat, Israel menentang keras atas pencabutan sanksi AS terhadap Iran.

AS “Melarikan Diri” Dari Timteng Beralih Menuju Asia-Pasifik

Menghadapi situasi kacau ini, pemerintahan Obama tidak saja menolak mengirim pasukan darat untuk melawan “ISIS,” juga tidak coba berusaha untuk menjembati kesengjangan antara berbagai negara  ini. Melainkan alih-alih bertindak jauh-jauh untuk melakukan deteren militer di Laut Tiongkok Selatan.

Ada analis yang berpandangan strategi baru AS di Timteng terkait dengan Laut Tiongkok Selatan. Banyak analis yang mengetahui AS mempunyai strategi untuk menyeimbangkan kawasan Asia-Pasifik. Dan dapat merujuk strategi Timteng baru Obama sebagai strategi untuk menyeimbangkan Timteng.

Jika kita membandingkan mereka, kita akan menemukan perbedaan antara dua strategi ini. Yang satu strategi untuk melarikan diri dari gejolak Timteng yang mereka “ciptakan,” dan yang lainnya mungkin dapat juga disebut sebagai strategi untuk menciptakan kekacauan di Asia-Pasifik.

Maka tidak heran Panglima TNI Jendral. Gatot Nurmanto pernah mengatakan tentang bahaya perang proxy yang mungkin saja bisa terjadi di negara kita, jika kita tidak mewaspadainya. Menurutnya, latar belakang konflik masa kini telah berubah dari perebutan engergi tak terbarukan (minyak) menjadi perebutan pangan, air, dan energi hayati. Sementara, lokasi konflik kini bergeser dari garis ekuator, dimana banyak terdapat kekayaan hayati di dunia. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di daerah ekuator dengan kekayaan alam yang melimpah, tentu akan menjadin sasaran utama perebutan bangsa asing di masa yang akan datang. Ini menjadi ancaman nyata bagi Indonesia.

Bisakah  AS membawa perdamaian di kedua kawasan ini?

Setelah kapal perusak AS pembawa rudal USS Lassen berlayar 12 miit laut dari terumbu karang Tiongkok pada tanggal 27 Oktober 2015, pada 8 & 9 Nopember 2015, AS mengirim dua pesawat pembom strategis B-52 yang memiliki kapasitas muatan terbesar di dunia untuk terbang dekat ke terumbu karang tersebut.

Panglima Komando Pasifik AS (The Commander of the US Pacific Command /USPACOM) menyatakan bahwa penerbangan itu akan terjadi secara teratur setiap bulan.

Sebelumnya pada tahun 2012, di Hotel Shangri-la Dialogue di Singapura, Menhan AS, Leon Panetta mengumumkan bahwa sebelum tahun 2020 AS akan mengerahkan 60% kapal perangnya ke pesisir kawasan Samudra Pasifik.

Berdasarkan laporan terbaru, rencana AS untuk menggelar sekitar 10 kapal induk ke Asia-Pasifik sebelum tahun 2020.

Pada tahun 2013, pengganti Panetta, Menhan AS, Chuck Hagel mengumumkan bahwa 60% AU-AS akan dikerahkan di Asia-Pasifik. Hari ini, AS telah mengerahkan semua kapal perang canggih dan pesawatnya di Guam, Jepang dan Singapura.

Banyak pihak yang mempertanyakan, mengapa strategi militer AS begitu ingin “lepas’ dari Timteng dan mengerahkan lebih banyak pasukan di Asia-Pasifik?

Eropa dan Timteng masih merupakan yang paling menjadi krisis langsung bagi AS kini. Di Eropa, masih ada isu Ukraina, dan ekspansi Rusia yang kiranya menajdi ancaman bagi diri AS. Mereka menjadi yang paling krisis secara lansung dan mendesak.

Tapi dalam jangka panjang, stretegi AS dan beberapa pejabat pemerintahan AS pada dasarnya semua percaya bahwa ancaman jangka panjang adalah Tiongkok.  Rencana jangka panjang dengan tata letak di Asia-Pasifik, kemungkinan akan ada perang besar dalam sepuluh dan dua puluh atau bahkan tiga puluh tahun, untuk menekan Tiongkok.

Maka sekarang itu adalah investasi untuk segala sesuatunya yang bisa di Asia-Pasifik dengan tujuan jangka panjang di Asia-Pasifik dengan memindahkan sebagian kekuatan militernya ke kawasan tersebut.

Pada 6 Janauri, Republik Rakyat Demokratik Korea atau Korut mengumumkan uji coba bom hidrogen dengan sukses. Ketua House Komite Angkatan Bersenjata AS, Mac Thorn Berry, dengan segera mengatakan: “AS harus bekerjasama dengan sekutu Republik Korea (ROK/Kosel) untuk menyebarkan sistem pertahanan rudal, termasuk ‘THAAD’ di semenanjung ini.”

Pada kenyataannya, sistem pertahanan rudal THAAD memiliki kemampuan untuk mendeteksi rudal dalam jarak 2,000 km, dan dapat menyerang sasaran di ruang lebih dari 150 km. Ini jauh melebihi jangkauan serangan balik dari Semenanjung Korea.

Jika menempatkan THAAD di ROK/Korsel, itu akan menimbulkan ancaman bagi keamanan strategis untuk pedalaman Tiongkok.

Dengan mengerahkan sistem THAAD di Korsel, AS berharap untuk membunuh beberapa burung dengan satu batu. Sasaran pertama merangkul Korsel untuk bergabung dengan aliansi AS-Jepang, karena begitu sistem THAAD dikerahkan, untuk sistem komando, kontrol, dan jaminan intelijen akan dipasok semuanya oleh AS.

Bila ditempatkan di Jepang atau di  Filipina di masa depan atau Taiwan, target diberikan AS, jadi jelas AS akan memasukkan mereka dalam sistem ini. Itu baru satu hal. Selain itu, sistem THAAD memililik dua sasaran penting satu pada Rusia dan satu lagi pada Tiongkok. Sama sekali tidak untuk membela Korsel.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, banyak pihak yang membahas bagaimana AS berusaha untuk mengajak Jepang, Korsel, Australia, Selandia Baru, Singapura dan negara-negara lainnya di Asia-Pasifik untuk membentuk versi NATO untuk Asia untuk menentang kebangkitan Tiongkok.

Namun di Timteng AS masih gelisah dengan rudal balistik Iran yang terus berkembang.

 ( Bersambung ..... )

Sumber : Media TV dan Tulisan Dalam dan Luar Negeri

satu

dua

tiga

empat

lima 

enam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun