Mohon tunggu...
Sucahya Tjoa
Sucahya Tjoa Mohon Tunggu... Konsultan - Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Latar Belakang AS “Mengendorkan” Tekanan Terhadap Iran (2)

7 Februari 2016   14:20 Diperbarui: 7 Februari 2016   14:28 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertikaian AS-Iran Masih Berlangsung

Pada 17 Januari lalu, hanya beberapa jam setelah diumumkan pencabutan sanksi ekonomi terhadap Iran, Departemen Keuangan AS merilis sanksi baru terhadap 11 perusahaan Iran dan individu yang terkait dengan rudal balistik. AS menyatakan bahwa mereka hanya mencabut sanksi yang terkait dengan program nuklir Iran saja.

Pada 26 Desember 2015, Iran melakukan uji coba beberpa roket  di dekat Selat Hormuz. Militer AS mengklaim salah satu roket mendarat hanya 1.400 meter dari Kapal Induk AS, USS Harry S. Truman dan itu dianggap sangat provokatif. Korps Pengawal Revolusi Iran menyatakan bahwa itu tidak berdasar, dan AS menyebarkan “informasi palsu” untuk memulai perang psikologis. 

Menurut laporan dari banyak media AS, pada Desember tahun lalu, AS sudah siap untuk melaksanakan sanksi terhadap perusahaan dan individu yang terkait dengan program rudal balistik, tapi karena Iran telah menyatakan bahwa sanksi akan mengganggu rencana kedua negara untuk melepaskan orang-orang mereka yang sedang ditahan dan berperkara, sanksi akhirnya ditarik kembali.

Berdasarkan “Washington Post” AS, melaporkan dalam sebuah artikel yang berjudul “US Allies Still Worried About Iran”  (Sekutu AS Masih Khawatir Tentang Iran) bahwa beberapa sekutu AS percaya dengan dicabutnya sanksi, Iran akan menggunakan uang yang dibebaskan untuk meningkatkan pengeluaran kepada kelompok teroris Timteng yang berfungsi sebagai perang proxi untuk mengdominasi kawasan.

Selain itu pihak partai Republik AS, bahkan mengatakan jika Partai Republik memenangkan pemilu, pada hari pertama berkuasa mereka benar-benar akan membalikkan kebijakan yang “memanjakan” Iran.

Dengan pemikiran demikian, tampaknya meskipun Perjanjian Komprehensif tentang isu nuklir Iran secara resmi telah dilaksanakan, tapi masih banyak variabel dalam hubungan AS-Iran.

Negosiasi nuklir Iran bisa dikatakan suatu ultra maraton. Sejak isu nuklir Iran muncul pada bulan Pebruari 2013, kontes diplomatik telah berpusat di sekitar masalah ini yang menjadi topik utama di panggung internasional.

Negosiasi dalam berbagai bentuk dan tingkat telah terjadi satu demi satu, dan bahkan pihak-pihak yang terlibat tidak bisa secara akurat menghitung berapa banyak negosiasi telah diadakan.

Sanksi Tidak Membuat Iran Tidak Berkembang

Tapi selama 12 tahun, itu mungkin sudah melebihi setiap eskpektasi awal dari semua pihak. Sudah lebih dari 10 tahun sanksi dijatuhkan terhadap Iran, tapi tidak membuat Iran menjadi lemah justru sebaliknya, pengaruh Iran di Timteng telah berkembang terus setiap hari.

Kini AS telah mengendorkan tekanan terhadap Iran, sehingga memungkinkan Iran untuk mengambil keuntungan dari situasi untuk berkembang dan bahkan mengubah situasi di Timteng?

Sebanarnya program nuklir Iran dimulai pada akhir tahun 1950an. Teknologi nuklirnya terutama di-import dari AS dan negara-negara Barat lainnya yang ketika itu dekat dengan Iran.

Pada tahun 1979, Revolusi Iran meletus di Iran, menggulingkan Shah Pahlevi yang pro-AS. Setelah revolusi, AS mengizinkan Shah Pahlevi diasingkan ke AS untuk alasan perawatan medis di AS, tapi pemerintah Iran menghendaki Shah Pehlevi diekstradi kembali ke Iran untuk diadili.

Pada bulan Nopemebr 1979, sekelompok pemuda Muslim Iran masuk ke Kedubes AS di Iran dan menahan personil kedutaan, dan menyebabkan insiden penyanderaan yang membuat hubungan kedua negara memburuk.

Saat itu pemimpin tertinggi Iran Ali Khamenei mengatakan : “Amerika adalah akar dari segala kesalahan.”

Pada tahun 1980, AS dan Iran memutuskan hubungan diplomatik. Selama dekade berikutnya, AS secara konstan menerapkan kebijakan penekanan dan isolasi terhadap Iran, dan Iran melihat AS sebagai musuh.

Pada bulan September 2001, AS melancarkan perang melawan terorisme di Afganistan, dan Iran membantu AS untuk menggulingkan pemerintah Afganistan Al Qaeda, tetapi pemerintah AS tidak memberi respon positif.

Pada Januari 2002, Presiden George W. Bush dalam pidato kenegaraan memasukan Iran dalam daftar sebagai salah satu negara anggota “poros kejahatan yang mengancam perdamaian dunia.” (“the axis of evil that threaten world peace”). Bush mengatakan : “Iran merupakan ancaman perdamaian dunia.”

Pada bulan Mei 2002, AS sekali lagi dimasukan dalam daftar sebagai “Negara yang mendukung terorisme.” Pada September 2002, sebuah satelit AS menemukan bangunan yang mencurigakan di Nantanz da Arak, di Iran tengah, yang diduga pabrik pengolahan untuk memperkaya uranium dan reaktor air berat (AHWR/Andvance Heavy Water Reactor).

Pada bulan Pebruari 2003, Iran mengumumkan bahwa mereka telah menemukan dan mampu memperkaya uranium yang dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk pembangkit tenaga nuklir. Namun AS bersikukuh menduga Iran menggunakan untuk memproduksi senjata nuklir, dan menggunakan ini sebagai alasan menuntut IAEA mengawasi dan memeriksanya.

AS juga secara sunguh-sungguh melarang semua kegiatan pengayaan uranium Iran, termasuk penggunaan untuk tujuan damai energi nuklir. Awal thaun 2006, AS mendorong dan mengarahkan Dewan Keamanan PBB untuk menerapkan serangkaian sanksi terhadap Iran.

AS Punya Keinginan Melakukan Serangan Militer Pada Iran

Pada bulan Oktober 2007, Menhan AS, Robert Gate, secara terbuka mengakui saat itu salah satu opsi Presiden Bush sedang menyusun “rencana rutin”  untuk serangan militer terhadap Iran.

Berdasarkan atas tuntutan strategis Bush, rencana itu untuk menjatuhkan Iran dengan satu kali pukulan. Bisa juga melalui sanksi atau bahkan melalui aksi militer. Pandangan militer seperti ini telah beberapa kali dibidikan ke pintu Iran, dan siap untuk melakukan perang, tetapi akhirnya AS mengurungkan dan mundur.

Sanksi yang terhadap Iran yang dipimpin AS, dengan serius membatasi ekspor minyak Iran, perdagangan, kerjasama teknologi dan industri dengan luar negeri serta kegiatan ekonomi lainnya. Hal ini mengakibatkan Iran mengalami inflasi yang parah selama beberapa waktu, yang menyebabkan mata uangnya merosot dan industrinya menurun.

Menurut data IMF,  pada tahun 2000, PDB Iran lebih tinggi dari Arab Saudi, tetapi setelah sanksi ekonomi, PDB Arab Saudi saat ini 650 milyar USD lebih tinggi dari Iran yang hanya 400 milyar USD.

Tapi yang bisa kita lihat selama 10 tahun sanksi dijatuhkan kepada Iran tidak mengganggu pemerintah Iran, sebaliknya telah membuat Iran secara bertahap membangun sistem ekonomi nasionalnya yang cukup lengkap.

Meskipun PDB Saudi 50% lebih besar dari Iran, tapi PDB per kapita Arab Saudi beberapa kali lebih tinggi dari Iran, dan produksi minyak Arab Saudi tiga kali lipat dari Iran, dalam waktu dekat ini situasi akan berubah secara signifikan. Demikian menurut pandangan banyak analis.

Arab Saudi dan Iran adalah negara-negara penghasil minyak utama dunia, tetapi dibanding dengan Iran, komposisi industri Arab Saudi sedikit lebih seragam. Ketergantungan ekonomi Arab Saudi 90% pada minyak, sementara ekonomi Iran hanya kertergantungan 30% pada minyak. Proposinya 1:3. Untuk masalah Industri,  Iran lebih maju dari Arab Saudi beberapa tahun.

Pengaruh Iran-Syiah Membesar di Timteng

Iran negara yang menerapkan caesaropapisme, sistem republik teokratis dengan Islam Syiah sebagai agama nasional. 98,8% warganya beragama Islam, dengan 91% dari mereka berfaksi Islam Syiah dan 7,8% Islam Sunni.

Sebagai negara Islam Syiah terbesar di dunia, dalam beberapa tahun terakhir ini Iran sebagai keturunan Persia kuno, telah mengalami peningkatan pengaruh politik dan militer di Timteng.

Di Syria, ekspansi pengaruh Iran disebabkan dukungan terhadap pemerintah Bashar al-Assad yang sebelum telah tertatih-tatih ditepi jurang kehancuran untuk mendapatkan pijakan kaki. Di Bahrain, populasi Syiah yang mayoritas hampir saja menggulingkan pemerintah Sunni. Di “halaman belakang” Arab Saudi pasukan Houthi Syiah menguasai Yaman, dan mungkin bergabung dengan faksi Syiah di Arab Saudi untuk menciptakan maslah dalam negeri yang serius untuk Arab Saudi.

Selama ada gejolak di Timteng, dan selama ada konflik konstan antara Syiah dan Sunni, maka Iran harus menggunakan pengaruhnya. Ruang ini diberikan kepada mereka oleh AS, karena itu dapat dikatakan Amerika yang mengganggu dan menggulingkan atau menjatuhkan pemrintahan yang sah, dan yang menciptakan ruang yang hampir mendekati anarki, sehingga kekuatan Iran yang akan digunakan.

Sekarang, dari Iran ke Irak, Syria, Lebanon, Yaman dan tempat-tempat lain, pasukan Syiah terus tumbuh, dan dikenal masyarakat sebagai “Bulan Sabit Syiah” (Shiite Crescent) telah terbentuk. Tidak hanya Arab Saudi sebagai pemimpin kekuatan Sunni di Timteng saja yang tidak berdaya menanggapi ini, AS juga sudah tidak mampu untuk mengabaikan posisi Iran yang mewakili pasukan Syiah sebagai kekuatan utama di Timteng.

Suara Iran di Irak tiba-tiba berkembang sekarang. Hal ini kerena pemerintah legal Irak pro-Iran. Pada saat sekarang kita bisa melihat gejolak di Syria, Syria selama ini terus berperang dan tidak mampu menghentikannya. AS tidak berani mengirim pasukan darat untuk campur tangan, dan setelah “ISIS” hancur, ada masalah bagaimana gejolak sekarang dan masa depan di Syria harus diselesaikan, dan bagaimana gejolak Timteng akan terpecahkan. Hal ini jelas tidak bisa diselesaikan dengan Perang.  

Harus ada negoasiasi. Jika ada negosiasi, maka Iran dengan sendirinya menjadi satu pihak yang ikut bernegosiasi. Jadi pengaruh Iran telah menjadi lebih diperbesar melalui Syria.

Kekuatan Nasional AS Turun Akibat Intervensi Di Timteng

Dan saat ini, dengan AS melancarkan Perang Afganistan pada 2001, dan melakukan invasi ke Irak pada tahun 2003, AS telah kehilangan 9,000 tentara dan perwira (tewas) dan 56.000 terluka. AS telah terperosok dalam lumpur dan rawa perang selama bertahun-tahun, yang telah melemahkan kekuatan nasional AS.

AS selama 8 tahun perang Irak mengeluarkan biaya US$ 2 trilyun, dan perang Afganistan menelan biaya US$ 1 trilyun. Total AS menggelontorkan US$ US$ 3 trilyun dalam dua perang ini. Ini merupakan pukulan serius bagi kekuatan nasional AS.

Pada tahun 2001, ketika George W. Bush baru menjabat presiden, hutang nasional AS 5,8 trilyun USD. Pada saat ia meninggalkan jabatan, hutang nasional negara telah meningkat menjadi 10,6 trilyun USD.

Pada 2008, terjadi krisis finansial terburuk sejak P.D. II yang mengguncang AS. Pada 2011, AS terpaksa menarik pasukannya dari Irak dan Afganistan. Sebuah artikel yang diterbitkan “Washington Times” pada bulan Nopember tahun lalu menuliskan bahwa Barak Obama saat meninggalkan kantor pada 2007, hutang nasional AS diperkirakan akan tumbuh menjadi 20 trilyun USD—menjadi dua kali dari ketika dia baru menjabat presiden.

Dengan hutang yang puluhan trilyun dolar, tidak ada cara lain yang dapat dikatakan bahwa AS adalah bangsa yang paling kuat di dunia saat ini. Jika melihat situasi ini kita melihat AS sedang menurun, meskipun tidak terlihat jelas sekarang tapi tren sejarah pembanguan kearah itu sangat kentara.

Pada bulan Pebruari 2004, Presiden AS Bush mengusulkan strategi untuk “Mendemokarasikan Timteng.” Target AS untuk apa yang disebut “reformasi demokrasi seluruh 22 negara Arab, Turki, Israel, Afganistan dan Pakistan.” Rencananya mempromosikan sistem demokrasi yang sesuai dengan kebutuhan AS di seluruh Timteng dan seluruh dunia Islam.

Paul Wolfowitz, Wakil Menhan AS saat itu, yang juga mantan Kedubes AS di Jakarta. Dengan lugas mengatakan : “Perang Irak adalah untuk mulai menggantikan rezim politik. Sebuah rezim yang demokratis, Irak bebas, akan menggantikan rezim politik lama, dan akan menjadi panutan bagi masyarakat Timteng.” Lebi lanjut dikatakan : “Rakyat Iran dan Syria akan menjadi tercerahkan, dan Arab Saudi serta negara-negara lain akan merasa gelisah tentang bentuk pemerintahan mereka dan melaksanakan reformasi.”

Tapi dalam kenyataannya, sejak dari itu, pintu gejolak di Timteng terbuka labar. Baik AS dan Eropa terutama hanya perduli dengan dua hal di Timteng---yaitu memerangi diktator dan untuk itu mereka berhasil, namun dengan konsekuensi yang sangat buruk. Dan memerangi ekstrimis, pada saat yang sama, mereka mempromosikan demokrasi, tetapi 10 sampai 20 tahun terakhir ini sejarah telah membuktikan demokrasi kristen yang dipromosikan AS dan Eropa di Timteng telah gagal. Menurut beberapa analis kegagalan ini disebabkan mereka tidak cukup mempelajari tentang budaya kedua kawasan tersebut.

Pada tahun 2003, militer AS melancarkan invasi besar-besaran ke Irak, menggulingkan pemerintahan Saddam Hussein. Setelah itu negara ini menjadi sarang Al Qaeda, “ISIS” dan kelompok teroris lainnya.

Apa yang disebut dengan gerakan “Musim Semi Arab” yang didukung pemerintahan Obama dan negara-negara Barat lainnya, telah membawa gejolak jangka panjang pada Tunsia, Mesir, dan Yaman. AS dan Barat sangat mendukung perang sipil dimana pasukan militia menggulingkan pemerintah Libya, dan Syria, yang tidak hanya menyebabkan sejumlah besar korban rakyat sipil, tetapi juga menyebabkabn kekacauan politik dan keruntuhan ekonomi, yang menciptakan bencana jutaan pengungsi membanjiri Eropa.

Jadi kebijakan AS yang diterapkan ini sering diambil dengan melawan satu faksi dan mendukung faksi lainnya. Mereka menjadi terlibat langsung, daripada semestinya berdiri dibelakang agar bisa melakukan hubungan dengan kedua belah pihak, dan menyerukan perdamaian, agar semua pihak bernegosiasi dan mengatasi masalah tersebut. Sebaliknya AS menyerukan resolusi melalui kekerasan, tapi kemudian membangkitkan kekacauan dan tidak dapat menarik diri dari situ.

Di daerah yang dilanda perang, banyak kelompok-kelompok milisi dan fanksi-faksi agama bermunculan seperti jamur; seperti di Syria saja ada lebih dari 100 kelompok. Di Timteng kegiatan teroris dan konflik agama meningkat dan ada tanda-tanda beberapa kelompok teroris menyebar ke seluruh dunia.

Tidak perduli apakah kelompok ini pernah didukung dan dipersenjatai AS, atau kelompok yang menjadi fokus AS untuk diperangi kelompok yang menagatas namakan agama. Semuan tampaknya mereka sama-sama melihat AS sebagai musuh.

Kita bisa melihat dari tahun 1970 hingga 1980an dan bahkan tahun 1990an, konflik agama tidak menempati posisi terpenting, tidak seserius konflik saat ini antara Syiah dan Sunni. Mengapa ini terjadi? Hal ini disebabkan intervensi AS

AS menggunakan invasi skala besar untuk menggulingkan pemerintah, kemudian membentuk sebuah pemerintahan yang dianggap berasal bentukan AS, hasil ini yang sebenarnya menyebabkan gejolak di Timteng. Ini pada dasarnya dapat dikatakan menghancurkan suatu negara dan menciptakan keadaan anarki, dan situasi ini lazimnya yang menyebabkan terorisme.

Majalah AS “The National Interest” menuliskan untuk mengubah tren penurunan linear satu-satunya solusi adalah menyesuaikan hubungan AS dengan Iran, agar mencapai keseimbangan yang stabil di Timteng dimana Iran, Turki, Arab Saudi dan negara-negara utama lainnya harus seimbang satu sama lain, dan AS menjaga jarak yang sama dengan mereka semua.

Setelah P.D. II, AS menjadi negara adidaya global. Pada akhir Perang Dingin AS berubah menjadi hegemonik global bahkan lebih.

Sedang strategi hegemoni pemerintah AS-Bush menggunakan kekuatan untuk mereformasi Timteng, dan mengatur dengan kekuatan, akibatnya menciptakan kekacauan dan bencana kesengsaraan bagi rakyat di Timteng.

Kini kekuatan nasional AS sedang menurun, jalan kekerasan demikian sudah tidak dapat dilakukan lagi. Lalu bagaimana pemerintahan Obama mengrefleksi tentang hal ini? Apa penyesuaian strategi baru di Timteng? Dan mengapa AS melakukan penghangatan hubungan dengan Iran?

( Bersambung .....)

Sumber : Media TV dan Tulisan Dalam dan Luar Negeri

BBC

New York Times

BBC - World, US, Canada

IDU.ac.id

Sindo News

UPI

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun