Rusia Berkepentingan Mempertahankan Bashar al-Assad
Ketika Rusia begabung dengan koalisi kontraterorisme untuk memerangi “ISIS”, Barat percaya bahwa tujuan kontra terorisme Rusia palsu, Rusia sebenarnya membantu melawan oposisi Syria untuk membentengi sekutunya demi mempertahankan kepentingannya di Timteng.
Analis melihat ada beberapa motif strategi di Timteng bagi Rusia. Salah satunya ingin memastikan Rusia tetap berada di Syria, karena itu kembali pada bulan September. Dan tampaknya disukai pemerintah al-Assad yang ketika itu benar-benar diambang akan jatuh, jika jatuh Rusia akan kehilangan basis disana.
Satu hal lagi, jika kehilangan Syria, itu berarti Rusia akan tidak punya pengaruh lagi di Timteng, dan Timteng akan diperintah oleh militer Sunni, dan mereka bisa masuk langsung ke jantung Rusia,---Kaukasus.
Hal lain kebutuhan politik, karena kini ekonomi Rusia sedang tidak baik. Ini menjadi kebutuhan internal pemerintah di domestik Rusia, sehingga memaksa Rusia untuk mengambil resiko ini.
Sedang tujuan sebanarnya aliansi negara-negara Sunni pimpinan Arab Saudi melakukan serangan udara terhadap “ISIS” adalah untuk mendukung faksi oposisi Sunni di Syria dalam menumbangkan pemerintahan al-Assad.
Beberapa komentator percaya bahwa aliansi dari AS, Eropa, Rusia dan Arab Saudi kurang koordinasi, kerjasama dan kurang kosistensi kecepatan dalam operasi militer mereka dalam memerangi terorisme. Mereka kurang kerjasama dan kesulitan untuk mebentuk itu.
Mengumumkan dirinya memerangi terorisme hanyalah sebuah alasan, karena tujuan mereka sebenarnya adalah untuk mencapai kepentingan mereka sendiri dalam persengketaan politik Syria.
Jadi banyak analis yang mengira, untuk waktu di masa yang lalu, sekarang, dan masa depan, akan sulit bagi aliansi kontraterorisme internasional untuk memperkuat kemampuannya dan untuk membentuk standarisasi target.
Untuk memerangi “ISIS” tentu saja lebih banyak negara yang ikut serta semestinya akan semakin baik, termasuk negara-negara di kawasan tersebut dan diluar kawasan. Itu sesuai dengan seruan resolusi PBB yang telah diluluskan. Namun, jika setiap negara hanya berpikir tentang rencananya sendiri, dan hanya memikirkan kontes pengaruh dan kepemimpinan di kawasan tersebut, maka akan melemahkan serangan pasukan gabungan terhadap “ISIS.” Ini yang dikhawatirkan para analis dan masyarakat dunia.
Para analis percaya sekarang di kawasan ini tidak harus menciptakan lebih banyak aliansi kontraterorisme baru, yang penting adalah bagaimana aliansi kontraterorisme yang berbeda ini bisa memperkuat kerjasama mereka. Ini yang akan menjadi akar kekuatan dalam memerangi “ISIS.”
Semestinya aliansi dari AS, Rusia dan Arab Saudi yang meliputi 70 negara, seharusnya dapat dengan mudah mengalahkan dan menghancurkan “ISIS” yang terdiri kira-kira hanya 30.000 militan, baik dalam kemampuan militer, sumber daya manusia atau keuangannya.
Tapi jika aliansi ini saling bertarung secara terbuka atau secara rahasia, dan saling bertentangan serta mencoba untuk saling melemahkan satu sama lain, tidak hanya mereka tidak dapat mengalahkan “ISIS”, sebaliknya mereka akan berakhir melukai diri mereka sendiri.
Hanya pada saat semua pihak terkait bisa bekerjasama, terutama AS dan Rusia membentuk pasukan gabungan maka dapat dipastikan perang melawan teror ini akan berakhir dengan kemenangan.
Pada tahun 2016, saat malam tahun baru, Menteri Penerangan Kremlin Rusia merilis infromasi bahwa Presiden Valadimir Putin memperpanjang ucapan Selamat Natal dan Tahun Baru untuk Presiden AS Barack Obama pada 30 Desember ; Putin mengatakan: “Tahun lalu telah membuktikan hubungan Rusia-AS adalah faktor kunci untuk memastikan keamanan internasional.”
Sejaun untuk kepentingan nasional dan strategis Rusia, menstabilkan hubungan Russo-AS adalah penting dan menjadi yang utama.
Banyak orang masih ingat pada bulan September 2014, saat pidato di Majelis Umum PBB, Obama pernah memberi label: “virus Ebola, Rusia dan “ISIS” sebagai “tiga ancaman terbesar di dunia saat itu.”
Selama setahun, Obama mengeritik dan menguntuk Rusia beberapa kali atas tindakannya membantu pemerintah al-Assad, Syria dalam memerangi terorisme.
AS dan Rusia masing-masing memimpin koalisi kontraterorisme, dan mereka ingin memerangi terorisme, tetapi juga sekaligus saling menekan agar masing-masing pihak tidak bisa cepat mengembangkan pengaruhnya di kawasan ini.
Hal ini yang meningkatkan kesulitan dalam memerangi “ISIS” di Timteng. Karena selain harus memerangi terorisme, tapi juga harus mempertimbangkan untuk menekan pengaruh dari negara lain, untuk menghentikan mereka dari berkembang pesat di kawasan ini atas nama kontraterorisme.
Hal seperti ini tidak diragukan lagi akan menyebabkan target untuk mengeliminasi “ISIS” akan menjadi proses yang panjang dan lambat.
Namun dengan terjadinya serangan teroris Paris (oleh “ISIS”) 13 Nopember 2015, yang menjadi serangan teroris paling parah di dunia Barat setelah insiden 11 September 2011 di AS. kelompok ektrimis bahkan mengancam akan meledakan Gedung Putih, dan membunuh Presiden AS Barack Obama dan Presiden Prancis Francois Hollande.
Prancis menyatakan ‘Negara Dalam Keadaan Perang’ dan semua negara Eropa secara aktif mendukung. Bagi kekuatan Eropa, bahaya kelompok ekstrimis “ISIS” akhirnya dianggap melampaui Rusia dan Presiden Syria—Bashar al-Assad untuk menjadi “orang yang paling dicari di dunia” (the world’s most wanted). Dalam menghadapi musuh utama terorisme, kritik AS untuk Rusia secara bertahap memudar.
Pada 24 Nopember 2015, dalam konferensi pers Sekretaris Pers Gedung Putih AS, Josh Earnest mengatakan bahwa AS tidak akan mengakhiri sanksi terhadap Rusia untuk ditukar dengan perluasan operasi kontraterorisme di Syria. Namun AS dan Rusia akan terus memperkuat kerjasama mereka dalam memerangi kelompok ekstrimis “ISIS” di Sryia.
Pada 1 Desember 2015, Presiden AS Barack Obama mengatakan bahwa ia berharap Rusia akan bergabung dengan koalisi yang dipimpin AS untuk memerangi “ISIS.”
Pada 15 Desember 2015, Menlu AS, John Kerry tiba di Moskow dimana ia berbicara dengan Menlu Rusia Sergey Lavrov, dan kemudian bertemu dengan Presiden Rusia--Valdimir Putin.
Tentu saja, Kerry tidak setuju dengan pandangan Putin, namun kedua belah pihak telah saling memberi ruang lain untuk masalah ini. Mereka berdua percaya bahwa rakyat harus memilih.
Pada 18 Desembar 2015, di Dewan Keamanan PBB, Menlu AS Kerry mendapat giliran menjadi tuan rumah pertemuan pada masalah Syria.
Dalam resolusi proses perdamaian Syria dengan suara bulat diluluskan oleh Dewan Keamanan PBB, AS, Rusia dan negara-negara mencapai konsensus untuk memerangi terorisme “ISIS”, dan AS melepaskan kondisi yang meminta Presiden Syria Bashar al-Assad harus dipaksa mundur.
Pada akhir Desember 2105, perang melawan “ISIS” memperolah serangkain kemenangan berturut-turut di sepanjang garis depan Syria dan Irak. Ini menunjukkan AS dan Rusia telah membuat kemanjuan dalam kerjasama dalan kontraterorisme, dan juga ditandai dengan munculnya dialog dan kerjasama antara aliansi dan negara-negara yang memerangi “ISIS.”
Ada tiga aliansi yang memerangi “ISIS” koalisi (aneh) yang dipimpin AS, koalisi 4-negara yang dipimpin Rusia, dan kemudian aliansi 34 negara yang dibuat Arab Saudi. Alainsi ini tidak berinteraksi dan pada kenyataannya masih berkonflik. Ini yang dikhawatirkan bisa membuat hal-hal yang bisa bikin kacau?
Jika tidak hati-hati, aliansi ini bisa saja mulai saling bertempur antara mereka sendiri. Ini akan jadi masalah jika hingga terjadi perang sebelum mereka berhasil menghancurkan “ISIS.” Maka yang paling baik setiap pihak pergi ke tempat dimana tidak ada sengketa---PBB.
Saat ini, memang tampaknya seolah mereka setidaknya telah melakukan beberapa diskusi tentang pemecahan masalah Syria dibawa ke PBB. Ini mungkin karena konsesi dari AS, karena AS masih memandang PBB. Dan masalah koalisi harus dipecahkan dengan trek PBB.
Namun, Rusia terus membuat kemajuan dengan membantu militer Syria merebut kembali wilayah yang hilang direbut “ISIS”, namun masalah sulit mungkin akan dihadapi Rusia.
Masalahnya Rusia tidak dapat menyeberangi pertahanan wilayah pertahanan Free Syrian Army (FSA) untuk menyerang “ISIS”, FSA tidak akan membiarkan Rusia melakukan itu. Karena itu untuk tahun 2016, medan perang Syria akan mengalami situasi politik dan militer yang sangat komplek terjalin antara semua kekuatan. Dan tidak sederhana apa yang bisa dibayangkan. Bukan hanya akan ditentukan satu sisi saja, kemudian dengan satu kali tiup “ISIS” akan hancur.
Setiap pihak tidak saja menghadapi satu musuh saja. Mereka semua berpikir tentang “ISIS” sebagai musuh, tetapi selain dari “AS,” musuh masing-masing pihak bisa saja dari sekutu mereka juga.
“ISIS” Mulai Amruk & Mengirim Militan Keluar Timteng
Pada 26 Desember 2015, Abu Bakr al Baghdadi, pemimpin yang memproklamirkan dirinya sebagai “Khalifah” dari “ISIS” yang pernah dilaporkan media telah mati oleh media beberpa kali, telah merilis di internet dengan mengatakan bahwa serangan udara Rusia dan AS terhadap “ISIS” hanya akan membuat kelompoknya menjadi lebih keras kepala.
Dia juga mengatakan : “akan mempersiapkan dirinya untuk menghadapi hari-hari sulit.” Tampaknya ini suatu pengakuan bahwa dia telah mendapat pukulan besar.
Meskipun “ISIS” mungkin telah mendapat pukulan yang traumatis di Iran dan Syria, dan bahkan pukul meluas ke daerah yang lebih besar. Laporan menyatakan bahwa pada bulan Nopember 2015, kelompok-kelompok ekstrimis mulai berturut-turt menarik diri dari Ramadi.
Jadi ke mana kiranya anggota kelompok ekstrimis ini pergi? Sebuah laporan yang dirilis oleh PBB pada bulan September 2015 menunjukkan bahwa kelompok-kelompok ekstrimis terus “mengklaim spot” di Afganistan, untuk memperluas ruang lingkup kekuatan mereka dengan mengerahkan 3.000 ekstrimis untuk membuat jalan mereka ke Afganistan.
Pada 19 Desember 2015, Nigeria mengalami serangan militan, dalam semalam telah membunuh 49 orang dan puluhan luka-luka. Pada saat yang sama dengan serangan teroris Nigeria, beberapa kelompok ekstrimis Liby, Aljazair, Yaman dan Arab Saudi menyatakan kesetiaan mereka kepada “ISIS.”
Saat ini “ISIS sedang melemah di Timteng, tapi coba memperkuat di kawasan lain. Kawasan ini termasuk wilayah Sahel, yang terletak di selatan Gurun Sahara, dan utara Sudania Savanna. Daerah ini membentang sepanjang 3.900 km meliputi sembilan negara.
Banyak pasukan teroris di kawasan ini telah menyatakan kesetiaan mereka kepada “ISIS,” termasuk al-Shabaab, Boko Haram dan lain-lain. Menurut Brett McGurk, Presiden Utusan Khusus Untuk Koalisi Global Untuk konter “ISIL” (the US’s Special Presidential Envoy for the Global Coalition to Counter “ISIL”) terdapat 30.000 militan asing yang ikut pertempuran di Syria dari 100 negara, di 34 negara telah ditemukan tanda-tanda militan asing untuk mencoba meluncurkan serangan teroris. Dia mengatakan sungguh tidak pernah ada situasi yang serius seperti sekarang ini dalam sejarah AS.
Saat ini, masyarakat internasional telah menyadari bahwa “ISIS” adalah ancaman tidak hanya untuk Sryia, Irak, Timteng tapi seluruh umat manusia. Ini semacam ancaman kepada AS, Rusia dan juga anggota lain dari masyarakat internasional termasuk Indonesia, yang baru terjadi serangan teroris di Jl. Thamrin (Sarinah) Jakarta tanggal 14 Januari tahun ini.
Kelompok ekstrimis telah ditipu beberapa pengikut agama buta. Meskipun telah mengalami kekalahan militer, kecurangan dari ekstrimis dan idelogi teroris masih terus bersemai diseluruh dunia.
Secara fisik wilayah dan kelompoknya dapat kita lihat sedang mengalami susut dan bahkan kehancuran dalam waktu dekat ini. Tapi budaya memberantas ideologi ini adalah pekerjaan yang akan memakan waktu lama.
Kita telah melihat, sejak 30 September 2105, ketika Rusia mengirim pasukan, situasi memerangi “ISIS” telah sangat meningkat.
Tetapi orang-orang masih perlu memperhatikan meskipun “ISIS” akan terpukul secara militer. Dan wilayah yang diduduki akan direbut kembali. Perjuangan masyarakat internasional dengan ekstrimis dan teroris berideologi jahat akan tidak ada akhirnya.
Karena itu, semua negara di dunia, harus menggunakan dasar dari kode etik dan moralitas internasional yang diakui PBB untuk membentuk konsensus dan bekerjasama memerangi ekstrimisme dan terorisme, dan ini akan menjadi tugas jangka panjang.
( Habis)
Sumber : Media Tulisan dan TV Luar dan Dalam Negeri
http://www.nytimes.com/2015/12/29/world/middleeast/iraq-ramadi-isis.html?_r=0
http://www.nytimes.com/2015/12/29/world/middleeast/iraq-ramadi-isis.html
http://eng.mil.ru/en/news_page/country/more.htm?id=12066682@egNews
http://www.economiematin.fr/news-etat-islamique-argent-ressources-daesh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H