Hal ini yang meningkatkan kesulitan dalam memerangi “ISIS” di Timteng. Karena selain harus memerangi terorisme, tapi juga harus mempertimbangkan untuk menekan pengaruh dari negara lain, untuk menghentikan mereka dari berkembang pesat di kawasan ini atas nama kontraterorisme.
Hal seperti ini tidak diragukan lagi akan menyebabkan target untuk mengeliminasi “ISIS” akan menjadi proses yang panjang dan lambat.
Namun dengan terjadinya serangan teroris Paris (oleh “ISIS”) 13 Nopember 2015, yang menjadi serangan teroris paling parah di dunia Barat setelah insiden 11 September 2011 di AS. kelompok ektrimis bahkan mengancam akan meledakan Gedung Putih, dan membunuh Presiden AS Barack Obama dan Presiden Prancis Francois Hollande.
Prancis menyatakan ‘Negara Dalam Keadaan Perang’ dan semua negara Eropa secara aktif mendukung. Bagi kekuatan Eropa, bahaya kelompok ekstrimis “ISIS” akhirnya dianggap melampaui Rusia dan Presiden Syria—Bashar al-Assad untuk menjadi “orang yang paling dicari di dunia” (the world’s most wanted). Dalam menghadapi musuh utama terorisme, kritik AS untuk Rusia secara bertahap memudar.
Pada 24 Nopember 2015, dalam konferensi pers Sekretaris Pers Gedung Putih AS, Josh Earnest mengatakan bahwa AS tidak akan mengakhiri sanksi terhadap Rusia untuk ditukar dengan perluasan operasi kontraterorisme di Syria. Namun AS dan Rusia akan terus memperkuat kerjasama mereka dalam memerangi kelompok ekstrimis “ISIS” di Sryia.
Pada 1 Desember 2015, Presiden AS Barack Obama mengatakan bahwa ia berharap Rusia akan bergabung dengan koalisi yang dipimpin AS untuk memerangi “ISIS.”
Pada 15 Desember 2015, Menlu AS, John Kerry tiba di Moskow dimana ia berbicara dengan Menlu Rusia Sergey Lavrov, dan kemudian bertemu dengan Presiden Rusia--Valdimir Putin.
Tentu saja, Kerry tidak setuju dengan pandangan Putin, namun kedua belah pihak telah saling memberi ruang lain untuk masalah ini. Mereka berdua percaya bahwa rakyat harus memilih.
Pada 18 Desembar 2015, di Dewan Keamanan PBB, Menlu AS Kerry mendapat giliran menjadi tuan rumah pertemuan pada masalah Syria.
Dalam resolusi proses perdamaian Syria dengan suara bulat diluluskan oleh Dewan Keamanan PBB, AS, Rusia dan negara-negara mencapai konsensus untuk memerangi terorisme “ISIS”, dan AS melepaskan kondisi yang meminta Presiden Syria Bashar al-Assad harus dipaksa mundur.