Mohon tunggu...
Sucahya Tjoa
Sucahya Tjoa Mohon Tunggu... Konsultan - Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kegeraman Prancis Untuk Balas Dendam Kepada “ISIS” (3)

9 Desember 2015   18:57 Diperbarui: 9 Desember 2015   19:08 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Catur Diplomasi Rusia

Dengan kerjasama dengan Prancis, Rusia akhirnya menemukan sekutu yang kuat di Barat.  Pada 18 Nopember, stasiun siaran “France’s 24 hour News” membuat pernyataan berikut: Dan pendapat ini bukan tanpa jasa. Banyak opini publik percaya bahwa hubungan Rusia dan Eropa telah memasuki titik terrendah akibat efek krisis Ukraina dalam beberapa tahun terakhir.

Setelah Barat menjatuhkan sanksi pada Rusia, Rusia berusaha mencari jalan untuk memulihkan hubungan dengan Eropa, dan isu Syria kini telah menyediakan kesempatan langka untuk tujuan ini.

Bagi Rusia tindakan militer di Syria utara hanya sebagai kartu lain untuk bermain, karena sasaran utamanya adalah untuk menetralisir tekanan militer pada dirinya sendiri dari arah Eropa. Jika bisa menggunakan peran utama di kawasan tersebut, terutama perannya sebagai koordinator yang komprehensif, itu akan dapat terampuni oleh semua negara-negara tersebut, dan akan menjadi awal membantu perkembangan baru di Eropa. Ini akan menjadi kemenangan yang lengkap bagi militer Rusia.

Dalam rangka Putin untuk memulihkan hubungan dengan Eropa, tidak diragukan lagi Prancis sebagai “pemecah es” yang baik, memang hubungannya Prancis-Rusia selalu agak khusus. Sejak P.D. II berakhir, meskipun Barat melakukan Perang Dingin, Prancis selalu menganjurkan menjaga hubungan dengan Uni Soviet.

Setelah krisis Ukraina terjadi pada akhir tahun lalu, Hollande tiba-tiba mengunjungi Putin di Moskow, sehingga  menjadi negara Barat pertama yang mengunjungi Moskow setelah krisis Ukraina. Selama pemanasan (warming up) hubungan Rusia dengan Barat, terutama hubungan Rusia-Eropa, Prancis selalu memainkan peran yang sangat positif.

Banyak yang mempertanyakan hal ini, mengapa? Meskipun ada perjuangan geopolitik dengan isu perjuangan Ukraina, namun pada kenyataannya kedua kepentingan ada saling terikat bersama antar mereka. Saat ada sanksi mereka terpaksa harus melakukannya, tapi menyakitkan bagi kedua belah pihak, tetapi ini terjadi sebelum diadakan pemanasan hubungan, namun mereka selalu mencari kesempatan untuk mencairkannya.

Bagaimanpun Pemanasan hubungan Prancis-Rusia, sampai batas tertentu telah meningkatkan hubungan Euro-Rusia.

Dari sini kita bisa melihat, peningkatan hubungan Prancis-Rusia bukan suatu kebetulan belaka bagi kedua belah pihak. Serangan teroris terhadap kedua belah pihak, menjadi bahan bakar untuk pemanasan hubungan mereka.

Hanya saja, kini mereka telah menderita bersama, berdua mengalami serangan teroris “ISIS”. Jet penumpang Rusia “ditembak” jatuh yang membuat Rusia marah, dan serangan teroris Paris membuat murka Prancis. Sehingga kemarahan dikombinasi dengan kerjasama dalam operasi militer adalah sebuah kebutuhan.

Serangan udara Rusia selama ini menjadi yang terbaik hasilnya di kawasan ini, jadi kini apa yang Prancis paling dibutuhkan? Tidak lain adalah hasilnya, semua kemarahan dan kegeraman akan dipendam dulu. Hanya dengan memperoleh hasil nyata dalam operasi tempur di kawasan tersebut yang bisa membuat puas bagi rakyatnya.

Saat ini, Prancis sangat bergantung pada informasi dari Rusia, karena Rusia mempunyai hubungan yang sangat bagus dengan Bashar al-Assad.

Jika melihat kekacauan di medan perang Syria, Prancis mendapatkan “sekutu-seperti” Rusia tidak diragukan lagi merupakan bantuan besar, yang selama ini kurang memiliki “visi”(penglihatan) di Syria.

Namun, setelah keduanya mengalami serangan teroris, dan akumulasi persahabatan mereka dari masa lalu, bisakah kerjasama antara Prancis dan Rusia di medan perang Syria benar-benar dapat membuat jalan Hollande untuk membalas dendam menjadi mulus? Apa yang menjadi kunci kemenangan Prancis dalam perang ini?

Bashar al-Assad adalah presiden Syria, selama bertahun-tahun ia dicap oleh Barat sebagai “diktator tirani” . Pada tahun 2011, terutama setelah dunia Arab bergejolak, pemerintahan al-Assad hampir saja tergulingkan, menghadapi tantangan terkoordinasi Barat yang dipimpin AS.

Oposisi al-Assad dengan dukungan Barat mengambil keuntungan dari waktu itu untuk tumbuh lebih kuat, dan menduduki beberapa wilayah al-Assad, mereka juga menyediakan (menyebabkan) kesempatan untuk “ISIS” untuk tumbuh.

Dan sekarang negara-negara Barat dipaksa untuk membayar terorisme dengan datangnya mereka ke Sryia. Dalam hal ini penguasa hukum Syria secara dramatis tidak diragukan menjadi kekuatan untuk melawan terorisme tidak dapat diabaikan lagi.

Sehari setelah serangan teroris Paris, Basahar al-Assad bertemu dengan perwakilan dari Parlemen Prancis di Syria, ketika ditanya tentang kemungkinan bergabung dalam operasi gabungan melawan terorisme dengan Prancis, al-Assad menjawab: “Tanpa kerjasama politik, kita tidak bisa menjalin kerjasama antara departemen intelijen kami.”

Pesan tersembunyi dari jawaban ini adalah Prancis diminta, agar AS mengubah “lagu lamanya” yang menuntut al-Assad untuk mundur, dan berhenti memandang dia sebagai musuh. Alasan al-Assad dengan jawaban kalimat ini bukan tanpa alasan.

Yang jelas siapapun yang mempunyai hubungan dekat dengan pemerintahan al-Assad sekarang, maka serangan udaranya akan lebih efektif. Karena pasukan tempurnya telah menyebar sangat luas, memiliki proporsi terbesar di wilayah ini. Pasukan inti yang memerangi “ISIS” sekarang adalah militer al-Assad.    

Memang ada beberapa kelompok moderat dan oposisi lainnya, yang memerangi “ISIS” setempat dan AS telah menghabiskan ratusan juta dollar untuk memberi pelatihan 60 orang, namun sebagian dari orang ini telah menyerah atau dieksekusi. Beberapa ada yang telah mengambil senjata dan peralatan mereka yang diperoleh dari AS dan bergabung dengan “ISIS”. Hanya ada beberapa yang benar-benar memerangi “ISIS” di Syria.

Jika dilihat dari perspektif ini, Bashar al-Assad adalah satu-satunya yang memiliki sistem informasi di seluruh zona pertempuran, karena ketika pasukan tempurnya memerangi “ISIS”, terjadi pertemuan komprehensif dan mendalam, mereka mungkin tahu hal-hal detail seperti siapa nama-nama perwira komandan musuh dan berada dimana mereka. Jika informasi intelijen ini diberikan untuk serangan udara, maka manfaatnya akan sangat terlihat dan menguntungkan bagi kedua belah pihak (sekutunya).

Ada kelompok moderat dan opoisi yang sangat aktif, namun mereka terlalu lemah karena tidak memiliki cukup orang, dan tidak memiliki informasi yang cukup. Dan mereka ini tidak akan praktis untuk mencari “ISIS” dengan informasi sedikit yang mereka miliki, karena itulah walupun AS telah melakukan begitu banyak operasi serangan udara, tetapi hasilnya sangat menyedihkan, ini menunjukkan sistem intelijen masih sangat tidak lengkap.

Memang ini sangat kontras perbedaannya dengan AS, Rusia yang dengan resmi diundang oleh pemerintah al-Assad ke Syria untuk melawan teroris. Dengan dukungan yang tak tergantikan oleh al-Assad, laporan keberhasilan dari serangan udara Rusia yang hanya berjalan satu bulan, memaksa mantan penasehat Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih AS, Gwenyth Todd mengakui: Untuk negara-negara yang memerangi “ISIS”, Rusia menjadi satu-satunya kekuatan utama yang berkemampuan menghancurkan kelompok ekstrimis ini.

Namun, bagi Prancis bekerjasama dengan Rusia yang mendukung pemerintahan al-Assad, tidak puas hanya sebatas menyampaikan data intelijen teknis terkait saja, Pertama ada kerjasama militer di medan perang, kemudian setelah berhasil dalam kerjasama itu, harus dilanbjutkan dengan kerjasama politik.

Al-Assad telah menjadi kartu penting untuk Rusia dalam bermain. Mereka mengatakan: “Jika kalian, orang Prancis mau melepaskan posisi lama kalian, dan mengakui legitimasi al-Assad, maka koordinasi kami dalam operasi militer mungkin akan lebih efektif. Kita akan mendirikan sebuah saluran pribadi kepada kalian, dan memberi data dan info intelijen untuk serangan udara.”

Jika mereka menciptakan saluran ini, hubungan antara Prancis dan pemerintah al-Assad akan terjadi perubahan yang halus. Di masa lalu Prancis gigih menentang, tapi sekarang tidak membuat banyak perbedaan untuk mereka. di masa depan mungkin akan berkembang ke arah yang lebih condong ke pemerintah al-Assad, dan membuat Prancis lebih mendukung pemerintahannya.

Jika mereka bisa mencapai sedikit saja kemajuan di daerah ini, itu sudah menandakan kemajuan besar dalam kerjasama politik mereka. Mungkin langkah kecil bagi al-Assad, tapi itu akan menjadi langkah besar bagi hubungan kerjasama militer dan pemerintahan Prancis dan Rsuia.

Kerjasama demikian memungkinkan Prancis dan Rusia menjadi lebih dekat dari sebelumnya. Namun yang menjadi masalah AS pati tidak senang melihat perubahan signifikan dari sikap Prancis terhadap pemerintah al-Assad. Tapi dengan dorongan yang terus meningkat untuk melakukan  serangan udara akibat serangan teroris Paris, isu “bagaimana harus memandang pemerintah Bashar al-Assad.”.  Kontes ini telah menjadi sorotan semua negara setiap hari. Dan ini mungkin akan menjadi masalah yang paling sulit bagi Prancis menghadapinya.

Pada 20 Nopemebr 2015, Dewan Keamanan PBB dengan suara bulat setuju untuk mengeluarkan resolusi mengutuk serangan teroris yang disebabkan oleh “ISIS”  dengan kata-kata yang paling keras dan menyerukan masyarakat internasional untuk “mengambil segala langkah yang diperlukan” untuk memerangi terorisme.

Apa yang menarik banyak perhatian ialah draf resolusi yang diajukan oelh Rusia dan diserahkan kepada Dewan Keamanan PBB pada tanggal 19 Nopember, hanya satu hari sebelumnya Prancis menyampaikan drafnya, Rusia mengajukkan rancangan yang berbeda dari resolusi Dewan Keamanan.

Namun dalam draft Rusia sekali lagi menekankan sudut pandang lama,  yang menyatakan bagi siapa saja yang menyerang “ISIS” dalam perbatasan Syria diperlukan persetujuan dari pemerintah Syria.

Tapi akhirnya dewan Keamanan meloloskan rancangan Prancis, yang perbedaan mendasar masalah Syria antara Prancis dan Rusia yang perebedaannya muncul ke permukaan.

Pada hari yang sama saat resolusi disahkan, Perwakilan Tetap Rusia untuk PBB, Vitaly Churkin menekankan bahwa meskipun telah diajukan dan disahkan resolusi Prancis ini sebagai “reli panggilan politik” (“political rallying call”) tapi itu tidak akan mengubah “dasar hukum” untuk memerangi terorisme.

Yang di maksud dengan pernyataan Churkin adalah jika operasi militer yang dilakukan di Sryia tanpa kerjasama dengan pemerintah Syria, mereka itu berperang secara tidak adil. Churkin lebih lanjut mengatakan bahwa Rusia akan “terus mempromosikan” mengajukan draft  resolusinya sendiri.

 

Tapi dalam menanggapi ini, Perwakilan Tetap Inggris untuk PBB, Mattew Roycroft memberi jawaban lebih langsung. Dia mengatakan, Jika Rusia ingin meloloskan usulan resolusinya, Rusia perlu merevisi bagian dari “peran yang dimainkan oleh Presiden Syria Bashar al-Assad.”

Melihat dari perbedaan pendapat ini, menunjukkan kepada dunia luar bahwa meskipun hubungan Rusia-Prancis membaik setelah serangan teroris Paris, tapi ada ketidak serasian dalam hal masalah al-Assad antara Rusia dan Barat, termasuk Prancis.

Pada kenyataannya, pada hari yang sama, Presiden AS Barack Obama menekankan ketika menanggapi pertanyaan: “Prasyarat untuk mengakhiri perang sipil Syria atau untuk mencapai resolusi politik, Presiden Syria Bashar al-Assad harus mundur.” AS tetap menentang pemerintahan Basar al-Assad seperti masa lulu, tidak berubah.

Strobe Talbott, Presiden dari think tank AS—Brooking Institution dan mantan Menlu, juga bersikeras bahwa AS, Prancis dan Rusia untuk benar-benar membentuk aliansi : “Rusia harus mengubah kebijakannya untuk Syria.”

Oleh karena itu “New York Times” AS, mengomentari tidak dapat membantu tetapi mengeluh, setelah “ISIS” melakukan serangan teroris Paris dan menanam bahan peledak yang menyebabkan jet penumpang Rusia meledak, harus dipikirkan AS, Rusia dan Prancis mungkin membentuk koalisi untuk menghadapi “ISIS” bersama-sama. “Tapi karena kepentingan nasional yang berbeda-beda, pembentukan koalisi tersebut masih sebatas kata-kata kosong.”

Namun jika dibandingkan dengan AS, Rusia dan Prancis atas ketidak mampuan untuk membentuk koalisi anti terorisme karena pendapat mereka yang berbeda-beda tentang al-Assad, masyarakat dunia lebih peduli tentang sikap Prancis terhadap pemerintahan al-Assad.

Sikap Prancis sebetulnya sudah sangat jelas. Prancis tidak ingin melihat pemerintahan al-Assad sebagai musuh lagi. Misi utamanya adalah untuk berurusan dengan “ISIS”, sejuah untuk tujuan ini, Prancis memiliki tujuan yang sama dengan Rusia.

Pada dasarnya, kedua negara berpandangan memerangi teroris “ISIS” sebagai misi prioritas mereka. Pada kenyataannya, mereka telah membentuk landasan yang sangat signifikan untuk membangun sebuah “aliansi kontra-terorisme” sampai batas tertentu.

Jika kita melihat ke masa lalu, posisi Prancis terhadap pemerintahan al-Assad tidak selalu tetap sama.

Pada 19 Nopember, dalam sebuah artikel di“Washington Post”yang berjudul “Why France is so Deeply Entangled in Syria,”(Mengapa Prancis Sangat Terjerat/Terlibat di Syria) mengingatkan kita : Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, ketika mantan Presiden Prancis Jacques Chirac seorang gaullisme (tulen) berkuasa, Prancis dan Syria hubungannya sangat dekat.”

Pada tahun 2000, ketika Basahar al-Assad menjabat presiden, dunia politik Prancis bahkan menyambut “zaman baru politik Syria”, dan ketika Nicloas Sarkozy mengganti Chirac, awalnya juga menyatakan sikap yang sangat ramah terhadap al-Assad.

Tapi pada Agustus 2011, sikap ini berubah secara signifikan. Ketika Sarkozy menjabat presiden, ia mengubah beberapa kebijakan Timteng Prancis. Seperti diketahui Gaullisme sangat terkenal, gaullisme sebenarnya menyerukan“diplomatik independen” untuk “Prancis Jaya”(Great France) untuk kebijakan Timteng-nya. Charles de Gaulle mengambil sikap hubungannya relatif netral dengan negara-negara Arab, cendrung tidak memihak pada salah satu sisi.

Dan pada kenyataannya, dia benar-benar lebih disukai dunia Arab. Banyak Presiden Prancis sepanjang sejarah setia melaksanakan kebijakan ini sampai Jacques Chirac. Tapi setelah Nicolas Sarkozy, ia mengubah kebijakan yang pro-AS, Sarkozy mengatakan “Saya pro-Amerika, Saya akan memimpin Prancis kembali ke dunia Barat.”jadi Prancis sejak itu mengubah kebijakan untuk Timteng. Setelah Francois Hollande menjabat, kebijakan ini pada dasarnya tidak berubah dan tetap dijalankan.

Kedua presiden Prancis ini melihat menjatuhkan kediktatoran sebagai misi diplomatik mereka. Intervensi Prancis di luar negeri tidak pernah separah seperti pada Sarkozy hingga Hollande sampai sekarang. Jadi untuk masalah Syria, Prancis tetap melakukan cara yang sama. Bahkan pemerintahan Barack Obama tidak melakukan separah seperti yang dilakukan Prancis untuk isu tersebut.   

Pada 2012, Prancis menjadi yang pertama mengakui oposisi Syria adalah satu-satunya wakil rakyat Syria, yang mengarah untuk mematahkan pemerintahan Bashar al-Assad. Pada tahun yang sama kedua negara memutuskan hubungan diplomatik.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, Prancis sering menyebut al-Assad sebagai “jagal” dan “diktator.” Ini terjadi hanya tiga tahun lalu pada tanggal 13 Nopember, Prancis menjadi negara Barat pertama yang mengakui oposisi Syria, ini mungkin kebetulan. Tapi ini tidak menandakan semacam sikap Prancis yang akan kembali lagi kepada pemerintah Syria.

Setelah serangan teroris Paris, Prancis dengan tiba-tiba menyadari bahwa teroris adalah sasaran utama Prancis sekarang. Barat secara keseluruhan melihat pemerintah al-Assad masih dalam cahaya yang relatif bersahabat. Kita semua tahu bahwa isu “ISIS” cecara langsung terkait dengan arah politik di Syria.

Untuk Prancis, yang telah bersumpah untuk membasmi“ISIS” tampaknya sikap yang diperlukan terhadap pemerintah al-Assad adalah rintangan yang tidak dapat dihindari dalam perang ini. Bagaimana Prancis akan memilih, sudah tidak diragukan lagi menjadi pertanyaan yang paling menegangkan dalam gejolak di Sryia,

Jenis perubahan mendasar apa yang akan diambil Prancis di Sryia? Banyak analis dan pengamat memperkirakan tidak akan berubah. Prancis akan terus menuntut al-Assad mundur. Mereka anggap keduanya adalah iblis. Kini “ISIS” telah menyerang dan menantang, jelas harus diserang balik. Itu kebijakan tetap. Tapi untuk jangka panjang al-assad harus mundur.

Tapi apakah setelah al-Assad mundur, negara ini akan menjadi stabil? Jika negara ini tidak dapat memulihkan perdamaian dan menjaga stabilitas, itu akan selalu menjadi ancaman teroris.

Bagaimana seharusnya mereka mengatasi masalah ini? Banyak analis dan pengamat yang melihat Prancis masih belum memutuskan untuk masalah ini...

( Habis)

Sumber : Media TV dan Tulisan Luar Negeri & Dalam Negeri

http://www.dailymail.co.uk/news/article-2910573/French-deploy-nuclear-powered-aircraft-carrier-Middle-East-response-Paris-terror-attacks-Charles-Gaulle-join-strikes-against-ISIS-Iraq.html

http://www.usnews.com/news/world/articles/2015/11/26/french-president-to-visit-moscow-for-terrorism-talks

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun