Mohon tunggu...
Sucahya Tjoa
Sucahya Tjoa Mohon Tunggu... Konsultan - Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menguak Penyebab Serangan Terroris Paris “Friday The 13th” (3)

29 November 2015   17:15 Diperbarui: 29 November 2015   18:35 1220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Prancis Jadi Target Serangan Teroris

Salah satu pemimpin serangan teroris Paris 13 Nopember, ber-rencana untuk menyerang sasaran Yahudi dan sekolah-sekolah serta sistem transportasi di Prancis, menurut sumber yang dekat dari pihak yang melakukan investigasi.

Abdelhamid Abaaoud yang berkewarga negaraan Belgia seorang teroris di Paris yang tewas di St. Denis Paris saat penggrebekan pada 18 Nopember 2015. Tewas bersama dengan kerabatnya Boulahecen yang sedianya akan menyerang distrik perdagangan La Defense. Dan rencana ini telah dikonfirmasi oleh Kejasaan Paris, Francois Molins, keterangan yang didapat dari kerabatnya dan saksi yang masih hidup.

Pernyataan saksi juga menggambarkan bagaimana Abaaoud menyelusup ke Eropa melalui Yunani dengan rombongan pengungsi dari Syria.

Analis melihat karena Prancis yang paling memiliki kinerja yang positif di Eropa ketika menghadapi ISIS dan Syria. Secara historis, Prancis pernah memerintah Syria selama beberapa dekade, sehingga mempunya hubungan dekat dengan wilayah tersebut.

Prancis yang membantu membangun sistem Syria sekarang, dan Prancis telah memimpin masalah perdamaian di Lebanon.Tanggung jawab Prancis untuk kawasan Syria juga telah diakui publik. 

Jadi jika teroris yang datang dari kawasan Syria, dan ekstrimis ini mencari target di Eropa, tidak heran jika Prancis akan menjadi pilihan pertama.

Sejak abad ke-19, Prancis telah melakukan intervensi dalam situasi di Timteng dan Afrika Utara, ketika masa kolonial. Sehingga ada perasaan dendam dari dunia Islam selama lebih dari 100 tahun. Hingga beberapa tahun terakhir ini, Prancis tetap sangat aktif di kawasan Timteng dan Afrika Utara, dan merupakan negara Barat yang militernya paling  banyak melakukan intervensi setelah AS.

Pada bulan Agustus tahun lalu, Prancis telah bertindak melawan ISIS dan menyerukan negara-negara Eropa lainnya untuk bergabung dalam operasi militer yang dipimpin AS.

Pada 27 September tahun ini, Prancis melakukan serangan udara pertama dalam Syria, dan menampilkan resolusi untuk menyerang ISIS, Pada 5 Nopember Kantor Presidenan Prancis merilis sebuah komunike yang akan mengenrahkan pasukan, termasuk kapal induk Charles de Gaulle untuk mengambil bagian dalam operasi melawan ISIS.

Pada 8 Nopember. AU-Prancis menghancurkan fasilitas operasi minyak ISIS di Syria, untuk menyerang sumber pendapatan ISIS.

Pada kenyataannya, ISIS mengancam siapa saja yang menyerang dan memusuhinya. Tapi AS khususnya menjadi target teror nomor satu, tapi ketika Rusia bergabung dengan operasi militer terhadap mereka, ISIS juga mengancam Rusia. Tapi secara geografis, dan bila mereka akan melakukan tindakan terorisme, maka akan dihadapkan dengan kontra-terorisme dan kemampuan intelijen kedua negara ini yang lebih kuat dari negara-negara Eropa, maka akan sulit. Tapi mungkin saja bisa dilakukan oleh teroris “lone wolft”, tapi akan sulit untuk melakukan serangan teroris berskala besar.

Ada analis yang berpandangan, ketika Eropa menjadi target serangan teroris. Dari negara-negara Eropa, Prancis yang akan menjadi yang utama. Karena Prancis adalah negara terdepan dalam serangan militer terhadap ISIS. Jadi tidak heran jika Prancis menjadi target teroris, karena kedekatan dari segi geografis, dan kemudahan yang ditawarkan oleh Perjanjian Schengen Eropa. Selain itu juga kontra-terorisme negara-negara Eropa jauh lebih lemah dari negara-negara seperti AS, sehingga membuat mereka percaya bahwa jika mereka dapat melaksanakan serangan teroris di Prancis, itu tidak saja akan melukai Prancis, juga akan mengancam negara-negara lain di Eropa. Dan yang terpenting melalui serangan teroris di Eropa, mereka berpikir akan dapat mengrekrut lebih banyak orang yang bersimpati dengan atau mendukung ISIS di Eropa.

Pada 14 Nopember, ISIS mengklaim di Twitter target berikutnya adalah London, kemudian Roma dan Washington yang tidak akan lolos dari kerusakan. Dalam hal ini, tampaknya bahaya terhadap Prancis tidak hanya untuk Prancis saja. Isu-isu sosial bahwa serangan teroris Paris tampaknya sudah menjadi lazim di seluruh Eropa.

Pada 15 Nopember, menurut laporan Associated Press, Kejaksaan Paris menyatakan, mereka telah menangkap salah satu teroris dan setelah diinterogasi dan diselidiki, teroris ini seorang warga negara Prancis yang lahir di pinggiran kota Paris.

Saat ini ISIS telah mengrekrut warga Muslim domestik untuk mengambil bagian dalam “Jihad” dan Prancis meruapkan negara di Eropa yang telah menghasilkan sejumlah besar “Jihadis”.

Dalam video yang beredar di medsos ISIS menayangkan seorang jihadis, dia mengatakan : Nama saya Abdullah Rahman. Saya percaya dalam Islam, saya orang Prancis, orang tua saya juga Prancis. Anak ini telah menjadi juru bicara untuk kegiatan pengrekrutan ISIS.

Sebuah laporan yang dirilis oleh Parlemen Prancis pada bulan April 2015, menunjukkan bahwa ada lebih dari 3.000 “Jihadis” dari Eropa yang telah melakukan perjalanan ke Syria dan Irak untuk bergabung dengan ISIS, setidaknya 1.430 orang berasal dari Prancis.

Kali ini, Presiden Prancis menyatakan perang kepada ISIS, tapi tampaknya ancaman masa depan mungkin tidak dari ISIS, tapi mungkin dari warga negara sendiri atau keturunan kedua dan generasi ketiga imigran yang memiliki ideologi sama dengan ISIS.

Di masa depan, jika kita membayangkan ISIS telah dikalahkan, kegiatan teroris semacam ini terus berlangsung, lalu akan kepada siapa kita harus menyatakan perang?

Menurut statistik, saat ini terdapat 23 juta warga Muslim di Eropa, sebagian besar tinggal di Prancis sejumlah 4,7 juta atau 7,5% dari polulasi Prancis. Muslim membentuk 10% sampai 15% populasi Paris, sedang di beberapa kota dan kota-kota tertentu populasi Muslim lebih dari setengah.

Imigran ini awalnya “diundang”  oleh negara-negara Eropa karena saat itu kekurangan tenaga kerja. Pada awal tahun 1970an, pertumbuhan ekonomi Eropa melambat, negara-negara Eropa secara bertahap menutup saluran buruh imigran.

Tapi, hal itu tidak mengakhiri gelombang imigran. Kekayaan, ketenangan dan berargam budaya dari negara-negara Eropa telah memikat kaum imigran untuk masuk Eropa. Tapi timbul perasaan banyak orang-orang Eropa yang sangat menentang imigran ke Eropa. Memasuki abad ke-21 menjadi “dekade yang hilang” dari pertumbuhan ekonomi, menyebabkan tumbuhnya kekuatan sayap kanan di Eropa meningkat, dan suasana eksklusivisme mulai.

Apa yang perlu ditekankan disini, sumber masalah bukan imigran sendiri, tetapi negara-negara kolonialis menjarah dan mengeksploitasi koloni pada awalnya. Setelah itu mereka menggunakan koloni dan imigran ini untuk berkontribusi besar untuk ekonomi mereka sendiri.

Saat ini, semua konflik dan masalah yang berkaitan dengan isu-isu imigran, sebenarnya tidak sesuai dengan sejarah. Kita juga tidak dapat menyederahanakan isu terorisme dengan keturunan imigran, agama, atau konflik agama. Karena terorisme menciptakan serangan teroris, dan mereka menginginkan bahwa serangan ini disebabkan konflik agama atau oleh imigran. Teroris mencoba untuk coba memanfaatkan dan mengintensifkan konflik, untuk menutupi tindakan terorismenya sendiri.

Perbedaan Kelas Sosial

Di Prancis, Paris dan daerah sekitarnya yang dikenal Ile-de-France yang sebagian besar keluarga imigran Muslim dari Afrika Utara dan Timteng yang oleh pemerintah Prancis ditempatkan diperumahan murah di pinggiran kota, membentuk “wilayah isolasi” di pinggir Paris.

Masyarakat disini ada perbedaan dengan masyarakat Prancis pada umumnya. Populasi Muslim berada di rumah imigran, terutama bagi yang agama Muslim, populasi mereka terus meningkat.

Orang-orang ini umumnya tingkat kehidupan lebih rendah dari masyarakat Prancis, sebagian besar pendidikannya masih kurang dibanding dengan masyarakat prancis umumnya, kondisi hidupnya relatif miskin. Media Prancis pernah memberitakan bahwa jika seorang melamar pekerjaaan ada bernama”Hassan atau Mohammad” maka kemungkinan untuk diterima kerja sangat rendah.

Dalam kenyataannya, hal-hal yang tak terbentuk dan terlihat ini benar-benar terjadi. Bagaimanpun masyarakat Prancis terutama masih putih, dan imigran asing sebagai minoritas. Jadi dalam situasi seperti ini, di beberapa tempat terhadap imigran mereka diperlakukan tidak adil, termasuk, misalnya pada saat krisis ekonomi, imigran asing lebih cendrung diberhentikan lebih dahulu.

Saat ini menurut berita sudah lebih dari 150 ekstrimis Prancis sudah dipenjarakan, dan setidaknya ada 200an jihadis Prancis yang mengunjungi kawasan yang dikendalikan ISIS dan kini sduah kembali lagi ke Prancis. Keamanan yang disebabkan oleh ekstrimis membuat orang khawatir, tapi yang lebih mengkhawatirkan adalah sentimen anti-Islam yang dipicu oleh peristwa ini yang akan menyebar lebih jauh di Eropa.

Banyak analis yang mengkhawatirkan, sebagian besar Muslim moderat di Prancis dan Eropa yang tidak ada kaitannya dengan terorisme, mereka ini akan menjadi korban pertama dalam menghadapi kegiatan teroris. Kita tahu kelakuan teroris ini telah merusak reputasi Islam, diharapkan kaum Muslim mau berdiri dan bisa menyuarakan agar suara mereka bisa didengar, dan membasmi dan menghentikan ekstrimis yang merugikan Islam dari posisi mereka. Dan ini sangat penting.

Timbul pertanyaan, kearah mana kira-kira politik Prancis? Akankah Prancis dan Eropa menyesuaikan strategi kontraterorisme mereka di Timteng karena serangan teror Paris? Dan bagaimana malam 13 Nopember akan mempengaruhi dunia?

Pada 15 Nopember, Reuters melaporkan, seorang menteri Yunani mengatakan teroris Syria yang mengambil bagian dalam serangan teroris Paris pad 13 Nopermer sebelumnya telah masuk dari Yunani. Paspor teroris yang ditemukan di tempat kejadian menunjukkan ia telah memasuki Yunani pada bulan Oktober tahun ini sebagai pengungsi.

Hal ini telah membuat masalah pengunsi yang rumit menjadi lebih rumit. Resiko benar-benar ada, banyak pengungsi lelaki muda dan banyak laporan teroris masuk Eropa dengan menyamar sebagai pengungsi.

Dan sekali teroris masuk negara Schengen, mereka dapat dengan leluasa masuk dan meninggalkan negara Schengen. Setelah serangan teroris Paris Presiden Hollande segera mengumumkan penutupan perbatasan Prancis dan memobilisasi militer, dan perubahan ini segera berlaku menjadi “manjemen yang efektif”

Reaksi berantai apa yang akan terjadi setelah ini?  Akankah “politik kebenaran yang berprikemanusiaan” yang menerima pengunsi ini seperti yang pernah terjadi setelah “bocah Aylan Kurdi yang tewas terdampar” akan diganti dengan “politik kebenaran baru” yang lebih “mengutamakan keamanan”?

Rangkaian serangan teroris ini telah memaksa adanya perubahan dalam struktur sosial dan politik Eropa, termasuk Prancis dan Jerman. Sejumlah kelompok-kelompok ekstrimis demokratik pasti akan terdorong untuk  tumbuh dan tampaknya susah untuk menghilangkan kemungkinan kelompok neo-Fasis dan gerakan Fasis akan terjadi.

Karena selama mereka pecaya gangguan keamanan di masyarakat Eropa telah disebabkan oleh imigran, maka dikhawatirkan lebih dari gelombang anti-imigran yang akan semarak, tapi  akan timbul banyak organisasi dan ideologi anti-imigran akan menyebar.

Mereka akan menyebabkan mengakar sangat dalam dalam peradaban budaya Eropa. Proposi populasi antara kedua belah pihak secara bertahap akan tidak seimbang.  Jika skala ketidak seimbangan penduduk domestik dan imigran secara bertahap bergoyang ke arah imigran, maka konflik akan menjadi lebih intens.

Peristiwa tengah malam di Paris adalah bencana kemanusiaan raksasa. Pada pertemuan Presiden G20 tahun ini di Turki, mengatakan bahwa pihaknya akan melakukan kerjasama komprehensif dengan Prancis dan negara-negara lain untuk memerangi terorisme.

Pada 14 Nopermber 2015, pertemuan kedua Menlu mengenai masalah Sryia diadakan di Wina, yang melibatkan 17 negara, termasuk lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB, Turki, Arab Saudi, Iran dan perwakilan PBB dan Uni Eropa.

Pada hari itu, Menlu AS John Kerry setuju dengan peserta lain untuk mengakhiri dengan segera mungkin konflik dalam negeri Syria. Pada hari yang sama Menlu Rusia Sergey Lavrov mengatakan sebagian besar negara yang menghadiri pertemuan tersebut mendukung gencatan senjata segera antara semua pihak di Syria, dan juga semua negara akan membentuk koalisi internasional yang efektif untuk melawan organisasi ekstrimis.

Analis menyatakan serangan teroris Paris mungkin memaksa AS, Eropa dan Rsuia untuk sementara berunding di meja untuk persilihan mereka, dan mecari konsensus dalam kontra-terorisme, dan kemungkinan menyebabkan AS dan Rusia untuk mendorong kerjasama dalam isu-isu kontra-terorisme. 

Analis melihat akar permasalah Syria, meskipun musuh bersama mereka adalah ISIS, tapi jika berbicara tentang tujuan akhir negara-negara Barat adalah menggulingkan pemerintahan Bashar al-Assad, dan untuk melindungi dan mempertahankan oposisi moderat di Syria. Sedang tujuan sebenarnya Rusia adalah untuk mempertahankan pemerintahan Syria saat ini.

Jadi meskipun mereka memiliki target bersama yaitu ISIS, tapi tujuan politik dibalik melawan musuh ini secara fundamental berbeda. Karena tujuan politik yang berbeda maka sebenarnya mereka tidak bisa bekerjasama sama sekali.

Pada 5 Nopember, “Charlie Hebdo” yang telah mengalami serangan teroris, menerbitkan dua komik yang mengejek bencana pesawat Rusia, yang menyebabkan kegemparan publik. Para pejabat Rusia mengatakan bahwa perilaku majalah ini “penghujat” almarhum (korban kecelakaan pesawat Metrojet) dan beberapa netizens mengatakan “Charlie Hebdo Memalukan Prancis.”

Namun dihadapkan dengan tuduhan tersebut, “Charlie Hebdo” tidak mengeluarkan permintaan maaf, tampaknya mereka tidak mempunyai rencana untuk mengengkang dirinya dari dalam. Di Barat ada standar yang berbeda mengangani masalah terorisme. 

Dalam kegiatan kontra-terorisme ini melibatkan perilaku beberapa pemerintah negara. Ketika negara dan pemerintah terlibat, maka harus mempertimbangkan masalah kepentingan nasional sendiri. Dan mungkin menggunakan ideologi dasar dan nilai-nilainya sendiri, maka kemungkinan akan terjadi masalah yang bergantian atau standar ganda ketika memerangi kegiatan teroris. Dalam situasi seperti ini, maka sulit untuk menyalahkan situasi seperti ini. Karena mereka sedang mempertimbangkan keamanan nasional dan kepentingan nasional mereka sendiri.

Namun ini menyebabkan situasi dimana semua orang berpikir hanya mementingkan diri sendiri, tetapi hasilnya tidak baik, tidak memperdulikan kepentingan orang lain. Jadi hal demikian sebenarnya adalah sebuah paradoks dimana semua orang tahu sendiri, tetapi dalam kenyataannya pada akhirnya, itu mungkin berarti merusak kepentingan semua orang.

Pada 15 Nopember, jet Prancis melakukan serangan udara terhadap target ISIS di Syria, menghancurkan pusat komando dan sebuah kamp latihan. Pada hari yang sama, Kantor Kepresidenan Prancis mengatakan bahwa kapal induk Charles de Gaulle akan berangkat dari pangkalan laut Prancis di Toulon ke Teluk Persia pada 18 Nopember (kini sudah berlayar) untuk mengambil bagian dalam operasi melawan organisasi ekstrimis.

Kapal induk diharapkan akan tiba pada pertengah Desember tahun ini ke tujuan. Menurut laporan media Eropa, begitu perilaku peperangan didirikan, berdasarkan hukum internasional, negara itu berhak untuk melakukan usaha untuk “balas dendam” pada negara yang memulai agresi. Masalahnya sekarang jika Kapal Induk ini memasuki Laut Mediterania, bisakah meningkat hingga mengirim pasukan darat ke Syria? Kiranya perlu dicermati.

Apakah peristiwa ini akan menyebabkan Prancis juga mengirim pasukan darat ke Syria sambil meningkatkan kekuatan serangan militernya? Jika hal ini terjadi akan menjadi masalah yang rumit. Kita tahu saat ini, kini yang memerangi ISIS di Syria, selain Prancis, AS dan Rusia yang telah menjadi kontributor penting. Jika Prancis mengirim pasukan darat, pada kenyataanya itu akan menghadapi  banyak masalah. Karena selama ini pengalaman menunjukkan mudah untuk mengirim pasukan masuk, tapi tidak mudah untuk menarik keluar. Dan ini yang mungkin harus menjadi pertimbangan Prancis sekarang. Banyak analis yang berpendapat demikian.

Maka banyak analis yang masih meragukan bahwa Prancis akan mengirim pasukan darat  masuk Sryia untuk memerangi ISIS.

Analis percaya untuk membangun kembali negara-negara Timteng tertentu yang sudah runtuh ketertiban nasionalnya, dan untuk mengobati terorisme, proses ini akan memakan waktu terlalu panjang. Bahan yang diperlukan kebanyakan akan tidak praktis dan terlalu banyak faktor yang tidak terkendalikan, maka sebagai contoh mengapa 10 tahun membangun kembali Afganistan tetap saja efek dan hasilnya kecil dalam kontribusinya untuk kontra-terorisme.

Banyak pengamat dan analis berpandangan, bagi negara-negara utama di luar kawasan, jangan lagi melakukan konsultasi dibelakang layar, janganlah menimbulkan perang proxy yang menjengkelkan, janganlah terus melatih cadangan pasukan ekstrimis baru, hal ini akan sangat bermanfaat untuk memulihkan ketertiban di kawasan ini. 

Walaupun Prancis dan seluruh Eropa telah mengencangkan tali kontra-terorisme dengan ketat. Tetapi saat ini masalahnya Prancis telah mengerahkan polisi untuk patroli di jalan-jalan, dan militer telah diterbangkan dan dikirim ke luar daerah dan kawasan untuk menekan terorisme. Mereka melaksanakan kontrateorisme Tetapi masalahnya bukan hanya dengan kegiatan kontra-terorisme, tetapi dengan mengatasi kontra-terorisme itu sendiri,

Jika sementara ini hanya menekan terorisme dengan menggunakan pemantauan dan pengawasan yang kuat, tapi kontra-terorisme belum juga hilang, kegiatan ini akan terjadi lagi di masa depan. Ini yang benar-benar menakutkan. Jadi hal yang paling penting dalam kontra–terorisme adalah untuk menggali akar dari terorisme ini, dan tidak hanya melakukan operasi kontra-terorisme di jalanan dan dengan kegiatan itelijen, atau menggunakan metode pencegahan dan penekanan saja.

Jika kontra-terorisme terbatas hanya pada penekanan atau pencegahan terorisme, maka aktivitas terorisme akan terus ada selama beberapa abad.

Maka yang terpenting adalah melakukan pembinaan oleh orang yang berkopeten untuk menyadarkan mereka-mereka yang berpotensi untuk menjadi teroris. Untuk ini diperlukan kesadaran dan kemauan dari semua pihak yang cinta kedamaian dan ketenangan.

Mereka harus menghindari terkooptasi ke dalam “perjuangan melawan mereka yang dicap sebagai “negara teroris” dengan membalut dengan definisi yang mencakup sebagian besar wilayah oposisi domestik damai.

Mereka harus bekerja sama dengan negara-negara Muslim dan organisasi masyarakat sipil Muslim domestik untuk mencegah serangan tersebut dari masyarakat polarisasi. Banyak pemimpin Muslim telah berbicara hingga mengutuk pembunuhan, tetapi umat Islam tidak harus diminta untuk meminta maaf atas serangan ini.

( Habis )

Sumber : Media TV dan Tulisan Dalam dan Luar Negeri.

https://en.wikipedia.org/wiki/Knights_Templar

https://en.wikipedia.org/wiki/Friday_the_13th

http://internasional.kompas.com/read/2015/11/21/04301281/Eropa.dalam.Penjara.ISIS.

https://www.chathamhouse.org/expert/comment/16623?gclid=CLja0oPKtMkCFQMjaAodFK0AKQ\

http://dunia.tempo.co/read/news/2015/11/29/118723142/cara-rusia-agar-warganya-pahami-islam-dan-tangkal-isis

http://www.bbc.com/news/world-europe-34747432

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun