Mohon tunggu...
Sucahya Tjoa
Sucahya Tjoa Mohon Tunggu... Konsultan - Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ada Apa Dibalik Slogan AS “Dunia Tanpa Senjata Nuklir” (4)

15 November 2015   09:53 Diperbarui: 15 November 2015   09:53 808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perlombaan Peningkatan Kualitas Kekuatan Senjata Nuklir

Pada 9 Mei 2015, untuk memperingati ulang tahun ke-70 atas kemenangan Great Patriotic War, Rusia menggelar parade militer di Lapangan Merah (Red Square) di ibukota Moskow. Ada yang menarik bagi dunia, yang skalanya merupakan sesuatu yang belum pernah dilihat dalam sejarah.

Yang menjadi paling menyolok mata dalam parade militer ini, adalah kemegahan yang belum pernah terjadi sebelumnya yaitu bagian akhir dari “de resistance” upacara : Mempertunjukkan Senjata Nuklir Baru.

RS-24 “Yars Rudal Antar Benua yang paling Canggih—rudal Balistik Antar Benua Darat (ICBM/ Intercontinental Ballistic Missile) Rudal ini panjangnya 23 meter, diameter sekitar 2 meter, bobotnya 47 ton pada saat peluncuran, yieldnya 1,2 ton (kekuatan yang dihasilkan), mesin menggunakan bahan bakar padat tiga tahap.

Rudal “Yars” dikembangkan berdasarkan Topol-M ICBM, dan telah ditingkatkan menjadi stealth (siluman) dan keberhasilannya ditingkatkan, bisa membawa setidaknya empat hulu ledak target nuklir, dengan jangkauan berkisar 11.000 km yang mampu secara bersamaan menyerang beberapa sasaran.

Media Rusia banyak mengulas rudal “Yars” , yang mengatakan bahkan jika target dilindungi oleh sistem pertahanan rudal, itu masih dalam bahaya.

Banyak pengamat melihat dalam parade militer Rusia di Lapangan Merah ini, rudal Yars sebenarnya buah hasil untuk menggantikan mantan rudal generasi sebelumnya, tujuannya untuk menyaingi AS.

Sebagai contoh, AS memiliki “THAAD” sistem pertahanan rudal. Tapi Yars dapat mengubah profil penerbangan, dan itupun telah diperkuat kemampuan untuk membawa hulu ledak dari 4 hingga 6, sehinga jika terjadi pencegatan, sistem pertahanan rudal tidak tahu mana hulu ledak yang sebenarnya dan mana yang palsu. Ada umpan/decoy di hulu ledak, jadi mungkin yang dicegat adalah rudal umpan/decoy.

Dilatar belakangi dengan pelucutan senjata nuklir yang makin matang, Rusia bukan satu-satunya yang melakukan peningkatan kekuatan senjata nuklir, AS juga melakukan peningkatan kekuatan senjata nuklirnya.

Pada bulan April 2014, sebuah laporan dari “Wall Street Journal” AS, menarik banyak perhatian dunia luar. Dalam laporan tersebut dinyatakan, Pentagon-AS mengumumkan bahwa AS dan Rusia telah menandatangani kontrak berdasarkan Perjanjian “New START/Strategic Arms Reduction Treaty” (Perjanjian Pengurangan Senjata Strategis Baru), yang akan sangat mengurangi jumlah senjata nuklir kapal selam dan bomber, sementara masih mempertahankan beberapa ICBM darat.

Pada saat yang sama, walaupun krisis Ukraina terus meningkat, resolusi Pentagon terus menepati janji melakukan tindakan perlucutan senjata nuklir, untuk memberi kesan baik kepada dunia luar bahwa masih tetap mempertahankan denuklirisasi untuk sementara waktu ini.

Namun, dalam kenyataannya tidaklah sesederahana itu tampaknya. Ada laporan yang mengklaim bahwa sebelum ini, seorang Kemenhan AS secara pribadi mengatakan, sebetulnya senjata nuklir kapal selam (kapal selam yang berkemampuan meluncurkan senjata nuklir) hampir tidak berkurang. Dan senjata nuklir kapal selam dianggap sebagai sudut yang paling layak dari “triad nuklir/nuclear triad” (tiga serangkai senjata nuklir) karena ketiganya ini yang paling mempunyai efek deterrent (efek gentar/ membuat takut pihak lawan).

Yang dimaksud dengan “triad nuklir” : kemampuan negara untuk menggunakan pesawat pembom, kapal selam dan rudal darat untuk melaksanakan serangan nuklir. Selain itu saat memenuhi perjanjian untuk mengurangi tabung peluncuran pada kapal selam dan pembom nuklir, jumlah peluncur ICBM, rudal ICBM dan silo rudal AS di Midwest AS pada dasarnya tidak berpengaruh. Dan rudal-rudal ini bisa menyerang setiap lokasi di dunia.

Perlucutan Senjata Nuklir Hanya Permainan Politik

Di permukaan seolah mereka mengurangi senjata nuklir, namun kenyataannya, ada nuklir deterrent yang tidak melemah bahkan tumbuh lebih kuat, dan ini adalah “strategi” dari kedua kekuatan nuklir utama AS dan Rusia yang telah secara diam-diam seolah melakukan janji “perlucutan senjata nuklir” beberapa dekade ini.

Demikian juga saat Obama berani mengajukkan konsep “Dunia Tanpa Senjata Nuklir” , tapi dalam anggaran AS untuk tahun fiskal yang baru, menunjukan biaya untuk pengembangan senjata nuklir dan pemeliharaannya meningkat sebesar 13,4 % dan menjadi rekor tertinggi dari tahun-tahun sebelumnya.

Pada kenyataannya, baik Rusia maupun AS terus melakukan penelitian model baru senjata nuklir tanpa perlu melakukan test senjata nuklir

“Mencoba untuk mendapatkan senjata nuklir menandakan ketidak amanan” demikian menurut ahli strategi internasional AS, Lawrence Freeman. Sesungguhnya dalam kenyataannya, sejak lima negara kekuatan nuklir dan NPT secara luas diakui oleh masyarakat internasional, untuk selama setengah abad terus saja “menjelajah” jalan berduri untuk masalah senjata nuklir.

Isu Senjata Nuklir Menjadi Alasan Untuk Menekan Negara Lain 

Pada tahun 1974, India. Pada tahun 1998 Pakistan, dan pada 2006 Korea Utara mengumumkan mereka telah berhasil bergabung dengan “klub nuklir”. Pada saat yang sama Israel juga diyakini berhasil mengembangkan senjata nuklir pada tahun 1970an. Irak dibawah pemerintahan Saddam Hussein, Libya di bawah pemerintahan Muammar Gaddafi, Suria dibawah kekuasaan keluarga al-Assad, dan Iran setelah Revolusi Islam telah dituduh selama bertahun-tahun oleh AS “bermain” dengan “senjata nuklir”.

Pada bulan Maret 2003, AS memulai Perang Irak, mengklaim Irak “menyembunyikan senjata pemusnah massal” dan menggulingkan pemerintah Saddam Hussein.

Pada bulan Maret 2011, turbulensi meletus dalam pemerintahan Libya, dan AS dan NATO memulai Perang Libya, menggulingkan pemerintahan Muammar Gaddafi dengan alasan untuk “melindungi warga sipil”.  Namun sebenarnya pada tahun 2003, pemimpin Libya ini mengumumkan kepada masyarakat internasional bahwa ia secara aktif menyerahkan program nuklirnya saat itu.

Komentator TV Korea Utara mengumumkan : “Kami tidak menutupi kebenaran bahwa kebanyakan satelit dan roket jarak jauh yang kita luncurkan dan uji coba nuklir tingkat tinggi yang kita laksanakan diarahkan pada AS.”

Pada Januari 2003, setelah melakukan uji coba nuklir yang ketiga, Korea Utara mengalami kecaman bulat dari Dewan Keamanan PBB. Beberapa jam kemudian TV resmi Korea Utara membuat pernyataan, dengan sikap garis keras dan kecepatan merespon seperti apa yang dilakukan sebelumnya..

Dengan melihat kasus pemerintahan Gaddafi selama Perang Libya, “New York Times” menerbitkan sebuah artikel di bulan Maret 2011, yang mengutip pernyataan Korea Utara yang mengatakan, Libya mengakhiri program senjata nuklirnya yang menyebabkan negara ini lebih mudah menjadi terganggu dengan intervensi militer Barat.

Haruskah sebuah negara yang ingnin bertahan diharuskan memiliki senjata nuklir? Dalam menghadapi ketidak pastian, dan selalu berubahnya politik internasional, negara-negara yang mengejar keamanan mereka sendiri sebenarnya dalam suatu kekacauan yang kompleks.

Hal ini tampaknya ditentukan oleh nilai-nilai utilitarian AS. Ketika  menghadapi negara-negara yang dipercaya ramah dan bisa berbagi nilai-nilainya, maka dapat mengabaikan beberapa hal. Hal ini sangat jelas terlihat, dengan mereka menutup mata terhadap Israel. Tetapi bagi mereka yang dianggap “bangsa nakal” dan “Poros Kejahatan /axis of evil”, AS bersikeras untuk menentang mereka. Dengan senjata nuklir atau kemampuan senjata nuklir sebagai alasan untuk menggulingkan atau menghancurkan negara ini.

Untuk mengubah sistem sosial dan kepemimpinan negara tersebut, mengubah sistem nasional baru negara ini agar menjadi selaras untuk kepentingan AS. ini yang menjadi latar belakang pemikiran AS membicarakan persoalan senjata nuklir.

Dibalik slogan idealis dari “Dunia Tanpa Senjata Nuklir” sebenarnya susah untuk bisa ditelan atau diterima, itu secara relistis hanyalah sebuah “standar ganda” bagi AS dan Barat, ini disebabkan kecanggungan mereka sendiri tidak bisa mengekstrak sendiri. Itu alasannya mengapa negara-negara utama lambat memberlakukan perlucutan senjata nuklir, dan yang menjadi akar masalah bagi negara-negara lain begitu enggan untuk menyerahkan senjata nuklirnya.

Namun, apakah jika suatu negara telah menyerahkan senjata nuklirnya, kemudian masih bisa benar-benar mampu menahan standar ganda ini, dan akan mendapatkan rasa aman untuk dirinya sendiri jika memang sudah tidak memilikinya lagi?

Ini seperti pisau bermata dua, dengan kata lain, setelah negara ini memiliki senjata nuklir, negara ini akan menjadi sasaran serangan nuklir, karena sekarang banyak negara yang dijanjikan jika menjadi negara non-nuklir, mereka tidak akan diserang dengan nuklir, itu menjadi kondisinya.

Jika negara sudah memiliki senjata nuklir, setelah NPT mulai berlaku, seperti Korea Utara, Pakistan, India. Jika masih terus melakukan setelah NPT berlaku, itu berarti negara itu akan menjadi target kekuatan nuklir dari kekuatan nuklir yang lebih tua/dulu.

Jika sampai terjadi perang dengan negara-negara ini, maka yang pertama akan diserang adalah senjata nuklirnya. Jadi ini pisau bermata dua. Bukan hanya karena memiliki  senjata nuklir terus negara ini memiliki kemampuan untuk membela diri. Masalah bukan disitu.

Contohnya seperti Korea Utara, yang telah menggunakan begitu banyak sumber daya, sumber daya manusia, sumber daya miniral dan sumber daya keuangan untuk mengembangkan senjata nuklir, tetapi jalur ekonomis setidaknya tetap untuk menjaga keamanan suatu negara.

Kerangka Persetujuan Masalah Nuklir Iran

Pada 2 April 2015, di Lausaane, Swiss. Setelah melaui negosiasi marathon yang lama, enam pihak yang bernegosiasi untuk masalah nuklir Iran dengan pihak Iran, akhirnya mengcapai resolusi kerangka persetujuan.

Setelah itu, Federica Mogherini, (High Representative of the Union for Foreign Affairs and Security Policy / Vice-President of the Commission/ Perwakilan tertinggi untuk masalah luar negeri untuk masalah pelayanan aksi) mengumumkan : “Hari ini, kami telah mengambil langkah yang menentukan. Kami telah mencapai solusi atas parameter kunci dari rencana tindakan komprehensif bersama. Penentuan politik, kemauan baik dan kerja keras dari semua pihak sehingga hal ini terjadi.”

Seperti apa yang media katakan, masalah nuklir Iran “akhirnya mencapai titik balik sejarah”. Yang sebelumnya selalu masih menjadi teka-teki yang melanda masyarakat internasional selama 12 tahun.

Pada tahun2003, mantan Presiden Iran, Mohammad Khatami mengakui untuk pertama kalinya bahwa negaranya dengan diam-diam membangun fasilitas pengayaan uranium dan reaktor air berat. Setelah itu, masalah nuklir Iran menjadi seperti masalah nuklir Korea Utara, terus mengalir pasang surut, yang mengitari garis batas konfrontasi, kebuntuan dan bahkan perang.

Mungkin karena itu Khatami menyadari bahwa memiliki kemampuan nuklir tidak menjamin keamanan bagi suatu negara pada tahun 2013, maka Hassan Rouhani yang berumur 65 tahun seorang yang berpandangan konservatif moderat mengatakan sesuatu yang mendalam kepada media sebelum ia terpilih sebagai presiden Iran.

Memang baik memiliki sentrifugal untuk beroperasi, tetapi juga penting negara juga beroperasi dan roda industri terus berjalan.

Senjata nuklir atau kekuatan nuklir tidak hanya menjadi masalah teknologi saja. Ada banyak faktor politik yang terlibat disana. Anda mempunyai kepentingan negara Anda sendiri, dan Anda harus mempertimbangkan geopolitik. Ini masalah  yang sangat kompleks. Anda harus memiliki tekad politik untuk mencapai resolusi akhir. Tanpa itu, dan tanpa rasa saling percaya, hal itu tidak akan mungkin. Demikian pendapat para analis.

Meskipun negosiasi nuklir Iran itu sangat sulit, tapi akhirnya dapat dibuat terobosan karena semua pihak mau berkompromi, tampaknya semua pihak tahu bahwa untuk menyelesaikan harus menghilangkan akar masalah nuklir, yang bagi masyarakat internasional masih harus menempuh jalan panjang.

Para analis melihat, memang masalah denuklirisasi terdengar satu prospek yang bagus, tetapi negara-negara utama masih maunya yang memimpin jalan, karena masalah seperti perlucutan senjata nuklir dan denuklirisasi tergantung pada sikap kekuatan nuklir utama, dan bahkan lebih tergantung pada perilaku mereka.

Jika kekuatan nuklir minor (kecil) melihat negara kekuatan nuklir utama meningkatkan kemampuan nuklir mereka dan memperkuat stokpil mereka dengan alasan supaya makin aman. Dalam situasi demekian bagaimana bisa menyuruh dan meminta negara kekuatan nuklir minor untuk melakukan perlucutan pertama? Jadi seharusnya negara nuklir utama yang harus memimpin memberi contoh nyata.

Lihatlah strategi dasar dan kebijakan kekuatan nuklir utama saat ini, mereka masih belum mau menyerahkan dan menghancurkan senjata nuklir mereka. jika negara-negara kekuatan nuklir utama tidak menyerahkan senjata nuklir mereka, secara realistis tidak mungkin untuk meminta negara-negara lain untuk menyerahkan senjata nuklirnya.

Denuklirisasi memang suatu ideal umum, tapi mengapa begitu sulit untuk bisa dicapai? Para analis ada yang mengatakan akar solusinya karena “non-absolut, non zero-sum”. Semestinya harus mempromosikan rasa aman secara total kepada masyarakat internasional, karena “non-absolut, non zero-sum” jika suatu negara mencari keamanan mutlak, itu pasti akan membuat negara lain merasa tidak aman. Itulah mengapa hanya ketika ada keamanan umum dimana hari-hari bisa ada tanpa senjata nuklir, baru bisa terlaksana.

Tapi di padang gurun ekosistem politik internasional sekarang ini, sepertinya itu hanya sebuah mimpi idealis. Demikian pendapat  banyak analis dan ilmuwan yang mendambakan perdamaian dunia.

Misalnya saja pada tahun1964, saat Tiongkok behasil melakukan uji coba nuklir yang pertama kali. Pada saat itu Tiongkok berjanji kepada dunia untuk tidak akan pernah menggunakan senjata nuklir pertama dalam keadaan apapun, dan tidak akan pernah menggunakan senjata nuklir untuk mengancam negara manapun atau wilayah diluar negara Tiongkok.

Uji coba nuklir Tiongkok hanya satu tahun sebelum ketika AS, Uni Soviet dan Iggris sedang mempesiapkan untuk menanda-tangani “Limited Test Ban Treaty,” perjanjian Pembatasan larangan Uji Coba Senjata Nuklir). Tiongkok sudah memperkirakan akan terjadi perjanjian komprehensif  demikian  dan semua senjata nuklir akan dihancurkan.

Setelah waktu berjalan yang sudah setengah abad, sampai hari ini Tiongkok hanya satu-satunya negara yang telah berjanji untuk tidak menggunakan senjata nuklir pertama. Analis juga mengharapkan ini juga bukan hanya satu slogan saja kelak. Jadi seharusnya negara-negara  lain semestinya berbuat serupa sebelum manusia berhasil menghilangkan senjata nuklir dari perangkat persenjataan, dan harus dimulai dari dirinya sendiri. Demikian pendapat beberapa analis.

( Habis )

Sumber ; Media TV dan Tulisan Luar Negeri

http://www.dailymail.co.uk/sciencetech/article-2921899/Doomsday-Clock-reads-11-57-Atomic-scientists-minute-hand-two-minutes-forward-say-closest-point-disaster-decades.html

http://www.psr.org/about/board-of-directors/ira-helfand.html?referrer=https://www.google.co.id/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun