Komentator TV Korea Utara mengumumkan : “Kami tidak menutupi kebenaran bahwa kebanyakan satelit dan roket jarak jauh yang kita luncurkan dan uji coba nuklir tingkat tinggi yang kita laksanakan diarahkan pada AS.”
Dengan melihat kasus pemerintahan Gaddafi selama Perang Libya, “New York Times” menerbitkan sebuah artikel di bulan Maret 2011, yang mengutip pernyataan Korea Utara yang mengatakan, Libya mengakhiri program senjata nuklirnya yang menyebabkan negara ini lebih mudah menjadi terganggu dengan intervensi militer Barat.
Haruskah sebuah negara yang ingnin bertahan diharuskan memiliki senjata nuklir? Dalam menghadapi ketidak pastian, dan selalu berubahnya politik internasional, negara-negara yang mengejar keamanan mereka sendiri sebenarnya dalam suatu kekacauan yang kompleks.
Hal ini tampaknya ditentukan oleh nilai-nilai utilitarian AS. Ketika menghadapi negara-negara yang dipercaya ramah dan bisa berbagi nilai-nilainya, maka dapat mengabaikan beberapa hal. Hal ini sangat jelas terlihat, dengan mereka menutup mata terhadap Israel. Tetapi bagi mereka yang dianggap “bangsa nakal” dan “Poros Kejahatan /axis of evil”, AS bersikeras untuk menentang mereka. Dengan senjata nuklir atau kemampuan senjata nuklir sebagai alasan untuk menggulingkan atau menghancurkan negara ini.
Untuk mengubah sistem sosial dan kepemimpinan negara tersebut, mengubah sistem nasional baru negara ini agar menjadi selaras untuk kepentingan AS. ini yang menjadi latar belakang pemikiran AS membicarakan persoalan senjata nuklir.
Dibalik slogan idealis dari “Dunia Tanpa Senjata Nuklir” sebenarnya susah untuk bisa ditelan atau diterima, itu secara relistis hanyalah sebuah “standar ganda” bagi AS dan Barat, ini disebabkan kecanggungan mereka sendiri tidak bisa mengekstrak sendiri. Itu alasannya mengapa negara-negara utama lambat memberlakukan perlucutan senjata nuklir, dan yang menjadi akar masalah bagi negara-negara lain begitu enggan untuk menyerahkan senjata nuklirnya.
Namun, apakah jika suatu negara telah menyerahkan senjata nuklirnya, kemudian masih bisa benar-benar mampu menahan standar ganda ini, dan akan mendapatkan rasa aman untuk dirinya sendiri jika memang sudah tidak memilikinya lagi?
Ini seperti pisau bermata dua, dengan kata lain, setelah negara ini memiliki senjata nuklir, negara ini akan menjadi sasaran serangan nuklir, karena sekarang banyak negara yang dijanjikan jika menjadi negara non-nuklir, mereka tidak akan diserang dengan nuklir, itu menjadi kondisinya.
Jika negara sudah memiliki senjata nuklir, setelah NPT mulai berlaku, seperti Korea Utara, Pakistan, India. Jika masih terus melakukan setelah NPT berlaku, itu berarti negara itu akan menjadi target kekuatan nuklir dari kekuatan nuklir yang lebih tua/dulu.
Jika sampai terjadi perang dengan negara-negara ini, maka yang pertama akan diserang adalah senjata nuklirnya. Jadi ini pisau bermata dua. Bukan hanya karena memiliki senjata nuklir terus negara ini memiliki kemampuan untuk membela diri. Masalah bukan disitu.