Ketika ditanya oleh wartawan, jika Perang Saudara Syria berakhir, apakah dia akan tinggal di Inggris atau Syria? Dengan tanpa ragu-ragu dia menjawab akan kembali ke Syria. “Saya pasti kembali pulang ke Syria” tegasnya.
Khatib meneruskan, “Banyak alasan kenapa saya harus kembali pulang, sebagai pengacara, keluarga saya, teman-teman saya, dan semuanya. Itu istana yang saya tinggal dulu. Tapi disini, seperti Anda bisa lihat, saya harus mulai dari awal, saya harus mulai belajar bahasa, dan melakukan pekerjaaan apa saja hanya untuk hidup.”
Siapa yang yang membuat para pengungsi meninggalkan kampung halamannya? Tempat mereka sekarang mungkin lebih baik, tetapi apapun juga bukan kampung tumpah darahnya. Tidak perduli seberapa baik Eropa, itu bukan kampung halaman para pengungsi ini. Dipermukaan seperinya semua pengungsi ini telah didorong oleh perang yang berkelanjutan dan turbulensi di Timteng. Serta berkenyamuknya ISIS yang menjadi pemicu untuk terjadinya krisis pengungsi di Eropa.
Tapi adakah hubungannya perang Timur Tengah ini dengan Eropa, jika ditilik lebih mendalam lagi?
Statistik UNHCR menunjukkan, pada 2014 lebih dari 60 juta orang terpaksa meninggalkan rumah mereka karena perang. Ini adalah untuk pertama kali sejak P.D. II, jumlah pengungsi telah melampaui angka tersebut.
Berdasarkan Frontex (Lembaga Perbatasan Eropa/ the EU’s border agency) ada tiga rute utama untuk pengungsi yang melarikan diri untuk pergi ke Eropa; Pertama, Selat Miditeranea melalui Italia; yang kedua Selat Mediteranea melalui Yunani ; Ketiga, rute melalui Balkan Barat via Hungaria.
Ketiga rute yang dijejali pengungsi, sebagian besar berasal dari Syria, Libya, Afganistan, dan beberapa negara di Afrika Utara.
Intervensi AS dan Barat Membuat Turbulensi Timteng
Melihat situasi para pengungsi ini, mereka terutama berasal dari Timteng dan Afrika Utara. Seperti kita ketahui bahwa beberapa tahun terkahir ini, daerah ini telah terperangkap banyak turbulensi, pada awalnya dengan Perang Irak, kemudian ada Perang Libya, Syria, saat ini kekuatan IS sedang gentayangan di wilayah ini, namun sebagian besar dikarenakan adanya kaitan erat dengan kebijakan campur tangan Barat.
Turbulensi di Syria terjadi mulai tahun 2011, ketika terjadinya protest anti-pemerintah berkembang menjadi konflik bersenjata. Pada saat kritis, negara-negara Barat seperti AS memikirkan segala macam metode dan cara untuk mendukung pasukan oposisi. Beberapa tahun kemudian, satu negara yang tadinya sudah menjadi kesatuan, merdeka dengan beberapa etnis didalamnya itu benar-benar berubah menjadi negara yang terpecah-pecah kekuasaannya : pemerintah al-Assad, IS, dan Kurdi.
Dengan lepasnya kontrol pemerintahan pusat, maka terjadilah kerusakan sistem, ter-akumulasinya kebencian rasial antara orang-orang atau etnis, tapi yang dirugikan biasanya adalah orang biasa atau rakyat jelata.