Mohon tunggu...
Sucahya Tjoa
Sucahya Tjoa Mohon Tunggu... Konsultan - Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Intervensi AS di Kepulauan Nansha atau Spratly dan Laut Tiongkok Selatan Menjadi Perhatian Dunia (4)

30 Agustus 2015   11:57 Diperbarui: 30 Agustus 2015   12:23 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat Filipina merasa frustasi atas arbitrase internasional, maka datanglah AS dengan tampil ke depan.

Pada 21 Juli 2015, Asisten Menlu AS Daniel Russell saat pidato di CSIS (Center for strategic and Intrnational Studies/Pusat Studi Internasional Strategis ) mengatakan Tiongkok dan Filipina hanya bisa menyelesaikan sengketa Laut Tiongkok Selatan melalui arbitrase. (Penekanan demikian juga terjadi pada tahun1967-69 terhadap Indonesia dari barat untuk Pulau Sipandan, Ligitan dan Batu Puteh di Kaltim yang berada di blok Ambalat, dimana saat rezim Orba yang terlalu tunduk pada AS dan Barat (“terkendalikan”) dengan menyetujui arbitrase untuk sengketa kedaulatan tersebut. Akhirnya kedaulatan pulau ini lepas ke tangan Malaysia. Andaikata pada zaman Soekarno pasti R.I akan mengobarkan patriotisme untuk mepertahankan kedaulatan pulau ini, dan hasilnya akan lain.)

Secara internasional, beberapa negara termasuk Filipina dan AS, bahkan Jepang sampai batas tertentu, mereka telah menciptakan opini publik. Orang Tiongkok menganggap ini sungguh melukai dan menjelekan Tiongkok.

Poin kedua, mereka percaya gugatan itu adalah cara terbaik untuk menyelesaikan sengketa saat ini. Juga untuk memberikan contoh di ASEAN, seperti singapura dan Malaysia, serta amerika Latin. Tapi kenyataanya mereka lupa untuk mencari resolusi yang benar untuk sengketa ini, perselihan terutama masalah teritorial, jadi cara yang paling efektif melalui negosiasi langsung dengan pihak-pihak yang telibat.

Yang lebih mengejutkan bagi beberapa pengamat, hanya selang setelah sidang berakhir 14 Juli, AL-Filipina mengumumkan kepada dunia untuk melakukan “perbaikan” untuk kapal perang Filipina yang sengaja di damparkan di Soal/turumbu Ren’ai di Kep. Nansha/Spratly.

Pada bulan Mei 1999, kapal perang Filipina “Siera Madre” dengan alasan mengalami kerusakan mesin secara sengaja dan “ilegal” didamparkan di Shoal Ren’ai, peristiwa ini diprotes diplomatik oleh pihak Tiongkok. Saat itu Filipina menyatakan akan menderek kapal teresebut menjauh. Peristiwa ini dianggap negara pertama yang melanggar “DOC”.

 

Tapi hingga hari ini, Filipina tidak hanya tidak menarik jauh kapal tersebut, bahkan telah membangun fasilitas permanen di Shoal Ren’ai dalam upaya menempatinya. Pejabat senior Filipian juga menyatakan, jika kapal tersebut diserang, Filipina akan meminta dukungan militer AS sesusai dengan perjanjian keamanan dengan AS.

Tiongkok menuduh Filipina tidak memiliki niat tulus dengan membuat pengaduan individu untuk menyelesaikan masalah Laut Tiongkok Selatan. Filipina akan terus melakukan tindakan  provokatif, misalnya mengirim masalah sengketa ini ke arbitrase, ini sudah dianggap melanggar Pasal 4 “DOC”*1 dan juga melanggar banyak perjanjian Tiongkok-Filipina masa lalu yang konsensusnya telah mereka capai, dimana masalah ini akan diselesaikan melalui negosiasi ramah dan konsultansi.

Dengan misalnya masalah Beting Ren’ai, di masa lalu pemerintah Filipina mengatakan, mereka jelas mengakui bahwa mereka tidak ingin menduduki Beting Ren’ai, mereka akan menderek pergi kapal tersebut. Tapi sekarang Benigno Aquino III telah menarik kembali kata-katanya dengan mengatakan, mereka tidak akan memindahkan kapal tersebut, karena tempat itu milik mereka. jadi mereka telah merusak citra internasional dan reputasi mereka.

Diplomasi Tiongkok

Pada 16 Huni 2015, Kemenlu Tiongkok secara aktif merilis pernyataan negara resmi baru untuk kontruksi di pulau-pulau dan terumbu di Kep. Nansha/Spratly, dengan mengajukan tiga aspek informasi utama.

Salah satu aspek mengenai kemajuan pembangunan di pulau-pulau dan beting/terumbu. Tiongkok akan menyelesaikan proyek-proyek daratan di pulau-pulau dan terumbu di Kep. Nansha yang sudah ada garnisunnya.

Aspek kedua, mengenai tujuan pembangunan ini. Tiongkok menenkankan bahwa selain untuk memenuhi persyaratan pertahanan militer yang diperlukan, juga terutama untuk melayani berbagai kebutuhan sipil lainnya.

Aspek ketiga, sikap terhadap isu-isu Laut Tiongkok Selatan, dimana Tiongkok menekankan niat yang tulus untuk menyelesaikan sengketa dengan metode damai.

Pada saat yang sama, Tiongkok juga menekankan untuk mempertahankan kepentingan sah Tiongkok di Luat Tiongkok Selatan. Dalam hal ini termasuk diperkenankannya membangun kontruksi oleh Tiongkok baru-baru ini di pulau dan beting, itu dianggap untuk mempertahankan kepentingan sah Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan.

Dan kegiatan ini dianggap Tiongkok suatu yang normal dan wajar melakukan kontruksi dalam wilayah kedaulatannya di Laut Tiongkok Selatan, tapi di anggap sensasionil oleh AS, Jepang dan Filipina.

Wawancara koresponden CNN, Christianne Amanpour dengan Dubes Tiongkok untuk AS, Cui Tiankai.

  

CNN : Mengapa Tiongkok merasa perlu mengubah status quo, dengan membangun sejumlah besar di wilayah ini, dengan melakukan mengurukkan/reklamsai dan pembangunan di Laut  Tiongkok Selatan?

Cui: Pertama-tama, saya harus tekakkan apa yang dilakukan Tiongkok sepenuhnya masih dalam lingkup kedaulatan kita, sehingga bagi pihak lain tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Selain itu, hal ini tidak menjadi masalah bagi Tiongkok dan AS, karena AS tidak ikut mengklaim teritorial di wilayah tersebut.

CNN : Tapi Anda mengubah status quo, Anda membangun sesuatu dari ketiadaan. Wakil Presiden Baden telah menyebutnya melakukan pembedahan besar, mebuat keretakan, dan kesalahan.

Cui: Saya kira fakta status quo telah dirubah oleh pihak lain untuk waktu yang lama sekali. Jadi apa yang kita lakukan adalah semacam mengembalikan status quo sebagaimana mestinya. Sehingga tidak ada alasan bagi orang lain untuk membuat tuduhan seperti terhadap Tiongkok. Apa yang kita lakukan hanyalah untuk membangun fasilitas yang utamanya untuk membantu kapal Tiongkok dan negara-negara lainnya. Tentu saja kami memiliki beberapa fasilitas pertahanan, tapi itu hanya untuk pertahanan.

Pada 21 Juli 2015, “State Ocean Administration of PRC” (Administrasi Kelauatan Negara Tiongkok) merilis informasi satu rumusan rencana untuk memperkuat perlindungan, kegiatan pembangunan, dan kegiatan manajemen yang terkait pulau dan terumbu/beting di kep. Nansha/Spartly dan perairan sekitarnya.

Tapi saat ini, layanan perlindungan Laut Tiongkok Selatan tidak dapat memenuhi kebutuhan perlindungan lingkungan dan pembangunan regional. Berkaitan dengan ini Wang Yi Menlu Tiongkok mengatakan : “Hari ini, Tiongkok membangun fasilitas yang diperlukan di pulau sendiri dan terumbu/beting, dan negara tertentu telah memperluas fasiltas di pulau-pulau dan beting, mereka itu menginvasi Tiongkok merupakan dua isu yang berbeda sama sakali.”

Pada 28 Juli 2015, AL-PLA Tiongkok berhasil melakukan latihan resistensi tempur di Laut Tiongkok Selatan. Dalam latihan tersebut dimobilisasi lebih dari 100 kapal AL, dengan puluhan pesawat, serta beberapa batalyon rudal peluncur dari dua Korps Artileri, dan sebagian pasukan perang elektronik dari Distrik Militer Guangzhou untuk membentuk dua sisi yang independen untuk melawan dan berhadapan dengan lingkungan elektromagnetik yang kompleks. Beberapa gelombang serangan offensif dan defensif secara live telah dapat dilaksanakan dengan sukses, dengan peluncuran live puluhan bermacam jenis rudal dan torpedo dengan hulu ledak, dan ribuan ranjau dan jamming rounds.

Menurut kepala departemen pelatihan AL-PLA Tiongkok, latihan ini tidak hanya memecahkan rekor dari masa lalu yang serupa untuk latihan maritim, darat dan hambatan ruang udara, tapi juga mencapai metode tempur baru sehingga ditemukan terobosan yang dibuat dalam menciptakan penyebaran pasukan roket berbasis di pesisir jarak jauh.

Banyak ahli militer mengatakan, latihan ini merupakan klas-kampanye latihan tempur gabungan untuk potensi konflik bersenjata skala besar atau perang intensitas rendah, tapi di wilayah Laut Tiongkok Selatan tampaknya tidak akan terjadi yang melampaui skala latihan seperti ini. Latihan militer ini tampaknya bertujuan untuk memerangi seluruh Laut Tiongkok Selatan, dengan tujuan membela keamanan semua pulau dan beting Tiongkok dalam lingkup sembilan garis putus. Latihan itu tidak ditujukan pada negara tertentu, tapi yang pasti memiliki efek deterren pada negara-negara tertentu. Demikian menurut para analis militer.

Seorang komentator Tiongkok Ye Hailin mengatakan : “Berkenaan dengan masalah latihan militer di Laut Tiongkok Selatan, pertama-tama, Tiongkok harus pecaya diri dalam haknya. Ini adalah hak Tiongkok. Ada begitu banyak negara yang bahkan tidak berbatasan dengan Laut Tiongkok Selatan, tetapi mereka semua melakukan latihan militer di laut Tiongkok Selatan, Jadi mengapa Tiongkok tidak boleh melakukannya?” 

Kedua, Tiongkok harus jelas menyampaikan sinyal bahwa Tiongkok melakukan latihan militer untuk mempertahankan perdamaian dan stabilitas wilayah lokal, tapi Tiongkok berencana menggunakan metode militer untuk mempertahankan mereka. Tiongkok tidak selalu akan menjaga perdamaian dan stabilitas dengan kata-kata kasar saja. Jika ada pihak yang ingin menyebabkan kerusakan, maka Tiongkok secara alami jelas membutuhkan kemampuan untuk bisa menangkal itu. Karena hanya dengan itu satu-satunya cara untuk menghentikan penyebab malapetaka. Jadi menurut Ye Hailin itu merupakan suatu latihan militer di Laut Tiongkok Selatan yang merupakan jalur yang tak terelakkan untuk membangun angkatan laut, tapi aspek lain juga merupakan komponen dari kebijakan untuk Laut Selatan Tiongkok.

(Bersambung .......) 

*1 The ASEAN draft contained four principles: (1) to “develop modalities and arrangements for the promotion of settlement by peaceful means of disputes and prevent their escalation…;” (2) to respect the provisions of and take actions consistent with the COC; (3) to encourage other countries to respect the purposes and principles contained in the COC; and (4) to establish an effective mechanism to monitor the implementation of the COC.

Article II of the ASEAN draft enumerated eight obligations: a ministerial level mechanism to monitor the implementation of the COC; prohibition on reservations to the COC; provisions of entry into force; mechanism for settling disputes; amendment of the COC; provisions for other countries to respect the COC; indefinite duration of the COC; and registration of the COC with the ASEAN Secretary General and Secretariat of the United Nations

Article III(4) required signatories to “establish a mechanism for settling disputes relating to the interpretation and application of the Code of Conduct.” The ASEAN draft, following deletion of any mention of the joint cooperation area, also dropped reference to a dispute settlement mechanism in the joint cooperation area.

 

Sumber & Referensi : media TV & Tulisan Luar dan Dalam Negeri

http://tuku.military.china.com/military/html/2010-06-03/143004_1383321.htm

http://www.japanfocus.org/-carlyle_A_-Thayer/3813/article.html

http://wantchinatimes.com/news-subclass-cnt.aspx?cid=1101&MainCatID=11&id=20150804000119

ASEAN’S Code of Conduct in the South China Sea: A Litmus Test for Community-Building? By Carlyle A. Thayer

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun