Dubes Tiongkok untuk AS, Cui Tiankai memberi komentar: “Bagi AS mengirim begitu banyak pesawat pengintai militer ke wilayah tersebut, ini benar-benar bertentangan dengan semangat “Konvensi Hukum Laut.”. Selain itu, saya tidak berpikir kita harus membiarkan isu tunggal ini mendominasi agenda bilateral kita. Jadi saya tidak berpikir kita harus berkonfrontasi dan berkonflik hanya karena masalah ini.”
Pada bulan Mei tahun ini, AS sekali lagi mengirim pesawat anti-kapal selam dan kapal perang LCS mendekati Laut Tiongkok, dan berulang kali diperingati oleh AL-PLA Tiongkok, sehingga mengkhawatirkan banyak kalangan.
Untuk suatu jangka waktu tertentu di masa lalu, apa yang dilakukan sejauh pengembangan strategis regional, AS menilai di Samudra Pasifik dan Samudra Hindia terus kearah Asia Tenggara, selalu dipandang kawasan ini kekuatannya relatif lemah, sehingga selalu menempatkan sejumlah fokus pada penguatan pasukan di Asia Tenggara. Dan perlu berturut-turut melakukan penyerbaran strategis. Dalam kaitan ini Indonesia patut mewaspadai.
Di Laut Tiongkok Selatan, memiliki “sekutu penting”--- Australia, dan untuk negara-negara lain ingin diperkuat hubungannya, tapi didasarkan atas alasan karena memandang Laut Tiongkok Selatan dianggap penting.
“Military Times” AS melaporkan : AS akan “terus mempertahankan hubungan militer yang kuat dengan Tiongkok” untuk mengurangi kemungkinan kesalah-pahaman, tetapi juga akan mendorong Tiongkok untuk menyelesaikan sengketa secara damai berdasarkan hukum internasional.
Dari sini bisa dilihat, posisi AS untuk Tiongkok bimbang antara kepentingan “ekonomi” dan “pesaingan regional”.
Bila dilihat dari NMS 2006, ada sebuah kalimat tentang strategi keamanan nasional AS yang menyatakan, Tiongkok adalah negara yang berada di persimpangan jalan strategis, dan kini pada NMS 2015, terlihat AS masih belum berubah penghakimannya terhadap Tiongkok. Dari sudut pandang Amerika, persimpangan jalan strategis ini berarti bahwa Tiongkok mungkin bisa menjadi musuh, tetapi juga mungkin tidak menjadi musuh.
Jadi terlihat bahwa AS menggunakan NMS ini untuk mencegah dan mendorong Tiongkok untuk menjadi musuh. Menginginkan Tiongkok terus status quo seperti sekarang, dan lebih membimbing Tiongkok untuk berkembang ke arah yang sesuai dengan kepentingannya.
Jika dilihat dari penilaian ini, AS menggunakan dua strategi jangka panjang : di satu sisi, mengadakan kontak dengan Tiongkok, mengarahkan Tiongkok agar berada di sisinya atau sebaliknya, jadi kesimpulannya ini sebagai strategi penekanan “secara halus”.
Namun jauh sebelumnya pada 2003, Donald Rumsfeld, Menhan AS saat itu mengusulkan rencana penyesuaian dalam strategi militer untuk kembalinya AS masuk ke Asia-Pasifik untuk menghadapi Tiongkok.
Setelah Perang Teluk, Presiden AS saat itu, Bill Clinton, bahkan mengusulkan militer AS diperlukan untuk memiliki kemampuan melawan dan memenangkan dua kampanye berperang skala besar seperti Perang Teluk.