Demikian juga dengan Sunni dan Shyiah, mengapa pada saat itu tidak ada konflik ? Masalah ini sangat jelas bisa dilihat tidak ada hubungannya dengan sistem mereka, kebijakan luar negeri mereka, mereka bisa berdampingan bersama-sama, selama mereka menjadi sekutu AS. Itu yang menjadi akar masalah.
Setelah Revolusi Iran tahun 1979, Iran tiba-tiba menjadi negara anti-Amerika. Dan sejak itu di Teluk terjadi konflik yang sangat intens antara Iran dengan Arab Saudi.
Pada tahun 1979 “Revolusi Islam” meletus di Iran, telah menakjubkan dunia, Iran menjadi jawara/warrior dalam anti-Amerika di Timteng. Sejak itu hubungan Iran-Arab Saudi-AS tiba-tiba menjadi memburuk, yang lebih penting lagi pasca Revolusi Iran, revolusi ini mengancam supremasi Kerajaan Arab Saudi.
Pemerintah baru Iran mengadopsi prinsip “mengekspor revolusi”, atau menyebarkan Islam Syiah Iran ke negara-negara lain yang berpopulasi Islam. Pemimpin Revolusi Iran, Ruhollah Khomeini juga jelas menyatakan bahwa monarki dan sistem pengusasa turun menurun bukanlah tradisi Islam, dan monarki turun-temurun itu bertentangan langsung dengan Islam. Langkah-langkah Iran ini barang tentu menjadi tantangan serius bagi Kerajaan Arab Saudi.
Iran mengekspor revolsuinya jauh dari dunia Arab, karena sebagian besar dari Irak selatan memang sudah menjadi daerah utama Syiah dan ada banyak orang berdarah Persia disana, jadi mudah bagi mereka untuk mengekspor revolusinya.
Di Irak pada rezim Saddam Hussein yang dari faksi Sunni serta minoritas selalu menekan faksi Syiah yang mayoritas. Revolusi Islam Iran menyebabkan perang Iran-Irak yang terjadi setahun setelah revolusi. Pengamat luar melihat ini benar-benar perang antara Syiah dan Sunni.
Dalam periode perang Iran-Irak ini, Arab Saudi melakukan banyak hal. Di satu sisi mendanai Saddam Hussein, sehingga dia bisa bertarung dengan baik atas nama Arab. Dan Arab Saudi juga berkesempatan untuk menumpuk senjata di gudang untuk persiapan perang. Mereka membeli senjata dari AS berupa pesawat AEW (pesawat pengringatan dini), F-15 dan Kapal Perang dari Amerika. Pembelian ini bukannya untuk mempertahankan diri Saddam Hussein dari Iran, tapi menyadari bahwa setelah Revolusi Islam, Iran ingin mengekspor revolusi dan itu akan mengancam seluruh wilayah Arab.
Sejak Republik Islam Iran berdiri, Iran terus menerus berharap untuk memperluas pengaruhnya di kawasan ini atas nama Islam Syiah. Dengan didasarkan kebijakan ini, Iran terus mendukung penuh pembentukan pemerintahan Syiah di negara-negara tetangganya.
Pada tahun 1985, dengan bantuan Iran, Hizbullah didirikan di Lebanon. Dan untuk melawan pengaruh Iran, Arab Saudi bersatu dengan monarki lain di kawasan Teluk membentuk “Gulf Cooperation Council’(GCC). Dengan membentuk front bersatu, bersama Mesir dan Yordania untuk menentang Iran.
Dari perspektif Iran sebagai entitas bangsa, itu merupakan posisi geostrategis dengan Arab Saudi, dan itu memungkin dianggap menantang jaminan masa depan pengembangan Arab Saudi dalam ideologi dan putaran sistem politik.
Ini suatu pertarungan antara model, untuk melihat mana yang akan menang dan yang akan kalah. Dipandang dari perspektif jangka panjang, Iran tumbuh lebih kuat dan tampaknya sangat mengancam kekuasaan keluarga Kerajaan Arab Saudi.