Move Kearah Iran
Pada 2 April 2015, Kesepakatan Kerangka Kerja mengenai nuklir Iran tercapai. Hal ini diyakini sebagai hasil dari pencairan hubungan antara AS-Iran sejak tahun 2013, bahkan bisa dilihat sebagai “titik balik” dalam menghangatnya hubungan antara kedua negara ini. Obama mengatakan bahwa “ ini kesepakatan yang baik – sesuatu kesepakatan yang cocok dengan tujuan inti kita.”
Dua hari kemudian, pada 4 April, dalam wawancara Obama secara proaktif mengemukakan tentang negara-negara Arab Teluk. Dengan mengatakan “Saya pikir bahwa teman-teman negara-negara Sunni tradisional kita di wilayah ini, memiliki beberapa ancaman eksternal yang sangat nyata. Tetapi mereka juga memiliki ancaman dengan populasi internal, yang dalam beberapa kasus karena, terasingkan, pemuda pengangguran, ideologi yang merusak dan nihilistik, dan dalam beberapa kasus yakin tidak ada jalan keluar politik yang sah untuk dikeluhkan.”
Bagi Presiden berkomentar secara langsung tentang teman-temanya di Teluk sedemikian sungguh jarang terdengar. Selain itu, Obama bahkan menyebutkan bahwa Iran bukanlah ancaman terbesar seperti yang diceritakan atau didongenkan selama ini.
Obama mengatakan lebih lanjut : “Saya pikir ancaman terbesar yang mereka hadapi mungkin tidak datang dari Iran menyerang – Ini akan datang dari ketidak puasan dalam negerinya sendiri.”
Menjauhkan diri dari Arab Saudi dan negara-negara Teluk lainnya dan semakin dekatnya dengan Iran, lebih-lebih mencapai kesepakatan tentang masalah nuklir, tindakan AS ini bukanlah berita baik untuk Raja Salman dari Arab Saudi yang baru saja naik tahta.
Bagi Arab Saudi perkembangan situasi ini justru menjadi perasaan yang sangat mengkhawatirkan. Bukan hubungan AS-Iran, tetapi justru kemampuan nuklir Iran yang menjadi paling dikhawatirkan oleh Arab Saudi. jangan melihat bahwa Israel mempunyai kemampuan nuklir, tetapi yakin Iran tidak akan menyerang Israel. Hal itu tidak akan pernah terjadi. Yang paling ditakutkan Arab Saudi adalah justru orang Arab sendiri.
Menurut informasi resmi Iran, kini, rudal balistik buatan mereka sendiri sudah bisa mencapai lebih dari 2000 km. Jadi bisa menjangkau Eropa Timur dan negara-negara yang terletak di Mediterania semua bisa terjangkau, dengan sendirinya juga negara-negara Arab di Teluk Persia. Jika rudal ini berkemampuan membawa hulu ledak nuklir, maka effek deterrencenya sangat jelas.
Pada tahun 2010, Wikileaks merilis dokumen rahasia yang menunjukkan Pemerintah Arab Saudi telah penah mendesak AS beberapa kali untuk melakukan serangan terhadap Iran, dan menghancurkan infrastruktur nuklir Iran, tetapi AS tidak pernah mau bertindak.
Sejak mulai tahun 2003 AS yang selama itu mempunyai hubungan yang buruk dengan Iran, mulai memperlihatkan sikap ramah, bahkan mencapai kesepakatan kerngka kerja mengenai masalah nuklir Iran. Hal ini tentu saja tidak dapat diterima oleh Arab Saudi.
Moh. Hanif, seorang analis politik UAE mengatakan : “Pada kenyataanya, negara-negra Teluk sangat ketakutan dengan rencana nuklir Iran. Anda tahu bahwa fasilitas nuklir Iran hanya sekitar 100 km dari garis pantai dari negara-negara Teluk. Iran memiliki rudal yang dapat menyeberangi Teluk Persia, dan mencapai Riyadh (ibukota Arab Saudi), dan pantai negara-negara Teluk.
Pada 14 Mei 2015, di Camp David Maryland, AS, diadakan pertemuan untuk pertama kalinya antara AS dan Gulf Cooperation Council (GCC), namun Raja Salman -- Arab Saudi tidak hadir.
Dalam hal ini, pakar dari Brooking Institution, Bruce Riedel percaya bahwa Raja Arab Saudi tidak hadir dalam pertemuan tersebut sebagai tanda ketidak senangan : Negara-negara Arab di Teluk kurang percaya diri dalam kebijakan AS di Timteng.
Ada analis yang mempertanyakan: Jika di Timteng antara Syiah dan Sunni, antara orang Arab dan orang Persia tidak bersatu, sedang Syiah dan Persia memiliki senjata nuklir, mana mungkin orang-orang Arab bisa menerima hal tersebut terjadi?
Pada kenyataannya, sebenarnya Arab Saudi telah marah kepada AS untuk waktu yang lama. Pada 2011, AS secara aktif mendorong gelombang gerakan revolusi “Arab Spring” ke Arab Saudi. Meskipun mantan Raja Abdullah dari Arab Saudi dengan cepat dapat menstabilkan keadaan.Tapi Arab Saudi masih ingat bahwa AS berada di balik gerakan tersebut.
Pada tahun yang sama, Arab Saudi mengirim pasukan untuk menekan perlawanan anti-pemerintahan Bahrain, dan saat itu AS mengeritik Arab Saudi atas tindakan tersebut, juga tidak mendukung negara tersebut.
Demikian juga pada tahun 2011, saat terjadi krisis Syria, dan angkatan bersenjata Arab dan opisisi Syriah berusaha menggulingkan pemerinthan Bashar al-Assad, tetapi pada akhirnya Obama justru berkompromi dalam masalah senjata kimia Syria, sehingga membuat Arab Saudi tertekan dan marah.
Sekarang, AS secara aktif mempromosikan normalisasi hubungannya dengan Iran.
Sehubungan dengan masalah ini, situs Arab Saudi “Middle East Economic Digest (MEED)” percaya bahwa Arab Saudi dan negara-negara Arab lainnya dari Teluk khawatir setelah Iran dan Barat hubungannya hangat, Iran akan menggunakan kesempatan untuk memperluas pengaruhnya di Timteng.
Jamal seorang analis dari UAE, mengatakan: “Setelah perjanjian Nuklir Iran di Jenewa tercapai. Negara-negara Teluk pasti harus mempertimbangkan bagaimana menghadapi makin kuat dan meluasnya pengaruh Iran, yang mana kekuatan militernya terus tumbuh.”
“Independent” Inggris melaporkan, bahwa sebelum konferensi GCC di Camp David, Arab Saudi tetap mempertahankan sikap garis keras, dan mengancam akan terus melakukan perlombaan senjata di Timteng.
Pangeran Turki bin Faisal, kepala Direktorat Intelijen Arab Saudi, suatu ketika pernah mengatakan di Korsel, apa yang dipunyai Iran bagimanapun Arab Saudi juga akan memiliki hal yang sama.
Sejauh masalah nuklir Iran yang sedang berlangsung, BBC menulis artikel, bahwa Arab Saudi telah dapat menerima karena tidak ada lagi yang bisa diperbuat. Hal ini juga mengharuskan melakukan persiapan untuk suatu perang keras terhadap musuh lamanya. Tidak hanya di Yaman, tapi juga di lokasi lain di Timteng.
Arab Saudi berpikir perlu untuk mempertahankan kepentingannya sendiri untuk seluruh Timteng. Dan AS harus menyesuaikan kebijakannya di wilayah tersebut, atau setidaknya menghindari metode intevensi langsung. Tapi ada beberapa hal yang Arab Saudi pikir AS boleh terus begerak maju menuju resolusi untuk kepentingannya dengan intervensi seperti masalah di Syria dan Yaman.
Namun AS tidak akan melakukan intervensi, jika Arab Saudi tidak bisa mengatasi diri sendiri, masalah ini mungkin akan terus berkembang ke arah dimana hingga Arab Saudi tidak bisa mengendalikan sama sekali. Maka akan mempengaruhi proses tersebut. Arab Saudi ingin mengambil sikap dan membuat satu opini dalam proses ini, maka dalam isu Yaman dengan tegas diambil keputusan untuk mengerahkan pasukan.
Jika diamati situasi secara keseluruhan di Timteng saat ini, di balik hampir semua masalah yang menjadi panas dibayangi dari intrik antara Iran dan Arab Saudi. Untuk batas tertentu, arah hubungan Arab Saudi dan Iran akan sangat di pengaruhi situasi keseluruhan di Timteng di masa depan. Demikian menurut beberapa analis khusus Timteng.
Namun jika kita kembali melihat pada waktu 40 tahun lalu, kita akan terkejut melihat bahwa Arab Saudi dan Iran sebenarnya pernah sebagai teman dekat saat itu. Jadi mengapa kini menjadi sangat bermusuhan? Apa sebenarnya yang terjadi dibalik intrik antara mereka hari ini?
( Bersambung ......)
Sumber & Referensi : Media TV & Tulisan Dalam negeri dan Luar Negeri
http://www.albayyinat.net/jwb5ta.html
http://www.dw.com/id/syiah-sunni-kebencian-mengakar-di-arab-saudi/a-18492316
https://www.selasar.com/budaya/mengurai-konflik-sunnisyiah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H