Pada 14 Mei 2015, di Camp David Maryland, AS, diadakan pertemuan untuk pertama kalinya antara AS dan Gulf Cooperation Council (GCC), namun Raja Salman -- Arab Saudi tidak hadir.
Dalam hal ini, pakar dari Brooking Institution, Bruce Riedel percaya bahwa Raja Arab Saudi tidak hadir dalam pertemuan tersebut sebagai tanda ketidak senangan : Negara-negara Arab di Teluk kurang percaya diri dalam kebijakan AS di Timteng.
Ada analis yang mempertanyakan: Jika di Timteng antara Syiah dan Sunni, antara orang Arab dan orang Persia tidak bersatu, sedang Syiah dan Persia memiliki senjata nuklir, mana mungkin orang-orang Arab bisa menerima hal tersebut terjadi?
Pada kenyataannya, sebenarnya Arab Saudi telah marah kepada AS untuk waktu yang lama. Pada 2011, AS secara aktif mendorong gelombang gerakan revolusi “Arab Spring” ke Arab Saudi. Meskipun mantan Raja Abdullah dari Arab Saudi dengan cepat dapat menstabilkan keadaan.Tapi Arab Saudi masih ingat bahwa AS berada di balik gerakan tersebut.
Pada tahun yang sama, Arab Saudi mengirim pasukan untuk menekan perlawanan anti-pemerintahan Bahrain, dan saat itu AS mengeritik Arab Saudi atas tindakan tersebut, juga tidak mendukung negara tersebut.
Demikian juga pada tahun 2011, saat terjadi krisis Syria, dan angkatan bersenjata Arab dan opisisi Syriah berusaha menggulingkan pemerinthan Bashar al-Assad, tetapi pada akhirnya Obama justru berkompromi dalam masalah senjata kimia Syria, sehingga membuat Arab Saudi tertekan dan marah.
Sekarang, AS secara aktif mempromosikan normalisasi hubungannya dengan Iran.
Sehubungan dengan masalah ini, situs Arab Saudi “Middle East Economic Digest (MEED)” percaya bahwa Arab Saudi dan negara-negara Arab lainnya dari Teluk khawatir setelah Iran dan Barat hubungannya hangat, Iran akan menggunakan kesempatan untuk memperluas pengaruhnya di Timteng.
Jamal seorang analis dari UAE, mengatakan: “Setelah perjanjian Nuklir Iran di Jenewa tercapai. Negara-negara Teluk pasti harus mempertimbangkan bagaimana menghadapi makin kuat dan meluasnya pengaruh Iran, yang mana kekuatan militernya terus tumbuh.”
“Independent” Inggris melaporkan, bahwa sebelum konferensi GCC di Camp David, Arab Saudi tetap mempertahankan sikap garis keras, dan mengancam akan terus melakukan perlombaan senjata di Timteng.
Pangeran Turki bin Faisal, kepala Direktorat Intelijen Arab Saudi, suatu ketika pernah mengatakan di Korsel, apa yang dipunyai Iran bagimanapun Arab Saudi juga akan memiliki hal yang sama.