Hari raya sembayang Bacang dan Kuecang yang dirayakan pada setiap penanggalan Imlek bulan 5 hari ke-5 setiap tahun oleh orang Tionghoa Indonesia yang masih melakukan adat istiadat leluhurnya sering kali disebut Peh Cun (juga dialek Betawi). Dalam bahasa Mandarin disebut Duan Wu (端午). Duan (端) singkatan dari Kai Dua (開端) yang bermakna awal Chu (初), orang zaman dulu menyebut tanggal 1 sebagai Chu Yi (初一), maka tanggal 5 sebagai sinonimnya: Duan Wu (端五). Orang kuno juga biasa menyebut 5 (Wu) sebagai siang hari Wu Ri (午日), maka bulan 5 tanggal 5 juga dinamakan Duan Wu (端午).
Pada tahun ini jatuh pada tanggal 20 Juni hari Jum’at, kebiasaan orang Tionghoa yang masih memegang adat leluhurnya pada hari itu melakukan sembayangan dengan menyajikan Bacang dan Kuecang. Bacang dibuat dari beras ketan atau beras biasa yang dalamnya di isi daging dan dibungkus dengan daun bambu atau daun teratai, dan kuecang dibuat dari beras ketan yang direndam air abu kemudian dibungkus dengan daun bambu atau deratai lalu direbus, kuecang biasanya dimakan dengan dilumuri gula merah cair seperti kue lopis.
Pada hari Peh Cun ini juga dilakukan menjemur telur dibawah sinar matahari yang dipercaya telur akan bisa bediri pada tepat jam 12 siang, konon karena terjadi fenomena alam yang unik. Pada hari itu dipercaya bahwa titik kulminasi matahari berada pada posisi paling dekat dengan bumi, sehingga pengaruh gravitasi matahari terhadap bumi lebih kuat.
Telur-telur yang telah dijemur tersebut, pada sore harinya direbus dengan air yang dicampur dengan dedaunan segar segala rupa sebanyak lima macam, mereka percaya dedaunan pada hari itu semua akan menjadi wangi. Telor setelah ditiriskan akan dibuat sepersembahan dalam sembayangan “Tian” dan leluhur di altar keluarga. Air bekas rebusan biasanya dibuat untuk cuci muka atau mandi bagi segenap keluarga untuk menolak bala dan membawa rejeki.
Selain itu pada sajian sembayangan juga disajikan arak putih (arak terbuat dari tape beras) ditempatkan di wadah kecil atau disebut cucing (jiu cing酒敬杯). Setelah usai sembayangan arak ini dicampur dengan bubuk ramuan Tionghoa yang berasal dari tanah disekitar sarang merak yang disebut 雄磺(xionghuang) untuk menolak bala dari gangguan iblis atau siluman ular, yang diciprat-cipratkan kesgala sudut-sudut rumah dan halaman. (Orang Tionghoa percaya bahwa tanah di sekitar sarang merak sudah tercampur air liur merak yang sangat ditakuti ular, dan untuk mencegah ular memakan telurnya yang sedang dierami)
Pada hari perayaan ini juga sering diadakan lomba perahu naga, dan sanak keluarga pergi pinik ke tepian sungai, danau atau pantai laut untuk sama-sama menikmati bacang dan kuecang. Kini konon di Tiongkok menjadi libur nasional untuk kumpul keluarga.
Asal muasal dari tradisi diatas ini tidak terlepas dari beberapa versi legenda orang Tionghoa kuno yang masih dilestarikan hingga kini. Cerita legenda ada beberapa macam versi sebagai berikut .
Menurut ‘Kitab Sejarah’ (史记 ) dalam Kisah epos Qi Yuan (“屈原贾生列传” ), Qi Yuan (屈原) seorang menteri dalam negara kerajaan Chu di Tiongkok kuno (250 tahun sebelum masehi) saat itu di Tiongkok kuno ada 7 negara bangsawan jagoan, Qi, Chu, Han, Zhao, Wei, Yan, Qin (齐,楚, 韩, 赵, 魏, 燕, 秦). Pada waktu itu negara Qin yang akhirnya menjadi pemenang menganeksasi semua negara ini, menjadi negara kekaisaran pertama di Tiongkok kuno (Kaisar yang pertama membangun Great-Wall).
Untuk mencaplok negara-negara ini, Qin menggunakan taktik bersahabat dengan negara yang jauh tidak bertetangga langsung untuk memecahkan persekutuan mereka dan menyerang negara tetangga dekat (远交近攻yuan jiao jingong), dan juga dengan cara intrik dan menyuap pejabat negara lawan. Demikian juga apa yang dialami negara Chu.
Qi Yuan menteri yang menganjurkan agar negara harus menjadi kaya dan resistensi rakyat harus kuat, tapi setelah menjadi korban intrik dalam istana dari pejabat lain yang korup dan bekerjasama dengan selir raja. Akhirnya diasingkan dan dibuang di daerah tepian sungai Xiang dan Yuan. Dalam pengasingannya dia telah menuliskan buku berbentuk puisi “离骚” (Lament/Kerisauan karena berpisah); “天问”(Surga); “九歌”(Sembilan Lagu) puisi ini abadi yang hngga kini masih relevan dan tidak lengkang.
Pada 218 SM saat negara Qin menyerbu ibukota negara Chu, dan melihat negaranya diserbu dan dianeksasi, dia merasa jantungnya tersayat, tidak tahan untuk meninggalkan tanah airnya. Pada Imlek bulan 5 hari ke-5 dia menulis syair “怀沙/Huaisha” (Nyanyian Angsa) setelah menulis syair ini, dia memasukkan batu besar didalam bajunya dan melompat ke Sungai Miluo (汨罗江) untuk bunuh diri.
Selama hidupnya Qi Yuan menuliskan puisi-puisi patriotik yang megah mencerminkan cinta atas negara dan tanah airnya yang hingga kini tidak lengkang.
Semasa dalam pengasingan Qi Yuan bersahabat dengan seorang nelayan di sepanjang sungai tersebut, ketika sang nelayan sahabatnya ini mendengar Qi Yuan mebenamkan diri ke sungai, maka mengerahkan semua nelayan rakyat desa untuk mencarinya, tapi tidak dapat menemukan jasadnya sekalipun. Sang nelayan akhirnya meminta dewa sungai dan semua mahluk yang ada di sungai tersebut untuk tidak memangsa jasad Qi Yuan dengan menuangkan makanan yang biasa ditempatkan dibubuh bambu yang biasa mereka bawa saat mencari ikan.
Sejak tewasnya Qi Yuan, rakyat Chu merasa sangat sedih dan berbondong-bondong turun ke sungai Miluo. Para nelayan bergayuh perahunya untuk mencoba dengan peralatan penangkap ikannya untuk mencari jasad Qi Yuan, sambil menebarkan makanan agar ikan-ikan, udang dan binatang air lainnya menjadi kenyang dan tidak memakan jasad Qi Yuan. Seorang tua menuangkan arak ke sungai dengan harapan agar ular-ular air mabok dan tidak menggangu jasad Qi Yuan. Kemudian hari mereka membuat makan yang dibungkus dengan daun berbentuk sudut seperti tanduk kerbau/sapi ---“bacang” juga dengan harapan tidak termakan oleh ular air.
Kemudian hari, setiap tahun pada hari ke-5 bulan ke-5 imlek, rakyat disana melakukan upacara yang sama menebar bacang dan berperahu, dan yang akhirnya berkembang menjadi tradisi lomba Peruhu Naga seperti sekarang. Dan sajian makanan menjadi ”Bacang & Kuecang”.
Selain itu ada legenda lain, antara lain seperti berikut :
Cao’e (曹娥) mencari jasad ayahnya : Alkisah pada era Han Timur (tahun 25 M – 220M), Cao'e seorang putri 14 tahun, suatu hari ayahnya yang sudah duda tenggelam di sungai. Cao’e coba mencari jasad ayahnya sambil menangis sepanjang tepian suangai selama 17 hari, namun tidak menemukannya. Pada bulan 5 hari ke 1 Cao’e nekat terjun ke air sungai untuk coba mencari jasad ayahnya, orang-orang desa setempat ber-duyung coba menyelematkannya, tapi baru pada hari ke-5 bulan ke 5 aru dapat menemukan jasad Cao’e yang memeluk jasaad sang ayah. Orang-orang desa kemudian mengadakan upacara sembayangan dan menguburkannya. Menghormati seorang anak yang berbakti kepada orang tuanya.
Kisah Ular Putih : Cerita ini mungkin sudah tidak asing bagi kita setelah adanya tayangan serial di TV beberapa tahun yang lewat. Kisah percintaan pemuda dengan siluman ular putih yang tulus dan romantis ini, pada hari Peh Cun ketika disajikan arak putih yang telah tercampur dengan Xionghuang, dan nyaris kembali ke wujud ular mungkin telah banyak diketahui dari serial TV, dan kisah pagoda yang yang diterpa banjir telah menjadi kisah yang terus beredar sebagai cerita rakyat hingga kini. Dari kisah ini maka ada tradisi pada hari Peh Cun ada memercikan arak xionghuang hingga kini.
Ada macam-macam legenda tentang Peh Cun. Tapi yang paling populer adalah tentang kisah epos Qi Yuan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H