Mohon tunggu...
maken awalun
maken awalun Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Ratna, Argumen Setan, dan Jalan Menuju Kebenaran

11 Oktober 2018   19:08 Diperbarui: 11 Oktober 2018   19:16 893
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Masalah ujaran kebohongan yang digelindingkan oleh Ratna Sarumpaet (RS) membelah seantero Indonesia Raya. Semua elemen masyarakat memperbincangkan dengan hangat masalah ini sebagai bagian dari keterbukaan dan kebebasan menyampaikan pendapat di alam demokrasi Indonesia. Argumen pro dan kontra pun bermunculan menghiasi diskursus masyarakat, mulai dari tingkat akar rumput sampai para wakil rakyat. 

Tidak pelak lagi muncul kecaman dan hujatan yang mengarah pada pribadi RS (dan kelompok tertentu). Sebaliknya, RS sendiri memilih diam dan membiarkan kelompok tertentu bekerja keras melakukan pembelaan diri di depan publik melalui berbagai media.

 Akan tetapi, menurut saya, tanggapan emosional terhadap masalah ini kurang memberikan edukasi politik dan diskursus public yang signifikan di dalam demokrasi Indonesia modern. Aspek yang terlupakan dari peristiwa itu ialah hilangnya telaah ilmiah terhadap argumentasi RS ketika menjelaskan alasan dirinya melakukan pembohongan. 

Dari semua pengakuan RS, salah satu butir pengakuan yang menarik ialah pernyataannya bahwa ada "setan" yang "merasuki" dirinya sehingga melakukan pembohongan. Dalam keterangan Pers di kediamannya di Kawasan Kampung Melayu Kecil V, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (3/10), RS menyatakan demikian: 

 "Jadi tidak ada penganiayaan, itu hanya cerita khayal entah diberikan oleh setan mana ke saya, dan berkembang seperti itu" (huruf tebal dari penulis)

Pernyataan RS mengenai "setan" ini mengingatkan kita akan filsuf prancis, Ren Descartes (1629-1649) dengan argumentasinya mengenai "setan jahat". Untuk membahas argumentasi itu kita perlu melihat konteks lahirnya filsafat Descartes.

RS dan Subyektivitas yang Terkoyak

Descartes sendiri merupakan Bapak rasionalisme modern karena ia membangun system filsafatnya atas dasar subyektivitas atau kesadaran diri. Terobosan ini dilakukannya dengan memutuskan hubungan dengan otoritas tradisi dan teologi yang diemban oleh filsafat Abad Pertengahan, bahkan ia mengkritik secara mendasar system-sistem filsafat yang diajarkan oleh para gurunya. 

Prinsip tertinggi dalam fiosafat Descartes adalah rasio atau kesadaran atau pemikiran. Karena itu tak heran apabila filsuf Jerman, G.F.W. Hegel (1770-1831) mengatakan bahwa melalui Descarter kita menyaksikan kelahiran kembali filsafat Barat dan melaluinya pula kita memasuki sebuah rumah filsafat baru yang dibangun atas dasar pemikiran atau rasio.

 Di balik pembangunan kembali rumah filsafat yang baru itu, Descartes sebenarnya ingin menggapai sebuah system filsafat yang absolut atau yang tak dapat diragukan lagi. 

Berdasarkan pengalamannya, Descartes menemukan bahwa semua yang dipelajarinya sejak di bangku pendidikan sangat mengecewakan. Dalam bukunya yang berjudul Discourse on the Method (1637), Descartes mengungkapkan bahwa sumber kekecewaan itu adalah ilmu pengetahuan itu sendiri. Berbagai disiplin ilmu pengetahuan, termasuk filsafat, memiliki ahli-ahli terkemuka, namun tak satupun yang dapat memberikan kepastian mengenai apa yang diajarkan. 

Semua itu meninggakan keragukan dalam diri Descartes, sehingga ia menulis demikian:"Saya menemukan diri saya sendiri dipenuhi sedemikian banyak keraguan dan kekeliruan sehingga saya berpikir bahwa saya tidak memperoleh apapun dalam usaha saya untuk menjadi orang terdidik, kecuali hanya meningkatkan pengakuan atas ketidaktahuan saya." 

Descartes sendiri kemudian melimpahkan kesalah itu kepada filsafat. Mengapa filsafat yang harus salah apabila tidak ada kepastian dalam matematika, misalnya? Ia menjawab bahwa karena filsafat adalah induk dari semua ilmu pengetahuan. Dengan menggunakan analogi pohon, Descartes mengatakan:

"Dengan demikian, keseluruhan filsafat itu seperti sebuah pohon. Akarnya adalah metafisika, dahannya fisika, dan ranting yang muncul dari dahan itu adalah semua ilmu lainnya, yang dapat direduksi kepada tiga ilmu utama, yakni kedokteran, mekanika dan moral atau etika." 

Bagi Descartes, kelemahan itu harus diatasi dari dalam diri filsafat itu sendiri sebagai sumber ilmu pengetahuan sehingga bangunan baru ilmu pengetahuan dapat membawa kepastian bagi semua orang.

Dalam kasus RS, kita bisa melihat sebuah pemikiran yang hamper parallel. Kita semua tahu bahwa RS bukanlah pemain baru dalam pentas public Indonesia Raya. Ia dikenal luas sebagai aktris, seniman dan aktivis. Kehandalan RS terletak pada subyektivitas atau kedasaran-diri yang menolak berafiliasi dengan kejahatan apapun -- social, ekonomi, politik, agama -- yang mendevaluasi kemanusiaan dan keberadaban manusia dan public Indonesia. 

Sebagai wanita modern, RS tampil di ruang public melawan otoritas Orde Baru yang lalim. Ia memiliki segudang pengalaman ketidakpercayaan terhadap produk ilmu dan filsafat yang diajarkan oleh otoritarian di masa lampau. Dengan subyektivitas atau kesadaran penuh, RS bersama rekan-rekan aktivis mencoba membangun sebuah tatanan berpikir yang pasti. 

Dalam keragu-raguan, RS mencoba malawan semua produk pengetahuan dan filsafat yang diinjeksikan ke dalam otak masyarakat dan membangun sebuah rumah filsafat (pandangan hidup, cara hidup) yang baru dan pasti bagi semua orang.

Apakah RS berhasil membangun rumah filsafat yang baru sebagaimana diidamkannya? Ternyata tidak. RS malah menyalahkan "setan" sebagai penyebab turur wicaranya. RS akhirnya sadar dan mengakui kebenaran perkataan Descartes bahwa orang banyak sering dalam berpikir dan menilai sesuatu. Pikiran atau kesadaran tidak selamanya bisa membawa kita kepada kepastian dan kebenaran. 

Tidak cukup bahwa RS dan kelompok afiliasinya memiliki subyektivitas atau kesadaran diri. Yang paling penting ialah apakah pikiran atau kesadaran itu dapat diwujudnyatakan secara tepat dalam hidup bersama. Di sinilah letak keretakan subyektivitas RS dan kelompok afiliasinya. Rumah filsafat baru bagi Indonesia Raya sudah roboh berantakan sebelum berhasil dibangun sebagai rumah bersama.

RS dan Argumentasi Setan (Cerdas yang Jahat)

Sekarang ketika rumah filsafat yang baru itu roboh berantakan oleh "pencipta hoax terbaik", RS kemudian menggunakan argumentasi "setan" untuk pembenaran tutur wicaranya. Descartes menjelaskan bahwa di balik segala keraguannya yang mendasar terhadap bangunan ilmu pengetahuan dan filsafat, ia turut meragukan eksistensi dunia (apakah dunia ini ada). 

Ia juga meragukan bahwa ia memiliki tangan (apakah ia memiliki anggota tubuh). Ia juga meragukan semua yang diketahuinya selama ini melalui ilmu pengetahuan (apakah yang diketahui selama ini sungguh-sungguh ada atau hanya sebuah mimpi). 

Dalam keraguan, Descartes menemukan bahwa apa yang selama ini diketahuinya adalah hasil tipuan dari setan-setan cerdas yang jahat (genius malignus) atau setan penipu yang licik. Argumentasi Descartes ialah bahwa dalam pemikiran kita ada setan jahat yang cerdas atau licik yang menipu pikiran kita sehingga dalam melakukan penalaran atas masalah matematika yang paling jelas dan terpilah-pilah sekali pun kita sering salah. Sebagai contoh, ketika mengerjakan soal matematika kita tahu dalam pikiran bahwa 5x5=25. Namun, ketika kita mengerjakan soal ujian tiba-tiba kita salah menjawab. Kesalahan ini merupakan hasil kinerja dari setan cerdas yang jahat atau licik.

Argumentasi RS mengenai pengaruh kinerja "setan" dalam memjadikan dirnya sebagai "pencipta hoax terbaik" sebenarnya dapat diuraikannya sangat filosofis kepada publik. Namun sayang sekali RS tidak menjelaskannya lebih lanjut. Ia menunduk di bawah pengaruh dan kekuasaan "setan cerdas yang jahat" seraya menyalahkan diri dan meminta maaf kepada semua pihak yang dirugikan oleh perbuatannya. 

Ini bukan sebuah tindakan cerdas. Ini sebuah keretakan subyektivitas RS dan kelompoknya dalam membangun rumah filsafat yang baru dan rumah peradaban yang baru, aman dan tenang bagi Indonesia Raya. RS sebenarnya tahu cengkraman kekuasaan setan cerdas yang licik dan ganas itu, bahkan ia mampu keluar berkat subyektivitas atau kesadaran dirinya. Namun, hal itu tidak dilakukannya. Sebaliknya, ia menundukkan subyektivitasnya kepada setan cerdas yang ganas untuk terus menancapkan kuku kekuasaannya atas RS sendiri dan publik Indonesia Raya.

Jalan Menuju Kebenaran dan Bebas Hoax

Perbuatan RS bagaikan sebuah "tamparan keras" menyadarkan publik Indonesia. Dalam keretakan subyektivitasnya, RS menjadi sadar bahwa rumah filsafat Pancasila tidak mentolerir tutur wicara dan tutur wacana penuh kebohongan. 

Dalam rumah filsafat Pancasila, subyektivitas putra-putri bangsa yang terus dibangun secara kritis dan bermartabat menuntut bahwa bangsa Indonesia harus menemukan jalan menuju kebenaran - apapun itu definisi kebenaran.

Dalam karyanya Rules for the Direction of the Mind, Descartes mengajukan metode filsafat untuk menemukan kebenaran. Metode dalam pemahaman Descartes adalah seperangkat aturan yang dapat diterapkan dengan mudah agar orang tidak salah menganggap apa yang salah itu sebagai benar atau memperluas kesalahan pemikiran tanpa hasil. 

Melalui metode filsafatnya, Descartes ingin agar orang perlahan-lahan dan konsisten meningkatkan pengetahuan hingga tiba pada pengetahuan yang benar mengenai segala sesuatu dalam kapasitasnya.

DalamDiscourse on the Method, Descartes menunjuk 4 prinsip metodis untuk mendapatkan kebenaran. Keempat metode menuju kebenaran itu adalah:

  1. Jangan pernah menerima sesuatu sebagai benar jika saya tidak memiliki pengetahuan yang sangat jelas mengenai kebenarannya, yaitu dengan sangat hati-hati menghindari kesimpulan-kesimpulan dan prasangka-prasangka tersembunyi dan tidak menyertakan apapun dalam keputusan saya, kecuali apa yang tampak secara jelas dan terpilah-pilah dalam pikiran saya, sehingga tidak ada peluang bagi saya untuk meragukannya.
  2. Membagi setiap kesulitan yang saya uji coba ke dalam sebanyak mungkin bagian.
  3. Mengarahkan pikiran saya dalam cara yang tertib dan teratur, dengan bertolak dari yang paling sederhana dan obyek yang paling mudah untuk diketahui sehingga dapat menanjak sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah, menuju pengetahuan mengena hal yang paling kompleks
  4. Selalu melakukam pencacahan sedemikian lengkap, dan pemeriksaan ulang sedemikian komprehensif, sehingga saya memastikan bahwa sama sekali tidak ada yang terabaikan.

Menurut hemat saya, keempat metode Kartesian ini dapat menjadi pegangan bagi setiap subyek yang sadar untuk memajukan peradaban baru dalam rumah filsafat Pancasila di bumi Indonesia. Dengan berpijak pada subyektivitas sebagai kemampuan tertinggi, setiap subyek yang sadar akan mampu menangkal hoax. Tetapi lebih dari itu, keempat metode ini membantu setiap individu untuk semakin menjadi warga negara yang beradab dan tercerahkan dalam menangkal serangan hoax yang berkeliaran di ruang public. 

Penutup

Descartes menemukan bahwa satu-satunya hal yang tak bisa diragukan dalam proses meragukan ialah saya yang berpikir. Terkenal prinsip filsafatnya yang berbunyi: "Saya berpikir maka saya ada." (Cogito ergo sum). Subyektivitas subyek menjadi dasar utama untuk mencari dan menemukan kebenaran. Walaupun prinsip ini kemudian masih bisa diperdebatkan oleh kaum empirisisme, namun sekurang-kurangnya Descartes membantu kita untuk membedah kasus RS secara rasional dan bukan emosional yang diikuti oleh perdebatan kusir ala kaum Sofis Yunani dengan saling mempersalahkan secara tidak dewasa. 

Dalam kasus RS, publik disadarkan tentang pentingnya kemampuan subyektivitas atau kesadaran diri dalam menyimak gejala dan fakta yang menghampiri kita. Kemampuan subyektivitas untuk meragukan menjadi metode untuk menguji kesalahan dan kebenaran sebuah kejadian atau peristiwa sehingga kita tidak jatuh pada ketidakdewasaan berpikir sebagaimana dialami oleh sebagian orang. 

RS sekarang menjadi pesakitan. Namun sebuah kebenaran yang tidak bisa diindahkan ialah KEJUJURANNYA UNTUK MENGAKUI ADANYA SETAN yang memampukan dia untuk melakukan hoax terbaik. RS sebenarnya mengingatkan aparat penegak hukum dan publik Indonesia Raya bahwa setan cerdas yang jahat masih dan akan senantiasa berkeliaran mengaum-ngaum mencari mangsanya. 

Apa, siapa, di mana dan bagaimanakah setan itu? Inilah tugas aparat penegak hukum dan seluruh masyarakat untuk mengawasi dan menangkalnya demi ketenteraman bangsa dan negara.

Sebagai wargana negara yang cerdas, setiap putra dan putri Indonesia sudah saatnya bangun bersama dari "tidur dogmatis yang panjang" untuk senantiasa menguji apa yang dilihat dan didengar, apa yang tampak dan apa yang nyata, apa yang keliru dan apa yang salah, melalui kemampuan rasional. 

Aspek moralitas kita juga akhirnya pun diuji dalam tutur wacana dan tutur wicara. Kita tidak harus terus mencela RS dengan argumentasi kita yang tidak rasional. Apakah kita lebih baik bila menghukum orang lain dengan perkataan yang kurang sopan dan kasar? 

Sebaliknya juga, RS boleh saja mengatakan bahwa ia bertanggungjawab penuh atas hoax terbaik yang dibuatnya. Namun, ia tidak dapat menyangkal perkataan kaum bijak: "Aku melihat sebuah penyebab yang lebih baik dan aku mengakuinya, namun aku memilih mengikuti yang paling buruk" (video meliora proboque deteriora sequor).

 

Manila, 11 Oktober 2018

Departemen Filsafat Ateneo de Manila University

PCF

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun