Mohon tunggu...
maken awalun
maken awalun Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Ratna, Argumen Setan, dan Jalan Menuju Kebenaran

11 Oktober 2018   19:08 Diperbarui: 11 Oktober 2018   19:16 893
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Penutup

Descartes menemukan bahwa satu-satunya hal yang tak bisa diragukan dalam proses meragukan ialah saya yang berpikir. Terkenal prinsip filsafatnya yang berbunyi: "Saya berpikir maka saya ada." (Cogito ergo sum). Subyektivitas subyek menjadi dasar utama untuk mencari dan menemukan kebenaran. Walaupun prinsip ini kemudian masih bisa diperdebatkan oleh kaum empirisisme, namun sekurang-kurangnya Descartes membantu kita untuk membedah kasus RS secara rasional dan bukan emosional yang diikuti oleh perdebatan kusir ala kaum Sofis Yunani dengan saling mempersalahkan secara tidak dewasa. 

Dalam kasus RS, publik disadarkan tentang pentingnya kemampuan subyektivitas atau kesadaran diri dalam menyimak gejala dan fakta yang menghampiri kita. Kemampuan subyektivitas untuk meragukan menjadi metode untuk menguji kesalahan dan kebenaran sebuah kejadian atau peristiwa sehingga kita tidak jatuh pada ketidakdewasaan berpikir sebagaimana dialami oleh sebagian orang. 

RS sekarang menjadi pesakitan. Namun sebuah kebenaran yang tidak bisa diindahkan ialah KEJUJURANNYA UNTUK MENGAKUI ADANYA SETAN yang memampukan dia untuk melakukan hoax terbaik. RS sebenarnya mengingatkan aparat penegak hukum dan publik Indonesia Raya bahwa setan cerdas yang jahat masih dan akan senantiasa berkeliaran mengaum-ngaum mencari mangsanya. 

Apa, siapa, di mana dan bagaimanakah setan itu? Inilah tugas aparat penegak hukum dan seluruh masyarakat untuk mengawasi dan menangkalnya demi ketenteraman bangsa dan negara.

Sebagai wargana negara yang cerdas, setiap putra dan putri Indonesia sudah saatnya bangun bersama dari "tidur dogmatis yang panjang" untuk senantiasa menguji apa yang dilihat dan didengar, apa yang tampak dan apa yang nyata, apa yang keliru dan apa yang salah, melalui kemampuan rasional. 

Aspek moralitas kita juga akhirnya pun diuji dalam tutur wacana dan tutur wicara. Kita tidak harus terus mencela RS dengan argumentasi kita yang tidak rasional. Apakah kita lebih baik bila menghukum orang lain dengan perkataan yang kurang sopan dan kasar? 

Sebaliknya juga, RS boleh saja mengatakan bahwa ia bertanggungjawab penuh atas hoax terbaik yang dibuatnya. Namun, ia tidak dapat menyangkal perkataan kaum bijak: "Aku melihat sebuah penyebab yang lebih baik dan aku mengakuinya, namun aku memilih mengikuti yang paling buruk" (video meliora proboque deteriora sequor).

 

Manila, 11 Oktober 2018

Departemen Filsafat Ateneo de Manila University

PCF

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun