Mohon tunggu...
maken awalun
maken awalun Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Ontologi Diri dan Kesetaraan Gender

23 Mei 2018   20:54 Diperbarui: 23 Mei 2018   21:11 1330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock


Dewasa ini wacana tentang kesetaraan gender - konstruksi sosial mengenai seseorang sebagai laki-laki atau perempuan, telah menjadi salah satu pokok pembicaraan publik dan upaya tanpa lelah dari berbagai pihak, seperti pemerintah, kelompok swadaya masyarakat, aktivis, politisi, dan sebagainya. Melalui berbagai cara dan bentuk, kelompok-kelompok tersebut berupaya mewacanakan terus menerus dan mempromosikan kesetaraan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan. Di belahan negara lain, tuntutan kesetaraan itu mencapai level yang lebih intens bahkan kontroversial dengan memasukkan mereka yang memiliki orientasi seksual yang berbeda seperti kaum gay dan lesbian.

Namun, menurut saya, sebagian besar wacana dan upaya tersebut hanya berkisar pada masalah identitas seksual yang melekat pada diri seseorang. Kelemahan utama pendekatan ini terletak pada ketidakmampuan untuk melihat substratum umum atau prinsip pemersatu yang bisa menjelaskan betapa pentingnya kesetaraan gender bagi masyarakat. 

Dalam tulisan ini saya menawarkan ontologi diri (ontology of the self)sebagai landasan umum untuk sebuah kesetaraan gender menurut perspektif filsuf dan feminis kontemporer Charlotte Witt. Gagasan sentral yang ingin dipertahankan dalam tulisan ini adalah kesetaraan merupakan sebuah keniscayaan terberi yang harus dibangun bukan pada identitas seksual. 

Sebaliknya, kesetaraan gender harus dibangun atas dasar ontologi diri sebagai manifestasi personal yang mampu merefleksikan diri, memahami dirinya sebagai diri sebagai makluk relasional dan bermartabat. Bagi saya, pandangan metafisik ini melampaui kategori fisik-biologis yang sering digunakan dalam wacana tentang kesetaraan gender. 

Untuk tujuan tersebut, pertama-tama, saya akan menguraikan sekilas mengenai profil diri sang filsuf. Kedua, menguraikan pandangan Witt tentang ontologi diri. Akhirnya, ketiga, saya menerapkan gagasan metafisik Witt tentang ontologi diri bagi kesetaraan gender.

Sekilas tentang Charlotte Witt

Charlotte Witt lahir pada tanggal 27 September 1952. Ia adalah seorang professor filsafat dan humaniora di Universitas New Hampshire. Ia memusatkan penelitiannya secara khusus pada filsafat Yunani Kuno, metafisika dan teori feminisme. Karya-karyanya membahas tentang filsafat dan feminism sebagaimana tampak dalam The Metaphysic of Gender dan Feminist Metaphysics. Dalam kedua karya ini, Witt membahas pemikiran filsafat Aristoteles dalam hubungan dengan filsafat feminisme. Menurutnya, ketertarikan filsafat feminisme terhadap ajaran-ajaran filsafat telah menjadi sebuah proses sejarah mengenai justifikasi-diri, yaitu pembenaran mengapa filsafat feminisme harus ada. Proses ini hampir identik dengan proses lahirnya aliran-aliran filsafat lain. 

Keguguhannya dalam memperjuangkan lahirnya filsafat feminisme menghasilkan karya berjudul A mind of One's Own: Feminist Essays on Reason and Objectivity (1993). Dalam karya ini, Witt menyebut dirinya sebagai "pelanggan paradigma-paradigma tradisi filsafat". Walaupun demikian, Witt menjelaskan bahwa semua tradisi pemikiran itu kini berada di bawah "serangan kaum feminis".

Buku filsafat feminisme yang menarik perhatian banyak tokoh feminis dan filsuf kontemporer dipublikasikan tahun 2011 dengan judul The Metaphysics of Gender. Dalam karya ini, Witt menguraikan tentang "person, individu sosial dan diri" sebagai tiga kategori metafisika tentang gender (Charlotte Witt, The Metaphysics of Gender, Oxford: Oxford University Press, 2011, 107-108 -- selanjutnya disingkat MG).

Pertanyaan penting dari karya ini ialah "apa yang menjadi substratum umum atau apa yang menyatukan ketiga kategori metafisis di atas -- person, individu sosial dan diri -- sehingga secara ontologis menjadi sebuah entitas yang baru?" Untuk menjawab pertanyaan ini Witt mendasarkan gagasan filsafat feminismenya pada paradigma filsafat Aristoteles mengenai essensialisme, sehingga pandangannya sering disebut sebagai "esensialisme gender" (gender essentialism). 

Esensialisme Gender

Pertanyaan pertama yang harus dijawab ialah apakah itu esensi? Dalam filsafat, istilah esensi (essence) merujuk pada hal yang mendasar, apa yang riil, hakikat sebuah benda atau ciri khas khusus dari seorang individu. Ciri khas hakiki itu harus ada secara fundamental karena tanpa itu sesuatu atau sesorang akan kehilangan identitasnya yang khas. Aristoteles dalam metafisikanya menghubungkan makna esensi secara khusus dengan definisi-definisi yang kita hasilkan secara rasional. Menurutnya, definisi-definisi menentukan hakikat distinktif apa saja yang harus ada dalam jenis-jenis definsi yang kita hasilkan seacra rasional. Definisi-definisi itu pada saat yang sama menggarisbawahi identitas dari jenis-jenis tersebut dan menjelaskan keharusannya.

Sebagai seorang feminis, Charlotte Witt menggunakan paham esensialisme di atas untuk memajukan filsafat feminismenya. Dalam karyanya The Metaphysics of Gender, Witt membedakan antara pandangan "esensialisme mengenai gender" dan pandangan "esensialisme mengenai gender dalam hubungan dengan individu-individu dan pengalaman hidup mereka". 

Pembedaan ini menghasilkan apa yang disebutnya sebagai "kesatuan esensialisme" (uniessentialism). Istilah ini merujuk pada paham filsafat feminisme bahwa sebuah gender individual secara sosial adalah "tidak esensial (unessential) terhadap individu tersebut. Di sini kita bisa melihat bahwa paham ini mengambil model metafisika Aristotelian mengenai bentuk (forma) atau esensi (essence) sebagai prinsip kesatuan atau hakikat yang harus ada dari seorang individu. 

Bagi Witt, gender individual merupakan sebuah peran sosial atau lebih tepat merupakan konstruksi norma masyarakat. Konstruksi ini bukanlah bagian kesatuan hakiki dari seorang individu. Sebaliknya, sebuah gender individual memberikan kepada individu sebuah prinsip kesatuan normatif, yaitu sebuah prinsip yang memerintahkan dan mengatur semua peran sosial dari individu-individu yang lain. Pertanyaan penting dari gender uniessentialisme dalam konteks ini adalah individu-individu manakah yang menjadi permasalah gender, apakah individu sebagai makluk hidup, atau sebagai person, atau sebagai makluk sosial? 

Witt sendiri menyatakan bahwa gender essensialisme yang diperjuangkannya lebih tepat dipahami dalam hubungan dengan individu sebagai makluk sosial. Menurutnya, gender merupakan prinsip fundamental yang menciptakan dan mempersatukan semua peran sosial lain yang dimiliki manusia (bdk. Natalie Stoljar, "Book Review: Witt, Charlotte, The Metaphysics of Gender, Oxford: Oxford University Press, 2011, pp. 168"

Inilah alasan bagi Witt mengapa ia menyebut gender sebagai unsur esensial bagi identitas individu dan semua hal yang lain. Maka, tugas yang tepat bagi feminisme adalah bukan menghilangkan atau menghapus peran gender, atau sekedar memberikan kepada kaum perempuan lebih banyak pilihan, melainkan feminisme harus "memikirkan kembali" peranan gender sehingga peran-peran itu tidak lagi menindas kaum perempuan. 

Ontologi Diri

Witt memulai diskusi tentang ontologi diri dengan mendefinisikan makna dan karakteristik diri. Dia menyatakan bahwa diri adalah "keberadaan yang mampu merefleksikan diri, memahami dirinya sebagai sebuah diri." (MG 117). Definisi ini tampaknya menunjukkan dilema ontologis: di satu sisi, diri dapat pahami sebagai person, tetapi, di sisi lain, diri dapat mengerti sebagai individu sosial. Witt memecahkan dilema ontologis ini dengan menghubungkan manusia sebagai organisme, person, dan individu sosial untuk menemukan ciri dasar dari hubungan ontologis konstitutif, yaitu sifat berbagi antara makhluk yang dibentuk dan yang dibentuk (bdk. MG 118-119).

Witt mengatakan bahwa ada perbedaan antara individu sosial dan person sebagai organisme manusia. Individu sosial pada dasarnya adalah pemangku posisi sosial. Sementara itu, person dan organisme manusia hanya bisa menjadi seorang pemangku sosial secara tidak langsung dan aksidental (MG 119). Selain itu, individu sosial dan person juga memiliki hubungan yang berbeda dalam hal identitas praktis. Witt menjelaskan bahwa "individu sosial pada dasarnya ditentukan oleh posisi sosialnya, tetapi person-nya tidak." (MG 120). 

Person selalu memiliki kemampuan untuk melakukan refleksi diri, menerima atau menolak peran sosialnya. Pribadi itu tidak pernah identik dengan peran sosial seperti ibu, anak perempuan, atau profesor. Person dapat memperoleh status sosial karena dia adalah "pemangku sosial (social occupier) tetapi organisme manusia dan individu social mendapatkannya secara aksidental. Dan akhirnya, organisme manusia memiliki ciri khas biologis tetentu yang bersifat esensial tetapi person dan individu sosial memili ciri khas hanya secara aksidental (bdk. MG 120-121).

Witt menegaskan bahwa gender menjadi nyata bukan melalui "pernyataan diri (atau person)" melainkan "kita adalah diri yang digenderd-kan karena individu sosial pada dasarnya digenderkan dan diri memahami dirinya sensiri melalui peran-peran sosialnya, yaitu, dalam kaitannya dengan individu sosial." (MG 121). 

Relevansi untuk Kesetaraan Gender

Witt menunjukkan bahwa pandangan esensialisme gender pertama-tama merujuk pada struktur sosial yang bersifat normatif. Norma-norma social tersebut pada dasarnya berbeda dari bentuk-bentuk normatif lain, termasuk norma moral. Norma-norma sosial itu berisikan harapan-harapan, tuntutan-tuntutan dan kelonggaran-kelonggaran karena pelbagai peran social yang kita miliki. 

Kita menanggapi dan dievaluasi berdasarkan norma-norma social tersebut, tetapi juga pada saat yang sama kita menerima norma-norma tersebut bisa secara sadar tetapi juga secara tidak sadar. Misalanya, peran saya sebagai seorang saudara perempuan menuntut saya untuk melidungi saudara laki-laki saya dari segala mara bahaya. Atau sebagai peran sebagai ibu menuntut saya untuk menjaga dan merawat anak-anak dan melayani suami.

Akan tetapi menurut Witt, apa yang mempersatukan seluruh peran itu adalah gender saya sendiri. Gender dalam konteks ini dapat dikatakan sebagai prasyarat yang mengkondisikan tindakan praktis saya dalam arti harapan-harapan terhadap gender and tututan-tuntutannya sering membuat ketidakmungkinan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban dari berbagai peran social secara tepat. Maka upaya menjadikan menggenderkan peran sosial harus ditolak secara mendasar. (bdk. Natalie Stoljar, "Book Review: Witt, Charlotte, The Metaphysics of Gender, Oxford: Oxford University Press, 2011, pp. 168"

Witt mengatakan bahwa gender bersifat "unessential" bagi individu sosial. Diri adalah keberadaan yang mampu melakukan refleksi diri, dapat merespon dan dapat dievaluasi di bawah seperangkat norma-norma peran sosial karena diri memiliki identitas praktis tertentu. Namun, "... kapasitas untuk refleksi diri tidak melepaskan diri dari elemen asertif dari situasi normatifnya." Ketegangan ini dapat dilihat sebagai dimensi politik dari kehidupan pribadi di dalam masyarakat (MG 121-122).

Pandangan Witt di atas menginspirasi kita untuk melihat bahwa laki-laki atau perempuan adalah diri yang bersifat refleksif dan diri yang bersifat relasional. Sebagai diri yang bersifat refleksif, seorang laki-laki atau perempuan memiliki kemampuan untuk memikirkan dan memahami dirinya sendiri maupun realitas eksternal. Dengan kemampuan ini, ia dapat menerima dan menolak apa yang diberikan atau dipaksakan kepadanya oleh realitas sosial-eksternal. Sebagai makhluk relasional, seorang laki-laki atau perempuan hadir sebagai bagian dari masyarakat dengan berbagai peran sosialnya. 

Melalui peran sosialnya, laki-laki dan perempuan sering diterima, ditolak, dan dievaluasi. Namun, peran sosial ini tidak dapat menggantikan jati dirinya atau esensinya sebagai laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan tetap menjadi person dengan kemampuan refleksi dan hubungan dengan masyarakat. Penekanan Witt ini dapat dilihat sebagai kritik metafisis terhadap budaya masyarakat saat ini yang sering lebih mengedepankan peran social seseorang dalam masyarakat dan tidak melihat esensi dirinya sebagai manusia.

Saya percaya bahwa kesetaraan gender akan tercapai ketika ada apresiasi terhadap setiap individu, laki-laki dan perempuan, sebagai diri yang mampu melakukan refleksi diri dan diri yang menjalin hubungan social dengan sesama. Peran sosial seseorang menunjukkan bahwa laki-laki dan peremuan pada dasarnya adalah sebagai manusia yang bermartabat.

Manila, 23 Mei 2018

Departemen Filsafat Ateneo de Manila University, Filipina

PCF

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun