Cinta Diri Perempuan: Cinta yang Menyelamatkan
Kesadaran akan "penindasan" yang disebutkan di atas membangkitkan nalar filsafat Irigaray untuk mencari dan menemukan kemungkinan untuk menyatakan kebebasan, determinasi seksual dan keunikan perempuan. Untuk mendapatkan pemikiran dan etika baru, Irigaray menganjurkan perempuan untuk mulai mencintai dirinya sendiri. Karena, bagi Irigaray, seorang perempuan tidak bisa mencintai yang lain kecuali mulai dengan mencintai dirinya sendiri.
 Teori etik Irigaray tentang cinta wanita terhadap diri memiliki dua orientasi.Â
Pertama, demi perempuan itu sendiri. Irigaray menyatakan bahwa kaum perempuan harus menetapkan nilai-nilai baru bagi mereka sendiri berdasarkan kapasitas kreatif mereka sehingga tidak ada monopoli pikiran dan nilai-nilai oleh satu jenis kelamin. Perempuan dapat memperoleh nilai-nilai etis dengan (1) tidak ada lagi praktek fungsi keibuan dan paternal, (2) menghilangkan paralelisme cinta dan erotisme, (3) adanya entitas sosial untuk menciptakan nilai-nilai baru dari identitas perempuan sendiri (ESD 67-68).
Semua nilai etis ini, kata Irigaray, harus dilakukan untuk menunjukkan bahwa perempuan dan tubuhnya bukan merupakan ciptaan imajiner dan simbolik, sebaliknya merupakan subyek yang independen, bebas dan memiliki martabat sebagai manusia. Dalam pengertian ini, cinta-diri wanita adalah kebebasan yang berorientasi pada cinta wanita itu sendiri. Cinta diri semacam itu bukanlah imanensi, tetapi bukti transendensi perempuan dari pengalaman cinta yang menderita yang dialami dalam sejarah patriarki dan tradisi.
Kedua, kemampuan perempuan untuk menafsirkan kembali dan memutar ulang peran femininitas manusia dalam peran feminin ilahi. Dalam konteks ini, Irigaray membuka kemungkinan untuk menafsirkan Tuhan sebagai sumber kualitas bagi cinta diri perempuan, sebuah sumber kualitas cinta yang tidak bersifat materialistik tetapi transendental. Cinta-diri seperti itu, bagi Irigaray, adalah bentuk kelembutan yang membuka "ke arah yang lain tanpa kehilangan diri atau yang lain di dalam jurang tanpa dasar." (ESD 69).
Dalam pengertian terakhir ini, saya tidak berpikir bahwa Irigaray bermaksud menjadikan Tuhan sebagai "tempat perlindungan" akhir bagi seorang wanita yang menderita dengan cinta pada diri sendiri. Sebaliknya, dengan mencari Tuhan sebagai sumber cinta, cinta perempuan terhadap diri sendiri akan mendapatkan otentisitasnya. Cinta-diri semacam itu didasarkan dan berasal dari sisi batin kaum perempuan.
Refleksi
Hari Kartini yang kita peringati hari ini (Sabtu, 21/4) mendorong kita untuk bangga memiliki perempuan-perempuan Indonesia yang tangguh dan berjasa bagi kemajuan bangsa dan negara kita. Kita bangga memiliki Kartini-Kartini modern yang bukan hanya mumpuni secara intelektual, psikologis, psikomotorik, tetapi juga yang memiliki "kerelaan berkorban yang besar" untuk kemajuan nusa dan bangsa Indonesia. Mereka menjadi terkenal dalam profesionalitas dan disiplin keilmuan sehingga mengharumkan nama bangsa Indonesia di dunia Internasional.
Namun pada saat yang sama kita juga mengingat masih begitu banyak perempuan Indonesia yang berjuang bahkan sampai menderita dalam berbagai bentuk, waktu dan tempat.Â
Irigaray, pada kenyataannya, telah mengkritik tradisi teologis yang hanya memberi sedikit perhatian kepada perempuan. Namun, Irigaray melupakan aspek rahmat ilahi yang sangat menyentuh wanita dan rahimnya. Menurut pandangan kekristenan, Tuhan dalam dimensi Kerahiman Ilahi-Nya, seperti wanita yang mengeluh kesakitan karena ditolak, dihina dan diinjak-injak seperti wanita duniawi. Namun, cinta diri dari "femininitas ilahi" inilah yang memmberikan kehidupan dan keselamatan kepada "yang lain", manusia dan dunia.Â