Mohon tunggu...
maken awalun
maken awalun Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dimensi Etis "Cinta Diri" Seorang Perempuan

21 April 2018   13:39 Diperbarui: 21 April 2018   14:01 662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Hendaknya diperhatikan bahwa istilah "etika" yang dimaksudkan Irigaray merujuk pada apa yang membentuk pikiran dan kebiasaan seseorang, atau tempat berada seseorang di dalam dunia. Irigaray sendiri melihat bahwa secara historis manusia selalu menjadi subyek wacana sosial. Sementara itu, aspek "maternal-feminin tetap berada di tempat dari tempat-'nya', dirampas dari tempat 'nya'." (ESD 10). Pengecualian ini adalah kondisi yang menyakitkan bagi perempuan karena kepribadian, identitas dan cinta mereka dianggap sebagai sesuatu yang lain dari kepribadian, identitas dan cinta kaum laki-laki. 

Cinta Diri Perempuan: Cinta yang Menyakitkan

Pertanyaan kita adalah apakah yang dimaksudkan dengan "cinta diri" dari kaum perempuan? Irigaray memulai diskusi dengan membandingkan cinta diri laki-laki dan cinta diri perempuan. 

 Irigaray mengatakan bahwa cinta diri laki-laki tidak datang dari dirinya sendiri, tetapi selalu bergantung pada cinta diri perempuan. Cinta diri kaum laki-laki itu dapat dipahami sebagai nostalgia (harapan, dambaan, kinginan) untuk mendapatkan identitas dari Rahim-ibu. Cinta diri laki-laki juga adalah nostalgia untuk mencari Tuhan melalui Bapa. 

Cinta diri laki-laki itu dapat dipahami sebagai cinta terhadap satu bagian dari diri sendiri. Dalam pengertian ini, laki-laki selalu mengharapkan cinta diri dari diri "yang lain" untuk membentuk dirinya sendiri. Oleh karena itu, Irigaray berpendapat, dalam cinta-diri laki-laki, "Saya (I) dan diri sendiri (self) sekaligus terpisah dan tidak terpisah." (ESD 62). 

 Cinta lelaki ini terhadap dirinya berbeda dengan cinta diri perempuan. Irigaray berargumen bahwa secara tradisional perempuan selalu melayani cinta diri dari kaum laki-laki. Tradisi seperti itu mengharapkan perempuan untuk melakukan altruisme, pengorbanan diri, dan kebajikan feminin di setiap waktu dan tempat. 

Paradigma tradisional ini memberikan harapan yang menyakitkan dan penilaian yang dipaksakan oleh laki-laki berdasarkan pada nilai-nilai maskulinitas mereka dan bukan pada nilai-nilai feminitas perempuan. Akibatnya, wanita selalu berada dalam bayang-bayang laki-laki. Selain itu, perempuan dirampas dari akar femininitasnya dan konsep dirinya yang otentik sebagai pribadi. 

 Selain itu, cinta diri yang menyakitkan wanita dapat dilihat juga dalam cara mengekspresikan cinta-diri. Irigaray menyatakan bahwa laki-laki mengekspresikan cinta-diri mereka berdasarkan apa yang berasal dari luar, yaitu melalui bagian fisik mereka dari tubuh. Sementara itu, perempuan mengekspresikan cinta diri mereka dari dalam, yaitu melalui buah rahim mereka sendiri, anak-anak yang ia kandung dan lahirkan. Cara ekspresi cinta diri yang berbeda kemudian membawa perempuan ke dalam situasi yang menyakitkan dalam sejarah manusia.  

 Seluruh sejarah memisahkan perempuan dari cinta dirinya sdiri endiri dengan menuntutnya untuk menempatkan cinta untuk keibuannya dan untuk suaminya. "Dia harus meninggalkan ibunya dan erotisme otomatisnya agar tidak mencintai dirinya lagi." (ESD 66). Akibatnya, seorang perempuan tidak dapat mencintai dirinya sendiri secara mandiri, tetapi mencintai melalui laki-laki dan perempuan yang lain yang bukan dirinya sendiri.

 Cinta lain yang menyakitkan wanita berhubungan dengan feminitas ilahi (divine femininity). Bagi Irigaray, tradisi tulisan suci kurang menguntungkan bagi perempuan, bahkan hubungan yang baik antara tokoh perempuan suci, seperti Maria dan Anna, Maria dan Elizabeth, kurang mendapat perhatian dari para penulis Kitab Suci. Fakta ini menunjukkan bahwa identitas, keunikan, hubungan, dan cinta-diri perempuan hanya dilihat sebagai nostalgia laki-laki, yang berasal dari hasrat laki-laki. 

 Irigaray berpendapat bahwa ketika kehadiran dan fungsi persalinan hanya dilihat sebagai mediator bagi kehadiran generasi anak laki-laki, maka fungsi ilahi ini tidak memiliki hubungan genealogis dengan perempuan, terutama antara ibu dan anak perempuan (bdk. ESD 68).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun