Mohon tunggu...
Akbar
Akbar Mohon Tunggu... Seniman - Mahasiswa

M Akbar adalah mahasiswa UNSRI (UNIVERSITAS SRIWIJAYA) yang mengambill Fakultas FISIP (Fakultas Ilmu Sosiologi Dan Politik) dan berjurusan di Hubungan Internasional.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Ketegangan Laut Cina Selatan: Dinamika Geopolitik dan Perebutan Dominasi Maritim

5 Desember 2024   16:48 Diperbarui: 5 Desember 2024   17:56 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Laut Cina Selatan merupakan salah satu wilayah paling strategis di dunia, terletak di tengah jalur pelayaran internasional yang menghubungkan Asia, Timur Tengah, Afrika, dan Eropa. Kawasan ini tidak hanya penting sebagai jalur perdagangan global, tetapi juga kaya akan sumber daya alam seperti minyak, gas, dan hasil laut. Namun, di balik potensinya, Laut Cina Selatan menjadi titik konflik yang melibatkan berbagai negara, baik negara-negara pesisir seperti Filipina, Vietnam, dan Malaysia, maupun kekuatan besar seperti Cina dan Amerika Serikat.

Konflik di kawasan ini dipicu oleh klaim tumpang tindih atas wilayah laut yang luas, dengan Cina yang mengklaim hampir seluruh Laut Cina Selatan melalui garis putus-putus yang dikenal sebagai Nine-Dash Line. Negara-negara lain seperti Filipina dan Vietnam menolak klaim ini dan berpendapat bahwa hal tersebut melanggar hukum internasional. Ketegangan ini semakin diperumit oleh pembangunan pulau-pulau buatan oleh Cina dan keterlibatan aktor eksternal yang memperkuat dinamika geopolitik kawasan.

Ketegangan di Laut Cina Selatan tidak hanya berdampak pada hubungan antarnegara, tetapi juga memengaruhi stabilitas ekonomi dan keamanan kawasan. Persaingan untuk menguasai wilayah ini menjadi cerminan dari pentingnya Laut Cina Selatan sebagai pusat geopolitik yang memengaruhi banyak pihak di dunia.

Latar Belakang Konflik

Laut Cina Selatan merupakan wilayah strategis yang menghubungkan Samudra Pasifik dan Hindia. Sejak awal abad ke-20, kawasan ini sudah menjadi pusat perhatian karena kekayaan sumber daya alam, seperti ikan, minyak, dan gas alam, serta pentingnya jalur pelayaran internasional. Persoalan muncul akibat klaim teritorial yang tumpang tindih, terutama antara Cina dan negara-negara ASEAN seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei. Klaim ini diperparah dengan pembangunan pulau buatan oleh Cina, yang dilengkapi fasilitas militer, sehingga memicu reaksi keras dari negara-negara lain dan memperburuk ketegangan di kawasan. Ketegangan di Laut Cina Selatan sudah berlangsung selama beberapa dekade. Pada tahun 1947, Cina pertama kali mengajukan klaim atas sebagian besar Laut Cina Selatan melalui peta yang menunjukkan Nine-Dash Line. Klaim ini mencakup hampir 90% wilayah laut tersebut, termasuk Kepulauan Paracel dan Spratly yang juga diklaim oleh negara-negara lain.

Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei, yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan, menganggap klaim Cina tidak sah dan bertentangan dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea atau UNCLOS). Pada 2016, Filipina membawa kasus ini ke Mahkamah Arbitrase Internasional dan memenangkan keputusan yang menyatakan bahwa klaim Nine-Dash Line Cina tidak memiliki dasar hukum. Namun, Cina menolak keputusan tersebut dan terus memperkuat posisinya di wilayah tersebut dengan membangun pulau-pulau buatan yang dilengkapi dengan fasilitas militer.

Dinamika Geopolitik

Peran Cina dalam Ketegangan

Cina memainkan peran dominan dengan pendekatan agresif untuk mengamankan wilayah Laut Cina Selatan. Dengan membangun pulau-pulau buatan dan menempatkan instalasi militer di kawasan, Cina memanfaatkan keunggulan maritimnya untuk menguasai jalur pelayaran utama dan sumber daya alam. Dalam perspektif teori sea power, langkah ini menunjukkan usaha Cina untuk mendominasi jalur perdagangan strategis dan memastikan kontrol geopolitik atas wilayah tersebut. Cina memandang Laut Cina Selatan sebagai wilayah strategis yang harus dikuasai untuk mendukung ambisi nasionalnya. Pembangunan pulau-pulau buatan di kawasan ini tidak hanya bertujuan untuk memperkuat klaim teritorial, tetapi juga untuk memperluas pengaruhnya di Asia Tenggara. Pulau-pulau buatan ini dilengkapi dengan landasan pacu, pelabuhan, radar, dan fasilitas militer lainnya yang meningkatkan kemampuan pertahanan Cina di kawasan tersebut.

Bagi Cina, Laut Cina Selatan bukan hanya tentang ekonomi, tetapi juga keamanan. Penguasaan atas wilayah ini memberikan perlindungan terhadap jalur suplai energinya yang sebagian besar melewati laut tersebut. Selain itu, Cina juga menggunakan strategi diplomasi untuk memengaruhi negara-negara ASEAN, seperti memberikan bantuan ekonomi untuk mengurangi resistensi terhadap klaimnya.

Respon Amerika Serikat

Sebagai kekuatan global, Amerika Serikat memiliki kepentingan untuk memastikan kebebasan navigasi di Laut Cina Selatan. Dengan mengerahkan kapal perang dan melakukan operasi kebebasan navigasi (Freedom of Navigation Operations), AS menantang klaim Cina dan menunjukkan komitmennya untuk menjaga stabilitas di kawasan tersebut.

Selain itu, AS juga memperkuat aliansi dengan negara-negara Asia Tenggara seperti Filipina dan Vietnam. Dukungan militer, latihan bersama, dan penjualan senjata adalah beberapa bentuk bantuan yang diberikan untuk memperkuat kemampuan pertahanan negara-negara tersebut. Langkah ini menunjukkan bahwa Laut Cina Selatan juga menjadi medan persaingan antara dua kekuatan besar dunia: Cina dan Amerika Serikat.

Keterlibatan Negara-Negara ASEAN

Negara-negara ASEAN seperti Filipina, Vietnam, dan Malaysia menghadapi dilema antara melindungi kedaulatan nasional dan mempertahankan hubungan ekonomi dengan Cina. Meskipun beberapa negara memperkuat pertahanan maritim mereka, seperti Filipina dengan dukungan militer AS,Negara-negara ASEAN memiliki posisi yang berbeda-beda dalam menyikapi konflik ini. Filipina dan Vietnam adalah negara yang paling menolak klaim Cina, sementara negara seperti Malaysia dan Brunei cenderung memilih pendekatan diplomasi. Namun, kesamaan mereka terletak pada upaya mempertahankan kedaulatan masing-masing sambil menjaga hubungan ekonomi dengan Cina, yang merupakan mitra dagang utama bagi hampir semua negara ASEAN.

ASEAN juga berupaya untuk mencari solusi melalui negosiasi multilateral, seperti pembahasan kode etik (Code of Conduct) dengan Cina. Namun, perbedaan kepentingan di antara negara-negara anggota sering kali menjadi hambatan untuk mencapai kesepakatan yang kuat.

Dampak Konflik

Ekonomi dan Perdagangan

Laut Cina Selatan adalah jalur perdagangan utama dunia, sehingga setiap ketegangan di kawasan ini berpotensi mengganggu perdagangan global. Negara-negara yang bergantung pada perdagangan maritim, seperti Jepang, Korea Selatan, dan India, juga merasa terancam oleh konflik yang terus meningkat.

Bagi negara-negara kecil di Asia Tenggara, ketegangan ini menciptakan ketidakpastian ekonomi. Sementara Cina memberikan investasi besar-besaran melalui proyek seperti Belt and Road Initiative, tekanan diplomatik dan militer sering kali membatasi kebebasan negara-negara ini untuk mengambil keputusan secara independen.

Lingkungan

Pembangunan pulau-pulau buatan oleh Cina telah menyebabkan kerusakan serius pada ekosistem Laut Cina Selatan. Terumbu karang, yang menjadi habitat bagi banyak spesies laut, dihancurkan untuk pembangunan infrastruktur. Kerusakan ini tidak hanya mengancam keanekaragaman hayati, tetapi juga mata pencaharian masyarakat pesisir yang bergantung pada hasil laut.

Keamanan Regional

Ketegangan di Laut Cina Selatan meningkatkan risiko konflik bersenjata. Insiden antara kapal Cina dan kapal negara lain sering terjadi, dan potensi eskalasi selalu ada. Selain itu, persaingan antara Cina dan Amerika Serikat di kawasan ini menciptakan dinamika yang tidak stabil, yang dapat berdampak pada keamanan seluruh Asia Tenggara.

Kesimpulan

Laut Cina Selatan adalah salah satu wilayah paling strategis di dunia, tetapi juga menjadi salah satu kawasan yang paling rentan terhadap konflik. Klaim tumpang tindih, pembangunan infrastruktur militer, dan keterlibatan kekuatan besar seperti Cina dan Amerika Serikat membuat situasi semakin rumit.

Ketegangan di Laut Cina Selatan menunjukkan bagaimana laut menjadi tempat persaingan geopolitik di era modern, seperti yang ditulis dalam teori sea power. Konflik ini melibatkan aktor-aktor regional seperti Filipina dan Vietnam, serta kekuatan global seperti Cina dan AS, dengan kepentingan yang berbeda. Dalam jangka panjang, penyelesaian damai melalui diplomasi multilateral sangat penting untuk mencegah eskalasi konflik yang dapat mengancam stabilitas regional dan global. Laut Cina Selatan, lebih dari sekadar jalur pelayaran,dan perdagangan adalah contoh bagaimana kekuatan maritim memengaruhi keseimbangan kekuasaan dunia.

DAFTAR PUSTAKA

Johannes, R. (2023). Peningkatan Ketegangan Geopolitik di Laut Cina Selatan. Jurnal Lemhannas RI, 11(4), 211-218.

Djelantik, S. (2007). Resolusi Konflik dan Diplomasi Preventif dalam Sengketa Laut Cina Selatan. Jurnal Lemhannas RI, 9(4).

Adi, Danang Wahyu Setyo. (2021). Analisis Penyelesaian Sengketa Laut China Selatan oleh Badan Arbitrase Internasional. Jurnal Hukum Lex Generalis, 2(1)

Junef, M. (2018). Sengketa wilayah maritim di Laut Tiongkok Selatan. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 18(2), 219–240.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun