"Kapan enek gurumu sing gak masuk, awakmu gak usah protes. Iku urusanku. Tugasmu mung belajar sing mempeng" Kiranya begitu dawuh KH. Abdul Nashir Abdul Fattah kepada kami saat acara Halal Bi Halal yang dilakukan di Aula Madrasah Muallimin Muallimat Tambakberas Jombang pada sekitar tahun 2017.
Sebagaimana tradisi yang sudah berjalan, setiap permulaan Syawal setelah libur panjang Ramadhan, Madrasah selalu mengadakan Halal Bi Halal sebagai bentuk ajang saling memaafkan antara guru dan murid. Kutipan di atas merupakan salah satu pesan yang disampaikan pada waktu itu.Â
Secara tidak langsung, pesan beliau seolah menunjukkan rasa tanggung jawab penuh sebagai Kepala Madrasah atas ketidak hadiran guru atau jam kosong selama KBM berjalan. Akan tetapi, jauh dari itu, pesan tersebut menegaskan betapa pentingnya berhusnudzon dan tidak menyakiti hati seorang guru. Sehingga sebagai murid, tidak usah ikut campur terkait ketidak hadiran atau jam kosong saat KBM karena memang itu bukanlah wilayahnya. Seperti halnya pesan guru beliau, Sayyid Alawi bin Maliki, bahwa manfaatnya ilmu karena ridho sang guru. "Wa naf'uhu li ridlo syaikhi". Semata -- mata yang disampaikan Kiai Nashir tidak lain adalah agar seluruh santri mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
Adalah tidak ada habisnya ketika mengaitkan antara Ilmu dengan Kiai Nashir. Bisa dibayangkan, ketika dalam kondisi yang masih belum bisa jalan dan masih menggunakan kursi roda, beliau tidak pernah Alpa dalam mengajar kitab Tafsir Al Jalalain di Madrasah kecuali ada hal dhurorut yang membuat beliau berhalangan hadir.Â
Dalam mengajarpun, Beliau sangat sabar dan telaten. Bahkan tak jarang, beliau berpesan kepada kami jikalau suatu hari nanti menjadi Guru, tidaklah merasa risau jika muridnya tidak paham akan materi yang disampaikan. Kiai Nashir menyampaikan pesan berulangkali hingga kurang lebih 3 pertemuan dengan kalimat yang sama, "Innama Anta Ballaghun". Sesungguhnya (tugas) kamu (hanyalah) menyampaikan. Bukan memahamkan. Di situ beliau memberikan sebuah contoh bahwasannya setingkat Nabipun tidak bisa mengimankan semua manusia pada zamannya.Â
Nabi Nuh misalnya, ratusan tahun bahkan seribu tahun tiada putus asa menyebarkan dan mengajak umatnya untuk beriman kepada Allah, tapi pengikutnya hanya sedikit. Bahkan putra kandungnya sendiri mengingkarinya. Tak hanya itu, pamanda Nabi Muhammad, Abu Thalib yang menjadi pembela mati -- matian ketika Nabi diancam oleh kafir Quraisy, nyatanya sampai hidupnya paripurna tak sempat mengucapkan syahadatain. Justru yang memeluk Islam dan beriman adalah orang yang dulunya penentang paling keras akan datangnya agama Islam. Hal ini menunjukkan tugas Nabi adalah menyampaiakan dan menyebarkan wahyu yang telah diturunkan, adapun perkara menjadikan seorang beriman itu wilayah kekuasaan Tuhan.
Kiai Nashir dalam menyemangati kami selaku santrinya, kerap kali mencontohkan kisah -- kisah ulama terdahulu. Salah satu contohnya, perihal Ilmu. Beliau menegaskan kepada kami meskipun ketika sekolah kerapkali merasa terpaksa dan hati tidak ikhlas, tidaklah dijadikan alasan untuk tidak berangkat sekolah ataupun datang ke Majelis Ilmu. Karena dengan selalu hadir di Majlis Ilmu walaupun niatnya kliru, ilmu itu sendiri yang menuntun melakukan kebaikan dan kebenaran. Sesembari Kiai Nashir sampaikan perkataan Imam As -- Tsauri yang dikutip oleh Imam Al -- Ghozali "Tholabnaa al -- ilma lighoirillah fa abaa an yakuuna illaAllah".Â
Kiai Nashir memberi penjelasan bahwa dulu Imam Ghozali ketika hadir di Majlis Ilmu tidaklah bertujuan mencari Ilmu atau karena Allah. Melainkan demi mendapatkan makanan. Karena pada zaman dahulu, setelah hadir di Majlis Ilmu pasti mendapat makanan seperti halnya zaman sekarang yang mendapat berkatan selepas tahlilan. Walaupun niat Imam Al - Ghazali demikian, Ilmulah yang menuntunnya menuju Tuhan sehingga niatnya tidak salah dalam mencari ilmu. Bahkan siapa yang tak mengenal Imam Al -- Ghozali. Karangan kitabnya masih kondang di kalangan Pesantren sampai sekarang.