Mohon tunggu...
Humaniora

Pria Utama Jawa

28 Oktober 2016   15:22 Diperbarui: 28 Oktober 2016   15:40 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suara :
Seorang priyo utomo setelah memiliki kecerdasan bebrayan dengan membuka diridengan prinsip wismo. Selanjutnya ditingkatkan kualitas bebrayannya dengan mengambil pilihan kata yang baik. Kata yang terdeliveri melalui suara hendaknya memancarkan kandungan spiritualitas bagi dirinya sendiri maupun bagi pendengarnya.

Kata-kata auditif ini dianjurkan untuk menjelma menjadi bentuk ketaatan. Yang keluar dari mulut tak menguap tanpa makna, namun terbang menembus ruang keagungan (Lar : terbang/sayap, keteg : sampai, Gung : Yang Agung). Maka dengan demikian Sami'na wa Atho'na diaplikasikan dalam Kukilo. Mendengar dan Mentaati, terkadang posisi mengatakan sesuatu juga perlu menjunjung posisi sebagai pendengar. Apa sekira yang ingin didengar oleh pendengar, apa sekira yang tak ingin didengar oleh pendengar. Dengan 'tepak sariro’, pihak yang menyuarakan sesuatu menempatkan diri dengan perasaan si pendengar. Tentunya akan sulit mengetahui apa yang ingin dan tak ingin didengar oleh lawan bicara. Maka bukan dalam selera yang dikejar, melainkan ketaatan pada 'suara’ baik Gusti Allah yang hendaknya diperdengarkan. Tentunya akansulit mengetahui apa yang ingin dan tak ingin didengar oleh lawan bicara. Maka bukan dalam selera yang dikejar, melainkan ketaatan pada 'suara’ baik Gusti Allah yang hendaknya diperdengarkan.

Sayap :
Di atas sudah disinggung tentang hubungan 'Lar Keteg Gung’ dengan sayap. Seperti kita ketahui bersama, tidak setiap sayap bisa digunakan untuk terbang,dan tidak setiap selalu sesuatu yang terbang dipersyarati dengan sayap. Ataupun bisa juga bahwa setiap penerbangan selalu dengan sayap, sayap yang bukan sebagai kata benda, melainkan sebagai kata sifat. Ikan terbang menggunakan siripnya sebagai sayap. Tapi ketika berenang di dalam laut, tidak lazim disebutbahwa ikan terbang sedang menggunakan sayapnya sebagai sirip.

Ketika sayap dimaknai sebagai kata sifat, maka bukan hanya ikan terbang yang masih diperangkati tool jasad bernama sirip. Ada benda2 lain yang sama sekali tak punya sayap namun tetap bisa terbang, seperti daun kering hingga debu.

Ada lagi sesuatu yang tak terbang namun disebut bersayap. Misal ungkapan “kata-kata di dalam lagu-lagu Letto sarat makna dan bersayap”. Atau dengan maksud senada “Ayat Al-Qur'an itu memilikipilihan kata yang bersayap”. Jadi, begitu pula dengan kalimat-kalimat,untaian kata-kata yang keluar menjadi suara. Ketika merujuk pada cara Gusti Allah menyampaikan sesuatu melalui Al-Qur'an, berarti cara paling baik ialah menyesuaikan kapasitas penerima suara namun tidak bermakna satu hal saja. Kata-kata sederhana berguna untuk dicerna pihak-pihak yang berfikir sederhana,namun kata-kata sederhana tersebut makin ditemukan perkembangan keluasannya ketika dicerna lebih dalam. Ibarat sayap yang makin mengembang makin tampak bulu-bulunya.

Dalam masyarakat Jawa, soal sayap makna ini terangkup dalam ilmu purwakanthi (di majalah Sabana pernah sedikit disinggung dalam tulisan berjudul 'pemuda dalam perspektif wayang Jawa’).

Kalimat bersayap tidak harus njlimet dan membingungkan orang. Saya ingin mengambil contoh satu ayat di dalam Al-Qur'an “apakah telah sampai kepadamu kisah Musa?”. Atau “Sudahkah sampai kepadamu kisah Musa?”.

Di kedua ayat di atas (mengacu pada terjemah, blm akar kata Arabnya) bisa mengembang menjadi sekian rentang bulu2 makna. Dengan kalimat tanya di atas bukankah bisa menjadi : 

“Sudahkah sampai pesan Kalimullah kepadamu?”
“Apakah Kalimat Allah telah sampai kepadamu?”
“Apakah Allah telah menyampaikan perkataanNya kepadamu?”
“Apakah sudah kamu dengar kalimat Allah untukmu?”
… Dan lain sebagainya. Dalam bulu-bulu permaknaan itu pun masing-masing memiliki penekanan yang berbeda-beda. Dengan merentangkan makna ayat di atas, ketika kalimat sederhana bisa menjadi sayap yang rentangannya luas.

Untuk tafsir dari kedua ayat di atas perlu lebih bersabar karena sangat penting mempertimbangkan kandungan akar kata dan sejarahnya.

Kembali ke sub tema Sayap. Siapapun, bagaimanapun caranya,dengan kalimat dan susunan bahasa apapun, memiliki posisi untuk menyampaikankebaikan dan menerbangkan kalimatnya menjadi pasangan keagungan. Bukan padasusunan kalimatnya, susastranya, ornamen dan kembang-kembanganya, yang disebut bersayap, namun apakah kalimat2 itu terbang atau menguap, menuju keAgungan atau kerendahan? Mencapai kemaslahatan atau kemudharatan?.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun