Sejak direncanakan full day school (FDS) oleh Muhadjir Efendi sejenak setelah dilantik menjadi Mendikbud, pro-kontra terjadi di masyarakat. Namun perlahan tapi pasti rencana itu segera direalisasikan tanpa lagi mempertimbangkan pro-kontra di masyarakat. Yang menjadi acuan justru anak-anak harus mengikuti jam kerja orang orang tuanya yang kerja Senin sampai Jumat, dan Sabtu libur. Libur di akhir minggu diharapkan akan dapat memberi kesempatan orang tua dan anak-anak mempunyai waktu kebersamaan. Pertimbangan yang lain adalah jam mengajar guru mencapai 8 jam seminggu, itu sudah memenuhi kriteria jam mengajar seusai aturan. Lalu, apa kepentingan anak-anak sebagai subjek belajar? Apa tidak anak-anak ini justru dikurbankan demi kepentingan lainnya? Terutama bagi anak-anak usia SD yang harus ikut 8 jam sehari. Pukul rata 8 jam sehari di sekolah bagi anak-anak usia SD – SMU sangat tidak tepat! Bagi yang sudah duduk di SMP dan SMU beberapa sekolah memang sudah berlaku sekolah sampai sore dan secara fisik serta kemandirian mereka mampu. Saat lapar, mereka bisa mencari makan di sekitar sekolah, sudah bisa berjalan sendiri di sekitar sekolah secara aman. Bahkan berangkat dan pulang sekolah sendiri.
Bagaimana dengan anak SD yang full day school? Mereka ada yang disuruh bawa bekal makan siang dari rumah, yang disiapkan sejak pagi oleh orang tuanya. Sebagian anak sudah tidak selera makan nasi yang dingin dan mungkin basi karena nasinya campur uap air saat dikemas masih panas. Demi praktisnya bekal yang dibawa cenderung lauk yang kering, seperti telur goreng, nugget, kering tempe, dan makanan lain yang tidak berkuah. Kalau tidak enak dan sudah basi mereka tidak makan. Orang tuanya tidak tega, sehingga di saat makan siang mengirim makan siang untuk anaknya ke sekolah. Memang berbeda dengan sekolah-sekolah yang sudah terbiasa dengan FDS. Mereka sudah punya catering atau tenaga yang disiapkan untuk menyediakan makan bagi siswa-siswi secara prasmanan. Ini masih dari segi makan belum lain-lainnya.
Mengapa Pro-Kontra FDS terjadi?
Full day School bukan hal baru di Indonesia, sudah ada sekolah-sekolah dari SD sampai SMU yang menerapkan FDS dan baik-baik saja bagi yang merasa cocok dengan pola pembelajaran sehari penuh dari pagi sampai sore. Sebagian orang tua merasa lebih aman anaknya di sekolah sampai sore hari, ada banyak kegiatan positif yang dijalani para siswa daripada mereka pulang ke rumah. Fasilitas disekolah yang siap dengan FDS cukup memadai. Terbukti peminat sekolah yangmenerapkan FDS bisa bertahan sampai sekarang. Persoalan menjadi mengemuka ketika Mendikbud mencanangkan FDS diberlakukan secara nasional mulai tahun ajaran 2017-2018, sejak Juli 2017. Mengapa harus dipaksakan pada semua sekolah? Apalagi dasar dari kebijakan ini justru tidak mengedepankan kepentingan siswa. Kalau cuma masalah ingin memberi kesempatan kebersamaan antara anak dan orang tua, pasti masyarakat setuju setiap Sabtu diliburkan,tetapi tidak perlu menambah jam pada hari Senin-Jumat hanya untuk mengklopkan waktunya. Ini alasan yang sungguh kurang dipertimbangkan secara matang. Saya pernah membahas pada tulisan sebelumnya FullDay School Antara Pilihan dan Kebijakan , bahwa lebih tepat FDS menjadi pilihan dari masing-masing orang tua. Biarlah program sekolah sehari penuh dan sekolah setengah hari berjalan seiring, karena faktanya keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Ukuran Durasi Belajar dengan Daya Serap Belajar
Setiap orang punya kenyamanan waktu belajar yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh kemampuan konsentrasi dan daya tahan dalam situasi belajar.Berbeda usia jelas berbeda kemampuannya. Pada anak-anak waktu belajar jelas lebih pendek waktunya daripada orang dewasa. Selain kemampuan secara fisik juga kemampuan psikis perlu dipertimbangkan. Meski raga masih kuat bertahan dalam situasi belajar, kejenuhan akan menurunkan daya serap belajar. Kejenuhan di lingkungan sekolah bisa memicu tekanan / stres terhadap guru maupun murid. Mereka terpaksa tersandera di sekolah karena aturan yang ditentukan oleh negara.
Berdasarkan pertimbangan Mendikbud, agaknya kurang tepat apabila jam belajar terutama pada anak-anak usia SD di klop-klopkan dengan jam kerja orangtuanya serta aturan jumlah jam mengajar gurunya. Kalau memang mau dibuat jam Sabtu Minggu libur, silakan saja. Tetapi jam belajar di sekolah tidak perlu ditambah sampai 8 jam. Sudah tepat jam belajar anak-anak SD saat ini dalam rentang waktu 4 – 6 jam menyesuaikan dengan kelasnya. Bagi guru mengajar bukanberarti harus berada di sekolah saja. Para guru sepulang sekolah masih bekerja untuk mempersiapkan materi yang diajarkan, mengoreksi hasil ulangan harian,membuat soal-soal latihan dan ulangan. Hal ini harus diperhitungkan sebagai waktu bekerja diluar sekolah, jangan hanya secara fisik guru ada di sekolah baru dianggap bekerja.
Panjangnya waktu di sekolah bagi anak-anak SD lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya, tanpa ada program yang jelas dan fasilitas yang mendukung. Secara fisik mereka akan kelelahan, terutama anak-anak kelas 1 dan 2 SD. Secara psikis akan menimbulkan kebosanan dalam suasana sekolah selama 8 jam.
Kualitas belajar-mengajar bukan ditentukan oleh panjangnya waktu disekolah
Dari beberapa sumber bacaan dan pengalaman saya sendiri sebagai guru les, kualitas belajar tidak berbanding lurus dengan panjangnya waktu belajar.Pemahaman terhadap suatu materi pelajaran bukan ditentukan oleh lamanya waktunya belajar. Memang betul pada beberapa anak tertentu akan membutuhkan waktu pemahaman yang lebih lama daripada anak lainnya, tetapi bukan berarti dia harus belajar berlama-lama. Ganti suasana sangat dibutuhkan oleh setiap orang, terutama pada anak-anak usia SD. Ketika kebosanan memuncak, diajarkan apapun akan ditolak oleh otaknya. Memang benar program yang dicanangkan, sekitar 3 jamsetelah jam pelajaran akademis berakhir akan diisi oleh kegiatan yang lebih menekankan pada pembinaan karakter, keagamaan, olah raga dan seni. Selama ini sebenarnya anak-anak SD juga ada kegiatan ekstra kurikuler yang bisa diikuti baik sepulang sekolah ataupun balik ke sekolah sore hari, sebagian lagi dilaksanakan di hari Sabtu. Perbedaannya mereka tidak mengikuti Senin – Jumat 8 jam di sekolah tanpa jeda. Ganti suasana ini benar-benar harus bisa dikreasi oleh sekolah dan guru agar menciptakan “ganti suasana” yang bisa membuat anak-anak senang dan nyaman sampai waktunya pulang. Mampukah sekolah dan guru membuat aktivitas yang tidak menjemukan setiap hari, dan dalam kondisi murid sudah lelah dan fasilitas yang terbatas? Pada sekolah yang sudah menerapkan FDS saja masih terjadi murid hanya diberi bola dan bermain bebas di lapangan sambil menunggu jam pulang, menyalin soal dari papan tulis untuk tugas di rumah,sementara guru tidak ada di kelas.