Jam panjang di sekolah membuat munculnya kebijakan tidak ada PR sepulang sekolah. Jika jam belajar mereka di sekolah bertambah, tetapi dipisahkan dengan jam belajar akademis dan non akademis. Maka bila sepulang sekolah tidak lagi ada PR maka pengulangan atas materi akademis yang dikerjakan secara mandiri sudah tidak ada lagi. Bagi murid mungkin ini menyenangkan, karena bebas PR.Tetapi bagi guru ada beban, pemahaman anak-anak mengalami kemunduran. Sejak berlakunya kurikulum 2013, termasuk setelah ada edisi revisi, materi pelajaran yang diajarkan secara tematik sangat dangkal esensinya. Banyak yang dipotong disana-sini dan diajarkan permukaannya saja. Sementara menuntut pemahaman yang lebih karena mengikuti tema yang dibahas. Bagi guru yang mengajar keadaan ini benar-benar persoalan yang dilematis.
Full Day School Mencaplok Wilayah Pendidikan Informal dan Non Formal
Peran keluarga, sekolah dan masyarakat dalam pembelajaran mempunyai porsi masing-masing. FDS yang berdurasi 8 jam sehari akan mengambil alih sebagian peran orang tua dan pendidikan non formal. Sebagai orang tua mereka punya tanggung jawab untuk mengasuh anaknya di luar jam sekolah, hal ini sudah dipertimbangkan oleh orang tua ketika mereka memutuskan untuk punya anak. Sampai saat ini lebih banyak orang tua yang bisa mengatur waktu untuk mengawasi anaknya sepulang sekolah meskipun mereka juga bekerja. Tidak ada urgensi sampaisebagian besar anak-anak ini terlantar sepulang sekolah. Kalau terjadi tawuran pelajar, atau masalah-masalah lain yang disebabkan oleh kurangnya pengawasan anak-anak sepulang sekolah sehingga mereka terlibat masalah itu jumlahnya tidak besar. Merupakan kasus per kasus yang tidak perlu di-gebyah uyah(sama ratakan) pada semua warga negara Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Bukan sepenuhnya tanggung jawab sekolah kalau anak-anak yang terlibat masalah itu disebabkan karena mereka tak terurus sepulang sekolah. Terbukti ada murid yangmembunuh temannya di asrama terjadi di Magelang. Padahal sekolah berasrama terkontrol 24 jam. Hal ini adalah kasus per kasus, bukan menjadi tolok ukur.
Pendidikan luar sekolah atau non formal juga merupakan salah satu upaya belajar yang dapat melengkapi keilmuan seorang anak. Pendidikan luar sekolah bisa berupa belajar agama seperti mengaji di lingkungan tempat tinggal pada sore hari, mengasah kemampuan olah raga di klub untuk bisa meraih prestasi, mengasah bidang bahasa dengan mengikuti kursus bahasa, mengasah kemampuan di bidang seni dengan mengikuti sanggar seni, kursus musik,tari dan lain-lain. Mengikuti kegiatan organisasi remaja di lingkungan keagamaan atau tempat tinggal untuk mengasah kemampuan kepemimpinan. Pendidikan non formal cenderung dikelola secara profesional dan sosiologis dengan pendekatan non formal, fasilitas yang memadai dan dengan target tujuan yang bisa dicapai secara optimal karena memang dilatih oleh orang-orang yang kompeten di bidangnya.
Dengan berlakunya FDS maka wilayah pendidikan informal dan non formal dicaplok oleh pendidikan formal (sekolah), sementara hasilnya belum dijamin lebih baik. Setiap jalur pendidikan punya peran masing-masing, bila pendidikan formal telah mengambil ruang jalur pendidikan yang lainnya maka di sini akan terjadi perampasan hak dari peserta didiknya. Jam sekolah yang terlalu panjang dan tidak sesuai dengan usia anak akan menghilangkan rasa nyaman. Kesempatananak untuk mengasah bakatnya tidak bisa tersalurkan karena tersandera dengan waktu belajar yang panjang di sekolah. Memang betul ada kegiatan ekstra kurikuler di sekolah, apakah hasilnya bisa sejajar bila disandingkan dengan kursus di luar sekolah? Lebih banyak prestasi sekolah mendompleng hasil murid-muridnya yang sudah kursus di luar sekolah terutama untuk bidang seni,bahasa dan olah raga. Sehingga bila FDS jadi diberlakukan akan terjadi perampasan hak seorang pelajar untuk meraih ilmu di jalau pendidikan di luar sekolah. Pelatih dan fasilitas latihan sebagian besar sekolah masih terbatas, sangat beda dengan tempat kursus yang memang dikondisikan untuk menggali potensi bakat anak.
Full Day School Berbenturan dengan Budaya Lokal
Dimulai dari penolakan PBNU tentang pemberlakuan FDS dengan meminta Mendikbud untuk mengkaji ulang karena bila FDS dilberlakukan maka Madrasah Diniyah dan TPQ yang biasanya memberikan pelajaran agama kepada anak-anak di lingkungan tempat tinggalnya bisa tutup. Meski Mendikbud membantah denganmemberi waktu para pengajar agama untuk mengajar di sekolah hal ini memang layak dibantah oleh PBNU. Menghadirkan pengajar agama dari Madrasah Diniyah ke sekolah adalah memasukkan jalur pendidikan non formal ke wilayah formal. Padahal dengan mereka belajar di lingkungan tempat tinggalnya anak-anak juga bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Hasilnya akan beda dengan menyandera mereka tetap di sekolah.
Di beberapa wilayah, sepulang sekolah anak-anak masih diminta orang tua untuk membantu pekerjaan orang tua, sesuai dengan kemampuannya. Menjaga toko,membersihkan rumah, mengasuh adik, mencari rumput pakan ternak dan lain-lain. Bukankah dengan membantu orang tua mereka juga belajar pelajaran kehidupan. Bagaimana mematuhi orang tua, belajar bergotong royong, mengenal alam, mengaji, aktif pada kegiatan keagamaan masing-masing dan sebagainya. Anak-anak berhak mengatur waktunya di luar jam sekolah, dan di situ juga ada pesan pendidikannya. Belajar bukan melulu di lingkungan sekolah!
Boleh saja kita membandingkan dengan pendidikan di luar negeri atau cara-cara belajar yang berbeda dari keadaan yang ada saat ini, tetapi jangan membuat perubahan yang justru bertabrakan dengan kearifan lokal yang sudah baik. Budaya lokal bangsa kita juga perlu dilestarikan. Biarlah setiap orang punya kebebasan dalam menentukan gaya hidupnya dengan memilih sekolah sehari penuh atau setengah hari, toh keduanya baik kok! Dalam hal ini saya menilai FDS belum urgensi diberlakukan secara nasional, termasuk secara bertahap.
Full Day School dapat menanamkan Pendidikan Karakter
Salah satu tujuan dari pelaksanaan FDS adalah sekolah akan membentengi para murid dengan pendidikan karakter sehingga tambahan waktu itu juga diharapkan bisa membentuk karakter yang baik, berbudi luhur, bertatakrama yang baik kepada para murid. Perlu diingat, pada kenyataannya pendidikan karakter tidak semudah mengajarkannya. Karakter yang baik terbentuk pada anak bukan dengan cuma diajarkan secara teori. Pembentukan karakter adalah proses panjang yang dipengaruhi oleh interaksi seseorang dengan keluarga, sekolah, lingkungan masyarakat. Nilai-nilai yang diajarkan kepadanya, keteladanan yang dialaminya,keadaan ekonomi, sosial, budaya, politik dan kecanggihan teknologi. Pendidikan karakter hanya SALAH SATU yang berpengaruh pada pembentukan karakter seseorang. Sementara kondisi lainnya diluar kendali pendidikan karakter. Bila sekolah dengan berani mengambil peran akan terbentuknya karakter baik dengan cara menambah jam sekolah yang diberlakukan secara nasional maka “jauh panggangdari api”. Negara ini harus berbenah, terutama pada pejabatnya yang antre terlibat korupsi, setiap hari berita OTT tersiar di televisi secara sambung-menyambung. Para guru di sekolah juga harus memberi teladan baik, jangan sering-sering meninggalkan muridnya karena harus menyelesaikan tugas sertifikasi. Jangan ada lagi guru yang “baik hati” memberitahu jawaban pada muridnya saat tak bisa mengerjakan soal ujian atau karena materi itu belum diajarkan. Jangan ada lagi soal ujian bocor dijualbelikan. Masih terjadi suap untuk masuk sekolah unggulan. Para murid ini bukan tidak tahu mereka digombali, mereka tahu dan mereka merasa“dibantu”. Bibit-bibit apa yang ditanamkan pada generasi muda akan kita tuai kelak ketika mereka dewasa. Cobalah Bapak Ibu mengorek anak-anak Anda sendiri, Anda akan mendapat jawaban yang mencengangkan. Meski fakta ini terjadi pada beberapa oknum saja, tetapi dari waktu ke waktu makin marak.