Mohon tunggu...
Majawati
Majawati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Keberagaman itu indah. Mengajari untuk menghargai perbedaan, harmonisasi dan saling melengkapi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menyiasati Era Bonus Demografi : Jangan Manja, Jadilah Petarung!

21 September 2016   11:51 Diperbarui: 21 September 2016   12:14 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bursa Kerja yang selalu dipadati para pencari kerja (sumber gambar :http://cdn.metrotvnews.com/dynamic/content/2015/05/26/129927/A7gTO8XGTK.jpg?w=635)

Indonesia adalah negara dengan penduduk yang jumlahnya sangat besar, dan tersebar di berbagai pulau di Nusantara. Sementara jumlah penduduk terbesar terkonsentrasi di Pulau Jawa, begitu pula dengan pertumbuhan ekonominya. Oleh sebab itu Pulau Jawa  diserbu oleh warga dari luar pulau. Tak bisa dihambat pula kalau tingkat urbanisasi makin tinggi dari waktu ke waktu. Yah, kenyataannya memang kalau mau mengalami peningkatan kesejahteraan harus datang ke kota-kota besar. Lapangan kerja di Pulau Jawa dan kota-kota besar lebih menjanjikan daripada menetap di daerah. Para petani, nelayan dan peternak sudah berpindah profesi meninggalkan pekerjaannya. Bekerja sebagai petani dan peternak dirasa tak lagi menuai untung. Penduduk mulai melirik profesi lain yang menjadi bagian dari industri yang sedang berkembang pesat. Menjadi buruh pabrik, pedagang atau berwiraswasta jadi pilihannya.

Gaya hidup masyarakat sekarang juga otomatis berubah oleh keadaan yang berjalan sesuai dengan proses perubahan zaman. Saat ini ukuran sejahtera itu, antara lain : naik kendaraan bermotor. Hampir semua anak-anak sejak usia SMP menuntut dibelikan sepeda motor pada orang tuanya. Saya pernah bertanya pada beberapa orang tua kalangan prasejahtera karena mereka tergolong penerima dana PKH dari Mensos, dimana anaknya sudah lulus SMU tetapi tidak melanjutkan ke Perguruan Tinggi. “Anakmu kerja apa?” Ibu-ibu ini rata-rata menjawab,”Belum bekerja, baru mau bekerja kalau dibelikan sepeda motor!” Lho apa hubungannya? Belum lagi minta pakaian baru untuk nanti bekerja, padahal diterima saja belum. Generasi angkatan kerja di usia produktif yang terbebani dengan pola pikir kerdil seperti ini banyak lho! Apa mereka bisa diandalkan sebagai sosok yang tangguh dan mampu bersaing? Belum apa-apa sudah membangun “tembok” hambatan!

Sejak diberlakukan sekolah gratis, ternyata tak selalu positif tanggapan penerimanya. Tak jarang para murid sekolah ini justru bermalas-malasan karena kan tidak bayar. Masuk seenaknya, dikala gurunya agak galak, mogok sekolah. Pola asuh yang salah dan tidak mengarahkan anak-anak atau remaja untuk berusaha meraih cita-citanya seringkali menimbulkan problem komunikasi negatif antara orang tua dan anak. Ketika anak bersikap tidak sesuai keinginan orang tua, ia dimarahi tetapi tidak diarahkan. Hubungan renggang antara orang tua dan anak banyak terjadi di kalangan keluarga prasejahtera. Baru terasa ketika usia mereka sudah mulai memasuki dunia kerja. Sulitnya mencari pekerjaan bukan malah memicu semangat untuk berjuang, tapi malah patah arang. Saat ini saja banyak pengangguran usia produktif di kalangan prasejahtera ini. Bukan tidak ada pekerjaan, tetapi karena mereka seperti pilih-pilih pekerjaan dan tidak mau mendapat tanggung jawab berat tapi minta gaji besar. Berharap gaji UMR di awal kerja, sementara pengalaman nol. Anak-anak muda ini lebih suka nongkrong-nongkrong di kampungnya. Jumlah mereka tidak sedikit.

Tahun 2020 – 2030 diprediksi Indonesia akan memasuki era Bonus Demografi, yaitu dimana usia angkatan kerja (15-54 tahun) mencapai 70 persen dari jumlah penduduk. Tentunya ini merupakan sumber daya manusia yang luar biasa. Bisa dibayangkan apabila mereka semua mendapatkan pekerjaan yang layak maka betapa besar pertumbuhan ekonomi negara kita. Betapa meningkatnya kesejahteraan penduduknya. Kesejahteraan hidup meningkat pesat, karena angkatan kerja ini hanya menanggung 30 persen dari penduduk usia tidak produktif. Permasalahannya, saat ini saja usia produktif yang menganggur juga sudah banyak. Mereka tidak mendapatkan lapangan kerja, sebagian juga tidak bisa melihat peluang kerja, dan juga ada yang tak mengejar pekerjaan.

Ethos bekerja perlu ditanamkan sejak dini melalui pendidikan

Sebelum saya tahu dengan era Bonus Demografi ini, saya pun sudah menyadari bahwa dari waktu ke waktu tantangan generasi mendatang pasti lebih sulit daripada sekarang. Kesulitan yang saya alami saat ini dalam dunia kerja, belum apa-apa dibandingkan dengan masa anak saya nanti. Itulah prinsip yang saya pegang. Oleh sebab itu, sebagai orang tua saya harus menyiapkan anak saya sejak kecil untuk sanggup bersaing di masanya nanti. Ternyata kekhawatiran saya benar, saat ini anak saya berusia 19 tahun. Tiga tahun lagi saatnya ia lulus dari perguruan tinggi dan memulai kariernya di dunia kerja. Saat itulah ia harus bersaing dengan melubernya pekerja yang ada.

Sebagai orang tua, pendidikan adalah unsur utama menentukan masa depan seorang anak. Pendidikan dari rumah, sekolah dan lingkungan akan bersinergi sebagai modal bagi seorang anak untuk terjun ke masyarakat. Pendidikan dari rumah adalah menanamkan kebiasaan-kebiasaan baik akan menjadi nilai-nilai kehidupan yang tertanam di benaknya, seperti : kejujuran, disiplin, tanggung jawab, spiritualitas, tertib, rajin, tepat waktu, menjaga kesehatan diri, peduli pada sesama dan lingkungan dan sebagainya. Nilai-nilai seperti ini tak bisa sekedar diajarkan, tetapi harus ditanamkan melalui proses pembiasaan untuk bisa diterima, diterapkan dalam kehidupan dan meresap menyatu dalam dirinya. Nilai-nilai seperti itu tak cukup hanya diajarkan, harus diberikan teladan, diawasi, diingatkan berkali-kali, digiring sampai menjadi nilai-nilai yang tumbuh subur dan berkembang dalam dirinya. Orang tua akan merasa berhasil dan lega apabila transfer nilai-nilai luhur keluarga itu mampu berjalan mulus.

Saya berkeyakinan setelah kelak dewasa, anak-anak itu akan menjadi manusia yang mandiri dan terjun ke masyarakat. Bekerja dan membentuk keluarga sendiri. Kita sudah tak mungkin lagi dapat ikut campur dalam urusan mereka, tetapi nilai-nilai luhur tentang kebaikan dan kebenaran yang tertanam subur di hatinya akan menjadi bekal yang akan sangat berguna dalam kehidupannya kelak. Mengasah suara hatinya dalam bersikap dan bertindak. Sebagai orang tua, hanya mendoakan semoga dilancarkan jalan kesuksesannya.

Pendidikan dari sekolah jelas menentukan kemampuan akademis seorang anak. Pemilihan sekolah yang tepat akan membentuk karakter anak dalam belajar. Saya menjatuhkan pilihan pada sekolah dengan disiplin yang baik dan tantangan belajar cukup sulit. Memang betul tidak mudah mencapai nilai unggul di sana. Tak mudah memecahkan permasalahan belajarnya, tugas-tugas yang menumpuk juga membuatnya kelelahan. Semua itu ada arti dan tujuannya. Janganlah jadi pelajar enak-enak, nilai bagus tapi kurang paham. Kejujuran dalam penilaian juga menjadi pertimbangan saya. Saya tahu, sungguh tak mudah mendapat nilai bagus di sekolah itu, bukan cuma soal-soalnya yang sulit, tetapi juga kejujuran gurunya dalam memberikan penilaian. Kemampuan seorang anak untuk bisa lolos dari sekolah-sekolah yang dilewatinya sejak SD sampai SMU membuahkan hasil dia mendapat kemudahan saat memasuki perkuliahan.

Pendidikan dari lingkungan masyarakat adalah penting, untuk apa pandai apabila seperti katak dalam tempurung. Sejak kecil anak-anak perlu dibiasakan bersosialisasi.  Dia tak canggung untuk bertegur sapa dengan siapapun. Dalam beberapa kesempatan ia pun ikut saya bekerja. Baru saya sadari ketika dia mulai remaja, kemampuan kepemimpinannya tempak menonjol. Sejak kecil ia ikut dan melihat saya dalam mengurusi pekerjaan, itu ada pengaruhnya. Ada sesuatu yang membekas di benaknya sehingga berpengaruh dalam pola pikir dan minatnya. Mengajaknya menjadi pribadi yang peduli dan ringan tangan menolong serta aktif dalam kegiatan-kegiatan di lingkungannya benar-benar menjadi modal dasar untuk terjun ke dunia kerja nantinya. Inilah peran pendidikan dari lingkungan yang membuatnya luwes terjun di masyarakat kalangan manapun.

Ethos bekerja sudah harus ditanamkan ke anak sejak dini, biarlah di kemudian hari dia memilah-milah dan mengambil manfaatnya. Semua itu tak ada yang sia-sia. Sudahkah waktu sekitar 15 tahun saat mereka masih kanak-kanak hingga memasuki masa dewasa dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh orang tua? Jika tidak, masa itu takkan bisa ditebus kembali.

Peran Pemerintah Menghadapi Era Bonus Demografi

Bagi pemerintah, Bonus Demografi bisa menjadi berkah sekaligus bencana. Tenaga kerja yang melimpah itu apabila dikaryakan jelas merupakan energi besar bagi bangsa Indonesia. Pertumbuhan ekonomi akan setahap lebih meningkat dari era sebelumnya. Sementara bila banyak usia angkatan kerja yang tidak tertampung bekerja maka tingkat pengangguran akan tinggi. Dampaknya jelas akan terjadi kemiskinan dan meningkatnya kriminalitas, kesenjangan sosial dan permasalahan lain sebagai dampaknya. Oleh sebab  itu persiapan dan penanganan yang baik dari pemerintah di era Bonus Demografi sangat menentukan peluang untuk menuai berkahnya bagi negara kita.

Peran pemerintah bisa disiasati mulai dari sektor pendidikan, peningkatan kualitas SDM, pemerataan  lapangan kerja, peluang lapangan kerja, kemudahan birokrasi. 

Apakah lulusan dari sekolah dan perguruan tinggi telah menjadi tenaga yang siap kerja? Sampai saat ini, ada banyak keluhan baik dari kalangan pencari kerja maupun calon pekerja yang menyatakan bahwa output dunia pendidikan tidak langsung tangkas di dunia kerja. Para lulusan ini bukan tenaga siap pakai. Para lulusan juga menggerutu, ilmu tidak terpakai di dunia kerja. Lain dengan apa yang diajarkan di tempatnya menimba ilmu. Kesenjangan ini akan menjadi bumerang di saat persaingan kerja makin tajam. Mungkin lulusan SMK yang saat ini lebih banyak mendapat pujian dari para pencari kerja, mereka lebih disiapkan untuk terjun langsung di dunia kerja dengan ketrampilan yang mumpuni. Apalagi dengan adanya kesepakatan MEA, saat ini pekerja asing mulai membanjiri Indonesia. Sehingga tingkat persaingan pun makin tinggi. Sudah saatnya pemerintah menyiapkan kurikulum yang baik untuk mengatasi kesenjangan ini.

Bursa Kerja yang selalu dipadati para pencari kerja (sumber gambar :http://cdn.metrotvnews.com/dynamic/content/2015/05/26/129927/A7gTO8XGTK.jpg?w=635)
Bursa Kerja yang selalu dipadati para pencari kerja (sumber gambar :http://cdn.metrotvnews.com/dynamic/content/2015/05/26/129927/A7gTO8XGTK.jpg?w=635)
Sebagai pekerja yang handal, pintar dan rajin saja tak cukup. Pekerjaan apapun, baik sebagai pegawai maupun wiraswasta menuntut kualitas SDM yang baik. Pekerja yang produktif tidak cukup hanya rajin masuk kerja tapi kualitas kerjanya pas-pasan. Kerjanya bagus, tapi sering mangkir (bolos kerja). Suka demo menuntut kenaikan gaji, sementara tidak bisa dituntut menaikkan kualitas kerjanya, tidak kreatif dan inovatif dalam bekerja. Tipe pekerja seperti ini akan dengan sendirinya tergeser. Oleh sebab itu pemerintah tak cukup hanya rutin menaikkan gaji setiap tahun, tetapi juga harus memiliki evaluasi atas hasil kerja sebagai acuan standar dalam kenaikan gaji.

Pemerataan lapangan kerja adalah lahan empuk yang bisa digarap oleh pemerintah. Saatnya mulai membuka lapangan kerja di daerah dan di luar Jawa. Pabrik-pabrik perlu dibangun di sana dengan melibatkan pemerintah daerah. Pertanian, peternakan dan perkebunan dibangkitkan kembali dengan melibatkan para pemuda untuk kembali ke daerah dan menuju luar Jawa. Gerakan kembali ke desa, membangun desa harus digalakkan. Jika perlu membangun perguruan tinggi di lingkungan pedesaan. Keadaan ini akan lebih efektif dibandingkan dengan program KKN dimana mahasiswa hanya sejenak saja berada di desa. Adanya akses untuk pembangunan pabrik di pedesaan dengan menyediakan sarana infrastruktur yang mendukung akan menjadi gerakan kembali ke desa untuk membangun desa. Apalagi adanya dana 2 milyar setiap desa. Sayang sekali bila tak tergarap dengan baik. Masih begitu luas lahan yang bisa digarap di luar Jawa, kebijakan pemerintah membuka lapangan kerja  di era Bonus Demografi harus menjadi “gula-gula” bagi pencari kerja. Bukankah di mana ada gula, di situ ada semut. Hal ini akan mempercepat pembangunan di sana dan meningkatnya kesejahteraan bagi penduduk setempat maupun pendatang.

Pemerintah juga harus memberi sarana bagi tenaga kerja di Indonesia yang berminat menjadi TKI di luar negeri. Menyiapkan mereka agar tidak mendapat masalah di negeri orang. Mulai menjajagi pengiriman tenaga asing pada sektor formal. Karena untuk TKI informal cenderung mendapat perlakuan kurang layak dan kerap mengalami kekerasan. Peningkatan kualitas SDM formal yang bisa menembus dunia kerja di luar negeri juga menjadi penyeimbang atas lubernya tenaga kerja di dalam negeri yang yang tidak tertampung. Gaji di luar negeri yang besar dapat menjadi sumber devisa negara.

Di pemerintahan Jokowi, birokrasi sudah mulai dipangkas dan dipermudah. Semoga hal ini terus berlanjut di sektor industri padat karya, sehingga untuk membuka usaha lebih mudah dan pengusaha diberi payung hukum dalam pengaturan ketenagakerjaan yangh bisa menguntungkan kedua belah pihak.

Memberi perhatian bagi UMKM juga merupakan peluang bagi masyarakat berwiraswasta. Saat ini mulai dari anak sekolah sampai manula bisa memiliki usaha apabila memiliki ketrampilan. Perkembangan UMKM seringkali tak bisa diprediksi, apalagi bila mereka memulai dari modal kecil. Selain bantuan permodalan, para pelaku UMKM ini lebih banyak membutuhkan pendampingan agar usahanya terus berjalan. Dengan adanya Bonus Demografi barang-barang produksi mereka akan jadi sasaran konsumsi dan berpeluang meraih untung besar.

Peluang usaha rumahan (sumber gambar : http://warnabisnis.com/wp-content/uploads/2014/01/peluang-usaha-rumahan.jpg)
Peluang usaha rumahan (sumber gambar : http://warnabisnis.com/wp-content/uploads/2014/01/peluang-usaha-rumahan.jpg)
Kesenjangan antara produktivitas dan pola hidup komsumtif

Di satu sisi bonus demografi adalah peluang bagi suatu bangsa untuk mengalami pertumbuhan ekonomi akibat besarnya aset tenaga kerja yang bisa memberi kontribusi besar dari sisi produktivitas maupun konsumsi yang besar. Di sisi lain tak siapnya sebuah negara menyambut bonus demografi berdampak pada banyaknya pengangguran usia produktif yang menjadi beban negara. Kesadaran sebuah bangsa akan memasuki era demografi dengan mempersiapkan lapangan kerja yang dapat menampung angkatan kerjanya juga tak serta merta selesai. Generasi di era bonus demografi akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat, kesejahteraan meningkat dan hal ini juga berdampak naiknya strata sosial mereka. Akan banyak masyarakat yang masuk dalam kelas menengah dimana hal itu mempergaruhi gaya hidup mereka yang ikut berubah. Perubahan ini biasanya juga ditangkap oleh pasar dengan menawarkan barang-barang dan gaya hidup yang memberi kenikmatan baru kepada penduduk. Keadaan ini menyasar siapapun, tak peduli yang sudah bekerja mapan maupun tidak. Seperti yang saya tuliskan di awal artikel ini, anak-anak kalangan prasejahtera saja menuntut dibelikan sepeda motor meskipun daya beli mereka belum mencapai itu.

Tersedianya berbagai fasilitas dan melubernya barang-barang konsumsi seolah menggoda iman untuk memiliki. Bahkan banyak yang memaksakan diri untuk membeli meskipun belum mampu dengan mengandalkan cicilan. Sudah terbukti pertumbuhan ekonomi di negara kita selalu sebanding dengan daya beli masyarakatnya yang sangat tinggi. Apalagi masyarakat Indonesia begitu mudah tergoda dengan trend baru, dalam wujud benda maupun jasa. Tanpa pengendalian yang baik, maka bonus demografi akan tidak dapat dinikmati sebagai berkah oleh warganya. Meskipun negara akan sangat diuntungkan dengan pertumbuhan ekonomi yang bagus. Tanpa disertai kesadaran untuk mengendalikan pola konsumtifnya maka hasil kerja yang diperoleh tak sempat diinvestasikan jangka panjang, hanya dinikmati sesaat. Ketika tiba generasi ini memasuki usia tidak produktif, mereka tak memiliki cukup dana membiayai hidup di masa pensiun. Di sinilah beban negara juga akan terasa berat, karena jumlah mereka yang besar.

Demo buruh menuntut kenaikan upah (sumber gambar :https://i1.wp.com/www.jurnalasia.com/wp-content/uploads/2015/09/Demo-Buruh-Istana-010915-wpa-1.jpg)
Demo buruh menuntut kenaikan upah (sumber gambar :https://i1.wp.com/www.jurnalasia.com/wp-content/uploads/2015/09/Demo-Buruh-Istana-010915-wpa-1.jpg)
Tanggung jawab pribadi Generasi di era Bonus Demografi

Pada akhirnya era bonus demografi sebenarnya menjadi tanggung jawab pribadi masing-masing orang. Apa yang akan Anda perbuat sebagai generasi yang berada di era ini? Siap atau tidak siap, saat ini bangsa Indonesia mulai menuju era bonus demografi itu.  Yang jelas di masa itu persaingan kerja akan sangat sengit. Mungkin ada banyak lapangan kerja, tetapi Anda belum tentu tertampung di sana? Oleh sebab itu JANGAN MANJA, JADILAH PETARUNGdi era bonus demografi!

Mengenali kemampuan, bakat dan minat sejak dini adalah sangat penting. Temukan sekolah dan perguruan tinggi yang dapat mengasah kemampuan, bakat dan minatmu. Sehingga selepas dari sana siap terjun ke dunia kerja serta memiliki kualitas yang diperhitungkan. Saat ini masih banyak ditemui para murid kelas 3 SMU, masih belum tahu arahnya ke mana? Padahal salah masuk jurusan benar-benar akan membelokkan jalan menuju prestasi dan membuang waktu.

Angkatan kerja di era bonus demografi juga harus siap bekerja apa saja. Salah besar kalau masih terlalu milih-milih pekerjaan, karena sebenarnya setiap pekerjaan  membutuhkan keahlian. Ketika diberi kesempatan, tak ada salahnya mencoba dan menjawab tantangan tersebut. Harus berani mencoba yang baru dan bersusah payah memecahkan masalah. Bukan zamannya lagi menanti tawaran yang sesuai keinginan dan diburu oleh perusahaan yang membutuhkan tenaga kita. Model seperti ini akan terlibas dan tak mendapat kesempatan berkarya.

Tak pilih-pilih pekerjaan juga berarti sanggup bekerja keras, tanpa perhitungan tenaga dan jam, tetapi fokus pada tujuan. Saya pernah mendapat keluhan dari seorang bos yang pegawainya malas-malasan dan terlalu banyak alasan saat mendapat tugas. Padahal di mana kita bekerja, di situ kita harus mengikuti ritme kerjanya. Kalau masih suka enak-enakan, tidak tertib dan gampang cabut, ya... siap-siap saja kehilangan waktu mendapat kesempatan. Keluar dari sana, sudah ada orang lain yang menggantikan pekerjaan itu.

Perlu disadari, saat usia masih muda mendapat pekerjaan itu lebih mudah. Banyak pencari kerja yang mau menerima meskipun tanpa pengalaman kerja dan pendidikan yang minim. Waktu ini memberi kesempatan untuk mendapat posisi yang lebih baik seiiring waktu. Tetapi kenyataannya lebih banyak tenaga kerja yang memilih masuk – keluar tempat kerja, hanya karena tergiur upah sedikit lebih tinggi atau pekerjaan yang lebih ringan. Mereka lupa karier perlu dirintis dan posisi harus naik seiring waktu, apalagi bagi yang berpendidikan minim.

Era bonus demografi juga memberi peluang usaha berbasis teknologi, oleh sebab itu mereka yang menguasai teknologi dan dapat mengaplikasikannya berpeluang untuk berjaya. Selain keuntungan besar didapat dalam waktu singkat, juga membuka lapangan kerja. Contohnya bisnis Startup, yang terbukti dapat melahirkan pengusaha dengan penghasilan melangit dalam waktu sekejap. Melalui sosial media siapapun berkesempatan unjuk bisnis ke masyarakat luas dengan modal kecil. Inilah kesempatan bagi siapa saja untuk memulai bisnis.

Bisnis Startup Indonesia (sumber gambar : http://www.jurnalweb.com/wp-content/uploads/2016/01/startup-indonesia-local.jpg)
Bisnis Startup Indonesia (sumber gambar : http://www.jurnalweb.com/wp-content/uploads/2016/01/startup-indonesia-local.jpg)
Angkatan kerja juga sudah saatnya memburu peluang kerja di daerah. Merintis usaha di daerah memberi peluang berjaya dalam jangka panjang dan minim persaingan. Sektor pertanian, peternakan dan perkebunan mulai ditinggalkan orang. Mereka berpindah profesi karena mereka masih menggunakan cara-cara tradisional. Generasi muda yang datang ke daerah dengan kerativitas dan inovasinya tentunya akan berbeda dalam menggarap lahan tersebut. Inilah peluang yang selama beberapa tahun belakangan ini terabaikan. Para generasi muda lebih memilih kerja di belakang meja.

Peluang belajar dan bekerja di luar negeri juga perlu diraup. Mencari informasi bea siswa ke luar negeri untuk menimba ilmu di sana bisa menambah ilmu dan wawasan generasi muda dan mampu bersaing di dunia kerja. Melimpahnya tenaga kerja di Indonesia membuat persaingan kerja semakin sengit, oleh sebab itu mencoba mencari pekerjaan di luar negeri juga merupakan salah satu kesempatan bagi angkatan kerja untuk mendapatkan pekerjaan di negara lain.

Saat ini pekerja terbesar di sektor industri adalah sebagai buruh. Sudah beberapa tahun terakhir buruh selalu menuntut kenaikan Upah Minimal setiap tahunnya. Padahal upaya itu sebenarnya juga dimanfaatkan oleh pelaku pasar, sebelum kenaikan upah disetujui barang-barang sudah dinaikkan. Akibatnya meskipun setiap tahun dinaikkan, ya tetap saja tak terasa kenaikannya. Pola kenaikan upah berkala secara masal ini seharusnya sudah tidak diberlakukan lagi. Kenaikan gaji buruh berdasarkan evaluasi hasil kerja mereka dan masa kerjanya, dan tak perlu diekpos oleh media secara besar-besaran. Keadaan ini sebenarnya merugikan para pihak yang terlibat di industri itu sendiri, baik pengusaha maupun buruh. Apabila banyak pabrik dipindahkan untuk mengatasi masalah upah minimum, maka tenaga kerja yang jumlahnya ribuan itu akan kehilangan lapangan kerja serentak. Sementara di luar sana juga begitu banyak tenaga kerja yang juga mencari kerja. Hal ini menjadi lingkaran setan problem perburuhan yang tak kunjung henti.

Berharap Menuai Berkah dari Era Bonus Demografi

Tak salah kalau kita berharap menuai berkah di era Bonus Demografi, tetapi jangan mengesampingkan kenyataan yang ada. Siapapun berhak sukses, siapapun juga berpeluang gagal. Tetapi janganlah Bonus Demografi dijadikan kambing hitam. Negara pasti berupaya berperan dan hadir untuk kesejahteraan warganya, tetapi luapan jumlah pekerja yang begitu banyak tak lepas dari persaingan yang ketat. Saat ini mencoba lolos PNS saja sulit sekali. Oleh sebab itu setiap pribadi perlu membekali diri untuk menjadi petarung, yang siap bertarung di medan apapun. Tak mudah menyerah dan memiliki "amunisi" ketrampilan yang handal, serta kualitas yang terstandar. Kita semua berharap menuai berkah dari era bonus demografi ini, tetapi tak tutup mata pada kenyataan yang ada. Paling tidak, bonus demografi jangan sampai menjadi bencana bagi diri kita sendiri.

Oleh : Majawati Oen

Akun FB : https://www.facebook.com/majawati.oen 

Akun Twitter : https://twitter.com/MajawatiOen

Sumber referensi :

http://terbittop.com/2015/08/01/peluang-dan-ancaman-bonus-demografi/

http://nlc.rumahkepemimpinan.org/blog/pemuda-bonus-demografi-dan-potensi-indonesia/

http://www.kemenkeu.go.id/Berita/punya-bonus-demografi-indonesia-bisa-percepat-pembangunan

https://jurnal.ugm.ac.id/populasi/article/view/8559/6591

http://indonesiademografi.blogspot.co.id/2015/05/demografi-adalahbonus-yang-dinikmati.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun