Mohon tunggu...
majara Siarkanasa
majara Siarkanasa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa sosiologi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Korupsi Bukan untuk Sekadar Dipahami, Melainkan untuk Ditanggapi

7 Juli 2023   09:36 Diperbarui: 7 Juli 2023   09:41 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
By majara siarkanasa

Orang-orang yang menerima suap dengan akibat yang di anggap merugikan kehidupan polis disebut "dorodokos atau manusia korup"dan"dorodokos seperti Demosthenes itu dianggap pengkhianat polis,orang luar yang menginfiltrasi komunitas moral demos, maka ia mengancam dari dalam kehidupan polis".ia sosok "orang dalam(warga negara yang tidak taat),orang Luar(pengkhianat),atau orang dalam yang bermaksud menjadi orang luar (pencuri)".sosok seperti itu "digambarkan tidak patriotik, tidak peduli dengan keselamatan polis, dan hanya mengejar keuntungan bagi dirinya".maka, pokok masalahnya bukan bahwa Demosthenes telah menerima hadia,elainkan bahwa ia telah menerima hadia dengan akibat merugikan polis".

berdasrkan sumber-sumber tertulis, disebutkan "hanya sedikit politisi Athena yang tidak mungkin disuap:Aristeides,Ephialtes,Prikles,dan phokion"dan "dari sumber prasasti dapat ditambahkan Lykourgos".penyebutan bahwa ada "orang tidap dapat disuap itu mengisyaratkan luasnya praktik suap, atau setidaknya dianggap demikian".F. H. Harvey menyimpulkan bahwa "memberi dan menerima suap merupakan kebiasaan yang merasuki seluruh pori-pori kehidupan yunani dan menguasai setiap sudut".

Ciri kompetitif kehidupan politik terutama di Athena membuat pergeseran arti dari'hadia'menjadi tuduhan 'suap'sebagai bagian dinamika rivalitas politik. Itulah mengapa, seperti diisyaratkan sebelumnya, tuduhan bahwa Demosthenes telah menerima suap dilancarkan secara agresif oleh Hypereides, lawan politik Demosthenes. Maka penyuap sering diajukan sebagai penjelasan menginai perkara yang tidak jelas atau tidak di pahami.jenderal perang sering harus mundur dari medan tempur karena aneKa alasan,"yang lebih sering terkait habisnya logistik peran, karena wabah penyakit, semangat juang serdadu yang melemah, habisnya gaji, kondisi cuaca yang tidak menguntungkan, kalkulasi sang jenderal bahwa misi tidak akan berhasil, atau kombinasi semua itu.

Luasnya praktik hadia dan suap rupanya membentuk paradoks dalam masyarakat yunani kuno. Melalui dinamika saling menuduh secara publik, muncul budaya litigasi. Bersama budaya litigasi muncul proses perumusan hukum anti-suap dan anti-korupsi. Dari sumber yang tersedia,ditemulan "kemungkinan perundang itu di mulai pada tahun 594 SM, ketika ahli hukum solon membuat draf undang-undang yang melarang pejabat, terutama hakim, terlibat dalam penyuapan (dorodokia) ".dalam prodi klasik, suda di kenali "tidak kurang dari 7 proses hukum untuk memperkarakan kasus hadis atau penerima suap",yang"menurut standar modern melibatkan hukuman sangat berat denda 10 kali lipat, pencopotan hak memilih dan dipilih, atau hukuman mati".hukuman itu "hanya dapat di hindari dengan pengasingan diri".pengasingan tidaklah kurang berat, sebab itu berarti orang kehilangan identitas dan bersyarat seperti bukan manusia.
Dalam studi tentang persoalan itu,Kellam Conover menemukan bahwa dalam dunia yunani kuno "suap bukanlah masalah yang terpisah, (m) elainkan suatu modus politik itu sendiri, yang bersama demokrasi terus berubah, mereproduksi diri, menciptakan arti baru, dan karena itu harus di integrasikan dalam kinerja demokrasi".dan bagi mereka, demokrasi bukanlah seperti yang kini kita pahami, melainkan soal apa yang menguntungkan polis. Dan apa yang menguntungkan (atau merugikan)polis tidak di tetapkan dengan standar di luar sana, melainkan di definisikan oleh opini para anggota demos. Opini dan kedewasaan ini terjadi melalui tuduh-menuduh soal suap-menyuap. itulah mengapa, tulis Cnover, "orang Athena tidak berfokos pada minimalisasi kesempatan si pejabat agar tidak terlibat suap, tetapi lebih untuk memastikan bagaimana relasi pejabat itu dengan komonitas polis tetap berjalan timbal-balik saling menguntungkan".

ARISTOTELES:
Korupsi sebagai kemerosotan pemerintah:
Arti korupsi sebagai degenerasi adalah faham kehidupan dalam polis sebagai satuan organis tubuh. Dari metafor biologis ini lalu muncul paham 'tubuh politik'(Bisa politik) yang berpengaruh mendalam pada pemikiran politik tradisi republik klasik. Dalam pandang aristoteles, misalnya, tubuh politik seperti tubuh fisik mengalami perubahan yang melibatkan proses kemunculan dan kepudaran. Korupsi menunjukan gejalah pudar dan hancurnya sesuatu.salah satu karya arestoteles berjudul peri  Geneseo Kai Phthoras (Om Generation anda Crruption), yang barangkali lebih tepat di terjemahkan perihal muncul dan lenyap.di situ aristoteles menyajikan pemikiran tentang biologi, dan dalam arti tertentu juga melanjutkan pembahasanya tentang fisika.

Dalam pandangan aristoteles,pemerintah dapat di bedakan sekurangnya dalam tiga corak, yaitu pemerintah oleh satu orang (Monarchy),beberapa orang(aristocracy),dan banyak orang (pilot). Masing-masing dari tiga kategori itu secara inheren mengandung "penyelewengan dari apa yang benar".itulah korupsi. Pemerintahan monarki satu orang dalam kerajaan (bentuk yang benar) membusuk jadi tirani (bentuk korupsi). Pemerintah aristokrasi beberapa orang membusuk menjadi demokrasi (pemerintahan oleh Masa).

Dalam skema aristoteles,apa yang membedakan rezim tidak-korup dari yang korup adalah corak orientasi kepentingan umum pemerintahan satu orang (monarki) yang berubah menjadi kepentingan sempit penguasa berarti suatu rezim telah mengalami korupsi menjadi tirani. Begitu pula perubahan arah kepentingan umum pemerintahan beberapa orang (monarki) menjadi kepentingan sempit beberapa orang membuat monarki membusuk menjadi oligarki. Sedangkan orientasi untuk semua yang berubah menjadi kepentingan sempit masa membuat polity membusuk jadi "demokrasi".dalam bahasa sekarang,yang di maksut dengan pokok terakhir itu kurang lebih begini. Polity sebagai demokrasi inklusi yang mengungkapkan kebaikan umum(tampa membedakan agama, ras, atau status sosial ekonomi) membusuk jadi pemerintahan diskriminatif oleh massa.

Arlene Saxonhouse, seorang ahli pemikir aristoteles,menyebut "psikologi kemarahan yang berakar dari ketidak jelasan mendasar tentang klaim keadilan pilitik"sebagai penyebabnya. Apa yang di maksut aristoteles perlu dipahami dari titik berangkat bahwa aneka pemerintah muncul berdasarkan paham tentang apa yang adil dalam tiap bentuk pemerintahan itu :"demokrasi muncul dari pandangan bahwa jika orang setara dalam segala hal, mereka juga mutlak secara (artinya) :karena menganggap sama-sama bebas mereka merasa setara secara mutlak (dalam semua hal lain). Oligarki muncul dalam pandangan bahwa jika orang tidak setara, mereka juga tidak setara mutlak (artinya) :karena tidak setara dalam kekayaan,mereka juga mengandaikan bahwa secara mutlak orang memang tidak setara (dalam hal-hal lain).

Dalam pemikiran Politik aristoteles Terlibat sekaligus dua pengertian korupsi,yaitu korupsi sebagai degenerasi (kemerosotan)tata pemerintah serta kehidupan polis, dan korupsi sebagai penyelewengan kekuasaan/jabatan publik pengertian yang pertama menjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun