Saya tak tahu ini benar atau tidak. Ini hanya pendapat yang didukung sedikit bacaan. Tak sampai mendalam.
+++
Donald Trump. Presiden Amerika itu kaya raya. Sangat. Jabatannya menterang untuk sejumlah perusahaan bisnis. Begitu jadi presiden Amerika, semua dilepas. Jabatan praktisnya. Namun, sahamnya di perusahaan itu ya tak dia dijual.
Sandiaga Uno. Pebisnis kaya itu, pun begitu. Jabatan praktis untuk sejumlah perusahaan langsung ia tanggalkan. Begitu ditetapkan sebagai Wakil Gubernur DKI. Tetapi, tak serta merta menjual saham di sejumlah perusahaan miliknya.
Tunku Ismail Ibni Sultan Ibrahim. Ia bos Johor Darul Takzim (JDT). Pada 2017 lalu, ia menjadi Presiden FAM (Football Associations Malaysia). Ia kemudian mundur pada 2018. Secara struktural, ia tak memimpin JDT saat memimpin FAM. Namun, JDT tetap miliknya.
Joko Driyono. Pria Ngawi ini kini menjabat Ketua Umum PSSI. Pada saat bersamaan, ia menguasai saham Persija lewat PT Jakarta Indonesia Hebat. Tetapi, Joko tak punya jabatan struktural dalam manajemen Persija.
Iwan Budianto. Ia memiliki 70 persen saham Arema FC. Itu sebagai individu. Ia juga menjabat sebagai CEO Arema. Baru-baru ini, ia tanggalkan jabatan praktisnya itu. Ia ingin fokus sebagai Wakil Ketua PSSI. Tetapi, Iwan tak harus menjual sahamnya.
+++
Konflik kepentingan. Setiap orang punya kepentingan. Persoalannya, apakah kepentingan itu untuk pribadi, kelompok, organisasi, atau kepentingan umum. Karenanya, istilah konflik kepentingan jadi kata yang sulit dicerna. Bila kasat mata.
Konflik kepentingan itu spekulasi. Jabatan tertinggi tak lantas seenak udel. Ada kapasitas besar, namun dibatasi. Ada forum bersama untuk pengambilan keputusan. Organisasi itu bukan one man show. Tidak otoriter seperti hierarki kesatuan (tentara dan polisi). Â
Konflik kepentingan ibarat masturbasi. Mencapai kenikmatan dengan manipulasi. Biasanya cara-cara tersembunyi. Yang sudah berani, bisa terbuka tetapi pelan-pelan. Tujuan pribadi adalah ejakulasi tertinggi.
Konflik kepentingan. Setiap individu punya potensi itu. Jangankan dengan jabatan, tanpa jabatan pun ada kepentingan yang berpotensi menimbulkan konflik. Lantas, bagaimana bisa dipercaya saat ada pemilik klub menjabat posisi penting PSSI?
+++
Idealnya. Terkadang ideal cuma fiksi. Imajinasi. Utamanya di Negeri ini. Idealnya, PSSI seperti Jepang. JFA (Japan Football Associations) selalu dipimpin mantan pemain bola. Tak punya afiliasi dengan klub. Secara struktural, manajerial, juga kepemilikan saham. Profesional. Begitu istilahnya.
Pernahkah Indonesia mengalami hal itu? Pernah. Era Djohar Arifin Husin. Namun, karena tak kuat secara politik, finansial, dan idealisme, politisi dan petarung kekuasaan menguasai. Djohar hanya boneka. Begitu istilah yang disematkan media. Wartawan.
Dalam pemahaman anggota PSSI, mungkin, ketua umum harus mengayomi. Mewakili semua. Apakah Joko Driyono mewakili semua keluarganya (football family)? Berkaca pada Kongres (tidak) Biasa di Bali, 20 Januari lalu, jawabannya ya.
Rangkap jabatankah Joko? Rangkap. Tetapi dalam koridor yang sah. Ia penguasa saham mayoritas Persija. Kini, Ketua Umum PSSI. Ia juga Wakil Ketua AFF (ASEAN Football Federations).Tiga jabatan penting. Level mainnya lokal (Persija), nasional (PSSI), internasional (AFF). Oh ya, Jokdri, sapannya, meruoakan anggota dalam salah satu struktur FIFA (internasional).
Adakah yang rangkap jabatannya bisa diperdebatkan? Ada. Edy Rahmayadi contohnya. Yoyok Sukawi salah satunya. Pieter Tanuri masuk hitungan juga.
Malah, yang perlu dinyinyiri, pengelola kompetisi. PT Liga Indonesia Baru. Kudunya perusahaan ini diisi profesional. Tak berafiliasi. Tak boleh ada unsur klub di dalamnya. Klub hanya pemilik saham. Perwakilan klub tak selayaknya jadi pengelola. Itu sudah.*