Konflik kepentingan. Setiap individu punya potensi itu. Jangankan dengan jabatan, tanpa jabatan pun ada kepentingan yang berpotensi menimbulkan konflik. Lantas, bagaimana bisa dipercaya saat ada pemilik klub menjabat posisi penting PSSI?
+++
Idealnya. Terkadang ideal cuma fiksi. Imajinasi. Utamanya di Negeri ini. Idealnya, PSSI seperti Jepang. JFA (Japan Football Associations) selalu dipimpin mantan pemain bola. Tak punya afiliasi dengan klub. Secara struktural, manajerial, juga kepemilikan saham. Profesional. Begitu istilahnya.
Pernahkah Indonesia mengalami hal itu? Pernah. Era Djohar Arifin Husin. Namun, karena tak kuat secara politik, finansial, dan idealisme, politisi dan petarung kekuasaan menguasai. Djohar hanya boneka. Begitu istilah yang disematkan media. Wartawan.
Dalam pemahaman anggota PSSI, mungkin, ketua umum harus mengayomi. Mewakili semua. Apakah Joko Driyono mewakili semua keluarganya (football family)? Berkaca pada Kongres (tidak) Biasa di Bali, 20 Januari lalu, jawabannya ya.
Rangkap jabatankah Joko? Rangkap. Tetapi dalam koridor yang sah. Ia penguasa saham mayoritas Persija. Kini, Ketua Umum PSSI. Ia juga Wakil Ketua AFF (ASEAN Football Federations).Tiga jabatan penting. Level mainnya lokal (Persija), nasional (PSSI), internasional (AFF). Oh ya, Jokdri, sapannya, meruoakan anggota dalam salah satu struktur FIFA (internasional).
Adakah yang rangkap jabatannya bisa diperdebatkan? Ada. Edy Rahmayadi contohnya. Yoyok Sukawi salah satunya. Pieter Tanuri masuk hitungan juga.
Malah, yang perlu dinyinyiri, pengelola kompetisi. PT Liga Indonesia Baru. Kudunya perusahaan ini diisi profesional. Tak berafiliasi. Tak boleh ada unsur klub di dalamnya. Klub hanya pemilik saham. Perwakilan klub tak selayaknya jadi pengelola. Itu sudah.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H