Buruk rupa cermin dibelah. Begitu kiranya situasi sepak bola nasional saat ini. Di penghujung kompetisi Liga 1, rasa saling curiga menghantui. Perasaan tidak puas membumbung tinggi. Emosi meluap-luap tak terkendali.
Soalnya, Bhayangkara FC juara premature. Itu setelah Evan Dimas dan kawan-kawan taklukkan tuan rumah Madura United, skor 3-1. Dalam laga tanpa penonton itu, ratusan Polisi siaga di luar bahkan di bangku VIP stadion. Ditambah lagi ada tiga kartu merah untuk Madura United. Kondisi tak kondusif tetapi kekalahan tetaplah berarti kalah.
Sebelum laga itu dimulai, skuat asuhan Simon McMenemy "ketiban durian montong". Laga Mitra Kukar melawan Bhayangkara yang berkesudahan 1-1, pada Jumat (3/11), dianggap tidak sah oleh Komite Disiplin PSSI. Ini karena Mitra Kukar menurunkan pemain terhukum, Mohamed Sissoko, saat pertandingan.
Merujuk regulasi kompetisi, saat sebuah klub memainkan pemain terhukum (baik akumulasi kartu kuning, kartu merah, maupun sanksi), hasil pertandingan dianggap tidak sah dan tim bersangkutan dinyatakan kalah walk over (WO) dengan skor 3-0. Otomatis, perolehan satu poin The Guardian dari Tenggarong direvisi menjadi tiga.
Tambahan dua poin ini membuat poin Bhayangkara FC menjadi 68, usai taklukkan Madura United. Memang masih ada satu laga lagi, tetapi Bali United yang sudah kumpulkan 65 poin dipaksa menyerah. Seandainya pun Bali United menang di laga pamungkas sedang Bhayangkara kalah, tim binaan POLRI itu tetap juara. Mereka unggul head to head.
Idaman banyak orang, termasuk media, pupus. Ketatnya kompetisi hingga gelar juara akan ditentukan di akhir kompetisi, tak mungkin lagi tercipta. Bayangan ideal itu sirna sudah. Sebaliknya kekecewaan mengemuka.
Ramai-ramai, lewat media sosial, Bhayangkara FC dihujat dan dikritik. Cara Bhayangkara FC meraih kemenangan dianggap tak elegan. Pahitnya lagi, tuduhan ada cara busuk melalui agen atau mafia, didengungkan tanpa dasar. Pecinta sepak bola nasional marah, tak terima dengan situasi yang dianggap ajaib itu.
Pertanyaannya, memang tak pantaskah Bhayangkara FC juara Liga 1? Buruk dan kacaukah kualitas main Evan Dimas dan kawan-kawan?
Sebelum hal itu terjawab, mari kita selesaikan persoalan hibah dua poin, atas revisi hasil pertandingan Bhayangkara FC melawan Mitra Kukar. Satu. Keputusan Komisi Disiplin PSSI sudah tepat. Apapun alasannya, menurunkan pemain terhukum dalam sutu pertandingan tidak dapat dibenarkan.
Kedua. Persoalan Mitra Kukar merasa tak mendapat pemberitahuan tambahan terkait sanksi bagi Sissoko sebelum pertandingan, itu hal lain. Jika persepsi itu benar, pihak yang seharusnya bertanggung jawab adalah PT Liga Indonesia Baru. Liga seharusnya mencegah atau mengingatkan Mitra Kukar saat technical meeting, sehari sebelum laga.
Ketiga. Jika mau jujur, kesalahan mendasar ada pada sumber daya manusia. Itu bisa jadi ada dalam tubuh Komdis PSSI, PT Liga Indonesia Baru, Mitra Kukar, dan pengawas pertandingan. Atau malah ada kesalahan atau kelalaian sumber daya manusia terkait empat unsur penting itu. Dan ini rasanya yang paling masuk akal.
Dengan asumsi ini, gugur cibiran atas Bhayangkara FC. Hujatan-hujatan beramai-ramai di media sosial itu hanya luapan fan-fan klub sepak bola lebih mapan atas tim bau kencur, yang kemunculannya di kompetisi penuh tanda tanya dan penuh perdebatan juga pertentangan. Tapi tulisan ini tak ingin mengulas itu.
Kembali lagi ke pertanyaan, pantaskah Bhayangkara FC juara?
Ditilik dari hasil pertandingan, tentu saja Bhayangkara layak. Musim ini, dalam 32 pertandingan, tanpa menghitung dua laga terakhir, memenangkan 21 pertandingan, 2 kali imbang, dan hanya kalah 9 sembilan kali. Raihan yang tak mudah tentunya.
Lini pertahanan Bhayangkara juga kokoh, baik secara organisasi main maupun daya tahan. Lini tengah kreatif dan punya tenaga. Saat tim lain tak punya keseimbangan di tengah, kecuali PSM dan Bali United, Bhayangkara gagah di setiap laga. Lini depan, pembelian penyerang baik Tiago Furtuoso di awal musim maupun Illija Spasojevic, manjur.
Simon juga punya segudang ide cemerlang. Pergantian pemain yang ia terapkan di babak kedua pertandingan, hampir 80 persen membuahkan hasil. Tenaga berkekuatan kuda anak-anak muda Bhayangkara FC, berhasil ia letupkan di saat yang tepat. Bhayangkara itu ibarat anak gawang awal musim, kuda hitang di tengah musim, dan juara pada akhirnya.
Tetapi perdebatan boleh saja. Persepsi juga tak salah dikembangkan. Selama bukan tuduhan-tuduhan abu-abu tanpa dasar, tentu banyak pandangan bisa diterima. Kalah menang soal biasa, tapi soal aturan tak boleh biasa-biasa. Terakhir, memang perlu banyak perbaikan dalam penyelenggaraan Liga 1 2017 ini. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H