Mohon tunggu...
Abdul Susila
Abdul Susila Mohon Tunggu... Editor - Fanatik timnas Indonesia, pengagum Persija, pecinta sepak bola nasional

anak kampung sungai buaya yang tak punya apa-apa di jakarta selain teman dan keinginan untuk .....

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Garuda Jaya, Standart Indra Sjafri, dan Kisah Hilangnya Nyali

21 Juni 2016   07:01 Diperbarui: 21 Juni 2016   12:26 913
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak perlu menjadi Garuda agar bisa terbang tinggi. Cukup kiranya menjadi perkutut agar bisa terbang bebas. Perkutut pun, meski salah satu rantai makanan paling bawah, juga punya harga tinggi dan dicari. Perkutut juga punya kualitas.

Kabar gembira, kalau tidak kabar duka, itu akhirnya tiba. FIFA selaku otoritas tertinggi sepak bola dunia, mencabut embargo Indonesia dari pentas internasional. Bayangan akan kembali menyaksikan tim nasional (timnas) Indonesia, timnas Garuda, timnas Merah Putih, kembali muncul di kepala.

Setidaknya, ada dua agenda sepak bola antar negara Asia Tenggara yang bisa diikuti Indonesia tahun ini. Piala AFF (dulunya Piala Tiger) pada Oktober hingga Desember, dan Piala AFF U-19 pada Semptember.

Alfred Riedl secara mengejutkan kembali dipilih menjadi pelatih kepala. “Sudah cukup kiranya perdebatan. Sudah. Jangan habiskan energi untuk berdebat soal ini.” Tetapi, sayangnya, alangkah naifnya, begitu nistanya, tak ada yang tertarik menangani timnas U-19.

***

Fakhri Husaini dengan nada berat akhirnya berkata, “Saya melihat potensi konflik masih ada.” Karenanya, pria berkepala plontos ini pun mundur dari kursi pelatih timnas Indonesia U-19.  Ia sudah pernah dibuat kecewa, dan tak ingin jatuh di lubang yang sama.

Pengunduran Fakhri akhirnya menjadi bumerang. PSSI mati langkah. Rully Nere menolak tegas. Ia tak datang saat dipanggil wawancara. Sutan Harhara lebih realistis. Sempat tertarik tetapi akhirnya mundur tiga langkah dan lari secepat kilat ke Lamongan. Persela lebih masuk akal untuk ditangani.

PSSI pun terdiam. Beku. Kabar duka menghiasi mata kita (saya lebih tepatnya) saat membaca dan telingan kita saat mendengar. Dua bulan menuju Piala AFF U-19, timnas Indonesia U-19 belum bersiap. Jangankan mencari pemain, mencari pelatih yang satu orang saja, rupanya sulitnya minta ampun.

Lantas apa susahnya membentuk timnas Indonesia U-19?

Pemain mungkin bisa dicari, meski dengan cara yang paling instan sekali pun. Meski dengan resiko mencuatnya isu pemain titipan. Ini resiko. Dan kita (pecinta sepak bola Indonesia), sangat nyinyir dengan hal tersebut. Membuktikan enggan, menghujat iya. Seperti yang pernah dialami Fakhri.

Tetapi yang paling penting tentu saja, dari mana mendapatkan uang untuk kebutuhan itu semua. Mulai mengontak pelatih bersama jajarannya, mencari pemain, membiayai kedatangan pemain, pemusatan latihan, uji coba, dan lain sebagainya. Sungguh bukan jumlah yang kecil.

Kalau dulu, teman-teman saya suka bercerita, biasanya petinggi PSSI sampai rela menjual surat mobil hingga rumah sekalipun untuk membuka talangan untuk timnas. Mereka percaya, selalu ada cara untuk menghidupkan sepak bola. Mereka pun tak jadi miskin mendadak. “Sepak bola selalu punya cara tersendiri untuk menyelesaikan masalah,” kata teman saya itu.

Tetapi, kini entahlah. Saya tidak tahu persis bagaimana. Mungkin petinggi PSSI memang sedang tak punya dana. Mungkin mereka sudah tak punya apa-apa. Untuk memulai membentuk timnas Indonesia U-19, sepertinya sulit setengah mati. Saya masih tak habis pikir mengapa dan mengapa.

Dan, lihatlah di media massa. Petinggi sepak bola Indonesia itu, baik yang di klub dan federasi, lebih sibuk memikirkan kekuasaan. Mereka lebih sibuk memikirkan Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI untuk memilih ketua umum baru. Ini pun sebenarnya tak bisa sepenuhnya disalahkan. Masalahnya, timnas Indonesia U-19 sejauh ini terabaikan nasibnya.

***

Pada tahun 2013 itu, nama Garuda Jaya begitu populer. Indra Sjafri bersama anak asuhannya, berhasil menyita perhatian. Timnas Indonesia U-19 yang sudah sekian lama terabaikan, mengangkat harkat bangsa. Mereka berhasil meraih gelar juara Piala AFF U-19. Tahun itu, dahaga 22 tahun tanpa gelar sepak bola di pentas internasional (resmi), terpuaskan.

Lebih tercengangnya lagi, kisah Indra menemukan pemain menghiasi media. Berbulan-bulan, Indra “blusukan” dari kampung ke kampung, dari pulau ke pulau, dari provinsi ke provinsi. Ia mencari bibit pemain terbaik untuk timnas Indonesia U-19, yang akhirnya ia beri nama “Garuda Jaya”. Sejak 2013 pula, timnas Indonesia U-19 lebih dikenal dengan Garuda Jaya.

Apa yang dilakukan Indra Sjafri untuk membuat tim juara, akhirnya pun menjadi standar baru di benak masyarakat. Pelatih timnas harus melakukan pencarian ekstra. Jika tak meniru jalan yang sudah dirintis Indra, maka cacatlah cara pembentukan timnas tersebut. Pasti ada yang salah.

Fakhri, yang menggantikan posisi Indra, mau tak mau menerapkan standar itu. Ia juga berkeliling Indonesia mencari pemain. Pemusatan latihan dengan segudang jadwal uji coba internasional dijalankan. Espektasi sama bisa mengharumkan nama Indonesia juga dibebankan pada Fakhri. Sayang, usaha Fakhri sia-sia. (Ya, begitulah, sakit rasanya jika membicarakan kisah mengapa jadi sia-sia.)

***

Tahun 2016, sepertinya Garuda sedang menjelma jadi perkutut. Untuk mengasuh Garuda, burung raksasa yang konon katanya punya kekuatan sakti mandra guna itu, tentu saja tak mudah. Dibutuhkan sosok yang sakti mandraguna pula. Tanpa sosok sakti, mungkin setara Sunan Kalijaga, Garuda akan liar.

Tetapi untuk mengasuh perkutut tak perlu sosok setinggi Sunan Kalijaga. Cukup telaten saja. Dengan penanganan yang baik dan benar, tentu juga dengan disiplin, perkutut bisa berharga mahal. Dacari orang pula.

Mungkin, tahun ini memang Garuda Jaya masih berupa telur. Masih dieram di sebuah gunung, sebuah pulau, atau sebuah hutan. Dibutuhkan sosok sakti mandraguna, untuk menetaskan telur Garuda Muda itu. Garuda yang akan dilatih agar bisa berjaya.

Pelatih perkutut tentu tak punya nyali. Apalagi dengan kondisi PSSI seperti saat ini. Sedang digencet sana-sini. Sedang tak punya pemasukan. Sedang diisi (mungkin) orang-orang yang tidak bisa berkorban lebih.

Melatih Garuda Jaya butuh nyali. Butuh keberanian. Diperlukan sosok yang punya terobosan dan pengetahuan. Tahan banting dan tekanan. Sebab ia akan keliling Indonesia dari Sabang sampai Marauke. Masuk hutan, naik gunung, menjelajah lautan. Siapakah sakti mandraguna yang bisa mengasuh Garuda Jaya itu? Semoga ia benar-benar sosok baru.[]  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun