Seperti contoh, istilah suami merupakan pemimpin rumah tangga sering dijadikan justifikasi bahwa laki-laki harus memegang dominasi penuh pada perempuan.Â
Dengan adanya persepsi dan justifikasi ini, tidak jarang ditemukan intervensi dari lingkungan dalam memutuskan peran dan ekspetasi apa saja yang harus diemban oleh seorang laki-laki dan perempuan.Â
Seperti contoh, dalam suatu pernikahan, seorang istri tidak bisa melanjutkan karir impiannya karena adanya persepsi perempuan hanya bertanggung jawab atas pekerjaan rumah serta mengurus anak.Â
Hal ini juga berlaku pada istri yang memilih untuk childfree kerap digambarkan tidak sepenuhnya layak sebagai perempuan karena belum memenuhi standar peran dari masyarakat, yaitu sebagai seorang istri dan ibu.Â
Budaya patriarki ini juga mempengaruhi peran apa saja yang harus diemban oleh laki-laki yang kerap kali dikaitkan dengan kekuatan dan dominasi.Â
Contohnya, apabila seorang suami memiliki gaji lebih rendah daripada istri, maka ia memberikan persepsi image laki-laki yang tidak kuat dan tidak macho. Persepsi-persepsi ini secara tidak langsung memberikan tekanan pada individu dalam memilih pilihan yang berkaitan dengan pernikahan dan anak.
3. Pandangan Masyarakat Terhadap Kesehatan Mental
Stigma ketiga yang kerap ditemukan adalah pandangan masyarakat terhadap kesehatan mental. Salah satu alasan individu untuk tidak menikah serta pasangan untuk mengambil jalan childfree adalah individu sedang berhadapan dengan masalah yang berhubungan dengan kesehatan mental.Â
Tahapan masalah kesehatan mental dimulai dari belum ada kesiapan secara emosional sampai ke tahap yang lebih serius, seperti individu yang mengidap mental illness (depression, anxiety, bipolar disorder, Attention Deficit Hyperactivity Disorder atau ADHD, schizophrenia, Post Traumatic Stress Disorder atau PTSD, dan lain sebagainya) menjadi salah satu faktor seseorang untuk tidak mengambil jenjang pernikahan serta tidak memiliki anak.Â
Individu yang yang berhadapan dengan masalah kesehatan mental mengetahui kapasitas diri masing-masing sehingga ia tidak ingin memproyeksikan itu terhadap pasangan maupun anaknya kelak.Â