Mohon tunggu...
Majalyn Nadiranisa Rakaputri
Majalyn Nadiranisa Rakaputri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga S1 Bahasa dan Sastra Inggris

Halo, selamat datang!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Pilihan untuk Tidak Menikah dan Childfree: Mengapa Masih Dikelilingi oleh Stigma?

8 Juni 2022   14:41 Diperbarui: 8 Juni 2022   14:50 1408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Tú Anh dari Pixabay

Dalam beberapa tahun terakhir, pembahasan terkait dengan pilihan seseorang untuk tidak menikah serta childfree di Indonesia semakin sering diperbincangkan. Hal ini dikarenakan semakin banyak pula orang maupun komunitas yang mengangkat kedua tema tersebut dalam berbagai forum diskusi di media. 

Melalui media, beberapa influencer di Indonesia juga ikut memberikan pernyataan kepada publik terkait dengan pilihan dalam pernikahan dan mempunyai anak. 

Influencer-influencer tersebut ialah Leony ex-Trio Kwek-Kwek yang memutuskan untuk menjadi single atau tidak menikah selama masa hidupnya (Kalau Cewek Mah Bebas: Cara Jawab Kalau Ditanya Kapan Nikah | Narasi Signature, 2021), kemudian diikuti oleh Gitasav yang memutuskan untuk childfree setelah menikah, serta Chef Juna yang memberikan keputusan pada istrinya apabila ia ingin memiliki anak atau tidak (Trauma Masa Kecil Membuatku Tidak Mau Punya Anak: Cinta Laura x Chef Juna, 2021). 

Pernyataan dari para influencer tersebut  memunculkan variasi respon dari masyarakat. Meskipun sudah cukup sering dibahas, pilihan untuk tidak menikah serta childfree rupanya masih memunculkan tuaian pro dan kontra di kalangan publik. 

Tidak jarang, penyampaian pendapat terhadap dua tema tersebut berujung konflik antar satu sama lain. Rupanya, topik yang berkaitan dengan pilihan terhadap pernikahan masih dibalut dengan stigma-stigma tertentu. 

Gambar oleh StockSnap dari Pixabay
Gambar oleh StockSnap dari Pixabay

Pernikahan dan Childfree: Apakah itu?

Sebelum kita membahas apa saja stigma-stigma tersebut, mari kita cari tahu pengertian dari pernikahan serta istilah childfree. Pernikahan adalah penetapan ikatan perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita yang siap berkomitmen secara emosional pada jangka waktu yang panjang. 

Kemudian, apakah childfree itu? Menurut Cambridge Dictionary, childfree merupakan suatu kondisi dimana orang tidak memiliki anak berdasarkan keputusan atau pilihan sendiri. 

Terdapat kesamaan dari beberapa faktor yang mendorong seseorang untuk tidak menikah ataupun tidak memiliki anak. Faktor-faktor tersebut adalah masalah kesehatan fisik atau mental pada individu, belum terdapat kesiapan secara material dan emosional, memiliki prioritas lain seperti karir, mengasosiasikan kedua pilihan tersebut dengan pengalaman traumatis seperti hubungan yang toxic (tidak sehat), dan lain sebagainya. 

Baik pernikahan maupun keputusan untuk memiliki anak mempunyai keterkaitan dengan banyak aspek lainnya yang perlu disiapkan dan direncanakan secara matang, seperti aspek ekonomi, sosial, spiritual, kesehatan, prioritas, dan lain sebagainya. Pemenuhan aspek-aspek tersebut yang mempertimbangkan seseorang untuk menikah dan memiliki anak.

Stigma-Stigma Single dan Childfree

Gambar oleh Anemone123 dari Pixabay
Gambar oleh Anemone123 dari Pixabay

1. Pengukuran Kebahagiaan

Lantas, apa sajakah stigma-stigma yang ditemukan pada pilihan untuk tidak menikah dan childfree? Stigma pertama adalah stigma pengukuran kebahagiaan dari pernikahan. 

Dengan situasi dalam suatu pernikahan yang melibatkan dua orang untuk menjalani hidup secara berdampingan, kelompok orang yang single kerap mendapatkan perbandingan ukuran kebahagiaan dengan pasangan yang sudah menikah. 

Suatu pernikahan digambarkan sebagai hal yang membahagiakan karena dua orang yang terikat di dalamnya mampu saling menemani, menjaga, dan mendukung satu sama lain, sedangkan para single digambarkan sebagai sekelompok orang yang tidak beruntung dan menyedihkan dengan alasan mereka harus menjalani hidup seorang diri. 

Selain dalam pernikahan, stigma ini juga berlaku pada individual yang memilih untuk childfree dimana mereka akan menjalani hidup tanpa ditemani seorang anak. Stigma ini tidak benar sebab ukuran kebahagiaan setiap orang ditentukan dari tujuan hidup mereka masing-masing. 

Seperti contoh, seorang wanita single yang membangun bisnis fashion mampu memiliki kadar kebahagiaan yang tidak jauh berbeda dengan seseorang yang memiliki tujuan hidup untuk membangun keluarga sebagai ibu rumah tangga. Hal ini dikarenakan kedua individu tersebut telah mencapai tujuan yang ingin mereka capai.

Gambar oleh Denise Husted dari Pixabay
Gambar oleh Denise Husted dari Pixabay

2. Pengukuran Worth Seorang Individu

Stigma kedua adalah pengukuran worth (kelayakan) seorang individu dari pilihan yang berkaitan dengan pernikahan dan anak. Pengukuran ini disebabkan oleh eksistensi budaya patriarki yang memunculkan banyak stereotip terkait dengan peran-peran antar gender dalam kalangan masyarakat, termasuk pada situasi yang berkaitan dalam suatu pernikahan. 

Seperti contoh, istilah suami merupakan pemimpin rumah tangga sering dijadikan justifikasi bahwa laki-laki harus memegang dominasi penuh pada perempuan. 

Dengan adanya persepsi dan justifikasi ini, tidak jarang ditemukan intervensi dari lingkungan dalam memutuskan peran dan ekspetasi apa saja yang harus diemban oleh seorang laki-laki dan perempuan. 

Seperti contoh, dalam suatu pernikahan, seorang istri tidak bisa melanjutkan karir impiannya karena adanya persepsi perempuan hanya bertanggung jawab atas pekerjaan rumah serta mengurus anak. 

Hal ini juga berlaku pada istri yang memilih untuk childfree kerap digambarkan tidak sepenuhnya layak sebagai perempuan karena belum memenuhi standar peran dari masyarakat, yaitu sebagai seorang istri dan ibu. 

Budaya patriarki ini juga mempengaruhi peran apa saja yang harus diemban oleh laki-laki yang kerap kali dikaitkan dengan kekuatan dan dominasi. 

Contohnya, apabila seorang suami memiliki gaji lebih rendah daripada istri, maka ia memberikan persepsi image laki-laki yang tidak kuat dan tidak macho. Persepsi-persepsi ini secara tidak langsung memberikan tekanan pada individu dalam memilih pilihan yang berkaitan dengan pernikahan dan anak.

Gambar oleh mohamed Hassan dari Pixabay
Gambar oleh mohamed Hassan dari Pixabay

3. Pandangan Masyarakat Terhadap Kesehatan Mental

Stigma ketiga yang kerap ditemukan adalah pandangan masyarakat terhadap kesehatan mental. Salah satu alasan individu untuk tidak menikah serta pasangan untuk mengambil jalan childfree adalah individu sedang berhadapan dengan masalah yang berhubungan dengan kesehatan mental. 

Tahapan masalah kesehatan mental dimulai dari belum ada kesiapan secara emosional sampai ke tahap yang lebih serius, seperti individu yang mengidap mental illness (depression, anxiety, bipolar disorder, Attention Deficit Hyperactivity Disorder atau ADHD, schizophrenia, Post Traumatic Stress Disorder atau PTSD, dan lain sebagainya) menjadi salah satu faktor seseorang untuk tidak mengambil jenjang pernikahan serta tidak memiliki anak. 

Individu yang yang berhadapan dengan masalah kesehatan mental mengetahui kapasitas diri masing-masing sehingga ia tidak ingin memproyeksikan itu terhadap pasangan maupun anaknya kelak. 

Mental illness yang mampu terbawa oleh faktor genetik juga menjadi alasan seseorang untuk childfree. 

Sayangnya, lingkungan masyarakat masih menganggap enteng masalah yang berkaitan dengan kesehatan mental. Tidak jarang, orang-orang cenderung untuk adu nasib antar satu sama lain tanpa melihat dan memahami kondisi atau kapasitas setiap individu.

Gambar oleh Wokandapix dari Pixabay
Gambar oleh Wokandapix dari Pixabay

Pilihan seseorang untuk tidak menikah dan childfree dipengaruhi dari faktor yang berhubungan dengan tujuan, seperti contoh finansial dan karir, serta faktor yang berhubungan dengan prinsip, seperti contoh prioritas, kesehatan, dan lain sebagainya. 

Meskipun begitu, pembahasan yang berkaitan dengan pernikahan serta childfree di Indonesia rupanya masih menuai pro dan kontra dikarenakan dua topik ini masih dibaluti dengan stigma-stigma tertentu. 

Stigma yang paling umum ditemukan adalah pengukuran kebahagiaan dari menikah dan memiliki anak, kemudian pengukuran kelayakan individu, serta pandangan masyarakat terhadap kesehatan mental. 

Setiap orang memiliki tujuan serta prinsip dalam hidupnya masing-masing. Dengan perbedaan tujuan dan prinsip tersebut, diharapkan untuk setiap anggota masyarakat saling menghargai antar satu sama lain. 

Pilihan seseorang untuk menikah maupun tidak menikah, memiliki anak maupun tidak memiliki anak, tidak memberikan perbedaan pada nilai serta worth mereka sebagai manusia.

Sumber:

NARASI. 2021. Kalau Cewek Mah Bebas: Cara Jawab Kalau Ditanya Kapan Nikah | Narasi Signature. Indonesia. NARASI. 11 menit 58 detik.

PUELLA ID. 2021. Trauma Masa Kecil Membuatku Tidak Mau Punya Anak: Cinta Laura x Chef Juna. Indonesia. PUELLA ID. 29 menit 53 detik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun